Tuesday 16 September 2014

E M P A T P U L U H H A R I S O L E H U D I N



“Tolong bantuannya, Bu, untuk besok. Untuk kakak saya,” kembali Pinah mengingatkan, saat mampir di rumah Yu Siyem. Ini rumah kesembilan yang ia datangi untuk ia minta konfirmasi kesanggupan mereka untuk membantu memasak tahlilan empat puluh hari meninggalnya Solehudin bin Sabarudin, kakak lelakinya.
De Jumi hanya berdiri dan mengingatkan pada Pinah, apa saja yang diperlukan untuk pengajian dan tahlilan nanti malam. Serta mengingatkan untuk menghidangkan sambal terasi, nasi putih, ikan asin, kopi hitam, dan klobot di kamar Soleh. Wanita tua dengan titik putih di mata itu masih sempat solat dan mendoakan mendiang anaknya, agar anaknya baik-baik saja bersanding dengan Sang Kuasa. Walaupun dalam hati ia tetap berharap bila yang disiarkan oleh stasiun televisi bukanlah Solehudin bin Sabarudin, anaknya. Setelahnya, ia meminum obat dan memaksakan diri untuk terpejam.
Sejak matahari mulai memancarkan kilau keemasannya, wanita-wanita sudah berdatangan ke rumah De Jumi. Mereka segera terjun ke dapur dan segera mengerti apa yang harus dikerjakan. Memotong, mencincang, mengulek, mengalu, menggoreng, hingga membalik nasi agar tanak sempurna. Suara denting alat-alat masak mewarnai dapur sempit tanpa alas. Asap dan uap menghalangi pandangan dapur yang hanya terbuat dari anyaman bilah-bilah bambu. Ketangkasan mereka bagai jin-jin yang dipekerjakan Bandung Bondowoso untuk membangun Candi Prambanan. Walaupun badan mereka tak lagi segar, tapi jangan sangsi dengan otot liat yang telah terbentuk sejak mereka belia. Dengan kebaya dan jarik yang melilit kulit layu mereka, segala urusan bisa teratasi tanpa banyak diskusi.
Hanya butuh delapan jam untuk menyelesaikan nasi, mie goreng, gulai kambing, tumis buncis, kering tempe, dan sambal bajak. Ditambah pisang, telur asin, dan krupuk yang dibungkus plastik bening. Tiga ratus besek sudah tertumpuk di dapur rumah De Jumi. Seratus lima puluh untuk pengajian ibu-ibu dan seratus lima puluh untuk tahlilan bapak-bapak. Pinah, anak kedua De Jumi yang mengurus segala tetek-bengek untuk mengadakan acara ini di rumahnya. Menyiapkan karpet, wedang, rokok, dan jajanan. Ia hanya menyediakan pisang rebus, kacang rebus, dan ketela rebus. Hanya itu yang ia miliki. Itupun hasil ladang di depan rumah. Dana yang ia miliki tak cukup untuk membeli makanan ringan. Pinah hanya berharap pengertian dari tetangga dan kerabat yang hadir.
Selepas magrib, ibu-ibu datang dan mengadakan pengajian. De Jumi masih belum berkenan ke luar kamar. Jadilah Pinah yang masih SMA kelas 11 harus mengambil alih keadaan dan menyampaikan permintaan maaf serta ucapan terima kasih kepada ibu-ibu yang telah hadir. Selepas Isya, giliran bapak-bapak mengadakan tahlilan hingga hampir pukul sepuluh malam. Hari yang cukup panjang dan melelahkan untuk rumah mungil De Jumi yang hanya berisi dua wanita.
“Salam buat, De Jumi ya?” Beberapa tetangga menyalami dan memeluk Pinah. Sebagian lagi memberikan amplop belasungkawa bagi keluarga Pinah. Pinah menerima dengan malu-malu dan penuh terima kasih. Beberapa yang lain masih memberikan sebungkus beras untuk mengganti amplop.
Selesai pengajian dan tahlilan, segera dikemasinya karpet dan tikar, dan piring-gelas. Sangat lelah, ia istirahatkan tubuhnya di samping Emak yang telah tertidur. Menjelang mengundang mimpi, teringat olehnya enam tahun yang lalu. Kakaknya—Sholeh—yang baru berusia empat belas tahun, mengurus segala keperluan empat puluh hari ayahnya yang meninggal terseret arus sungai dan tertimbunan longsoran pasir. De Jumi tak sadarkan diri dan tak percaya bahwa tulang punggung keluarga harus berakhir saat mengeruk pasir di Kali Putih, Magelang. Belum lagi tamparan dari masyarakat saat polisi menyebut bawa suaminya merupakan penambang ilegal karena tak memiliki surat ijin menambang dan itu sama seperti penjahat; semakin menambah perih hati wanita yang ijazah SD pun tak ia miliki. De Jumi tak bisa menerima kenyataan menyakitkan yang bertubi-tubi menghampiri. De Jumi hanya mengisi waktu sebagai janda dengan menjadi tukang cuci serabutan.
Sudah tiga hari De Jumi berada di dalam kamar sempit berdebu dan bersarang laba-laba. Di atas dipan dengan kasur setebal satu ruas jari. Tertegun. De Jumi tertegun bukan karena tak bisa menerima kenyataan. Tapi ia merasa hampa saat harus mengadakan pengajian dan tahlilan bagi anak sulung yang hingga kini tak pernah ia tahu di mana raganya.
Mural Arief Hadinata di kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

