Saturday 31 January 2015

Sedang Bercerita part II

Manual painting karya Arief Hadinata


Pertengahan tahun 2002 merupakan waktunya lulus SD dan waktunya memilih SMP. Setelah menempuh SD di salah satu SD favorit di Kabupaten Pemalang, saatnya memilih SMP yang juga menjadi favorit di Kabupaten Pemalang. Lulus SD dan memilih SMP dari sekolah favorit menuju sekolah favorit rasanya seperti bedol desa. Semua anak di SD ingin masuk ke sekolah favorit. Hanya segelintir anak yang memilih sekolah lain karena alasan jarak yang lebih dekat. Ketika mendaftar SMP, saya mendaftar sendiri. Hanya meminta sejumlah uang pada Mama untuk biaya pendaftaran. Oh iya, saat itu pendaftaran SMP merupakan sistem gugur di mana anak yang mendaftar di SMP harus mengikuti ujian tertulis yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Peserta yang tidak lolos ujian tertulis, diberi kesempatan untuk mendaftar di sekolah swasta karena pelaksanaan ujian tertulis SMP dilaksanakan secara serempak.
Pagi hari sebelum ujian tertulis SMP, Papa mengajak saya mengobrol sambil sarapan. Tepat hari itu juga, Papa menanyakan kesanggupan saya untuk masuk ke SMP favorit. Papa memberikan wacana di depan SMP favorit merupakan SMP tempat Papa pernah menimba ilmu. Saya diminta Papa untuk mempertimbangkan kembali keputusan yang telah saya ambil karena bila saya sampai gagal masuk ke sekolah favorit, konsekuensi saya ialah masuk ke sekolah swasta. Saya tetap keukeuh memilih sekolah pilihan saya. Papa pun mengalah dan membiarkan saya tetap berjuang dengan pilihan saya. Dan saya diterima di sekolah favorit saya.
Frida, adik bungsu saya sakit. Ia mengatakan bahwa ketika buang air kecil rasanya sakit. Mama menampung air seni Frida dan melihat bahwa air seninya menghasilkan semacam endapan tepung. Frida dirawat di dua rumah sakit berbeda di Kabupaten Pemalang. Dua dokter berbeda dari dua rumah sakit berbeda memberikan diagnosa Frida menderita typus dan demam berdarah. Mama merasa kurang puas dan memutuskan memindahkan Frida ke rumah sakit di Kota Tegal. Frida didiagnosa menderita infeksi saluran kencing dan harus segera dioperasi. Mama mencari informasi mengenai rumah sakit dan dokter yang mumpuni untuk melaksanakan operasi bagi Frida. Dengan berbagai pertimbangan, Mama memilih Rumah Sakit Angkatan Darah Jendral Gatot Soebroto Jakarta sebagai lokasi Frida melaksanakan operasi. Butuh waktu hampir setahun bagi Frida sejak awal diagnosa hingga selesai operasi.
Mama mengajarkan saya menggunakan kerudung. Saya berkerudung setiap ke sekolah. Mama menjahitkan baju panjang untuk saya, termasuk seragam. Padahal sebelumnya saya memiliki baju pendek. Perubahan pada penampilan saya membuat teman-teman heran. Mereka tidak menyangka saya akan berkerudung. Ketika itu berkerudung bukan merupakan hal yang mainstream. Dalam satu kelas, hanya terdapat dua atau tiga orang anak yang berkerudung. Saya tidak keberatan berkerudung karena saya menganggap tidak terlalu mengganggu. Mama meminta saya meningkatkan kualitas ibadah saya. Saya masih rajin beribadah ke mesjid ketika magrib dan sisanya saya laksanakan di rumah. Sayangnya, berkerudung justru menjadi penghalang bagi aktivitas remaja seperti saya. Seperti ketika saya belajar bermain bola basket, banyak anak-anak yang menertawakan saya dan mengatakan bahwa saya salah tempat. Saya harusnya ada di pengajian, bukan datang ke lapangan basket. Jam tambahan olahraga berupa renang harus saya pupuskan karena saat itu anak-anak yang berkerudung tidak melaksankan jam tambahan renang dan hanya duduk-duduk di kolam renang menjaga tas milik rekannya. Saat mengikuti kegiatan drum band di sekolah pun, saya tersisih. Ketika pemilihan seragam, saya bingung karena seragam yang diberikan berlengan pendek. Akhirnya saya mengalah dan melepaskan jabatan pemain pianika pada rekan saya. Banyak ekstrakurikuler yang membuat saya merasa bahwa berkerudung ketika itu membatasi aktivitas saya, seperti tari, drama, dan sebagainya. Saya sempat bingung dan depresi, tetapi akhirnya saya hanya bisa diam dan tak berbuat apapun.
Sebagai anak pertama dan cucu pertama dari keluarga Mama, saya menjadi kebanggaan bagi Mbah Ibu. Mbah Ibu menceritakan kesuksesan saya masuk di sekolah favorit dan Mbah Ibu bahkan yang dengan sangat antusias mengambilkan rapot pertama saya di SMP. Mbah Ibu sangat bangga menceritakan bahwa saya memperoleh peringkat 14 di kelas dan kelas saya merupakan kelas yang meraih penghargaan sebagai kelas dengan nilai tertinggi secara paralel.
Mbah Ibu baru selesai menjalankan pengobatan dan kemoterapi kanker rahim yang beliau derita. Hampir dua tahun beliau bolak-balik Randudongkal-Jakarta untuk melaksanakan pengobatan dan kemoterapi. Setelah kondisi membaik, Mbah Ibu selama beberapa waktu tinggal di rumah kami. Kami sangat senang dengan kehadiran Mbah Ibu karena Mbah Ibu selalu memanjakan cucu-cucunya dengan membuatkan makanan yang enak dan menata perlengkapan sekolah kami. Kami sangat senang dengan Mbah Ibu yang sangat perhatian.
