Saturday 7 February 2015

Sedang Bercerita part III

Manual painting karya Arief Hadinata


Pertengkaran Mama dan Papa mulai mereda menjelang saya masuk SMA. Mereka sudah dimediasi oleh rekan-rekan kerja Papa yang peduli dengan keluarga kami. Saya senang akhirnya bisa menyambut masa putih abu-abu dengan bahagia karena memiliki keluarga yang harmonis. Impian saya ketika anak-anak setiap melihat kakak-kakak dengan seragam putih abu-abu, menjadi nyata. Saya kembali mendaftar di SMA favorit di Kabupaten Pemalang dan saya diterima. Mama dan Papa tak terlalu menunjukkan kebanggan mereka karena menurut mereka biasa saja saya bisa masuk di sekolah favorit. Mereka menginginkan saya menggali prestasi di sekolah favorit, itu baru yang mereka banggakan. Mbah Ibu tetap konsisten membanggakan saya yang kembali bisa melanjutkan pendidikan di sekolah favorit.
Memasuki SMA, Mama meminta saya melepas kerudung. Mama menyadari bahwa anaknya perempuannya  menjadi ‘berbeda’ dari kawan-kawan seusianya. Kala itu berkerudung bukan hal yang lazim yang digunakan remaja. Hanya remaja dari keluarga tertentu yang meminta anaknya berkerudung. Di samping itu, keterbatasan mengakses hal-hal reguler membuat saya terbatasi. Sebagian saya setuju seperti jarang ada anak berkerudung yang mengikuti ekstrakurikuler basket, futsal, atau ekstrakurikuler fisik lainnya. Kebanyakan anak berkerudung berkecimpung di bidang keagamaan dan bidang sosial lainnya. Kalau ekstrakurikuler pramuka, PKS, atau PMR, itu merupakan ekstrakurikuler yang sangat terbuka pada siapa saja. Saya akhirnya menyetujui permintaan Mama melepas kerudung saat masuk SMA, supaya saya tidak berbeda dengan rekan-rekan saya. Konsekuensi dari tindakan ini sudah tentu saya menjadi bahan gunjingan banyak orang. Banyak yang menyayangkan keputusan saya. Ada yang mengatakan saya lebih cantik dengan berkerudung dan ada yang mengatakan saya lebih sopan dengan berkerudung. Saya diam saja. Saya menuruti permintaan orang tua. Toh Mama sudah memesankan seragam berlengan pendek untuk saya kenakan di sekolah.
Ketika saya akhirnya melepas kerudung, Papa menanyakan pada Mama alasan saya. Mama mengatakan bahwa ingin agar anaknya bisa lebih mengeksplorasi dirinya. Papa tidak bisa menerima. Papa merupakan tipikal orang tua yang sangat konservatif. Papa selalu membedakan anak lelaki dan anak perempuannya. Sejak kecil Papa memanjakan anak lelakinya. Bila anak lelakinya memiliki tugas membuat prakarya, Papa selalu membantu mencarikan bahan dan membantu membuatkan. Sementara pada anak perempuannya, khususnya pada saya, Papa tidak. Papa membiarkan saya berusaha sendiri. Papa selalu menganggap bahwa anak perempuan harus diam di rumah, belajar, dan membantu orang tua. Sementara anak lelaki diperkenankan bermain dan melakukan apa yang disukai. Papa memperlakukan saya dengan adik-adik saya dengan sangat berbeda. Saya selalu ingin menjadi anak yang bisa Papa samakan dengan adik-adik saya. Saya selalu berusaha menjadi anak lelakinya. Saya belajar banyak hal yang berbau laki-laki. Saya mengubah penampilan saya menjadi laki-laki dengan rambut pendek, celana jins, dan kaos. Saya membenci semau pernak-pernik wanita. Rok, warna pink, penampilan anggun a la perempuan, dan segala kemanisan anak perempuan. Bahkan saya nekat memotong pendek rambut saya dan memberikan wax pada rambut saya supaya dapat berdiri. Persis seperti penampilan anak lelaki. Namun Papa marah dan membenci penampilan saya. Papa mengatakan bahwa saya sebagai anak perempuan seharusnya berpenampilan selayaknya anak perempuan.
