Manual painting karya Arief Hadinata |
Pertengahan tahun 2002 merupakan
waktunya lulus SD dan waktunya memilih SMP. Setelah menempuh SD di salah satu
SD favorit di Kabupaten Pemalang, saatnya memilih SMP yang juga menjadi favorit
di Kabupaten Pemalang. Lulus SD dan memilih SMP dari sekolah favorit menuju
sekolah favorit rasanya seperti bedol desa. Semua anak di SD ingin masuk ke
sekolah favorit. Hanya segelintir anak yang memilih sekolah lain karena alasan
jarak yang lebih dekat. Ketika mendaftar SMP, saya mendaftar sendiri. Hanya
meminta sejumlah uang pada Mama untuk biaya pendaftaran. Oh iya, saat itu
pendaftaran SMP merupakan sistem gugur di mana anak yang mendaftar di SMP harus
mengikuti ujian tertulis yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Peserta yang
tidak lolos ujian tertulis, diberi kesempatan untuk mendaftar di sekolah swasta
karena pelaksanaan ujian tertulis SMP dilaksanakan secara serempak.
Pagi hari sebelum ujian tertulis
SMP, Papa mengajak saya mengobrol sambil sarapan. Tepat hari itu juga, Papa
menanyakan kesanggupan saya untuk masuk ke SMP favorit. Papa memberikan wacana
di depan SMP favorit merupakan SMP tempat Papa pernah menimba ilmu. Saya
diminta Papa untuk mempertimbangkan kembali keputusan yang telah saya ambil
karena bila saya sampai gagal masuk ke sekolah favorit, konsekuensi saya ialah
masuk ke sekolah swasta. Saya tetap keukeuh
memilih sekolah pilihan saya. Papa pun mengalah dan membiarkan saya tetap
berjuang dengan pilihan saya. Dan saya diterima di sekolah favorit saya.
Frida, adik bungsu saya sakit. Ia
mengatakan bahwa ketika buang air kecil rasanya sakit. Mama menampung air seni
Frida dan melihat bahwa air seninya menghasilkan semacam endapan tepung. Frida
dirawat di dua rumah sakit berbeda di Kabupaten Pemalang. Dua dokter berbeda
dari dua rumah sakit berbeda memberikan diagnosa Frida menderita typus dan demam berdarah. Mama merasa
kurang puas dan memutuskan memindahkan Frida ke rumah sakit di Kota Tegal.
Frida didiagnosa menderita infeksi saluran kencing dan harus segera dioperasi.
Mama mencari informasi mengenai rumah sakit dan dokter yang mumpuni untuk
melaksanakan operasi bagi Frida. Dengan berbagai pertimbangan, Mama memilih
Rumah Sakit Angkatan Darah Jendral Gatot Soebroto Jakarta sebagai lokasi Frida
melaksanakan operasi. Butuh waktu hampir setahun bagi Frida sejak awal diagnosa
hingga selesai operasi.
Mama mengajarkan saya menggunakan
kerudung. Saya berkerudung setiap ke sekolah. Mama menjahitkan baju panjang
untuk saya, termasuk seragam. Padahal sebelumnya saya memiliki baju pendek.
Perubahan pada penampilan saya membuat teman-teman heran. Mereka tidak
menyangka saya akan berkerudung. Ketika itu berkerudung bukan merupakan hal
yang mainstream. Dalam satu kelas,
hanya terdapat dua atau tiga orang anak yang berkerudung. Saya tidak keberatan
berkerudung karena saya menganggap tidak terlalu mengganggu. Mama meminta saya
meningkatkan kualitas ibadah saya. Saya masih rajin beribadah ke mesjid ketika
magrib dan sisanya saya laksanakan di rumah. Sayangnya, berkerudung justru
menjadi penghalang bagi aktivitas remaja seperti saya. Seperti ketika saya
belajar bermain bola basket, banyak anak-anak yang menertawakan saya dan
mengatakan bahwa saya salah tempat. Saya harusnya ada di pengajian, bukan
datang ke lapangan basket. Jam tambahan olahraga berupa renang harus saya
pupuskan karena saat itu anak-anak yang berkerudung tidak melaksankan jam
tambahan renang dan hanya duduk-duduk di kolam renang menjaga tas milik
rekannya. Saat mengikuti kegiatan drum
band di sekolah pun, saya tersisih. Ketika pemilihan seragam, saya bingung
karena seragam yang diberikan berlengan pendek. Akhirnya saya mengalah dan
melepaskan jabatan pemain pianika pada rekan saya. Banyak ekstrakurikuler yang
membuat saya merasa bahwa berkerudung ketika itu membatasi aktivitas saya,
seperti tari, drama, dan sebagainya. Saya sempat bingung dan depresi, tetapi
akhirnya saya hanya bisa diam dan tak berbuat apapun.