Suatu hari beberapa kawan berkunjung ke rumah saya untuk mengajak bersepeda. Mereka memanggil nama saya dari depan rumah dan ketika itu disambut oleh Mbah Ibu. Mbah Ibu mengatakan bahwa saya masih tidur. Mereka melihat Mama tengah menyuapi Frida di teras rumah. Keesokan harinya di sekolah, teman-teman memberi tahu saya perihal kunjungan mereka ke rumah dan mengatakan bahwa mereka diberitahu oleh ibu saya bahwa saya sedang tertidur dan melihat keponakan saya yang lucu sedang disuapi oleh kakak perempuan saya. Ketika saya memberi tahu pada mereka bahwa itu adalah Mbah Ibu, Mama, dan adik bungsu saya, mereka tidak percaya. Mereka berkomentar bahwa Mama saya masih sangat muda dan tidak percaya dengan wajah saya bahwa saya merupakan anak pertama. Mereka selalu mengira saya merupakan anak bungsu. Entah dari mana mereka mendapat hipotesis semacam itu.
Tahun 2003 adalah momen ketika ponsel menjadi salah satu perangkat yang dimiliki oleh teman-teman saya miliki. Saya belajar cara menggunakan ponsel karena tidak ingin disebut gaptek dan saya juga belajar memperbaharui informasi mengenai ponsel keluaran terbaru supaya tidak dibilang cupu. Tak hanya mengenai gaya hidup, mengenai buku, informasi umum, musik, dan kegemaran anak seusia saya, kembali dengan alasan supaya tidak dibilang ketinggalan informasi. Saya dapat menggunakan ponsel sebelum saya memiliki. Saya juga sudah dapat mengendarai sepeda motor bebek sebelum saya memiliki SIM C apalagi memiliki sepeda motor.
Papa membeli ponsel karena kebutuhan. Di rumah kami, kami tidak memiliki telepon rumah. Perangkat komunikasi yang kami miliki hanya mulut. Papa membeli ponsel Nokia 3315 dan sebuah perdana Matrix dengan total Rp1.500.000. Papa mengatakan bahwa ponsel tersebut dapat digunakan untuk seluruh anggota keluarga. Ponsel tersebut akan ditinggal di rumah untuk digunakan menghubungi atau SMS yang ada di dalam rumah bila memiliki keperluan yang mendesak.
Awalnya memang digunakan untuk penghuni rumah, namun akhirnya Papa menggunakan untuk kepentingannya dan melarang anaknya untuk meminjam ponsel. Papa berargumen bahwa pulsa mahal dan saya hanya membuang-buang pulsa untuk SMS yang tidak penting dengan kawan-kawan saya.
Suatu hari, saya penasaran, entah apa yang membuat saya akhirnya membuka ponsel Papa. Saya melihat gambar bibir bertuliskan “I Love You”. Terlalu ganjil untuk saya. Lalu saya membuka kontak dan menemukan nama kontak “A My Lady”. Tak ada apapun dalam pikiran dan benak saya, tapi saya segera mencatat nomor ponsel dengan nama kontak tersebut.
Sejak Frida dioperasi dan harus bolak-balik Pemalang-Jakarta untuk kontrol, saya dan ketiga adik saya terbiasa berada di rumah bertiga. Kami diajarkan bagaimana membuat nasi dengan rice cooker, bagaimana mengoperasikan mesin cuci, bagaimana membuat susu untuk sarapan, dan apa saja yang harus dilakukan. Dalam sebulan, selama dua minggu kami bertiga hidup sendiri. Papa memberikan uang saku dan uang untuk kami makan. Terkadang, tetangga yang tinggal di samping dan di depan rumah kami mengirimkan makanan untuk kami makan. Kami hanya merasa heran kenapa Mbah Uti tidak sekejap pun mengunjungi kami. Saya diajarkan semua pekerjaan rumah, tetapi ada satu yang tidak Mama ajarkan pada saya, yaitu cara memakai pembalut. Suatu pagi ketika bangun tidur, saya merasakan basah dan lengket dan saya tidak merasa mengompol. Setelah ke kamar mandi dan mendapati darah, saya memberi tahu Papa untuk meminta uang membeli roti. Saya mengatakan roti karena malu bila mengatakan pembalut. Papa hanya bingung dengan tingkah saya dan mengatakan bahwa beliau sedang tidak memiliki uang. Saya mengunjungi salah satu tetangga yang memiliki anak perempuan dan mengatakan bahwa saya membutuhkan roti. Beliau memberikan pada saya sebungkus pembalut yang telah berkurang. Saya segera pulang karena harus bersiap ke sekolah. Tapi saya sadar, saya tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Saya kembali ke rumah tetangga saya dan mengatakan bahwa saya tidak tahu cara menggunakan pembalut. Beliau tertawa dan mengajarkan pada saya bagaimana cara menggunakan pembalut.
Datang bulan merupakan periode paling mengharu-biru bagi remaja seperti saya. Remaja perempuan selalu dihantui oleh mitos bahwa bila tidak mengalami datang bulan, akan berkeringat dan darah akan keluar melalui pori-pori kulit. Tentu kami, khususnya saya tidak menginginkan hal tersebut. Sebisa mungkin saya berdoa agar saya dapat mengalami datang bulan. Terwujudlah permintaan saya pada Tuhan. Tapi entah kenapa saya selalu gagal menggunakan pembalut dengan baik dan benar. Selalu bocor, tidak hanya tembus, tetapi bocor yang membasahi rok biru saya sampai saya harus menutupnya dengan tas atau jaket dan saya harus mencuci rok saya setiap pulang sekolah dan harus bersiap menggunakannya untuk dua hari lagi.
