Monday 13 October 2014

L I A R



Aku pembohong paling lihai di dunia. Semua orang yang kukenal berhasil kukelabui dengan lisanku. Aku selalu mampu membuat mereka percaya akan apa yang meluncur dari mulutku. Keahlian yang kuperoleh karena berlatih terus-menerus sejak kecil. Orang tuaku mendidikku dengan baik. Keduanya mengajarkan dengan sepenuh hati. Tak pernah kutahu ada orang tua yang memiliki totalitas dalam mengajarkan anak mereka selain kedua orang tuaku.
Teman-temanku di TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah, semua sudah merasakan dustaku. Bahkan guru-guru dan dosenku pun sudah aku dustai. Kerap terbesit tanya, apakah aku yang terlalu pintar atau mereka yang terlalu bodoh, percaya apa yang aku sampaikan. Tetangga, kerabat, handai-taulan, bahkan orang yang baru kutemui: semuanya percaya dengan dustaku. Awalnya aku meninggalkan mereka sambil terkikik ketika mereka berekspresi bengong dan mengeluarkan respon tidak percaya. Tapi lama-kelamaan aku justru betah ketika mereka memberikan komentar dan pendapat. Walaupun akhirnya aku tetap melenggang pergi dan membuang semua ucapan mereka dari kepalaku.
Kebohongan awal yang kulakukan adalah mengatakan bahwa aku bertemu setan ketika hendak buang air besar di sungai belakang rumah. Setan memukulku dengan tongkat gaib hingga lengan dan betisku berwarna biru. Pipi sebelah kiriku juga bengkak karena ditampar oleh setan itu. Teman-teman dan guru di TK percaya dengan bualanku. Aku cengar-cengir dan berkata dalam hati, ini akibat ulahku yang tak menghabiskan makan malam.
Kebohongan terbanyak kulakukan ketika SD. Setiap ke sekolah dengan luka-luka bekas cakaran dan gigitan, aku mengatakan kalau di dekat rumahku ada monster yang suka memakan anak kecil. Monster itu tak memakanku—kalau aku dimakannya, tentu aku tidak bisa bercerita pada teman-temanku—karena aku melawannya. Tapi ia mencakar dan menggigitku. Bodohnya aku kala itu adalah aku tak berpikir bahwa imajinasiku justru membuat mereka tak sudi mampir ke rumahku. Mereka takut dimangsa monster. Aku jadi sedih karena tak seorang teman pun yang mengunjungi rumahku selama SD. Ingin kuungkapkan fakta kalau bekas cakaran dan gigitan itu karena aku ketiduran membuat PR. Tapi kalau aku mengatakan yang sebenarnya, mereka pasti akan menjauhiku. Akhirnya aku membungkam dustaku dan meratapi kesendirianku.
Di tingkat SMP, aku ke sekolah dengan mata diperban. Mereka bertanya apa yang terjadi dengan mataku. Aku bercerita bahwa ketika aku sedang tidur, seekor ular masuk kamarku dan tiba-tiba menyerangku, hendak mencaplok bola mataku. Ular itu gagal mencaplok bola mataku sebelah kanan, hanya membuat mataku berdarah dan pelupuk mataku luka. Sebagian teman-temanku tertarik mendengar ceritaku dan bertanya bagaimana kronologis kejadiannya, bagaimana bisa seekor ular masuk rumah, apa yang kulakukan pada ular itu, apakah aku menangis, jenis ular apa yang menyerangku, dan banyak pertanyaan lainnya yang kujawab satu persatu dengan lancar dan menggebu-gebu. Sebagian temanku yang lain dan  mayoritas teman perempuan tak tertarik dengan ceritaku karena mereka jijik dan takut dengan ular. Aku terus mereka-reka cerita sambil membayangkan sepatu melayang ke wajahku dan mengenai mataku sebelah kiri.