Sebagai anak pertama dan cucu
pertama dari keluarga Mama, saya menjadi kebanggaan bagi Mbah Ibu. Mbah Ibu
menceritakan kesuksesan saya masuk di sekolah favorit dan Mbah Ibu bahkan yang
dengan sangat antusias mengambilkan rapot pertama saya di SMP. Mbah Ibu sangat
bangga menceritakan bahwa saya memperoleh peringkat 14 di kelas dan kelas saya merupakan
kelas yang meraih penghargaan sebagai kelas dengan nilai tertinggi secara
paralel.
Mbah Ibu baru selesai menjalankan
pengobatan dan kemoterapi kanker rahim yang beliau derita. Hampir dua tahun
beliau bolak-balik Randudongkal-Jakarta untuk melaksanakan pengobatan dan
kemoterapi. Setelah kondisi membaik, Mbah Ibu selama beberapa waktu tinggal di
rumah kami. Kami sangat senang dengan kehadiran Mbah Ibu karena Mbah Ibu selalu
memanjakan cucu-cucunya dengan membuatkan makanan yang enak dan menata
perlengkapan sekolah kami. Kami sangat senang dengan Mbah Ibu yang sangat
perhatian.
Suatu hari beberapa kawan
berkunjung ke rumah saya untuk mengajak bersepeda. Mereka memanggil nama saya
dari depan rumah dan ketika itu disambut oleh Mbah Ibu. Mbah Ibu mengatakan
bahwa saya masih tidur. Mereka melihat Mama tengah menyuapi Frida di teras
rumah. Keesokan harinya di sekolah, teman-teman memberi tahu saya perihal
kunjungan mereka ke rumah dan mengatakan bahwa mereka diberitahu oleh ibu saya
bahwa saya sedang tertidur dan melihat keponakan saya yang lucu sedang disuapi
oleh kakak perempuan saya. Ketika saya memberi tahu pada mereka bahwa itu
adalah Mbah Ibu, Mama, dan adik bungsu saya, mereka tidak percaya. Mereka
berkomentar bahwa Mama saya masih sangat muda dan tidak percaya dengan wajah
saya bahwa saya merupakan anak pertama. Mereka selalu mengira saya merupakan
anak bungsu. Entah dari mana mereka mendapat hipotesis semacam itu.
Tahun 2003 adalah momen ketika
ponsel menjadi salah satu perangkat yang dimiliki oleh teman-teman saya miliki.
Saya belajar cara menggunakan ponsel karena tidak ingin disebut gaptek dan saya
juga belajar memperbaharui informasi mengenai ponsel keluaran terbaru supaya
tidak dibilang cupu. Tak hanya mengenai gaya hidup, mengenai buku, informasi
umum, musik, dan kegemaran anak seusia saya, kembali dengan alasan supaya tidak
dibilang ketinggalan informasi. Saya dapat menggunakan ponsel sebelum saya
memiliki. Saya juga sudah dapat mengendarai sepeda motor bebek sebelum saya
memiliki SIM C apalagi memiliki sepeda motor.
Papa membeli ponsel karena
kebutuhan. Di rumah kami, kami tidak memiliki telepon rumah. Perangkat
komunikasi yang kami miliki hanya mulut. Papa membeli ponsel Nokia 3315 dan
sebuah perdana Matrix dengan total Rp1.500.000. Papa mengatakan bahwa ponsel
tersebut dapat digunakan untuk seluruh anggota keluarga. Ponsel tersebut akan
ditinggal di rumah untuk digunakan menghubungi atau SMS yang ada di dalam rumah
bila memiliki keperluan yang mendesak.
Awalnya memang digunakan untuk
penghuni rumah, namun akhirnya Papa menggunakan untuk kepentingannya dan
melarang anaknya untuk meminjam ponsel. Papa berargumen bahwa pulsa mahal dan
saya hanya membuang-buang pulsa untuk SMS yang tidak penting dengan kawan-kawan
saya.
Suatu hari, saya penasaran, entah
apa yang membuat saya akhirnya membuka ponsel Papa. Saya melihat gambar bibir
bertuliskan “I Love You”. Terlalu
ganjil untuk saya. Lalu saya membuka kontak dan menemukan nama kontak “A My Lady”. Tak ada apapun dalam pikiran
dan benak saya, tapi saya segera mencatat nomor ponsel dengan nama kontak
tersebut.