Setelah Idul Fitri 2003, Mama mengajak saya pergi ke warung telepon kala hari hujan dan kami menggunakan payung. Mama menghubungi rekan kerja Papa yang juga merupakan guru Mama ketika bersekolah. Beliau menangis dan menceritakan apa yang tengah membuat hatinya gundah. Saya diam dan mengikuti Mama hingga pulang ke rumah. Setelahnya, saya memberikan nomor ponsel dari kontak yang saya dapat pada Mama. Seketika itu pula Mama menangis dan segera ke warung telepon untuk menghubungi nomor tersebut. Saya diajak serta. Saya mendengar obrolan Mama. Wanita yang ada di seberang pesawat telepon mengatakan bahwa ia merupakan mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Semarang.
Itulah awal konflik di keluarga kami. Saya dengan datar menceritakan pada Mama apa yang terjadi ketika Mama kerap pergi ke Jakarta untuk mengontrol kesehatan Frida pascaoperasi. Saya pernah mendapati Papa pulang ke rumah dengan lengan jaket yang dikalungkan di leher, persis dengan penampilan remaja yang baru pulang dari kencan. Sebagai remaja saya pun dengan sangat aneh merasakan apa yang terjadi pada Papa bukan hal yang lazim, apalagi ketika itu keluarga kami belum stabil setelah operasi Frida.
Rumah kami yang dulu selalu mengalami kebocoran dan mengalami kerusakan di sana-sini, diperbaiki dan dibuat menjadi nyaman bagi kami. Saya senang akhirnya memiliki televisi besar dengan remot untuk mengganti channel televisi. Televisi kami yang sebelumnya merupakan televisi berlebar 14 inci dengan tombol yang sudah rusak. Untuk mengganti channel atau mengeraskan suara, harus kami pencet dengan batang bambu atau kayu. Saya atau adik-adik saya bila sedang kurang beruntung akan meringis karena tersengat listrik kecil yang dihasilkan dari tombol buatan kami.
Kegiatan meninggalkan saya, Bakhtiar, dan Insanul pun berlanjut. Kali ini bukan karena Frida sakit, tetapi karena Mama mengumpulkan informasi mengenai aktivitas Papa di sekolah. Papa kerap pulang malam dan mengatakan ada lembur pekerjaan dengan rekan kerja, padahal rekan kerja Papa sedang di rumah dengan keluarga. Pertengkaran Mama dan Papa menjadi hal yang biasa bagi kami. Beberapa kali saya mendapati Mama enggan makan dengan mata yang bangkak, lebam, atau tubuh yang membiru. Saya pernah mendapati pisau ada di kamar Mama-Papa. Entah terlalu lugu atau terlalu bodoh, saya malah mencekoki Mama dengan bukti-bukti baru hasil saya berburu buku bacaan di lemari kerja Papa. Saya mendapati sebuah block note yang di dalamnya berisi tulisan mengenai chatting SMS Papa dengan wanitanya. Wanita tersebut merupakan murid perempuan Papa yang usianya selisih empat tahun lebih tua dari saya.
Pertengkaran dan keributan Mama dan Papa sudah menjadi bumbu keseharian kami. Mereka kerap berteriak dan saling memaki di depan anak-anaknya. Saya sering mencuri uang dari tas kerja Papa dan sebanyak dua kali saya mendapat coklat besar. Dengan santainya saya ambil dan saya bagi dengan adik-adik. Keesokan hari Papa menanyakan siapa yang mengambil coklat di tas Papa, Insanul mengatakan bahwa ia mendapat potongan coklat dari saya. Papa langsung memukul saya. Pernah suatu ketika saya sedang makan mie rebus sambil menonton televisi di ruang tengah. Saya dan adik-adik bercanda lalu saya melontarkan candaan mengenai wanita Papa. Seketika itu Papa melemparkan sepatu yang tengah dipakai dan mengenai mangkuk mie rebus dan mata saya. Mangkuk mie rebus terbelah menjadi dua dan mata saya berdarah. Mama menarik saya ke dokter untuk diperiksa. Dokter yang menangani saya menanyai Mama mengenai penyebab mata saya berdarah dan Mama hanya bisa mengatakan bahwa saya bertengkar dengan adik saya. Malam itu juga Papa meminta maaf pada saya dan memberikan saya uang sebagai kompensasi yang akan saya gunakan untuk uang saku mengunjungi saudara di Jakarta.
Mbah Bapa yang sebelumnya tinggal di rumah anak perempuan pertamanya, Bude E, merasa seperti didepak semenjak Bude E meninggal. Mbah Bapa beberapa kali mengunjungi rumah kami dan menginap. Penampilan beliau menjadi seperti gembel dengan pakaian yang dekil dan kumis-jenggot yang tumbuh berantakan. Rambut Mbah Bapa pun tidak lagi disisir rapi dan sudah nampak panjang. Rupanya kehadiran Mbah Bapa tidak dikehendaki oleh Papa. Papa tidak menyukai Mbah Bapa. Papa marah pada Mama akan kehadiran Mbah Bapa dan selalu menjadikan kehadiran Mbah Bapa sebagai alasan Papa untuk tidak betah berada di rumah. Mama mengalami kebuntuan untuk mengomunikasikan pada Mbah Bapa atas apa yang Mama rasakan pada keluarganya. Mama mencoba untuk membawa Mbah Bapa ke panti jompo tetapi Mbah Bapa justru kabur dari panti jompo dan kembali mendatangi rumah kami. Selama sekian bulan Mbah Bapa tetap mengunjungi rumah kami. Papa tidak berkenan membuka pintu rumah pada Mbah Bapa dan akhirnya membuat Mbah Bapa memilih tidur di teras rumah kami seperti gelandangan. Hal tersebut menimbulkan gunjingan pada tetangga. Saya dan ketiga adik saya turut serta dalam pusaran kebingungan atas apa yang terjadi dalam keluarga kami. Hingga akhirnya selama sekian bulan, Mbah Bapa tidak lagi menampakkan diri di rumah kami. Setelah itu, kami memperoleh kabar bahwa Mbah Bapa telah meninggal dunia tapi kami tidak mengetahui di mana Mbah Bapa meninggal dunia dan di mana Mbah Bapa dimakamkan. Hingga saat ini kami tidak mengetahui keberadaan Mbah Bapa.