Suatu hari setelah perayaan Idul Fitri 2005, saya iseng membuka komputer di rumah. Saya suka membuka folder-folder di komputer dan ingin tahu apa yang ada di dalam komputer. Saya mendapati foto yang disembunyikan di dalam folder yang disembunyikan Papa dengan menumpuk new folder. Foto seorang wanita di pantai. Saya menggandakan folder foto tersebut pada folder saya. Saya simpan informasi ini. Sampai suatu ketika, saat saya sedang bermain di warung internet dekat alun-alun, Mama mencari saya dan menangis. Mama mengetahui bahwa Papa membohonginya ketika ijin untuk mengucapkan bela sungkawa di rumah salah satu tetangga, tetapi ketika mengobrol dengan warga, justru warga bertanya kenapa Papa tidak menampakkan diri saat salah satu warga tiada. Saya dibawa ke rumah untuk mendengarkan cerita Mama dan saya menceritakan apa yang saya temukan. Mama terkejut. Mama menangis.
Keesokan harinya, Mama tidak di rumah ketika saya pulang sekolah. Papa pulang saat petang. Papa mengunci semua pintu dan melarang siapapun keluar rumah. Tapi saya ada tugas yang mengharuskan saya mengunjungi warung internet. Saya meminta bantuan Insanul untuk membukakan jendela rumah sehingga saya dapat menyelinap. Insanul membukakan jendela rumah sambil menangis. Sepertinya ia paham akan kisruh keluarganya. Saya merasa terharu. Saya berharap saya bisa menghadang Mama pulang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya segera pulang dari warung internet ketika jam menunjukkan pukul 9.00 malam. Saya berjalan menuju rumah. Beberapa langkah sebelum sampai rumah, saya melihat dua orang tetangga saya berada di depan rumah. Saya menangis karena sepertinya sesuatu yang buruk telah terjadi. Mereka berdua membawa saya ke rumah tetangga. Di sana saya diminta untuk duduk dan minum air putih lalu saya diboncengkan oleh Mas T, anak lelakinya yang merupakan kakak kelas saya SMA. Saya di bawa ke rumah sakit dan dibimbing menuju IGD. Di sana saya melihat beberapa tetangga yang membawa saya menemui Mama yang tengah tergeletak dengan daster penuh darah dan hidung yang membiru. Saya menangis. Mama harus dirawat inap di rumah sakit. Tetangga meminta saya kembali ke rumah untuk mengemasi pakaian dan kebutuhan Mama. Tetangga saya yang bekerja sebagai polisi, Pak T, mengantar saya pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang kebutuhan Mama. Pak T mengobrol dengan Papa ketika saya mengemasi pakaian untuk Mama. Papa sempat masuk dan menanyakan apa yang dibutuhkan. Saya melihat tatapan kosong Papa saat saya tengah mengemasi pakaian untuk Mama. Suasana rumah gelap. Semua lampu telah dimatikan. Saya membuka pintu kamar adik-adik saya. Mereka sudah terlelap. Saya diminta Pak T untuk mengemasi pakaian dan buku saya juga karena saya diminta menemani Mama di rumah sakit. Saya menurut.
Ketika Mama dirawat di rumah sakit, Mbah Ibu datang ke rumah. Beliau tidak tahu bahwa Mama sedang di rumah sakit karena dipukul Papa. Mbah Ibu justru menggantikan Mama mengurus adik-adik. Sampai akhirnya Papa mengantarkan Mbah Ibu menjenguk Mama di rumah sakit. Setelah Mama pulang dari rumah sakit, Mbah Ibu menceritakan maksud kedatangannya ke rumah kami. Beliau ingin melakukan check up karena mendapati benjolan sebesar telur ayam kampung di bawah leher. Mbah Ibu ingin meminjam uang pada Mama untuk berangkat ke Jakarta.