Saat SMA dan aku tengah melaksanakan ujian akhir sekolah, teman-temanku bertanya mengenai tubuhku. Mereka mengatakan padaku kalau aku terlihat sangat gemuk. Ketika ada pengecekan tinggi badan dan berat badan bulanan, aku hanya mendapati berat meningkat empat kilogram. Aku membuat pernyataan jenius dengan mengatakan bahwa beratku naik karena aku memakan buah ajaib yang bisa membuat berat badan membesar dalam hitungan detik. Kalau di serial anime One Piece, aku seperti Ruffi yang memakan buah gomu-gomu. Kali ini efekku bukan elastis, tapi membesar. Kukatakan pada setiap orang aku menemukan buah itu secara tak sengaja ketika sedang membantu nenekku membersihkan kebun di rumah. Buah merah menggoda mirip mahkota dewa. Dua minggu kemudian, aku mendapati dua garis merah dan pacarku menyeretku ke dokter untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Yang tersisa hanya puting mengkal yang terus meneteskan air.
Mural Arief Hadinata di Holycow TKP Semarang, Jalan Sultan Agung Kota Semarang yang dikerjakan 20 September 2017, sehari setelah akad nikah.
Saat kuliah dan diterima di kampus prestisius, aku melenggang dengan segala kebebasan. Bebas berbohong pada siapa saja dan kapan saja karena mereka pasti tidak ada yang akan memverifikasi setiap ucapanku. Aku mengatakan pada dosenku bahwa aku harus check-up di rumah sakit agar aku bisa tetap masuk kelasnya padahal saat itu aku tengah setengah mati membuang efek alkohol yang masih melayang-layang di kepalaku. Aku selalu tak bisa fokus ketika teman-temanku menanyakan mengenai asalku, keluargaku, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadiku, aku selalu menghindar. Kali ini aku harus cerdas. Aku tak boleh berbohong. Karena kebohongan justru akan menamparku keras apabila kawan-kawanku saling mengomunikasikan apa yang aku sampaikan. Aku akan dicap pembohong dan mereka tidak lagi percaya padaku lalu mereka tak ingin berteman denganku lagi. Itu adalah akhir dari kisah pembohong. Aku tak mau.
Kebohonganku menjadi semacam candu. Ketika sehari saja aku tidak berbohong, ada yang aneh dalam hidupku. Aku selalu tak nyaman ketika aku mengungkapkan hal yang sebenarnya. Aku mengatakan aku baik-baik saja, aku seperti mereka yang bercanda tawa dengan kawan-kawannya di kantin kampus. Aku membaur bersama mereka yang bahagia agar aku nampak bahagia. Terbesit di kepalaku bahwa berbohong merupakan konsep yang menyenangkan. Bagiku, berbohong bukanlah kriminalitas. Tentu berbeda dengan mencuri, merampok, memperkosa, bahkan membunuh. Berbohong membutuhkan keseriusan untuk terus meningkatkan keterampilan berbohong.
“Ayya, kamu sayang aku?”
“Iya,” aku nyengir. Aku asyik menikmati es telerku. Anggara masih menikmati es cendolnya. Siang yang panas di kantin kampus memang cocok dengan beragam es. Aku sangat suka es dan aku bersumpah ini tidak bohong.
“Aku juga sayang kamu, Ay. Aku cinta kamu, butuh kamu, dan aku bahagia banget bisa sama kamu.”
Tiba-tiba tangan Anggara menarik tanganku. Aku mengerutkan alis dan menatapnya heran.
“Kalo gitu kita nikah yuk?”