Perasaan minder dan malu selalu menghantui saya. Sejak Mama Papa bertengkar dan saya beberapa kali menjadi sasaran kemarahan dan depresi mereka, saya kerap membolos sekolah. Saya malu kalau harus berangkat ke sekolah dengan mata menghitam atau badan kesakitan karena bekas pukulan yang belum hilang nyerinya. Kalaupun saya berangkat dari rumah, saya biasanya enggan langsung pulang ke rumah. Saya suka berkunjung ke rumah rekan saya, Ni, anak seorang dokter. Di rumahnya saya merasa aman dan nyaman. Saya tidak mendengar pertengkaran orang tua. Saya bisa makan enak dan diajak jalan-jalan dengan menggunakan sepeda motor yang dimiliki Ni. Saya baru pulang saat petang atau magrib.
Saya juga beberapa kali kabur dari sekolah untuk sekadar bermain di warung internet bersama Ni dan kawan-kawan. Bisa dikatakan Ni dan kawan-kawan merupakan anak popular di angkatan kami. Mereka memiliki segalanya. Saya berkenalan dengan Ni dan kawan-kawan karena mereka merupakan rekan saya saat SD dan Ni merupakan sahabat No, sahabat sekaligus tetangga di perumahan saya. No menjadi tempat saya bercerita apa yang saya alami. Walaupun tidak seutuhnya saya ceritakan padanya, tapi saya memiliki tempat untuk berbagi cerita. Saya tidak merasa sendiri. Setiap malam No mengunjungi saya ke rumah atau saya berkunjung ke rumah No untuk mengobrol ngalor-ngidul. Atau bila kami sedang bosan mengobrol, kami bersepeda keliling kota untuk menghilangkan penat.

Wednesday 28 January 2015

Sedang Bercerita part I

Manual painting karya Arief Hadinata


Nama saya Amanda Rizqyana. Saya lahir di Pemalang, tanggal 10 Mei 1991 dari pasangan Andang Hayat Anantoru dan YA. Saya lahir premature di usia tujuh bulan, itu yang Mama sampaikan. Papa dulu merupakan guru SMA di tempat Mama menimba ilmu. Suatu kejadian mengharuskan Mama meninggalkan bangku sekolah untuk melaksanakan pernikahan dan selisih satu hari, lahirlah saya.
Setelah kelahiran saya, Mama mengalami tekanan dari pihak keluarga di mana banyak keluarga yang tidak mendukung pernikahannya dengan Papa. Papa dianggap telah melakukan perbuatan tidak terpuji. Di samping itu, Mama merasa minder karena saat rekan-rekannya bersuka-cita dengan sekolah mereka, Mama justru menghadapi kenyataan menjadi seorang ibu di usia sangat belia. Mama dan Papa sempat berpisah selama beberapa bulan. Saya diasuh oleh Mbah Ibu, ibu dari pihak Mama. Sejak menikah, Mama dan Papa tinggal di rumah Mbah Ibu. Segala kebutuhan finansial dan mengurus anak, diambil alih oleh Nenek. Mama belum matang secara emosional dan finansial untuk mengurus anak. Pekerjaan Papa sebagai guru yang belum PNS pun belum bisa diandalkan untuk mengurus saya yang lahir prematur dan membutuhkan asupan nutrisi yang lebih.
Tak hanya dari pihak Mama yang dikecewakan atas pernikahan Mama, pihak Papa pun melakukan hal yang sama. Mbah Uti, ibu dari pihak Papa merasa tidak terima dengan pernikahan Mama dan Papa. Mbah Uti menganggap bahwa anaknya yang merupakan sarjana harusnya menikah dengan wanita yang memiliki level pendidikan yang sama. Tak hanya ditentang, Mama pun merasa diperlakukan tidak menyenangkan. Ketika Mama dan Papa membawa saya untuk menemui Mbah Uti dan berharap Mbah Uti dapat terketuk hatinya melihat cucunya yang belum diberi nama, justru membanting pintu dan enggan menemui. Hanya Mbah Kung yang menemui dan memberi nasihat pada Mama dan Papa. Ketidaksetujuan Mbah Uti diikuti oleh sikap anak-anak atau paman dan bibi kami dari pihak Papa. Beberapa paman dan bibi tidak menyukai keberadaan Mama, menentang, bahkan secara terbuka mengabaikan keberadaan Mama atau yang paling ekstrim adalah secara terbuka menabuh gendering perang.
Tanggal 29 September 1992, lahirlah Bakhtiar Amrullah.
Tanggal 16 Juli 1994, lahirlah Insanul Muttaqin.