Sejak Frida dioperasi dan harus
bolak-balik Pemalang-Jakarta untuk kontrol, saya dan ketiga adik saya terbiasa
berada di rumah bertiga. Kami diajarkan bagaimana membuat nasi dengan rice cooker, bagaimana mengoperasikan
mesin cuci, bagaimana membuat susu untuk sarapan, dan apa saja yang harus
dilakukan. Dalam sebulan, selama dua minggu kami bertiga hidup sendiri. Papa
memberikan uang saku dan uang untuk kami makan. Terkadang, tetangga yang
tinggal di samping dan di depan rumah kami mengirimkan makanan untuk kami
makan. Kami hanya merasa heran kenapa Mbah Uti tidak sekejap pun mengunjungi
kami. Saya diajarkan semua pekerjaan rumah, tetapi ada satu yang tidak Mama
ajarkan pada saya, yaitu cara memakai pembalut. Suatu pagi ketika bangun tidur,
saya merasakan basah dan lengket dan saya tidak merasa mengompol. Setelah ke
kamar mandi dan mendapati darah, saya memberi tahu Papa untuk meminta uang
membeli roti. Saya mengatakan roti karena malu bila mengatakan pembalut. Papa
hanya bingung dengan tingkah saya dan mengatakan bahwa beliau sedang tidak memiliki
uang. Saya mengunjungi salah satu tetangga yang memiliki anak perempuan dan
mengatakan bahwa saya membutuhkan roti. Beliau memberikan pada saya sebungkus
pembalut yang telah berkurang. Saya segera pulang karena harus bersiap ke
sekolah. Tapi saya sadar, saya tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Saya
kembali ke rumah tetangga saya dan mengatakan bahwa saya tidak tahu cara
menggunakan pembalut. Beliau tertawa dan mengajarkan pada saya bagaimana cara
menggunakan pembalut.
Datang bulan merupakan periode
paling mengharu-biru bagi remaja seperti saya. Remaja perempuan selalu dihantui
oleh mitos bahwa bila tidak mengalami datang bulan, akan berkeringat dan darah
akan keluar melalui pori-pori kulit. Tentu kami, khususnya saya tidak
menginginkan hal tersebut. Sebisa mungkin saya berdoa agar saya dapat mengalami
datang bulan. Terwujudlah permintaan saya pada Tuhan. Tapi entah kenapa saya
selalu gagal menggunakan pembalut dengan baik dan benar. Selalu bocor, tidak
hanya tembus, tetapi bocor yang membasahi rok biru saya sampai saya harus
menutupnya dengan tas atau jaket dan saya harus mencuci rok saya setiap pulang
sekolah dan harus bersiap menggunakannya untuk dua hari lagi.
Setelah Idul Fitri 2003, Mama
mengajak saya pergi ke warung telepon kala hari hujan dan kami menggunakan
payung. Mama menghubungi rekan kerja Papa yang juga merupakan guru Mama ketika
bersekolah. Beliau menangis dan menceritakan apa yang tengah membuat hatinya
gundah. Saya diam dan mengikuti Mama hingga pulang ke rumah. Setelahnya, saya
memberikan nomor ponsel dari kontak yang saya dapat pada Mama. Seketika itu
pula Mama menangis dan segera ke warung telepon untuk menghubungi nomor
tersebut. Saya diajak serta. Saya mendengar obrolan Mama. Wanita yang ada di
seberang pesawat telepon mengatakan bahwa ia merupakan mahasiswi sebuah
perguruan tinggi di Semarang.
Itulah awal konflik di keluarga
kami. Saya dengan datar menceritakan pada Mama apa yang terjadi ketika Mama
kerap pergi ke Jakarta untuk mengontrol kesehatan Frida pascaoperasi. Saya
pernah mendapati Papa pulang ke rumah dengan lengan jaket yang dikalungkan di
leher, persis dengan penampilan remaja yang baru pulang dari kencan. Sebagai
remaja saya pun dengan sangat aneh merasakan apa yang terjadi pada Papa bukan
hal yang lazim, apalagi ketika itu keluarga kami belum stabil setelah operasi
Frida.
Rumah kami yang dulu selalu
mengalami kebocoran dan mengalami kerusakan di sana-sini, diperbaiki dan dibuat
menjadi nyaman bagi kami. Saya senang akhirnya memiliki televisi besar dengan
remot untuk mengganti channel
televisi. Televisi kami yang sebelumnya merupakan televisi berlebar 14 inci
dengan tombol yang sudah rusak. Untuk mengganti channel atau mengeraskan suara, harus kami pencet dengan batang
bambu atau kayu. Saya atau adik-adik saya bila sedang kurang beruntung akan
meringis karena tersengat listrik kecil yang dihasilkan dari tombol buatan
kami.
