“Tolong bantuannya, Bu, untuk besok. Untuk kakak saya,” kembali Pinah
mengingatkan, saat mampir di rumah Yu Siyem. Ini rumah kesembilan yang ia
datangi untuk ia minta konfirmasi kesanggupan mereka untuk membantu memasak
tahlilan empat puluh hari meninggalnya Solehudin bin Sabarudin, kakak
lelakinya.
De Jumi hanya berdiri dan mengingatkan pada Pinah, apa saja yang
diperlukan untuk pengajian dan tahlilan nanti malam. Serta mengingatkan untuk
menghidangkan sambal terasi, nasi putih, ikan asin, kopi hitam, dan klobot di kamar Soleh. Wanita tua dengan
titik putih di mata itu masih sempat solat dan mendoakan mendiang anaknya, agar
anaknya baik-baik saja bersanding dengan Sang Kuasa. Walaupun dalam hati ia
tetap berharap bila yang disiarkan oleh stasiun televisi bukanlah Solehudin bin
Sabarudin, anaknya. Setelahnya, ia meminum obat dan memaksakan diri untuk
terpejam.
Sejak matahari mulai memancarkan kilau keemasannya, wanita-wanita sudah
berdatangan ke rumah De Jumi. Mereka segera terjun ke dapur dan segera mengerti
apa yang harus dikerjakan. Memotong, mencincang, mengulek, mengalu, menggoreng,
hingga membalik nasi agar tanak sempurna. Suara denting alat-alat masak
mewarnai dapur sempit tanpa alas. Asap dan uap menghalangi pandangan dapur yang
hanya terbuat dari anyaman bilah-bilah bambu. Ketangkasan mereka bagai jin-jin
yang dipekerjakan Bandung Bondowoso untuk membangun Candi Prambanan. Walaupun
badan mereka tak lagi segar, tapi jangan sangsi dengan otot liat yang telah
terbentuk sejak mereka belia. Dengan kebaya dan jarik yang melilit kulit layu mereka, segala urusan bisa teratasi
tanpa banyak diskusi.
Hanya butuh delapan jam untuk menyelesaikan nasi, mie goreng, gulai
kambing, tumis buncis, kering tempe, dan sambal bajak. Ditambah pisang, telur
asin, dan krupuk yang dibungkus plastik bening. Tiga ratus besek sudah
tertumpuk di dapur rumah De Jumi. Seratus lima puluh untuk pengajian ibu-ibu
dan seratus lima puluh untuk tahlilan bapak-bapak. Pinah, anak kedua De Jumi
yang mengurus segala tetek-bengek untuk mengadakan acara ini di rumahnya.
Menyiapkan karpet, wedang, rokok, dan jajanan. Ia hanya menyediakan pisang
rebus, kacang rebus, dan ketela rebus. Hanya itu yang ia miliki. Itupun hasil
ladang di depan rumah. Dana yang ia miliki tak cukup untuk membeli makanan
ringan. Pinah hanya berharap pengertian dari tetangga dan kerabat yang hadir.
Selepas magrib, ibu-ibu datang dan mengadakan pengajian. De Jumi masih
belum berkenan ke luar kamar. Jadilah Pinah yang masih SMA kelas 11 harus
mengambil alih keadaan dan menyampaikan permintaan maaf serta ucapan terima
kasih kepada ibu-ibu yang telah hadir. Selepas Isya, giliran bapak-bapak
mengadakan tahlilan hingga hampir pukul sepuluh malam. Hari yang cukup panjang
dan melelahkan untuk rumah mungil De Jumi yang hanya berisi dua wanita.
“Salam buat, De Jumi ya?” Beberapa tetangga menyalami dan memeluk Pinah.
Sebagian lagi memberikan amplop belasungkawa bagi keluarga Pinah. Pinah
menerima dengan malu-malu dan penuh terima kasih. Beberapa yang lain masih
memberikan sebungkus beras untuk mengganti amplop.
Selesai pengajian dan tahlilan, segera dikemasinya karpet dan tikar, dan
piring-gelas. Sangat lelah, ia istirahatkan tubuhnya di samping Emak yang telah
tertidur. Menjelang mengundang mimpi, teringat olehnya enam tahun yang lalu.