Mbah Ibu kembali menderita kanker. Kali ini kanker kelenjar getah bening dan sudah stadium lanjut. Saat dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut, dokter justru menyatakan bahwa keluarga hanya diminta untuk bersiap dengan usia Mbah Ibu yang hanya tinggal enam bulan. Mama hanya ingin memaksimalkan sisa waktu yang dimiliki Mbah Ibu untuk memberikan perhatian pada Mbah Ibu. Nampaknya Papa belum berkenan pada Mama yang lebih berat pada Mbah Ibu. Sempat terjadi keributan antara Mama dan Papa mengenai hal ini namun Mama tetap keukeuh untuk merawat Mbah Ibu. Mbah Ibu meminta diberi kesempatan untuk berkumpul dengan cucu-cucunya. Empat orang cucu dari Mama dan seorang cucu dari Om A.
Kami melihat bagaimana perubahan pada fisik Mbah Ibu secara drastis ketika terakhir kali kami melihat Mbah Ibu. Mbah Ibu yang cantik dan cekatan kini berubah menjadi Mbah Ibu yang kurus, berkepala botak dengan rambut yang tumbuh jarang, kulit layu, dan penampilan pucat. Untuk sekadar tidur di kasur busa pun, Mbah Ibu kesulitan. Setiap pulang sekolah, kami bergegas menuju rumah untuk menemui Mbah Ibu dan menceritakan apa yang kami alami pada Mbah Ibu. Mbah Ibu selalu antusias mendengarkan cerita dari cucu-cucunya. Hingga suatu ketika terjadi keributan antara Mama dan Mbah Ibu. Mama menanyakan pada Mbah Ibu mengenai hutang yang Mbah Ibu sebelum berangkat ke Jakarta. Hal tersebut dirasakan sangat menyakitkan bagi Mbah Ibu. Secara emosional Mbah Ibu menangis dan meminta Om A untuk menjemput Mbah Ibu. Mbah Ibu menyerahkan pada Mama tabungan perhiasan yang dimiliki Mbah Ibu pada Mama untuk membayar hutang Mbah Ibu. Mbah Ibu memutuskan pulang ke Randudongkal dan menikmati sisa hidup di rumah masa kecilnya. Kami menangis dan tidak bisa berbuat apa-apa karena sedih ditinggalkan Mbah Ibu, nenek yang sangat kami sayangi.
Pertengahan 2006, Mbah Ibu meninggal dunia. Beliau sempat dibawa ke Jakarta untuk berada di bawah perawatan suaminya. Tetapi Mbah Ibu menginginkan agar dimakamkan di kampung halamannya. Mama dan Papa menjemput jenazah Mbah Ibu dengan menyewa sebuah ambulans yang berangkat dari Pemalang. Kami berempat diinformasikan untuk menunggu di depan Stadion Kridanggo untuk bersama-sama berangkat dengan ambulans menuju Randudongkal. Mama tak henti-hentinya memeluk peti Mbah Ibu dan menangis. Saya dan ketiga adik saya hanya bingung dengan keadaan ini. Kami tidak menangis. Hingga peti Mbah Ibu dibawa ke ruang tengah rumah masa kecil kami dan Om A memeluk kami. Kami menangis histeris. Mbah Ibu dimakamkan. Saya hanya berharap bahwa ini merupakan akhir dari rasa sakit yang selama ini ditanggung oleh Mbah Ibu.