13 Oktober 2014
3:49:18 am
Mengurut kepala yang kini tak berguna.

Tuesday 16 September 2014

P E T A N G B U L A N M E I



Sebuah cincin. Ya, sebuah cincin yang tak pernah ia tahu datang dari mana, tiba-tiba tersemat di jari manis kanannya, empat tahun lalu. Dan cincin ini tak bisa ia lepaskan. Apapun usaha dan cara yang ia tempuh, sia-sia. Sempat terpikir untuk memotong jarinya, tetapi itu akan sangat merugikannya karena harus mencari jari lain sebagai alternatif menekan aksara di keyboard laptop.
Sama seperti ketidak mengertiannya tentang kedatangan cincin itu, Ayya pun tak pernah mengerti sosok apa yang ada pada cincin itu. Otaknya yang logis tak mampu menjangkau sesuatu yang tidak memiliki bukti ilmiah. Tapi ia memang merasakan kejanggalan yang tak kasat mata. Cincin itu mendatangkan nestapa pada hidupnya dan hidup orang-orang di sekelilingnya.
Ia kehilangan Indra, kekasihnya. Sejak cincin itu melekat di jari Ayya, Indra selalu mendapat pesan singkat dan kiriman surat bahwa lebih baik ia menjauhi Ayya, karena Ayya telah menjadi miliknya. Dengan alamat dan nomor yang berganti, tetapi nama pengirim selalu sama. Indra bergeming. Mereka hanya tinggal menghitung hari untuk janji suci. Hingga akhirnya semua kandas. Sebuah insiden menghilangkan sosok Indra selama-lamanya. Ayya tertegun. Mimpikah ia?
Ayya selalu menangis saat malam tiba. Ia tak ingin tertidur. Ia takut bermimpi. Ia selalu histeris saat membayangkan ia harus bermimpi dan mengalami hal yang sama. Mimpi berulang yang menghantuinya empat tahun terakhir, sejak cincin emas itu melingkar di jari manisnya. Sebuah pertanyaan—atau permintaan untuk membantunya memberikan stofmap dan menjadi istri di negerinya. Negeri yang tak pernah ia jelaskan ada di belahan bumi sebelah mana. Dan itu tak hanya ia yang mengalami, Ibu juga mengalami hal yang sama.
Stofmap itu, entah kapan datangnya. Tergeletak di meja kerja Ayya. Stofmap merah yang telah lusuh dan warnanya pudar kecoklatan. Bersama dengan cincin yang tersemat di jari manisnya. Siapa yang telah datang dan masuk ke ruang pribadinya, karena penghuni rumah ini hanya ia dan Ibu. Dan ia berani menjamin, tak ada orang yang bisa sembarang masuk ke ruang pribadinya karena selalu ia kunci. Sekali pun Ibu, tak akan lancang sembarangan masuk ke kamarnya. Sudah ia konfirmasikan pada orang-orang terdekatnya, tetapi tak seorang pun mengerti perihal benda asing yang datang tiba-tiba itu. Isi stofmap itu telah ia baca. Tapi tak tahu apa kepentingannya untuk mengikuti petunjuk mimpi itu. Karena ia tak terlalu peduli. Ia hanya penulis lepas dan penerjemah, bukan jurnalis.
Ibu yang malang, saat tua harus menjadi kepala rumah tangga. Berjuang membesarkan anaknya setelah kematian suaminya enam tahun lalu. Mempertahankan nama baik suami dari tuduhan masyarakat, menghadapi berbagai gunjingan, fitnah, dan berita tak menyenangkan di televisi. Beradaptasi dengan hidup bersahaja dari berbagai keistimewaan dan sanjungan yang dulu selalu ia dapatkan. Berhenti memohon dan mengiba perlindungan pada sosok yang dulu selalu menjamin bahwa tak akan ada masalah dan semua berada dalam kendali.
Sejak menyandang gelar janda, kantung di bawah mata dan kelopak mata yang menghitam menjadi bagian dari wajah keriput Ibu. Batinnya telah lelah, tetapi raganya mencoba. Walau sebenarnya beliau tak pernah mengerti apa yang sebenarnya tengah dihadapi.
Sama seperti Ayya, setiap malam Ibu selalu dihantui oleh sosok yang tak pernah ia kenal, tapi cukup familiar. Sosok itu selalu bertanya, apakah Ibu bisa menolongnya. Memberikan sebuah stofmap pada sebuah kantor yang mempekerjakan orang-orang berseragam abu-abu. Setelah stofmap itu diserahkan, bolehkan ia meminta Ayya sebagai pendampingnya. Di negerinya yang jauh. Ibu selalu menggeleng dan menolak. Karena hanya Ayya yang ia miliki. Hanya Ayya yang ia punyai di dunia. Hanya Ayya yang bisa ia jadikan sandaran untuk usianya yang telah senja. Siapa yang akan menemani wanita setengah abad yang mulai sakit-sakitan?
Dengan kemeja kotak-kotak besar, jaket olahraga, jelana jeans biru, tas selempang hitam, sepatu pantovel berkilat, dan rambut tersisir rapi; lelaki ini selalu mengunjungi mimpi Ibu. Memberikan pertanyaan yang sama karena jawaban Ibu sebelumnya pun sama.
Berulang kali keduanya mendatangi psikolog, psikiater, hingga dokter jiwa. Bahkan mereka kini mencoba hypnotherapy dan pengobatan spiritual. Tetapi hasilnya tetaplah sama. Mimpi itu selalu datang. Dan sosok itu selalu menanyakan hal yang sama pada mereka.
Ayya tak terlalu jelek untuk ukuran seorang gadis. Ia telah melampaui usia produktif untuk mengikatkan janji setia pada lawan jenis. Telah ia miliki pula tempat yang menaunginya untuk mencari segenggam rupiah. Tak sedikit lelaki yang berminat padanya. Tapi selalu sama. Ya, kejadian yang sama seperti yang Indra alami. Ancaman yang mengatakan bahwa Ayya telah menjadi miliknya. Jangan ganggu Ayya atau nyawa melayang. Ini bukan gertak sambal a la anak SMA yang berebut gadis. Mereka yang bertahan dan nekad, mengalami eksekusi dengan cara berbeda. Entah halus atau kasar, pelan atau cepat. Tapi pasti malaikat maut menjemput. Ayya tak pernah mengerti kutukan apa yang menghantuinya, hingga ia harus mengalami hal yang membuatnya dikucilkan.
Mural Arief Hadinata di Firepot Resto Living World Mall Tangerang yang rampung sekitar Juli 2018
                                        