“Abang masih sehat. Kamu di sana baik-baiklah dengan Emak, Pinah. Jangan membantah apapun kata Emak. Nanti kalo Abang sudah ada rejeki, pasti Abang pulang.”
“Pinah pengin punya Laptop,” rengek Pinah di ujung telepon seluler. Abangnya hanya tertawa. Emak mencubit-cubit Pinah, minta agar bergantian bisa berkomunikasi dengan anak lelakinya.
“Tak usah dengarkan rengekan Pinah. Kemarin saja dia minta henpon baru, sudah Emak turuti. Segeralah pulang. Emak rindu. Sudah lima lebaran tak kau lewatkan dengan Emak dan Pinah, Nak.”
“Iya, Mak. Soleh usahakan akhir tahun ini pulang.”
Memang sudah suratan takdir. Soleh memang  harus pulang akhir tahun ini. Ia pulang sesuai janjinya. Tapi hanya nama. Tanpa raga, apalagi nyawa. Akhir tahun kemarin, berita tentang huru-hara dan kerusuhan di sebuah perusahaan perkebunan di Lampung.

Selama ini De Jumi hanya dengar kabar dan suaranya melalui telepon seluler bahwa anaknya tengah merantau di Lampung—yang juga hanya ia tahu namanya tanpa pernah bertanya lebih lanjut berada di mana dan dengan siapa anaknya merantau. De Jumi pun tak memiliki kenangan sekadar foto untuk ia tatap saat merindukan anak sulungnya. Semua identitas dan berkas-berkas sudah dibawa Sholeh saat memutuskan bekerja. Sebenarnya Sholeh ingin bekerja di Malaysia atau Arab, yang konon menghasilkan banyak uang. Tetapi De Jumi melarang karena lokasi yang jauh dan pertimbangan ijazah yang dimiliki Sholeh hanyalah ijazah SMP. Tentu Sholeh tak perlu bermuluk-muluk. Belum lagi biaya membuat paspor, visa, dan biaya kursus serta biaya lain-lain yang sangat besar. Menjual satu-satunya ladang peninggalan sang ayah pun rasanya masih kurang. Akhirnya lima tahun yang lalu, Sholeh dan seorang rekannya saat sekolah dasar, memutuskan untuk mengadu mendatangi Lampung yang konon membuka perkebunan kelapa sawit. Niatnya hanya ingin membantu Emak dan menyekolahkan Pinah.
Setiap bulannya De Jumi memperoleh kiriman uang melalui wesel pos sebesar lima ratus ribu rupiah. Soleh selalu berpesan agar uang yang dikirimkan cukup untuk makan De Jumi dan membayar sekolah Pinah. Nominal sebesar itu sudah lebih dari cukup bila hanya untuk makan dan membayar sekolah. Setiap kali menghubungi melalui telepon seluler, tak pernah bosan Sholeh mengatakan agar Pinah sekolah yang rajin dan menjadi siswa terpelajar, agar bisa masuk kuliah dan memperbaiki kehidupan keluarga mereka. Sholeh selalu mengatakan bahwa ia pun sudah menabung agar Pinah bisa melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Ia ingin agar Pinah bisa melanjutkan cita-citanya untuk menyandang gelar sarjana dan mengenakan toga, serta bisa merasakan apa yang disebut dengan wisuda.
