Manual painting karya Arief Hadinata |
Pertengkaran Mama dan Papa mulai
mereda menjelang saya masuk SMA. Mereka sudah dimediasi oleh rekan-rekan kerja
Papa yang peduli dengan keluarga kami. Saya senang akhirnya bisa menyambut masa
putih abu-abu dengan bahagia karena memiliki keluarga yang harmonis. Impian
saya ketika anak-anak setiap melihat kakak-kakak dengan seragam putih abu-abu,
menjadi nyata. Saya kembali mendaftar di SMA favorit di Kabupaten Pemalang dan
saya diterima. Mama dan Papa tak terlalu menunjukkan kebanggan mereka karena
menurut mereka biasa saja saya bisa masuk di sekolah favorit. Mereka
menginginkan saya menggali prestasi di sekolah favorit, itu baru yang mereka
banggakan. Mbah Ibu tetap konsisten membanggakan saya yang kembali bisa
melanjutkan pendidikan di sekolah favorit.
Memasuki SMA, Mama meminta saya
melepas kerudung. Mama menyadari bahwa anaknya perempuannya menjadi ‘berbeda’ dari kawan-kawan seusianya.
Kala itu berkerudung bukan hal yang lazim yang digunakan remaja. Hanya remaja
dari keluarga tertentu yang meminta anaknya berkerudung. Di samping itu,
keterbatasan mengakses hal-hal reguler membuat saya terbatasi. Sebagian saya
setuju seperti jarang ada anak berkerudung yang mengikuti ekstrakurikuler
basket, futsal, atau ekstrakurikuler fisik lainnya. Kebanyakan anak berkerudung
berkecimpung di bidang keagamaan dan bidang sosial lainnya. Kalau
ekstrakurikuler pramuka, PKS, atau PMR, itu merupakan ekstrakurikuler yang
sangat terbuka pada siapa saja. Saya akhirnya menyetujui permintaan Mama
melepas kerudung saat masuk SMA, supaya saya tidak berbeda dengan rekan-rekan
saya. Konsekuensi dari tindakan ini sudah tentu saya menjadi bahan gunjingan
banyak orang. Banyak yang menyayangkan keputusan saya. Ada yang mengatakan saya
lebih cantik dengan berkerudung dan ada yang mengatakan saya lebih sopan dengan
berkerudung. Saya diam saja. Saya menuruti permintaan orang tua. Toh Mama sudah
memesankan seragam berlengan pendek untuk saya kenakan di sekolah.
Ketika saya akhirnya melepas kerudung,
Papa menanyakan pada Mama alasan saya. Mama mengatakan bahwa ingin agar anaknya
bisa lebih mengeksplorasi dirinya. Papa tidak bisa menerima. Papa merupakan
tipikal orang tua yang sangat konservatif. Papa selalu membedakan anak lelaki
dan anak perempuannya. Sejak kecil Papa memanjakan anak lelakinya. Bila anak
lelakinya memiliki tugas membuat prakarya, Papa selalu membantu mencarikan
bahan dan membantu membuatkan. Sementara pada anak perempuannya, khususnya pada
saya, Papa tidak. Papa membiarkan saya berusaha sendiri. Papa selalu menganggap
bahwa anak perempuan harus diam di rumah, belajar, dan membantu orang tua.
Sementara anak lelaki diperkenankan bermain dan melakukan apa yang disukai.
Papa memperlakukan saya dengan adik-adik saya dengan sangat berbeda. Saya
selalu ingin menjadi anak yang bisa Papa samakan dengan adik-adik saya. Saya
selalu berusaha menjadi anak lelakinya. Saya belajar banyak hal yang berbau
laki-laki. Saya mengubah penampilan saya menjadi laki-laki dengan rambut
pendek, celana jins, dan kaos. Saya membenci semau pernak-pernik wanita. Rok,
warna pink, penampilan anggun a la perempuan, dan segala kemanisan anak
perempuan. Bahkan saya nekat memotong pendek rambut saya dan memberikan wax pada rambut saya supaya dapat
berdiri. Persis seperti penampilan anak lelaki. Namun Papa marah dan membenci
penampilan saya. Papa mengatakan bahwa saya sebagai anak perempuan seharusnya
berpenampilan selayaknya anak perempuan.