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.” Mimpi itu datang lagi. Siap tak siap, Ayya harus siap. Karena itulah pertanyaan yang selalu diberikan. Sudah dua hari ini Ayya tak terpejam karena harus menyelesaikan sebuah buku yang harus ia terjemahkan.
“Kamu siapa? Kamu selalu menghantui mimpiku. Aku lelah. Kumohon, jangan ganggu hidupku dan hidup orang-orang di sekelilingku.”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
Ayya diam, tak bisa ia berkata. Ditatapnya mata itu. Ia sedikit ingat, ada ingatan sudah lama ia cari. Mata itu. Mata yang pernah ia lihat empat belas tahun yang lalu.
“Aku pernah melihatmu.”
“Di mana?”
“Rumah sakit. Sepertinya ruangan yang sama setelah aku kecelakaan.” Ayya hampir menangis mengingat kejadian itu. Saat itu ia masih kuliah tingkat satu dan ada huru-hara di kota. Sepulang dari mengunjungi kawan, di jalan ia menemui massa. Ketakutan, Ayya menancap gas motornya. Panik dan bingung, hingga ia terjatuh. Beruntung ada sosok baik yang membantunya berdiri dari menyingkir dari keadaan yang mencekam. Terlalu memusingkan, Ayya tak kuasa menjaga kesadaran. Ia pingsan.
Saat itu orang-orang berjas almamater turun ke jalan dan menduduki gedung DPR. Saat suara letusan tembakan dan kebakaran ada di mana-mana. Ngilu di lengan kanannya masih terasa. Bekas luka itu pun sulit hilang. Tapi luka yang sulit dihilangkan adalah luka di hati dan pikirannya. Paranoid atas tempat ramai dan huru-hara masih menghantuinya hingga kini. Hingga ia memutuskan memilih pekerjaan yang ringan dan bisa berada di dalam rumah, sekali pun yang ia peroleh hanya cukup untuk dirinya sendiri. Kota kecil yang tenang setelah anak-anak hingga enam tahun lalu tinggal di kota metropolitan penuh kebisingan.
“Empat belas tahun yang lalu.”
Sosok itu tersenyum, “Baru sekarang kamu sadari?”
Ayya menggeleng, “Nggak. Aku tahu. Aku ingat. Hanya berada di ambang praduga, sehingga aku tak terlalu mengindahkannya. Apakah kamu?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku!” Ayya memekik. Ia tak sabar dengan percakapan ini.
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
Ayya sadar ia akan lelah dengan dialog bodoh ini. Ia diam dan tetap memandang sepasang mata sayu yang tak berkedip saat menatapnya.
“Kalau aku menyerahkan stofmapmu, bisakah kamu berhenti hadir di mimpiku dan mimpi Ibuku? Berhenti meneror orang-orang di sekelilingku?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
“Aku bertanya kamu tak pernah menjawab!”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”

