Tuesday 16 September 2014

S E N Y U M A Y Y A



Masih kuyakinkan diriku bahwa Ayya mengatakannya secara sadar. Tapi senyumnya terlalu nyata kalau kukatakan ini adalah mimpi. Teras rumah memberikan hawa dingin untuk malam di bulan Juni. Tapi, ah, saat ini bulan tak lagi mampu menentukan musim. Musim datang tergantung mood langit.
“Kamu yakin?”
Ayya mengangguk dan kembali tersenyum. “Aku sangat yakin. Perlukah kujawab lagi untuk keempat kalinya?”
Aku menghela nafas. Terlalu rumit perasaan hatiku.
“Tolongah, Ayy, jangan kekanak-kanakan. Kali ini aku serius.”
Aya mengangguk kembali dan kembali tersenyum. “Aku juga serius, Sayangku.”
“Semua persiapan dan segala urusan sudah selesai dan hanya menunggu hari H. Tinggal satu minggu lagi Ayya. Tolong jangan membuat pikiranku kacau. Aku pun tengah mempersiapkan diri untuk ujian masuk S2 ku—seperti yang kamu minta. Harusnya kamu tahu, ini bukan perkara mudah. Kulakukan semua ini demi kamu, tetapi kenapa kamu justru menjungkirbalikkan keadaan dengan begitu menyakitkan?”
Ayya kali ini menggeleng. “Ini tidak menyakitkan, Sayangku. Aku sangat dewasa. Logis dan realistis, Sayangku. Aku berpikir sepuluh langkah, jauh di atas perkiraan langkah manusia lainnya, Sayangku.”
“Tapi ini terlalu ganjil. Sudut mana yang mengatakan ini logis dan realistis, Ayy? Ini sudah masuk kategori sakit jiwa. Kamu nggak mikir apa, kalo ini juga harus kita rundingkan dengan keluarga, bukan cuma urusanku dan urusanmu. Ingat Ayya, semua ini juga menyangkut dua keluarga. Nama baik dua keluarga, bahkan keluarga besar kita dipertaruhkan.”
Ayya tersenyum. “Aku sudah menyampaikan pada keluargaku dan mereka menerima usulanku, Sayangku.”
“Lalu apa kamu pikir keluargaku bisa menerima? Kamu nggak memprediksi kemungkinan salah paham dari keluargaku dan keluargamu tentang rencana tambahan yang konyol ini?”
“Sayangku, kita yang akan menjalani pernikahan. Mereka akan mengerti setelah kita beri penjelasan. Seminggu bukan waktu yang sebentar untuk dengan jelas memberi pengertian pada mereka. Apa lagi yang masih mengganjal di hatimu, Sayangku?”
Ingin kubanting saja asbak di depanku dan melempar vas bunga ke dinding. Aku ingin pulang, tertidur, bangun, dan meyakinkan diriku bahwa ini adalah mimpi dan semua akan baik-baik saja setelah aku terbangun. Setelah kulanggar pantangan untuk tak bertemu calon istri selama empat puluh hari menjelang pernikahan. Hingga satu minggu sebelum pernikahan, aku menyempatkan berbincang dengannya.
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017
 “Aku masih belum mengerti apa alasanmu mengajukan syarat tak masuk akal ini. Membuatku merasa benar-benar idiot di depanmu.”
Ayya tersenyum—dan sungguh, aku muak dengan setiap senyum dan anggukannya malam ini. “Sudah kubilang, Sayangku, aku memerlukan partner untuk membantuku mengurus segala kebutuhanmu. Aku tempramen dan kamu moody. Itu sangat tidak seimbang untuk sebuah hidup yang bahagia. Aku membutuhkan bantuan orang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan, karena aku sadar tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Maka, ijinkan aku mengajukan sebuah nama untuk berdampingan denganku di pelaminan esok.”
“Udah, Ayy. Apa pun kamu, sesibuk apa pun kamu, aku bisa ngerti. Bahkan kalau kamu nggak bisa telepon atau SMS atau hanya pulang satu jam dalam satu bulan pun, aku tetap bisa bersabar. Kita bisa menyewa pembantu yang mengurus kebutuhan rumah. Kamu nggak perlu repot memasak, mencuci, atau menyetrika pakaianku. Kita bisa juga pesan makan di luar dan menggunakan jasa binatu. Tapi nggak ini, Ayy. Kumohon. Kalau kamu realistis dan logis, aku bisa mengerti, tapi kumohon, Ayy, ini sangat konyol dan kekanakkan.”
Ayya tersenyum kembali dan menggeleng. “Kembali kusampaikan bahwa aku prediksi langkah yang lebih jauh dibanding orang pada umumnya. Aku dan kamu memiliki kesibukan. Aku dan kamu pun kerap terjebak pada sengketa yang sulit dieja. Kita butuh penengah. Dan aku akan dengan senang hati membagi cintaku. Aku tak peduli pada dasar sebuah keyakinan atau apapun.”
Segera kesela ucapannya, “Sudahlah, Ayy, apa yang membuatmu berpikir tak rasional? Aku semakin tak mengerti.”
“Pernikahan menjebakku pada tanggung jawab sebagai ibu dan istri. Sementara aku masih menikmati sebagai seorang wanita. Biarlah status hitam di atas putih dan di hadapan kawan-kawanmu, bahwa akulah istrimu. Tapi untuk tanggung jawab, akan kupasrahkan pada partnerku. Lagipula—“
“Apa lagi?”
“Winda mengatakan bahwa ia tengah mengandung anakmu. Empat bulan.”
Leherku tercekik. Winda? Winda? Winda?
“Aku tahu. Sudahlah. Aku cukup bisa menerima. Jangan pikir aku tak rasional. Karena aku sangat rasional dan sangat peka, Indra.”
 Ayya masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang tengah mengurutkan kejadian konyol pasca-Bachelor Party Bayu hampir lima bulan yang lalu.

24 Mei 2012
3:27:53 a.m.
Kehilangan otak dan ingin insaf sejenak.

1 comment:

  1. Casinos in Malta - Filmfile Europe
    Find the best Casinos nba매니아 in https://deccasino.com/review/merit-casino/ Malta including https://septcasino.com/review/merit-casino/ bonuses, games, games and the history of games. We cover all deccasino the main reasons septcasino to visit Casinos in

    ReplyDelete

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...