Suatu hari setelah perayaan Idul
Fitri 2005, saya iseng membuka komputer di rumah. Saya suka membuka
folder-folder di komputer dan ingin tahu apa yang ada di dalam komputer. Saya
mendapati foto yang disembunyikan di dalam folder yang disembunyikan Papa dengan
menumpuk new folder. Foto seorang
wanita di pantai. Saya menggandakan folder foto tersebut pada folder saya. Saya
simpan informasi ini. Sampai suatu ketika, saat saya sedang bermain di warung
internet dekat alun-alun, Mama mencari saya dan menangis. Mama mengetahui bahwa
Papa membohonginya ketika ijin untuk mengucapkan bela sungkawa di rumah salah
satu tetangga, tetapi ketika mengobrol dengan warga, justru warga bertanya
kenapa Papa tidak menampakkan diri saat salah satu warga tiada. Saya dibawa ke
rumah untuk mendengarkan cerita Mama dan saya menceritakan apa yang saya
temukan. Mama terkejut. Mama menangis.
Keesokan harinya, Mama tidak di
rumah ketika saya pulang sekolah. Papa pulang saat petang. Papa mengunci semua
pintu dan melarang siapapun keluar rumah. Tapi saya ada tugas yang mengharuskan
saya mengunjungi warung internet. Saya meminta bantuan Insanul untuk membukakan
jendela rumah sehingga saya dapat menyelinap. Insanul membukakan jendela rumah
sambil menangis. Sepertinya ia paham akan kisruh keluarganya. Saya merasa
terharu. Saya berharap saya bisa menghadang Mama pulang untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya segera pulang dari warung
internet ketika jam menunjukkan pukul 9.00 malam. Saya berjalan menuju rumah.
Beberapa langkah sebelum sampai rumah, saya melihat dua orang tetangga saya
berada di depan rumah. Saya menangis karena sepertinya sesuatu yang buruk telah
terjadi. Mereka berdua membawa saya ke rumah tetangga. Di sana saya diminta
untuk duduk dan minum air putih lalu saya diboncengkan oleh Mas T, anak
lelakinya yang merupakan kakak kelas saya SMA. Saya di bawa ke rumah sakit dan
dibimbing menuju IGD. Di sana saya melihat beberapa tetangga yang membawa saya
menemui Mama yang tengah tergeletak dengan daster penuh darah dan hidung yang
membiru. Saya menangis. Mama harus dirawat inap di rumah sakit. Tetangga
meminta saya kembali ke rumah untuk mengemasi pakaian dan kebutuhan Mama.
Tetangga saya yang bekerja sebagai polisi, Pak T, mengantar saya pulang ke
rumah untuk mengambil barang-barang kebutuhan Mama. Pak T mengobrol dengan Papa
ketika saya mengemasi pakaian untuk Mama. Papa sempat masuk dan menanyakan apa
yang dibutuhkan. Saya melihat tatapan kosong Papa saat saya tengah mengemasi
pakaian untuk Mama. Suasana rumah gelap. Semua lampu telah dimatikan. Saya
membuka pintu kamar adik-adik saya. Mereka sudah terlelap. Saya diminta Pak T
untuk mengemasi pakaian dan buku saya juga karena saya diminta menemani Mama di
rumah sakit. Saya menurut.
Ketika Mama dirawat di rumah sakit,
Mbah Ibu datang ke rumah. Beliau tidak tahu bahwa Mama sedang di rumah sakit
karena dipukul Papa. Mbah Ibu justru menggantikan Mama mengurus adik-adik.
Sampai akhirnya Papa mengantarkan Mbah Ibu menjenguk Mama di rumah sakit.
Setelah Mama pulang dari rumah sakit, Mbah Ibu menceritakan maksud
kedatangannya ke rumah kami. Beliau ingin melakukan check up karena mendapati benjolan sebesar telur ayam kampung di
bawah leher. Mbah Ibu ingin meminjam uang pada Mama untuk berangkat ke Jakarta.