Kami melanjutkan hidup. Papa mengatakan ketidaksetujuannya atas pilihan saya masuk ke program studi bahasa di kelas XI. Papa menginginkan anaknya masuk program IPA. Saya memiliki ketertarikan di bidang bahasa dan saya menyadari kemampuan berhitung saya yang sangat buruk. Karena perbedaan ini, Papa akhirnya mendiamkan saya dalam jangka waktu yang sangat lama. Bahkan yang paling menyakitkan adalah Papa tidak bersedia memberikan uang saku dan uang sekolah. Saya seperti tersesat. Lalu seorang kakak kelas bernama Mas A mendekati saya dan meminta saya menjadi kekasihnya. Saya menerima. Ia pun membantu saya untuk memberikan uang saku dengan membagi uang kiriman bulanannya pada saya. Saya merasa terbantu. Tapi ada satu hal yang membuat semacam lubang di hati saya. Saya tidak mengerti kenapa Mama tidak membantu saya untuk menyelesaikan konflik saya dan Papa, tetapi justru tidak peduli dengan apa yang saya alami. Mama sibuk dengan memanjakan dirinya dengan materi. Mama menuntut Papa untuk mengabulkan semua permintaannya. Satu set karaoke di kamar, AC, dan terakhir mobil. Rasanya menghunus dada ketika mengetahui Mama dan Papa mampu membeli barang-barang mewah itu sementara saya diancam oleh pengawas bahwa saya tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester SMA karena menunggak membayar SPP. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sudah pernah mengutarakan hal tersebut pada wali kelas ketika kelas XI mengenai masalah yang saya hadapi dan beliau tidak bisa membantu lebih jauh karena mendengar jawaban Papa yang kurang simpatik.
Saya lalui masa SMA dengan penuh gejolak. Ketika Mama dan Papa tidak memberikan uang saku, tidak memiliki uang untuk naik angkot, saya meminta bantuan teman untuk menumpang berangkat ke sekolah tetapi kerap kali ia terburu-buru dan tidak menjemput saya sehingga saya akhirnya terlambat ke sekolah karena harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer. Sudah habis airmata untuk menangis. Yang ada hanya ketidak mengertian atas apa yang tengah saya jalani.
Papa mendaftar S2 di Semarang dan sering kali Papa pergi ke Semarang untuk ujian atau mengurus kuliahnya. Mama diajak serta. Setelah itu mereka pulang dengan belanjaan seabrek. Mama membeli beranekawarna pakaian, sepatu, dan hal-hal yang beliau inginkan. Saya menatap itu dengan hampa.
Ketika kelas XII, hubungan saya dan Mama-Papa sudah cukup membaik. Mereka memberikan perhatian karena Pak T, salah satu guru saya yang juga menjadi tetangga dan rekan kerja Papa di MGMP memberikan masukan pada Papa mengenai cara mendidik Papa pada anak-anaknya yang kurang tepat. Pak T mengingatkan Papa untuk tidak menggampangkan gejolak anak kelas XII dan mengingatkan Papa mengenai saya yang sudah memiliki pacar. Bagaimana rentannya pergaulan anak jaman sekarang harus diwaspadai oleh Papa selaku orang tua.
Saya berencana mendaftar di Unnes seperti kawan-kawan namun Papa menentang karena Papa tidak ingin anaknya menjadi guru. Sampai sehari sebelum penutupan pendaftaran, Papa memberitahukan bahwa Papa memperbolehkan mendaftar di Unnes. Saya segera menuju warnet dan memilih dua program studi yang selama ini ada di pikiran, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Sastra Indonesia. Kenapa memilih dua program studi tersebut? Tidak lain karena sejak masih dalam kandungan hingga sekarang, saya memperoleh makan dari hasil Papa mengajarkan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu, saya memikirkan literatur yang dibutuhkan pasti dimiliki oleh Papa apalagi Papa yang saat ini tengah menempuh S2 di program studi Manajemen Pendidikan.
Ketika mendaftar Unnes, Papa tetap mempersiapkan kemungkinan lain. Papa meminta bantuan rekannya ketika kuliah yang juga menjadi dosen di program studi yang saya pilih, Pak M. Saya sempat diperkenalkan Papa dengan Pak M ketika Pak M dalam perjalanan dengan mobilnya dari Semarang menuju Tegal dan kami bertemu di jalan pantura Pemalang. Ketika pengumuman ujian tulis seleksi mandiri, nama saya tercantum untuk masuk ke tahap tes wawancara. Papa membangunkan saya dan membukakan portal pendaftaran Unnes. Papa mengecup kening saya dan mengatakan bahwa Papa bangga saya bisa diterima di Unnes. Papa mengatakan bahwa saya bisa diterima di Unnes bukan hanya karena bantuan eksternal dari Pak M tapi juga saya sendiri. Semua saling mendukung.