Karena saya memiliki dua orang adik dan ketika itu saya terlalu aktif sebagai seorang bocah, Papa dan Mama memutuskan untuk menyekolahkan saya di Taman Kanak-Kanak supaya saya dapat bersosialisasi dengan kawan-kawan seumuran. Mama dan Papa awalnya hanya berniat agar saya dapat bermain dan belajar dengan baik. Tapi kenyataannya, saya terlalu pintar dan pada saat usia saya baru belum empat tahun, saya lulus dari TK. Hanya setahun saya menempuh pendidikan di TK.
Pada tahun 1995, kami pindah dari Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang ke Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang. Mama membeli rumah di Griya Pelutan Indah, Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang dari uang pemberian Mbah Ibu dan Mbah Bapa. Kekurangan pembayaran pembelian rumah dilakukan dengan menyicil dari gaji Papa yang dipotong oleh pihak BTN. Papa sudah menjadi PNS jabatan awal.
Mbah Bapa dan Mbah Ibu bercerai. Mbah Ibu tetap tinggal di Randudongkal, di rumah Mbah Buyut, orang tua beliau. Mbah Bapa pindah ke Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang dan tinggal di rumah anak perempuan pertama dari pernikahan sebelumnya yang usianya hampir sebaya dengan usia Mbah Ibu.
Mama menganggap bahwa kehidupan kami di daerah kurang dapat berkembang. Perekonomian keluarga ketika itu sangat berantakan. Saya terpaksa tidak meneruskan sekolah ke tingkat SD karena orang tua tidak memiliki dana. Selanjutnya, saya menghabiskan waktu satu tahun untuk total bermain. Kami harus beradaptasi dengan kehidupan perkotaan yang mandiri. Pekerjaan Papa masih tetap di SMA di Randudongkal. Papa bekerja dengan dilaju menggunakan bus setiap pagi.
Tahun 1996, saya masuk sekolah dasar pada usia lima tahun. Orang tua saya hanya memiliki sebuah sepeda sebagai kendaraan operasional. Itu pun sepeda laki-laki merek Federal yang dimiliki Papa. Setiap ke sekolah, saya bersama teman-teman di lingkungan perumahan menumpang becak. Sebuah becak berisi enam atau tujuh penumpang anak kelas satu SD yang setiap pagi dan pulang sekolah mengantar jemput kami.
Mbah Ibu menikah dengan seorang duda beranak dua yang merupakan pensiunan Angkatan Laut. Konon mereka dulunya sudah berpacaran, namun kandas karena Mbah Buyut tidak setuju bila Mbah Ibu dengan Mbah Om dan Mbah Ibu juga sudah dijodohkan dengan Mbah Bapa. Mama dan adik lelaki Mama, Om A, kurang setuju dengan pernikahan Mbah Ibu dengan alasan yang tidak saya tahu. Mungkin Mama tidak dapat menerima perceraian Mbah Bapa dan Mbah Ibu. Suami Mbah Ibu kami panggil dengan sebutan Mbah Om. Beliau masih tinggal di Jakarta dan bolak-balik Randudongkal-Jakarta.
Tanggal 9 Mei 1997, lahirlah Frida Huda Kurnia.
Mbah Uti dan Mbah Kung pindah ke perumahan yang sama dengan kami dan hanya berjarak lima rumah dan dua jalan dari rumah kami. Lurus saja, mungkin sekitar 250 meter dari  rumah kami. Mbah Uti masih tidak bisa menerima kehadiran Mama dan kakak perempuan pertama Papa tidak bisa menerima kehadiran kami, anak-anak Mama dan Papa. Hal yang agak menggelikan ketika merayakan Idul Fitri di rumah Mbah Kung dan Mbah Uti, kami berempat harus menyelinap menghindari kakak pertama Papa. Bila sampai ketahuan kami ada di rumah tersebut, kami diminta segera pulang. Kami hanya menuruti perintah dan tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi atau mengambil hati apa permasalahannya dengan kehadiran kami.
Teman-teman saya di perumahan yang juga teman satu sekolah, bahkan satu kelas dengan saya menganggap bahwa saya tidak setara dengan mereka karena saya bersekolah satu tahun lebih cepat dari anak lainnya. Kejadian lain yang tidak bisa saya lupakan adalah mendapat pelecehan seksual dari kakak sahabat saya. Siang hari sepulang sekolah, seperti biasa saya bermain ke rumah kawan saya, R, yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Kami bermain boneka di kamarnya. Tak lama berselang, kakaknya yang berada di kelas dua, Mas A, dan kawan kakaknya yang berada di kelas empat, Mas B, masuk ke kamar dan bermain. Saya dan R tetap bermain di kamar. Lalu Mas A memberi gagasan untuk mengajak bermain bersama. Kami menerima. Pertama, ia meminta agar kami menutup pintu kamar dan menutup gordin kamar. Kami menuruti permintaan mereka. Lalu kami diminta untuk melepaskan celana dan merebahkan badan di kasur, kami pun menuruti tanpa curiga. Selepas bermain, Mas A dan Mas B mengancam agar saya tidak memberitahukan apa yang telah terjadi pada orang tua. Saya menurut dan ketika itu saya pikir tidak ada hal yang harus diceritakan pada orang tua saya. Tapi setiap kali saya buang air kecil, rasanya sakit dan perih. Saya tidak menceritakan kepada Mama atau Papa karena saya anggap hal biasa. Sama ketika saya buang air besar dan melihat darah, saya tidak merasa heran.
Saya lebih senang memendam apa yang saya rasakan. Itu lebih baik daripada saya membuka mulut. Saya takut dengan Mama dan Papa. Mereka kerap menghukum saya dengan pukulan. Beberapa kali saya berangkat sekolah dengan pipi memar karena dicubit oleh Papa atau saya tidak nyaman duduk di kelas karena pantat saya masih sakit setelah dipukul dengan gagang sapu. Dalam sebulan, beberapa kali saya mendapatkan hukuman semacam ini. Tapi saya lupa apa kesalahan yang mengakibatkan saya mendapat hukuman ini.