Mbah Ibu kembali menderita kanker.
Kali ini kanker kelenjar getah bening dan sudah stadium lanjut. Saat dibawa ke
rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut, dokter justru menyatakan
bahwa keluarga hanya diminta untuk bersiap dengan usia Mbah Ibu yang hanya
tinggal enam bulan. Mama hanya ingin memaksimalkan sisa waktu yang dimiliki
Mbah Ibu untuk memberikan perhatian pada Mbah Ibu. Nampaknya Papa belum
berkenan pada Mama yang lebih berat pada Mbah Ibu. Sempat terjadi keributan
antara Mama dan Papa mengenai hal ini namun Mama tetap keukeuh untuk merawat Mbah Ibu. Mbah Ibu meminta diberi kesempatan
untuk berkumpul dengan cucu-cucunya. Empat orang cucu dari Mama dan seorang
cucu dari Om A.
Kami melihat bagaimana perubahan
pada fisik Mbah Ibu secara drastis ketika terakhir kali kami melihat Mbah Ibu.
Mbah Ibu yang cantik dan cekatan kini berubah menjadi Mbah Ibu yang kurus,
berkepala botak dengan rambut yang tumbuh jarang, kulit layu, dan penampilan
pucat. Untuk sekadar tidur di kasur busa pun, Mbah Ibu kesulitan. Setiap pulang
sekolah, kami bergegas menuju rumah untuk menemui Mbah Ibu dan menceritakan apa
yang kami alami pada Mbah Ibu. Mbah Ibu selalu antusias mendengarkan cerita
dari cucu-cucunya. Hingga suatu ketika terjadi keributan antara Mama dan Mbah
Ibu. Mama menanyakan pada Mbah Ibu mengenai hutang yang Mbah Ibu sebelum
berangkat ke Jakarta. Hal tersebut dirasakan sangat menyakitkan bagi Mbah Ibu.
Secara emosional Mbah Ibu menangis dan meminta Om A untuk menjemput Mbah Ibu.
Mbah Ibu menyerahkan pada Mama tabungan perhiasan yang dimiliki Mbah Ibu pada
Mama untuk membayar hutang Mbah Ibu. Mbah Ibu memutuskan pulang ke Randudongkal
dan menikmati sisa hidup di rumah masa kecilnya. Kami menangis dan tidak bisa
berbuat apa-apa karena sedih ditinggalkan Mbah Ibu, nenek yang sangat kami
sayangi.
Pertengahan 2006, Mbah Ibu
meninggal dunia. Beliau sempat dibawa ke Jakarta untuk berada di bawah
perawatan suaminya. Tetapi Mbah Ibu menginginkan agar dimakamkan di kampung
halamannya. Mama dan Papa menjemput jenazah Mbah Ibu dengan menyewa sebuah
ambulans yang berangkat dari Pemalang. Kami berempat diinformasikan untuk
menunggu di depan Stadion Kridanggo untuk bersama-sama berangkat dengan
ambulans menuju Randudongkal. Mama tak henti-hentinya memeluk peti Mbah Ibu dan
menangis. Saya dan ketiga adik saya hanya bingung dengan keadaan ini. Kami
tidak menangis. Hingga peti Mbah Ibu dibawa ke ruang tengah rumah masa kecil
kami dan Om A memeluk kami. Kami menangis histeris. Mbah Ibu dimakamkan. Saya
hanya berharap bahwa ini merupakan akhir dari rasa sakit yang selama ini
ditanggung oleh Mbah Ibu.