Ibu menangis. Ia duduk di samping pusara suaminya tercinta. Memandang namanya dan menangis. Matanya semakin hitam dan tubuhnya mengering. Setiap hari hanya menangis. Tekanan mental yang ia hadapi atas tuduhan masyarakat pada suaminya sebagai pembunuh. Militer yang menembak mahasiswa saat kerusuhan empat belas tahun yang lalu. Tak ada gelar atau penghargaan dari pemerintah pada sosok suaminya yang hanya mematuhi perintah atas hirarki yang setingkat di atasnya.
Mereka tak pernah tahu bahwa suaminya menangis setelah memerintah pada prajurit. Lima tahun suaminya tak pernah bisa tidur dihantui rasa bersalah atas wajah-wajah yang selalu menghantui mimpinya. Ia melarikan diri dengan alkohol, berharap tidur nyenyak sudi mampir pada raganya. Tapi sia-sia. Dan sisa hidupnya dihabiskan di atas ranjang karena komplikasi penyakit. Belum genap usianya untuk mendapat pensiun, sudah berakhir halaman hidupnya.
Tatapan Ibu menjauh, memandang nama anak semata wayangnya berdampingan dengan nama suaminya. Hatinya nelangsa. Tanpa sepengetahuannya, Ayya menyerahkan stofmap itu setelah menggandakannya. Bukan sesuatu yang diharapkan Ayya, yaitu membebaskan dirinya dari teror mimpi. Ia justru menjemput teror lain yang akhirnya sukses membuat namanya hancur. Dugaan penyerangan dan terorisme mampir di koran setelah Ayya diinterogasi di suatu sore. Ibu tak bisa mengunjungi Ayya karena alasan keamanan. Dan setelah satu minggu, Ibu mampu melihat Ayya. Yang terbungkus kain kafan.
Ibu kembali menangis.
“Ibu, segeralah menyusul. Ayya tunggu Ibu di sini. Di sini Ayya bahagia. Bisa bertemu Ayah dan menikah dengan lelaki yang sekilas memandang Ayya saat di rumah sakit. Saat nyawanya meregang terkena peluru karet. Ibu, Ayya sayang Ibu.” Dalam mimpi, Ayya mengecup pipi Ibu. Ibu bahagia. Ayya menarik tangan Ibu untuk menyongsong Ayah dan suaminya, sosok yang selalu hadir di mimpinya.

Semarang, 27 Mei 2012
11:01:45 p.m
Lugu yang ambigu.