Ketika kelas 2 SD, sebelah rumah saya ada tetangga yang baru pindah rumah. Saya diundang untuk bermain ke rumahnya. Saya dan kawan saya, A, mengunjungi rumah tersebut. Tetangga saya merupakan sepasang suami-istri dan dua anak lelaki yang sudah SMP dan SMA. Saya bermain ke rumah mereka dan berlari. Ada beberapa anak yang datang dan bermain-main di rumah yang belum terdapat perabotan. Anak lelaki tetangga saya yang bernama Mas H mengajak saya dan A untuk bermain petak umpet. Kami setuju. Bergantian kami bersembunyi dan mencari. A kali ini yang mencari, saya dan Mas H bersembunyi. Mas H mengajak saya bersembunyi di kamar yang ada di belakang. Saya mengikuti. Setelah sampai di kamar, Mas H menutup pintu dan mengunci pintu pelan-pelan lalu mengarahkan telunjuknya di mulut. Saya duduk di ranjang yang masih belum rapi karena kasur masih tergulung. Mas H duduk di samping saya dan memegang saya. Mas H memeluk saya dan seperti hendak mencium saya. Saya takut dan segera berlari menuju pintu untuk membuka pintu menghambur pulang ke rumah.
Mbah Kung meninggal dunia karena sakit. Pertama kalinya saya kehilangan sosok kakek yang menyenangkan dan sayang pada cucunya. Tapi saya tidak menangis. Saya justru tertawa senang karena ketika kakek meninggal, seluruh sepupu saya datang dan kami berkumpul lalu kami bercerita-cerita. Saya tak tahu kesedihan yang dirasakan oleh Papa dan saudara-saudaranya. Saya hanya ingat sehari setelah Mbah Kung meninggal saya seperti melihat baying-bayang Mbah Kung berdiri di pintu kamar saya dan menatap saya. Ketika itu saya sedang senang-senangnya belajar membaca dan membaca apapun tulisan yang saya berkesempatan untuk membacanya. Saat hari pemakaman Mbah Kung, saya melihat sebuah nisan milik seseorang yang mengeluarkan fatamorgana. Sampai saat dewasa nanti, pengalaman tersebut menjadi misteri bagi saya mengenai fenomena tersebut.
Saya bukan anak yang luar biasa jenius. Saya hanya anak biasa yang belajar bila perlu. Saya hanya suka membaca dan kerap mengobrak-abrik tumpukan berkas di lemari pekerjaan Papa untuk mencari buku yang bisa dibaca. Buku apapun. Sejak SD memang tidak mendapat peringkat kelas yang bisa dibanggakan, tapi saya tetap mendapat angka untuk kolom peringkat ke. SD kelas 2 saya masuk 10 besar dan didaftarkan sebagai dokter kecil. SD kelas 3 saya juga mendapat peringkat kelas dan masuk 10 besar lalu saya mendapat penawaran masuk kelas unggulan di kelas 4. Kelas unggulan merupakan kelas yang dibuat oleh sekolah saya untuk menampung sepuluh besar peringkat teratas dari dua sekolah. Mama dan Papa dengan senang hati memasukkan saya di kelas unggulan.
Biaya SPP di kelas unggulan empat kali lipat dari biaya SPP di kelas regular. Durasi belajar di kelas unggulan ialah pukul 7.00 hingga pukul 15.30. Beberapa pelajaran ditambahkan, seperti bahasa Inggris dan seni musik. Dalam satu kelas, hanya terdapat enam belas orang. Kami juga mendapatkan pelajaran komputer walaupun kami harus membayar Rp200.000 peranak untuk membeli unit komputer tersebut.
Papa mencari pekerjaan tambahan sebagai guru les bimbingan belajar yang dilaju dari Randudongkal ke Pemalang, Tegal, dan Pekalongan. Setiap hari Papa pulang malam hari atau bahkan Papa pulang saat kami terlelap. Setiap hari Mama selalu meminta kami sudah mandi sore dan rapi, sekali pun kami hanya menikmati sore hari dengan duduk manis di depan televisi menonton kartun.
Saya merasa sangat minder di kelas unggulan. Saya hanya mendapat rangking bontot. Anak-anak di kelas unggulan semuanya merupakan anak yang memiliki keluarga dengan latar belakang finansial yang baik. Ketika jam istirahat siang, sekitar pukul 12.30, mereka yang membayar Rp20.000 perminggu mendapat fasilitas makan yang telah disiapkan sekolah. Sedangkan saya setiap hari membawa bekal yang lauknya sudah disiapkan sejak pagi oleh Mama. Entah kenapa dan ini merupakan misteri bagi saya, seorang anak bisa dengan sangat terbuka menghina rekannya yang memiliki kemampuan lebih rendah darinya. Padahal ketika itu kami masih berusia sekitar sepuluh tahun. Apapun yang saya bawa, beberapa anak mencemooh dan mengomentari dengan nada sinis. Saya sangat minder.
Saya berangkat ke sekolah menggunaan sepeda bekas merek Phoenix yang dicat oleh Papa dengan cat kayu warna hijau muda. Setiap ke sekolah, saya membawa tiga tas. Tas pertama berisi buku catatan yang saya letakkan punggung, tas kedua berisi buku paket yang saya taruh di keranjang, dan tas ketiga berisi bekal makan yang saya kalungkan di setang sepeda saya. Teman-teman saya yang lain cukup memiliki sebuah tas dorong yang dapat menampung buku catatan dan buku paket, dan tentunya mudah dibawa karena cukup ditarik dan tas tersebut memiliki roda. Mama dan Papa merasa kasihan ketika saya harus berangkat pagi dan pulang sore hari, akhirnya membiarkan saya bangun agak siang. Namun mereka justru membuat saya terlambat berangkat sekolah setiap hari, dikunci dari depan gerbang sekolah, dan mendapat hukuman dari guru.