Kami melanjutkan hidup. Papa
mengatakan ketidaksetujuannya atas pilihan saya masuk ke program studi bahasa
di kelas XI. Papa menginginkan anaknya masuk program IPA. Saya memiliki
ketertarikan di bidang bahasa dan saya menyadari kemampuan berhitung saya yang
sangat buruk. Karena perbedaan ini, Papa akhirnya mendiamkan saya dalam jangka
waktu yang sangat lama. Bahkan yang paling menyakitkan adalah Papa tidak
bersedia memberikan uang saku dan uang sekolah. Saya seperti tersesat. Lalu
seorang kakak kelas bernama Mas A mendekati saya dan meminta saya menjadi
kekasihnya. Saya menerima. Ia pun membantu saya untuk memberikan uang saku
dengan membagi uang kiriman bulanannya pada saya. Saya merasa terbantu. Tapi
ada satu hal yang membuat semacam lubang di hati saya. Saya tidak mengerti
kenapa Mama tidak membantu saya untuk menyelesaikan konflik saya dan Papa,
tetapi justru tidak peduli dengan apa yang saya alami. Mama sibuk dengan
memanjakan dirinya dengan materi. Mama menuntut Papa untuk mengabulkan semua
permintaannya. Satu set karaoke di kamar, AC, dan terakhir mobil. Rasanya
menghunus dada ketika mengetahui Mama dan Papa mampu membeli barang-barang
mewah itu sementara saya diancam oleh pengawas bahwa saya tidak bisa mengikuti
Ujian Akhir Semester SMA karena menunggak membayar SPP. Saya tidak bisa berbuat
apa-apa. Saya sudah pernah mengutarakan hal tersebut pada wali kelas ketika
kelas XI mengenai masalah yang saya hadapi dan beliau tidak bisa membantu lebih
jauh karena mendengar jawaban Papa yang kurang simpatik.
Saya lalui masa SMA dengan penuh
gejolak. Ketika Mama dan Papa tidak memberikan uang saku, tidak memiliki uang
untuk naik angkot, saya meminta bantuan teman untuk menumpang berangkat ke
sekolah tetapi kerap kali ia terburu-buru dan tidak menjemput saya sehingga
saya akhirnya terlambat ke sekolah karena harus berjalan kaki sejauh 3
kilometer. Sudah habis airmata untuk menangis. Yang ada hanya ketidak
mengertian atas apa yang tengah saya jalani.
Papa mendaftar S2 di Semarang dan
sering kali Papa pergi ke Semarang untuk ujian atau mengurus kuliahnya. Mama
diajak serta. Setelah itu mereka pulang dengan belanjaan seabrek. Mama membeli
beranekawarna pakaian, sepatu, dan hal-hal yang beliau inginkan. Saya menatap
itu dengan hampa.
Ketika kelas XII, hubungan saya dan
Mama-Papa sudah cukup membaik. Mereka memberikan perhatian karena Pak T, salah
satu guru saya yang juga menjadi tetangga dan rekan kerja Papa di MGMP
memberikan masukan pada Papa mengenai cara mendidik Papa pada anak-anaknya yang
kurang tepat. Pak T mengingatkan Papa untuk tidak menggampangkan gejolak anak
kelas XII dan mengingatkan Papa mengenai saya yang sudah memiliki pacar.
Bagaimana rentannya pergaulan anak jaman sekarang harus diwaspadai oleh Papa
selaku orang tua.
Saya berencana mendaftar di Unnes
seperti kawan-kawan namun Papa menentang karena Papa tidak ingin anaknya
menjadi guru. Sampai sehari sebelum penutupan pendaftaran, Papa memberitahukan
bahwa Papa memperbolehkan mendaftar di Unnes. Saya segera menuju warnet dan
memilih dua program studi yang selama ini ada di pikiran, Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Sastra Indonesia. Kenapa memilih dua program studi
tersebut? Tidak lain karena sejak masih dalam kandungan hingga sekarang, saya
memperoleh makan dari hasil Papa mengajarkan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Selain itu, saya memikirkan literatur yang dibutuhkan pasti dimiliki oleh Papa
apalagi Papa yang saat ini tengah menempuh S2 di program studi Manajemen
Pendidikan.
Ketika mendaftar Unnes, Papa tetap
mempersiapkan kemungkinan lain. Papa meminta bantuan rekannya ketika kuliah
yang juga menjadi dosen di program studi yang saya pilih, Pak M. Saya sempat
diperkenalkan Papa dengan Pak M ketika Pak M dalam perjalanan dengan mobilnya
dari Semarang menuju Tegal dan kami bertemu di jalan pantura Pemalang. Ketika
pengumuman ujian tulis seleksi mandiri, nama saya tercantum untuk masuk ke
tahap tes wawancara. Papa membangunkan saya dan membukakan portal pendaftaran
Unnes. Papa mengecup kening saya dan mengatakan bahwa Papa bangga saya bisa
diterima di Unnes. Papa mengatakan bahwa saya bisa diterima di Unnes bukan
hanya karena bantuan eksternal dari Pak M tapi juga saya sendiri. Semua saling
mendukung.
