Saturday 16 February 2019

Jangan Jadi Seniman Kalo Mau Kaya

Manual Painting karya Arief Hadinata
Hari ini, Bihun memposting sebuah foto di akun Facebooknya berupa sebuah tembok yang ditulisi "TAK KIRO AKU SENIMAN, JEBUL MUNG GEMBEL".
Dia pun menulis keterangan pada foto postingannya berupa "Ingat almamater, tapi lupa iman kesenirupaannya. Ingat berkarya tapi lupa jatidiri. (Rene ngopi bareng sekalian tak ajari cara protes sing elegan) Senyum aja dari jauh.z'
Sebelum Bihun mengunggah foto dan menuliskan demikian aku sudah berkomentar, "Lah emang kalo seniman nggak gembel ya?"
Oh iya, tulisan itu berada di belakang tembok kampus menggunakan cat hitam dan difoto pada siang hari. Konon sih pelakunya sudah diketahui dan dapat pengarahan dari pihak kampus.
Namun, kita nggak akan membahas soal si pelaku. Kita akan membahas soal seniman. Baiklah, mari duduk dan bicarakan dengan kepala dingin, sebenarnya seniman itu apa sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (ya maaf kurang kreatif definisinya. Tapi kan ini bukan karya ilmiah, gaes), seniman adalah se·ni·man n orang yg mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dsb)
Jadi, berdasarkan definisi tersebut, jelas ya, seniman ialah orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelar karya seni, baik sebagai pelukis, penyair, penyanyi, dan sebagainya.
Nah, di sini aku bisa donk ya pamer dan bangga bahwa suamiku yang unyu dan menggemaskan merupakan seniman karena ia memiliki bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelar karya seni. Ya kalau mau, kapan waktunya akan kuunggah portofolio berkaryanya deh ya. Wkwkwk...
Sebagai istri dan juga teman yang mengenalnya ketika masih menjadi mahasiswa, aku tahu kok Bihun mengalami fase gembel. Lawong aku aja jujur kalo dulu dipacarin sama dia, aku nggak bakalan mau karena dia gembel dan playboy.
Soal gembelnya, aku tahu gimana dia nggak jaim makan apapun pemberian orang selama makanan itu layak dikonsumsi. Dia juga cerita sampe nggak punya kos ketika masih kuliah demi bisa beli perlengkapan kuliah. Dia ngomong mau menerima pekerjaan order sepatu lukis yang bayarannya masih beberapa puluh ribu rupiah karena kliennya saat itu kebanyakan mahasiswa. Itu terjadi tahun 2008, ketika dia pertama kuliah.
Semua berproses. Selama di kampus, Bihun belajar, mengembangkan diri, mengenali diri sendiri, terus mencoba, terus berkarya. Apa segampang itu? Nggak. Ada effort yang harus dia bayar. Karena dia suka gambar, dia harus membeli perlengkapan gambar. Mulai dari pensil aneka macam, pensil warna, cat air, cat akrilik, buku sketsa, kuas, pentablet, laptop, dan lain sebagainya. Belum lagi untuk kebutuhan mata kuliah lain yang biayanya nggak sedikit macem ukir dan kriya. Meskipun bukan yang dia sukai, tapi Bihun harus memenuhi kewajiban itu karena bagian dari Satuan Kredit Semester (SKS) agar ia bisa lulus kuliah.
Jadi kere? Pastinya. Tapi pilihan dan panggilan jiwanya untuk menciptakan karya terbaik, memang harus mengorbankan dirinya. Mengorbankan uang saku, baik berupa jatah makan maupun gaya hidup. Demi apa? Demi karya yang sesuai dengan ekspektasinya. Ada kepuasan di situ meskipun biayanya besar dan akhirnya kadang karya itu cuma nanggrok di kos-kosan sampe spanram dimakan rayap. Belum lagi pacar ngambek karena nggak pernah diajak jalan-jalan ke mal karena duit habis buat beli kanvas dan cat *curhat. Punya baju ya seitu-itunya aja dan seringnya dapet dikasih atau tukeran sama temen yang nitip dilaundriin tapi nggak diambil.
Akhirnya sebagian jadi gembel karena jadi malnutrisi akibat memenuhi idealisme tugas. Lagian, jadi gembel nggak cuma ada di kehidupan mahasiswa seni rupa. Kayaknya hampir semua mahasiswa ngerasain hidup gembel deh. Mau itu anak kedokteran, arsitektur, teknik nuklir, akuntansi, semuanya ada kok mahasiswa gembelnya.