Kesempurnaan yang saya alami semakin klimaks ketika pelajaran seni musik. Kami diwajibkan membawa pianika atau rekorder untuk memainkan lagu-lagu. Ketika itu orang tua saya membelikan saya rekorder karena mereka tidak mampu membelikan pianika yang berharga sangat mahal. Saya membawa rekorder yang saya miliki. Ternyata hanya dua orang yang membawa rekorder. Dan entah kenapa rekorder saya menghasilkan bunyi yang aneh. Guru seni musik sudah membantu untuk menyetel rekorder saya, tapi suara yang dihasilkan tetap tidak nyaman untuk didengar. Teman-teman menertawakan rekorder saya dan meminta saya untuk tidak memainkan rekorder tersebut. Saya diam. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sadar kapasitas saya. Saya tidak mungkin menuntut orang tua saya untuk membelikan barang yang sama dengan yang mereka miliki.
Ketika saya tidur, Papa baru pulang bekerja, membangunkan saya dan meminta saya menuju ruang tamu. Suasana ruang tamu gelap. Saya diminta duduk. Papa menunjukkan sebuah pianika merek Yamaha dengan bungkus biru muda yang ada di samping Papa. Saya senang sekali dan apapun yang saya rasakan, saya diam. Saya hanya tersenyum sambil mendengarkan petuah Papa. Papa meminta agar pianika tersebut tidak dicorat-coret atau diberi keterangan nada. Saya mengangguk. Papa memainkan sebuah lagu dengan pianika dan saya mendengarkan. Papa mencium kening dan pipi saya. Saya senang. Besok pelajaran seni musik dan saya membawa pianika baru. Saya diminta kembali tidur.
Keesokan harinya, hari hujan. Saya ke sekolah dengan menggunakan becak. Kali ini saya lebih repot dari biasanya karena selain tiga tas yang biasa saya bawa, saya juga membawa pianika yang lumayan besar. Ketika saya membawa pianika baru, teman-teman menyoraki. Saya duduk dengan teman saya, G. Dia antusias melihat pianika baru saya. Dengan senang hati saya memperlihatkan pianika saya yang masih mulus. Dia mengatakan kenapa pianika saya tidak diberi keterangan nada. Saya bilang Papa tidak boleh. Lalu ia mengambil spidol permanen warna merah yang ia miliki dan menuliskan nada di pianika saya. Saya diam saja.
Setelah pulang, Mama dan Papa terkejut dengan penampilan baru pianika saya. Bahkan dengan warna merah. Mama dan Papa menginterogasi saya. Saya menjawab sesuai yang saya tahu. Keesokan harinya, Mama menemui salah satu guru dan menceritakan insiden pianika berspidol merah tersebut. Selang seminggu, saya dan G dipertemukan untuk dimintai keterangan oleh wali kelas kami. G mengatakan bahwa saya yang menyuruhnya menulisi pianika saya. Apa yang disampaikan G sangat berbeda dengan kenyataan dan saya tidak mengerti. Saya tidak tahu harus mengatakan apa. Saya juga takut karena orang tua G sangat terkenal sebagai aparat negara yang konon tidak segan-segan menembakkan senjatanya pada penjahat. Saya pernah melihat bapak G yang badannya besar, kumis lebat, berambut gondrong. Akhirnya, saya pulang dan membawa pianika tanpa berkata apa-apa. Saya mendapat hukuman pukulan dan tamparan dari Mama Papa. Mama dan Papa mendiamkan saya dalam jangka waktu lama. Itu merupakan hukuman terbaru selain fisik. Saat di rumah, saya berada di antara ada dan tiada. Ketika waktu sarapan, Mama tetap membuatkan susu dan menyiapkan bekal untuk saya, tapi mereka tidak mengajak saya berbicara. Mereka menganggap saya telah membuat wirang atau membuat kehebohan yang mempermalukan mereka.
Tak hanya selesai di pianika. Suatu hari, teman sekelas saya, S, kehilangan jam yang berbentuk kalung yang ia miliki. Guru kami mendengar. Setiap tas digeledah dan setiap anak ditanyai, siapa yang terakhir kali meminjam atau melihat jam milik S. Bahkan hingga halaman depan dan selokan di depan kelas pun ikut disisir, barangkali jam milik S terjatuh atau terlempar. Dan entah bagaimana, saya mendapat tuduhan bahwa saya yang terakhir kali memegang dan dicurigai mengambil. Saya bingung karena saya hanya melihat jam milik S ketika ia memamerkan jamnya tersebut di depan anak-anak lain. Saya menjadi tertuduh. Saya tidak menceritakan apa yang saya alami pada Mama dan Papa karena mereka pun masih mendiamkan saya. Saya mencari-cari di tas dan di rak buku saya, barangkali jam tersebut terselip, tapi tidak saya temukan. Selisih satu minggu, seorang anak laki-laki mengatakan bahwa ia menemukan jam milik S di pot bunga depan kelas.
Masa yang sungguh berat harus saya lalui. Setelah bertahun-tahun saya menyimpan rahasia atau lebih tepatnya aib saya, aib tersebut terbongkar. Mas A dan Mas B menceritakan pada anak-anak yang ada di perumahan kami bahwa saya sudah tidak perawan karena saya pernah “ditul-tul” oleh mereka. Semua anak di perumahan kami mengetahui hal tersebut. Tak hanya anak lelaki, anak perempuan pun mengetahui hal tersebut. Setiap saya pergi keluar rumah, mereka tertawa dan mengatakan lelucon itu. Saya bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Perasaan malu, minder, marah, dan perasaan bersalah menghantui saya. Entah bagaimana saya bisa merasa bersalah ketika keperawanan hilang. Saya tidak tahu siapa yang memberi tahu atau mengajari saya bahwa seorang wanita akan berharga bila masih perawan. Sementara saya sudah tidak.