Ujian wawancara saya ditemani oleh
Papa. Sejak saya melaksanakan ujian tertulis, Papa selalu mendampingi saya.
Sekalipun saat itu saya menangis berguling-guling karena Papa tidak mengizinkan
saya berangkat bersama teman-teman menggunakan kereta api. Papa ingin
mendampingi saya. Papa menemani saya kemanapun, mengajak saya berjalan-jalan.
Saya merasa sangat senang Papa berada di samping saya. Baru kali ini saya
merasakan sosok Papa benar-benar hadir dalam hidup saya.
Setelah muncul pengumuman
penerimaan calon mahasiswa dan meminta calon mahasiswa untuk melaksanakan registrasi
administrasi, saya memberi tahu Papa mengenai informasi tersebut. Tapi yang ada
justru pertengkaran antara Mama dan Papa. Mama tidak bersedia meminjamkan
tabungan yang Mama miliki untuk membayar registrasiku. Papa sudah mengatakan
cerai untuk kesekian kalinya dan Mama sudah tidak sanggup menanggung pelecehan
harga diri karena semudah itu Papa mengatakan cerai. Papa tidak terima berada
di posisi yang dipojokkan. Papa memberontak dan Papa pun marah pada Mama karena
Mama tidak memahami kondisi Papa yang tengah pelik memikirkan pendidikan saya
esok. Papa sedang tidak memiliki uang dalam jumlah besar untuk membayar biaya
administrasi semester awal dan Mama tidak membantu sama sekali justru
memberikan beban pikiran pada Papa.
Mama mengajukan gugatan cerai.
Sebelum mengajukan gugatan cerai, Mama memperoleh konseling pernikahan dari
seorang bernama S yang akhirnya kami memanggilnya dengan sebutan Bude S. Bude S
memberikan berbagai pertimbangan pada Mama mengenai efek perceraian dan
konsekuensi yang harus Mama hadapi bila bercerai karena Mama tidak bekerja dan
latar pendidikan Mama yang terbatas membuat Mama kesulitan untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Mama tetap dengan pendiriannya untuk bercerai. Mama tak
ingin kalah dengan Papa. Mama menginginkan ketika perceraian, hak asuh anak
berada di tangan Mama berikut hak finansial berupa pendapatan bulanan Papa yang
dibagi menjadi dua dan hak kepemilikan aset pun dibagi menjadi dua. Mama
diberikan informasi bila istri yang mengajukan gugatan cerai maka hak-haknya
akan gugur. Ada beberapa hal yang menyebabkan gugatan seorang istri tidak gugur
yaitu tindakan yang tidak bisa ditoleransi seperti kekerasan dalam rumah tangga
dan penelantaran pada istri. Mama memiliki kekuatan untuk mengajukan kekerasan
dalam rumah tangga pada tahun 2005. Mama membutuhkan bukti visum et repertum atau rekam medis dari rumah sakit. Sayangnya
bukti rekam medis hanya bisa diambil oleh pihak berwenang dalam hal ini
kepolisian. Sehingga bila Mama mengajukan gugatan cerai menggunakan alasan kekerasan
dalam rumah tangga, tidak hanya melibatkan pengadilan agama, tetapi juga
melibatkan kepolisian.
Akhirnya, setelah melalui berbagai
pertimbangan, Papa menjual mobil yang kami miliki. Papa memberikan uang untuk
membayar biaya registrasi dan memberikan sebagian kecil untuk saya simpan
sebagai keperluan prakuliah. Papa menemani saya ketika saya melakukan
verifikasi di kampus. Selama ini, Mama dan Papa tidak pernah berkomunikasi.
Sekali-dua kali mereka berkomunikasi melalui sindiran dan saling menjelekkan di
depan anak-anak mereka.