Kakaknya—Sholeh—yang baru berusia empat belas tahun, mengurus segala keperluan
empat puluh hari ayahnya yang meninggal terseret arus sungai dan tertimbunan
longsoran pasir. De Jumi tak sadarkan diri dan tak percaya bahwa tulang
punggung keluarga harus berakhir saat mengeruk pasir di Kali Putih, Magelang.
Belum lagi tamparan dari masyarakat saat polisi menyebut bawa suaminya
merupakan penambang ilegal karena tak memiliki surat ijin menambang dan itu
sama seperti penjahat; semakin menambah perih hati wanita yang ijazah SD pun
tak ia miliki. De Jumi tak bisa menerima kenyataan menyakitkan yang
bertubi-tubi menghampiri. De Jumi hanya mengisi waktu sebagai janda dengan
menjadi tukang cuci serabutan.
Sudah tiga hari De Jumi berada di dalam kamar sempit berdebu dan
bersarang laba-laba. Di atas dipan dengan kasur setebal satu ruas jari.
Tertegun. De Jumi tertegun bukan karena tak bisa menerima kenyataan. Tapi ia
merasa hampa saat harus mengadakan pengajian dan tahlilan bagi anak sulung yang
hingga kini tak pernah ia tahu di mana raganya.
“Abang masih sehat. Kamu di sana baik-baiklah dengan Emak, Pinah. Jangan
membantah apapun kata Emak. Nanti kalo Abang sudah ada rejeki, pasti Abang
pulang.”
“Pinah pengin punya Laptop,” rengek Pinah di ujung telepon seluler.
Abangnya hanya tertawa. Emak mencubit-cubit Pinah, minta agar bergantian bisa
berkomunikasi dengan anak lelakinya.
“Tak usah dengarkan rengekan Pinah. Kemarin saja dia minta henpon baru,
sudah Emak turuti. Segeralah pulang. Emak rindu. Sudah lima lebaran tak kau
lewatkan dengan Emak dan Pinah, Nak.”
“Iya, Mak. Soleh usahakan akhir tahun ini pulang.”
Memang sudah suratan takdir. Soleh memang harus pulang akhir tahun ini. Ia pulang
sesuai janjinya. Tapi hanya nama. Tanpa raga, apalagi nyawa. Akhir tahun
kemarin, berita tentang huru-hara dan kerusuhan di sebuah perusahaan perkebunan
di Lampung.
Selama ini De Jumi hanya dengar kabar dan suaranya melalui telepon
seluler bahwa anaknya tengah merantau di Lampung—yang juga hanya ia tahu
namanya tanpa pernah bertanya lebih lanjut berada di mana dan dengan siapa
anaknya merantau. De Jumi pun tak memiliki kenangan sekadar foto untuk ia tatap
saat merindukan anak sulungnya. Semua identitas dan berkas-berkas sudah dibawa
Sholeh saat memutuskan bekerja. Sebenarnya Sholeh ingin bekerja di Malaysia
atau Arab, yang konon menghasilkan banyak uang. Tetapi De Jumi melarang karena
lokasi yang jauh dan pertimbangan ijazah yang dimiliki Sholeh hanyalah ijazah
SMP. Tentu Sholeh tak perlu bermuluk-muluk. Belum lagi biaya membuat paspor,
visa, dan biaya kursus serta biaya lain-lain yang sangat besar. Menjual
satu-satunya ladang peninggalan sang ayah pun rasanya masih kurang. Akhirnya
lima tahun yang lalu, Sholeh dan seorang rekannya saat sekolah dasar,
memutuskan untuk mengadu mendatangi Lampung yang konon membuka perkebunan
kelapa sawit. Niatnya hanya ingin membantu Emak dan menyekolahkan Pinah.