Memasuki kelas 5, saya masuk ke kelas regular B. Guru kelas 5B merasa kebingungan karena saya tiba-tiba berada di kelasnya dan saya tidak berada di presensi mereka. Sekolah pun tidak mendapat laporan saya pindah kelas. Saya memang masuk sendiri ke kelas regular B karena merasa tidak sanggup secara psikis untuk meneruskan pendidikan di kelas unggulan yang penuh intrik. Kedua orang tua saya dipanggil untuk mengurus kepindahan saya ke kelas reguler. Sepulang sekolah, Mama dan Papa menanyai saya kenapa tiba-tiba saya ada di kelas reguler. Saya menjawab bahwa saya kasihan dengan Mama dan Papa yang mengeluhkan biaya kelas unggulan yang mahal dan saya piker itu memberatkan mereka. Mama dan Papa justru tertawa dan mengatakan bahwa itu merupakan motivasi agar saya dapat lebih giat belajar di kelas unggulan karena orang tua berusaha lebih agar saya bisa berada di kelas tersebut. Tapi saya tetap tidak ingin di kelas unggulan. Saya merasa tidak sanggup. Saya enggan mengatakan alasan-alasan lainnya. Saya hanya mengatakan saya tidak ingin di kelas unggulan lagi. Mama dan Papa menerima keputusan saya dan akhirnya membiarkan saya di kelas reguler hingga lulus SD.
Menurut saya setiap anak perempuan selalu bermimpi untuk dewasa. Cantik, seksi, dengan rambut panjang. Saya suka berlama-lama di kamar mandi untuk mengguyur rambut saya lalu saya mendongak dan merasakan rambut saya mencapai punggung, walaupun faktanya rambut saya hanya sebatas bahu. Saya juga senang memadatkan daerah dada dan mendapati kuncup payudara yang rasanya mendebarkan. Muncul bulu-bulu halus di sekitar vagina dan membuat saya penasaran, apakah ini dan apa fungsinya. Saya mulai merasa malu. Saya yang tumbuh dengan dua adik lelaki terbiasa melakukan segala sesuatu secara terbuka. Setelah mandi, mengambil handuk di jemuran dengan tubuh masih basah, dan mengelap tubuh di depan televisi, sudah saya hilangkan. Saya mulai malu. Saya hilangkan kebiasaan itu. Sebelum mandi saya sudah menyiapkan handuk dan setelah mandi saya segera ke kamar untuk berganti baju. Saya senang memandang dada saya dan membayangkan akan ada gundukan tinggi yang memenuhi dada saya seperti mbak-mbak di layar televisi. Rasa mendebarkan mengenai perubahan yang datang pada diri saya tak hanya dari fisik. Saya juga mulai mengagumi seorang anak lelaki yang sering bersepeda di depan rumah. Saya menyukai sensesi malu-malu ketika berada di depannya atau bahkan hanya melihat sepedanya.
Setiap sepuluh hari sekali, keluarga kami mendapat jatah menarik tabungan dasa wisma. Sejak SD saya diajarkan Mama prosedur menarik tabungan dasa wisma. Saya berkeliling di rumah yang berada satu garis dengan rumah kami. Uang yang diberikan dari tiap rumah dicatat dan disetorkan pada keluarga yang mendapat kepercayaan mencatat rekapan. Saya terbiasa menarik tabungan dasa wisma ketika sore, setelah mandi dan membantu Mama. Saya mengetuk pintu setiap rumah dan mengatakan bahwa saya menarik tabungan. Sore itu, di rumah salah satu tetangga, saya mengetuk pintu rumahnya ketika hari menjelang petang. Pintu dibukakan oleh tuan rumah, Pak B. Ketika memberikan uang dan saya mencatat uang dengan buku batik besar, Pak B menyentuh dengan telunjuk daerah dada saya. Ia mengatakan kaos saya memiliki bordiran yang bagus. Tapi apa yang saya rasakan berbeda dengan apa yang ia katakan. Saya mohon diri untuk melanjutkan tugas saya.
Kebiasan Mama dan Papa menghukum saya secara fisik terus berlanjut. Bahkan untuk hal-hal sepele seperti lupa mematikan kompor atau belum mandi ketika sore. Ketika Mama dan Papa menghukum saya, saya kerap berteriak keras memohon ampun. Sampai suatu ketika, tetangga di depan rumah mengetuk pintu rumah kami karena tangis saya rasanya sudah terlalu berlebihan. Mama mengatakan bahwa saya melakukan kenakalan. Saat itu kedua tangan saya diikat di belakang dan diletakkan di dalam ember berisi air bekas mencuci baju. Mulut saya disumpal dengan lap makan supaya saya tidak menangis dan berteriak. Badan saya sakit dan nyeri dan beberapa luka menghasilkan sensasi perih ketika terkena air sabun. Saya dihukum sampai tengah malam. Setelah itu saya dilepaskan dan disuruh mandi. Sayangnya, didikan keras mereka meninggalkan rasa untuk membalas dendam. Saya melakukan hal yang sama pada ketiga adik saya. Entah perasaan tidak terima karena mereka tidak mengalami apa yang saya alami ataukah dorongan tanpa sadar dalam diri saya yang membuat saya menduplikasi apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tua saya.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...