Sebelum impian itu terlaksana, sebuah berita mampir di telinga De Jumi. Beberapa tetangga berduyun-duyun menjemputnya menuju rumah De Marni yang memiliki televisi. Dipelototinya setiap tayangan berita tentang kerusuhan di sebuah perkebunan kelapa sawit di Lampung. Nama anak lelaki dan desanya terbawa. Rasanya berita itu tak sekadar isapan jempol. Karena hampir setiap kali ia duduk di rumah De Marni untuk menyaksikan berita di televisi, sudah pasti berita tentang kerusuhan antara karyawan perkebunan dan warga di sekitar wilayah perkebunan di mana nama Solehudin bin Sabarudin dari Desa Winong disebut sebagai salah satu dari dua korban jiwa. De Jumi hanya duduk tak berdaya. Tak ada satupun kalimat yang mampu ia sampaikan untuk mengungkapkan apa yang menggerogoti ulu hatinya. Segera ia meminta Pinah mengadakan tahlilan dan pengajian untuk almarhum Sholeh. Ia pun memohon pada Haji Burhan untuk diadakan solat gaib bagi anaknya yang tak bisa pulang karena seperti diketahui, Solehudin bin Sabarudin tak hanya menjadi korban jiwa karena kerusuhan, tetapi tubuhnya dimutilasi secara sadis.
Belum usai kesedihannya, huru-hara di televisi seputar tragedi di Lampung membawa otak lugunya untuk berpikir keras, memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Karena bukankah sudah dikatakan sebelumnya, bahwa Sholeh sudah menyiapkan tabungan untuk biaya kuliah Pinah. Tetapi, adakah yang mau mendengar dan membantunya menuntut hak sebagai ibu atas anak yang meninggal terbunuh secara sadis? Bahkan pascatragedi yang menimpanya anaknya, tak satupun orang-orang yang saat pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah kemarin ia conteng, berkenan mampir ke gubuk kecilnya.

Di kota yang jauh dari rumah Solehudin bin Sabarudin. Yang tentu oleh De Jumi dan Pinah, tak sempat didatangi karena mereka tak pernah ke manapun kecuali pusat kota kecilnya. Di sebuah hotel bintang lima, tiga orang dengan jas dan kemeja rapi, duduk berhadapan dan menandatangani selembar kertas, lalu bertukar koper.
“Kontrak mati.” Ketiganya tersenyum dan bersepakat. Apapun yang terjadi, toh mereka tak akan terseret dalam terali besi. Bisnis apapun ini namanya. Entah menjual tanah, kebun, atau nyawa, yang pasti mereka tetap bisa pergi ke karaoke, kasino, bar, diskotik, ke tempat prostitusi dan menikmati wanita yang haus akan berlembar-lembar rupiah. Seperti juga orang-orang bodoh yang mau mereka kerahkan untuk menjadi tameng dan menghasilkan huru-hara atas hal yang mereka sendiri tak mengerti di mana akar-pangkalnya. Nyawa yang melayang sia-sia dan darah yang menetes tak pada tempatnya, rasanya tak ada artinya bagi kantong dan selangkangan mereka yang tak memiliki hati dan logika.

Universitas Negeri Semarang, 3 Mei 2012
2:42:10 PM
Siang hari dengan matahari tepat di atas ubun-ubun, tak akan menyurutkan semangat mengunggah gagasan! Semangat! *radaancurdikit

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...