Masih
kuyakinkan diriku bahwa Ayya mengatakannya secara sadar. Tapi senyumnya terlalu
nyata kalau kukatakan ini adalah mimpi. Teras rumah
memberikan hawa dingin untuk malam di bulan Juni. Tapi, ah, saat ini bulan tak
lagi mampu menentukan musim. Musim datang tergantung mood langit.
“Kamu
yakin?”
Ayya
mengangguk dan kembali tersenyum. “Aku sangat yakin. Perlukah kujawab lagi
untuk keempat kalinya?”
Aku
menghela nafas. Terlalu rumit perasaan hatiku.
“Tolongah,
Ayy, jangan kekanak-kanakan. Kali ini aku serius.”
Aya
mengangguk kembali dan kembali tersenyum. “Aku juga serius, Sayangku.”
“Semua persiapan dan segala urusan sudah selesai dan hanya menunggu hari
H. Tinggal satu minggu lagi Ayya. Tolong jangan membuat pikiranku kacau. Aku
pun tengah mempersiapkan diri untuk ujian masuk S2 ku—seperti yang kamu minta.
Harusnya kamu tahu, ini bukan perkara mudah. Kulakukan semua ini demi kamu,
tetapi kenapa kamu justru menjungkirbalikkan keadaan dengan begitu menyakitkan?”
Ayya kali ini menggeleng. “Ini tidak menyakitkan, Sayangku. Aku sangat
dewasa. Logis dan realistis, Sayangku. Aku berpikir sepuluh langkah, jauh di
atas perkiraan langkah manusia lainnya, Sayangku.”
“Tapi ini terlalu ganjil. Sudut mana yang mengatakan ini logis dan
realistis, Ayy? Ini sudah masuk kategori sakit jiwa. Kamu nggak mikir apa, kalo
ini juga harus kita rundingkan dengan keluarga, bukan cuma urusanku dan
urusanmu. Ingat Ayya, semua ini juga menyangkut dua keluarga. Nama baik dua
keluarga, bahkan keluarga besar kita dipertaruhkan.”
Ayya tersenyum. “Aku sudah menyampaikan pada keluargaku dan mereka
menerima usulanku, Sayangku.”
“Lalu apa kamu pikir keluargaku bisa menerima? Kamu nggak memprediksi
kemungkinan salah paham dari keluargaku dan keluargamu tentang rencana tambahan
yang konyol ini?”
“Sayangku, kita yang akan menjalani pernikahan. Mereka akan mengerti
setelah kita beri penjelasan. Seminggu bukan waktu yang sebentar untuk dengan
jelas memberi pengertian pada mereka. Apa lagi yang masih mengganjal di hatimu,
Sayangku?”
Ingin kubanting saja asbak di depanku dan melempar vas bunga ke dinding.
Aku ingin pulang, tertidur, bangun, dan meyakinkan diriku bahwa ini adalah
mimpi dan semua akan baik-baik saja setelah aku terbangun. Setelah kulanggar
pantangan untuk tak bertemu calon istri selama empat puluh hari menjelang
pernikahan. Hingga satu minggu sebelum pernikahan, aku menyempatkan berbincang
dengannya.
“Aku masih belum mengerti apa alasanmu mengajukan syarat tak masuk akal
ini. Membuatku merasa benar-benar idiot di depanmu.”
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017 |
Ayya tersenyum—dan sungguh, aku muak dengan setiap senyum dan
anggukannya malam ini. “Sudah kubilang, Sayangku, aku memerlukan partner untuk membantuku mengurus segala
kebutuhanmu. Aku tempramen dan kamu moody.
Itu sangat tidak seimbang untuk sebuah hidup yang bahagia. Aku membutuhkan
bantuan orang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan, karena aku sadar tak bisa
menjadi apa yang kamu inginkan. Maka, ijinkan aku mengajukan sebuah nama untuk
berdampingan denganku di pelaminan esok.”
“Udah, Ayy. Apa pun kamu, sesibuk apa pun kamu, aku bisa ngerti. Bahkan
kalau kamu nggak bisa telepon atau SMS atau hanya pulang satu jam dalam satu
bulan pun, aku tetap bisa bersabar. Kita bisa menyewa pembantu yang mengurus
kebutuhan rumah. Kamu nggak perlu repot memasak, mencuci, atau menyetrika pakaianku.
Kita bisa juga pesan makan di luar dan menggunakan jasa binatu. Tapi nggak ini,
Ayy. Kumohon. Kalau kamu realistis dan logis, aku bisa mengerti, tapi kumohon,
Ayy, ini sangat konyol dan kekanakkan.”
Ayya tersenyum kembali dan menggeleng. “Kembali kusampaikan bahwa aku
prediksi langkah yang lebih jauh dibanding orang pada umumnya. Aku dan kamu
memiliki kesibukan. Aku dan kamu pun kerap terjebak pada sengketa yang sulit
dieja. Kita butuh penengah. Dan aku akan dengan senang hati membagi cintaku. Aku
tak peduli pada dasar sebuah keyakinan atau apapun.”
Segera kesela ucapannya, “Sudahlah, Ayy, apa yang membuatmu berpikir tak
rasional? Aku semakin tak mengerti.”
“Pernikahan menjebakku pada tanggung jawab sebagai ibu dan istri.
Sementara aku masih menikmati sebagai seorang wanita. Biarlah status hitam di
atas putih dan di hadapan kawan-kawanmu, bahwa akulah istrimu. Tapi untuk
tanggung jawab, akan kupasrahkan pada partnerku.
Lagipula—“
“Apa lagi?”
“Winda mengatakan bahwa ia tengah mengandung anakmu. Empat bulan.”
Leherku tercekik. Winda? Winda? Winda?
“Aku tahu. Sudahlah. Aku cukup bisa menerima. Jangan pikir aku tak
rasional. Karena aku sangat rasional dan sangat peka, Indra.”
Ayya masuk ke dalam rumah.
Meninggalkanku yang tengah mengurutkan kejadian konyol pasca-Bachelor Party Bayu hampir lima bulan
yang lalu.
24 Mei 2012
3:27:53 a.m.
Kehilangan otak dan ingin insaf sejenak.
Casinos in Malta - Filmfile Europe
ReplyDeleteFind the best Casinos nba매니아 in https://deccasino.com/review/merit-casino/ Malta including https://septcasino.com/review/merit-casino/ bonuses, games, games and the history of games. We cover all deccasino the main reasons septcasino to visit Casinos in