Ujian wawancara saya ditemani oleh Papa. Sejak saya melaksanakan ujian tertulis, Papa selalu mendampingi saya. Sekalipun saat itu saya menangis berguling-guling karena Papa tidak mengizinkan saya berangkat bersama teman-teman menggunakan kereta api. Papa ingin mendampingi saya. Papa menemani saya kemanapun, mengajak saya berjalan-jalan. Saya merasa sangat senang Papa berada di samping saya. Baru kali ini saya merasakan sosok Papa benar-benar hadir dalam hidup saya.
Setelah muncul pengumuman penerimaan calon mahasiswa dan meminta calon mahasiswa untuk melaksanakan registrasi administrasi, saya memberi tahu Papa mengenai informasi tersebut. Tapi yang ada justru pertengkaran antara Mama dan Papa. Mama tidak bersedia meminjamkan tabungan yang Mama miliki untuk membayar registrasiku. Papa sudah mengatakan cerai untuk kesekian kalinya dan Mama sudah tidak sanggup menanggung pelecehan harga diri karena semudah itu Papa mengatakan cerai. Papa tidak terima berada di posisi yang dipojokkan. Papa memberontak dan Papa pun marah pada Mama karena Mama tidak memahami kondisi Papa yang tengah pelik memikirkan pendidikan saya esok. Papa sedang tidak memiliki uang dalam jumlah besar untuk membayar biaya administrasi semester awal dan Mama tidak membantu sama sekali justru memberikan beban pikiran pada Papa.
Mama mengajukan gugatan cerai. Sebelum mengajukan gugatan cerai, Mama memperoleh konseling pernikahan dari seorang bernama S yang akhirnya kami memanggilnya dengan sebutan Bude S. Bude S memberikan berbagai pertimbangan pada Mama mengenai efek perceraian dan konsekuensi yang harus Mama hadapi bila bercerai karena Mama tidak bekerja dan latar pendidikan Mama yang terbatas membuat Mama kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mama tetap dengan pendiriannya untuk bercerai. Mama tak ingin kalah dengan Papa. Mama menginginkan ketika perceraian, hak asuh anak berada di tangan Mama berikut hak finansial berupa pendapatan bulanan Papa yang dibagi menjadi dua dan hak kepemilikan aset pun dibagi menjadi dua. Mama diberikan informasi bila istri yang mengajukan gugatan cerai maka hak-haknya akan gugur. Ada beberapa hal yang menyebabkan gugatan seorang istri tidak gugur yaitu tindakan yang tidak bisa ditoleransi seperti kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran pada istri. Mama memiliki kekuatan untuk mengajukan kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2005. Mama membutuhkan bukti visum et repertum atau rekam medis dari rumah sakit. Sayangnya bukti rekam medis hanya bisa diambil oleh pihak berwenang dalam hal ini kepolisian. Sehingga bila Mama mengajukan gugatan cerai menggunakan alasan kekerasan dalam rumah tangga, tidak hanya melibatkan pengadilan agama, tetapi juga melibatkan kepolisian.
Akhirnya, setelah melalui berbagai pertimbangan, Papa menjual mobil yang kami miliki. Papa memberikan uang untuk membayar biaya registrasi dan memberikan sebagian kecil untuk saya simpan sebagai keperluan prakuliah. Papa menemani saya ketika saya melakukan verifikasi di kampus. Selama ini, Mama dan Papa tidak pernah berkomunikasi. Sekali-dua kali mereka berkomunikasi melalui sindiran dan saling menjelekkan di depan anak-anak mereka.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...