Pake baju nggak jauh dari modis, malah cenderung nggak matching. Belum lagi nggak punya motor, harus jalan kaki dari kos ke kampus. Milih kos pun harus sesuai dengan bajet dari orang tua atau dana dari beasiswa. Mereka yang datang dari kampung ke kota untuk kuliah dengan harapan bisa hidup lebih baik. Ada yang tinggal di asrama, ada juga yang jadi takmir mesjid, atau paling apes ya tidur di pusat kegiatan mahasiswa. Makan aja pilih bungkus di warteg supaya nasinya lebih banyak dan bisa dimakan dua kali, jadi beli makan sekali buat kenyang sehari. Indomie jadi makanan penahan lapar tengah malam pas lembur tugas, dimasak pake rice cooker di kosan. Air minum beli galon isi ulang yang harganya Rp 3.500 yang awetnya bisa 2 minggu. Peralatan mandi disimpen baik-baik dalam kamar takut disikat temen kos yang nggak bertanggung jawab. Kalo odol mau abis, disobek bungkusnya dan digoretin. Sampo dan sabun cair juga diisi air trus dikopyok buat dipake sampe tetes terakhir. Ngeprint di fotokopi yang bisa print laser karena print tinta mehonk! Jajan kalo diajakin temen, dan kalo nongkrong juga sebisa mungkin pesennya air putih. Sebelum nongkrong udah makan di kosan jadi di lokasi nggak pengen beli makan. Pilih lokasi nongkrong yang free wifi jadi bisa ngirit kuota. Selalu sedia mie dan telur kalau sewaktu-waktu kelaparan. Beli beras, masak nasi sendiri, lauknya beli Rp 5 ribu dapet dua macem plus kerupuk. Uhm... Apalagi ya pengalaman ngerasain jadi gembel? Banyak kan ya cerita jadi gembel di kalangan mahasiswa, sampe dibikin meme segala.
Lalu, bisakah berharap kaya dari berkesenian? Jawabannya, bisa. Namun kaya yang seperti apa, kan definisi kaya banyak. Kaya hati, kaya harta, atau kaya raya? Lagipula, banyak memang seniman yang karyanya ditawar jutaan hingga milyaran. Nah, pertanyaannya, kalo didata jumlah seluruh seniman di Indonesia, berapa banyak seniman yang karyanya ditawar pada nominal yang fantastis tersebut? Ada nggak sih seniman yang hidupnya ya standar aja? Atau ada yang coba meriset nggak, kenapa seseorang memiliki karya yang mahal harganya? Bisa disebutkan juga siapa saja seniman yang setiap kali berkarya pasti menghasilkan karya yang laris manis di pasaran dengan harga selangit.
Lalu, apakah Bihun yang seniman bisa kaya? Kalau tanya sekarang Bihun apakah kaya, yakni sukses dan mapan sehingga layak dianggap bukan lagi gembel, aku masih angkat bahu. Karena standar kebutuhan untuk didefinisikan mapan dan sukses setiap orang kan berbeda. Ada orang yang butuh punya tabungan jutaan, ada orang yang butuh bisa tetap makan, ada juga orang yang hanya butuh punya segala benda yang mahal harganya, atau ada yang hanya ingin berkarya tanpa memikirkan besok makan apa.
Buatku, aktivitas berkesenian Bihun bisa menghidupi kami, itu iya. Kami bersyukur karena kami masih diberkahi rejeki atas aktivitas yang Bihun lakoni. Namun ada cita-cita di luar capaian definitif finansial tentang seniman yang ingin dia dan capai. Contohnya dia ingin memiliki studio, dia ingin pameran lagi, dia ingin belajar menggeluti kecintaannya, dia ingin belajar lebih tentang keahliannya dan membagikan ilmunya. Pada tahap ini, dia merasa masih gembel karena belum merasa cukup dengan capaiannya saat ini. Kupikir itu hal yang bagus sih ya karena manusia harus selalu memiliki optimisme dalam hidup. Manusia bisa hidup karena memiliki mimpi dan cita-cita, berikut optimisme untuk meraih semuanya. Ya kan? modus istri minta tambahan jatah belanja
Tapi jujur aja sih ya, sebagai istri seniman, aku memang harus benar-benar sabar menghadapi dunianya. Dia memiliki dunia yang berbeda dengan orang lainnya. Dia harus bekerja mencari inspirasi dengan bekal suasana hati positif dan koneksi internet lancar. Belum lagi sajian kopi sembari menyedot asap. Apakah itu nggak memerlukan biaya? Ya memerlukan biaya. Lalu ia setiap hari harus berkreasi mencari ide. Belum lagi harus ketemu klien dengan pakaian rapi dan aroma wangi, sementara pulang kerja selalu dengan corang-coreng cat di baju dan kuku.
Kadang ketemu klien unik yang setelah briefing berkali-kali belum nemu yang mantep, minta ganti terus. Setelah kepentok deadline, ide pertama yang dipilih. Masih ada tahapan negosiasi harga yang sering kali alot karena banyak yang menganggap gambar itu hobi, bukan aktivitas dari sebuah pekerjaan. Apakah setelah menjadi seniman semua hal itu nggak akan dijumpai lagi?
Ya... kalau berharap kaya dari berkesenian, agaknya memang susah. Berharap bisa menjual karya yang diciptakan dengan bandrol berjuta-juta tentunya harus realistis akan memiliki banyak kompetitor. Kecuali kamu bejo (beruntung; mujur; bernasib baik) dan punya channel yang mumpuni untuk karyamu. Bisa juga karyamu memang layak dibandrol sekian. Itupun memang ada syarat jam terbang tinggi dan bisa mengikuti pasar. Tapi saranku, jangan jadi seniman kalau mau kaya. Kalau mau kaya ya... Punya orang tua kaya atau cari calon mertua kaya raya.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...