Setiap bulannya De Jumi memperoleh kiriman uang melalui wesel pos
sebesar lima ratus ribu rupiah. Soleh selalu berpesan agar uang yang dikirimkan
cukup untuk makan De Jumi dan membayar sekolah Pinah. Nominal sebesar itu sudah
lebih dari cukup bila hanya untuk makan dan membayar sekolah. Setiap kali
menghubungi melalui telepon seluler, tak pernah bosan Sholeh mengatakan agar
Pinah sekolah yang rajin dan menjadi siswa terpelajar, agar bisa masuk kuliah
dan memperbaiki kehidupan keluarga mereka. Sholeh selalu mengatakan bahwa ia
pun sudah menabung agar Pinah bisa melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Ia
ingin agar Pinah bisa melanjutkan cita-citanya untuk menyandang gelar sarjana
dan mengenakan toga, serta bisa merasakan apa yang disebut dengan wisuda.
Sebelum impian itu terlaksana, sebuah berita mampir di telinga De Jumi.
Beberapa tetangga berduyun-duyun menjemputnya menuju rumah De Marni yang
memiliki televisi. Dipelototinya setiap tayangan berita tentang kerusuhan di
sebuah perkebunan kelapa sawit di Lampung. Nama anak lelaki dan desanya
terbawa. Rasanya berita itu tak sekadar isapan jempol. Karena hampir setiap
kali ia duduk di rumah De Marni untuk menyaksikan berita di televisi, sudah
pasti berita tentang kerusuhan antara karyawan perkebunan dan warga di sekitar
wilayah perkebunan di mana nama Solehudin bin Sabarudin dari Desa Winong
disebut sebagai salah satu dari dua korban jiwa. De Jumi hanya duduk tak berdaya.
Tak ada satupun kalimat yang mampu ia sampaikan untuk mengungkapkan apa yang
menggerogoti ulu hatinya. Segera ia meminta Pinah mengadakan tahlilan dan
pengajian untuk almarhum Sholeh. Ia pun memohon pada Haji Burhan untuk diadakan
solat gaib bagi anaknya yang tak bisa pulang karena seperti diketahui,
Solehudin bin Sabarudin tak hanya menjadi korban jiwa karena kerusuhan, tetapi
tubuhnya dimutilasi secara sadis.
Belum usai kesedihannya, huru-hara di televisi seputar tragedi di
Lampung membawa otak lugunya untuk berpikir keras, memperjuangkan apa yang
seharusnya menjadi haknya. Karena bukankah sudah dikatakan sebelumnya, bahwa
Sholeh sudah menyiapkan tabungan untuk biaya kuliah Pinah. Tetapi, adakah yang
mau mendengar dan membantunya menuntut hak sebagai ibu atas anak yang meninggal
terbunuh secara sadis? Bahkan pascatragedi yang menimpanya anaknya, tak satupun
orang-orang yang saat pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah kemarin ia
conteng, berkenan mampir ke gubuk kecilnya.
Di kota yang jauh dari rumah Solehudin bin Sabarudin. Yang tentu oleh De
Jumi dan Pinah, tak sempat didatangi karena mereka tak pernah ke manapun
kecuali pusat kota kecilnya. Di sebuah hotel bintang lima, tiga orang dengan
jas dan kemeja rapi, duduk berhadapan dan menandatangani selembar kertas, lalu
bertukar koper.
“Kontrak mati.” Ketiganya tersenyum dan bersepakat. Apapun yang terjadi,
toh mereka tak akan terseret dalam terali besi. Bisnis apapun ini namanya.
Entah menjual tanah, kebun, atau nyawa, yang pasti mereka tetap bisa pergi ke
karaoke, kasino, bar, diskotik, ke tempat prostitusi dan menikmati wanita yang
haus akan berlembar-lembar rupiah. Seperti juga orang-orang bodoh yang mau
mereka kerahkan untuk menjadi tameng dan menghasilkan huru-hara atas hal yang
mereka sendiri tak mengerti di mana akar-pangkalnya. Nyawa yang melayang
sia-sia dan darah yang menetes tak pada tempatnya, rasanya tak ada artinya bagi
kantong dan selangkangan mereka yang tak memiliki hati dan logika.
Universitas Negeri Semarang, 3 Mei 2012
2:42:10 PM
Siang hari dengan matahari tepat di atas ubun-ubun,
tak akan menyurutkan semangat mengunggah gagasan! Semangat! *radaancurdikit
No comments:
Post a Comment