S E N Y U M A Y Y A



Masih kuyakinkan diriku bahwa Ayya mengatakannya secara sadar. Tapi senyumnya terlalu nyata kalau kukatakan ini adalah mimpi. Teras rumah memberikan hawa dingin untuk malam di bulan Juni. Tapi, ah, saat ini bulan tak lagi mampu menentukan musim. Musim datang tergantung mood langit.
“Kamu yakin?”
Ayya mengangguk dan kembali tersenyum. “Aku sangat yakin. Perlukah kujawab lagi untuk keempat kalinya?”
Aku menghela nafas. Terlalu rumit perasaan hatiku.
“Tolongah, Ayy, jangan kekanak-kanakan. Kali ini aku serius.”
Aya mengangguk kembali dan kembali tersenyum. “Aku juga serius, Sayangku.”
“Semua persiapan dan segala urusan sudah selesai dan hanya menunggu hari H. Tinggal satu minggu lagi Ayya. Tolong jangan membuat pikiranku kacau. Aku pun tengah mempersiapkan diri untuk ujian masuk S2 ku—seperti yang kamu minta. Harusnya kamu tahu, ini bukan perkara mudah. Kulakukan semua ini demi kamu, tetapi kenapa kamu justru menjungkirbalikkan keadaan dengan begitu menyakitkan?”
Ayya kali ini menggeleng. “Ini tidak menyakitkan, Sayangku. Aku sangat dewasa. Logis dan realistis, Sayangku. Aku berpikir sepuluh langkah, jauh di atas perkiraan langkah manusia lainnya, Sayangku.”
“Tapi ini terlalu ganjil. Sudut mana yang mengatakan ini logis dan realistis, Ayy? Ini sudah masuk kategori sakit jiwa. Kamu nggak mikir apa, kalo ini juga harus kita rundingkan dengan keluarga, bukan cuma urusanku dan urusanmu. Ingat Ayya, semua ini juga menyangkut dua keluarga. Nama baik dua keluarga, bahkan keluarga besar kita dipertaruhkan.”
Ayya tersenyum. “Aku sudah menyampaikan pada keluargaku dan mereka menerima usulanku, Sayangku.”
“Lalu apa kamu pikir keluargaku bisa menerima? Kamu nggak memprediksi kemungkinan salah paham dari keluargaku dan keluargamu tentang rencana tambahan yang konyol ini?”
“Sayangku, kita yang akan menjalani pernikahan. Mereka akan mengerti setelah kita beri penjelasan. Seminggu bukan waktu yang sebentar untuk dengan jelas memberi pengertian pada mereka. Apa lagi yang masih mengganjal di hatimu, Sayangku?”
Ingin kubanting saja asbak di depanku dan melempar vas bunga ke dinding. Aku ingin pulang, tertidur, bangun, dan meyakinkan diriku bahwa ini adalah mimpi dan semua akan baik-baik saja setelah aku terbangun. Setelah kulanggar pantangan untuk tak bertemu calon istri selama empat puluh hari menjelang pernikahan. Hingga satu minggu sebelum pernikahan, aku menyempatkan berbincang dengannya.
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017
 “Aku masih belum mengerti apa alasanmu mengajukan syarat tak masuk akal ini. Membuatku merasa benar-benar idiot di depanmu.”
Ayya tersenyum—dan sungguh, aku muak dengan setiap senyum dan anggukannya malam ini. “Sudah kubilang, Sayangku, aku memerlukan partner untuk membantuku mengurus segala kebutuhanmu. Aku tempramen dan kamu moody. Itu sangat tidak seimbang untuk sebuah hidup yang bahagia. Aku membutuhkan bantuan orang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan, karena aku sadar tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Maka, ijinkan aku mengajukan sebuah nama untuk berdampingan denganku di pelaminan esok.”
“Udah, Ayy. Apa pun kamu, sesibuk apa pun kamu, aku bisa ngerti. Bahkan kalau kamu nggak bisa telepon atau SMS atau hanya pulang satu jam dalam satu bulan pun, aku tetap bisa bersabar. Kita bisa menyewa pembantu yang mengurus kebutuhan rumah. Kamu nggak perlu repot memasak, mencuci, atau menyetrika pakaianku. Kita bisa juga pesan makan di luar dan menggunakan jasa binatu. Tapi nggak ini, Ayy. Kumohon. Kalau kamu realistis dan logis, aku bisa mengerti, tapi kumohon, Ayy, ini sangat konyol dan kekanakkan.”
Ayya tersenyum kembali dan menggeleng. “Kembali kusampaikan bahwa aku prediksi langkah yang lebih jauh dibanding orang pada umumnya. Aku dan kamu memiliki kesibukan. Aku dan kamu pun kerap terjebak pada sengketa yang sulit dieja. Kita butuh penengah. Dan aku akan dengan senang hati membagi cintaku. Aku tak peduli pada dasar sebuah keyakinan atau apapun.”
Segera kesela ucapannya, “Sudahlah, Ayy, apa yang membuatmu berpikir tak rasional? Aku semakin tak mengerti.”
“Pernikahan menjebakku pada tanggung jawab sebagai ibu dan istri. Sementara aku masih menikmati sebagai seorang wanita. Biarlah status hitam di atas putih dan di hadapan kawan-kawanmu, bahwa akulah istrimu. Tapi untuk tanggung jawab, akan kupasrahkan pada partnerku. Lagipula—“
“Apa lagi?”
“Winda mengatakan bahwa ia tengah mengandung anakmu. Empat bulan.”
Leherku tercekik. Winda? Winda? Winda?
“Aku tahu. Sudahlah. Aku cukup bisa menerima. Jangan pikir aku tak rasional. Karena aku sangat rasional dan sangat peka, Indra.”
 Ayya masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang tengah mengurutkan kejadian konyol pasca-Bachelor Party Bayu hampir lima bulan yang lalu.

24 Mei 2012
3:27:53 a.m.
Kehilangan otak dan ingin insaf sejenak.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...