Kegiatan meninggalkan saya,
Bakhtiar, dan Insanul pun berlanjut. Kali ini bukan karena Frida sakit, tetapi
karena Mama mengumpulkan informasi mengenai aktivitas Papa di sekolah. Papa
kerap pulang malam dan mengatakan ada lembur pekerjaan dengan rekan kerja,
padahal rekan kerja Papa sedang di rumah dengan keluarga. Pertengkaran Mama dan
Papa menjadi hal yang biasa bagi kami. Beberapa kali saya mendapati Mama enggan
makan dengan mata yang bangkak, lebam, atau tubuh yang membiru. Saya pernah
mendapati pisau ada di kamar Mama-Papa. Entah terlalu lugu atau terlalu bodoh,
saya malah mencekoki Mama dengan bukti-bukti baru hasil saya berburu buku
bacaan di lemari kerja Papa. Saya mendapati sebuah block note yang di dalamnya berisi tulisan mengenai chatting SMS Papa dengan wanitanya.
Wanita tersebut merupakan murid perempuan Papa yang usianya selisih empat tahun
lebih tua dari saya.
Pertengkaran dan keributan Mama dan
Papa sudah menjadi bumbu keseharian kami. Mereka kerap berteriak dan saling
memaki di depan anak-anaknya. Saya sering mencuri uang dari tas kerja Papa dan
sebanyak dua kali saya mendapat coklat besar. Dengan santainya saya ambil dan
saya bagi dengan adik-adik. Keesokan hari Papa menanyakan siapa yang mengambil
coklat di tas Papa, Insanul mengatakan bahwa ia mendapat potongan coklat dari
saya. Papa langsung memukul saya. Pernah suatu ketika saya sedang makan mie
rebus sambil menonton televisi di ruang tengah. Saya dan adik-adik bercanda
lalu saya melontarkan candaan mengenai wanita Papa. Seketika itu Papa
melemparkan sepatu yang tengah dipakai dan mengenai mangkuk mie rebus dan mata
saya. Mangkuk mie rebus terbelah menjadi dua dan mata saya berdarah. Mama
menarik saya ke dokter untuk diperiksa. Dokter yang menangani saya menanyai
Mama mengenai penyebab mata saya berdarah dan Mama hanya bisa mengatakan bahwa
saya bertengkar dengan adik saya. Malam itu juga Papa meminta maaf pada saya
dan memberikan saya uang sebagai kompensasi yang akan saya gunakan untuk uang
saku mengunjungi saudara di Jakarta.
Mbah Bapa yang sebelumnya tinggal
di rumah anak perempuan pertamanya, Bude E, merasa seperti didepak semenjak
Bude E meninggal. Mbah Bapa beberapa kali mengunjungi rumah kami dan menginap.
Penampilan beliau menjadi seperti gembel dengan pakaian yang dekil dan
kumis-jenggot yang tumbuh berantakan. Rambut Mbah Bapa pun tidak lagi disisir
rapi dan sudah nampak panjang. Rupanya kehadiran Mbah Bapa tidak dikehendaki
oleh Papa. Papa tidak menyukai Mbah Bapa. Papa marah pada Mama akan kehadiran
Mbah Bapa dan selalu menjadikan kehadiran Mbah Bapa sebagai alasan Papa untuk
tidak betah berada di rumah. Mama mengalami kebuntuan untuk mengomunikasikan
pada Mbah Bapa atas apa yang Mama rasakan pada keluarganya. Mama mencoba untuk
membawa Mbah Bapa ke panti jompo tetapi Mbah Bapa justru kabur dari panti jompo
dan kembali mendatangi rumah kami. Selama sekian bulan Mbah Bapa tetap
mengunjungi rumah kami. Papa tidak berkenan membuka pintu rumah pada Mbah Bapa
dan akhirnya membuat Mbah Bapa memilih tidur di teras rumah kami seperti
gelandangan. Hal tersebut menimbulkan gunjingan pada tetangga. Saya dan ketiga
adik saya turut serta dalam pusaran kebingungan atas apa yang terjadi dalam
keluarga kami. Hingga akhirnya selama sekian bulan, Mbah Bapa tidak lagi
menampakkan diri di rumah kami. Setelah itu, kami memperoleh kabar bahwa Mbah
Bapa telah meninggal dunia tapi kami tidak mengetahui di mana Mbah Bapa meninggal
dunia dan di mana Mbah Bapa dimakamkan. Hingga saat ini kami tidak mengetahui
keberadaan Mbah Bapa.
Perasaan minder dan malu selalu
menghantui saya. Sejak Mama Papa bertengkar dan saya beberapa kali menjadi
sasaran kemarahan dan depresi mereka, saya kerap membolos sekolah. Saya malu
kalau harus berangkat ke sekolah dengan mata menghitam atau badan kesakitan
karena bekas pukulan yang belum hilang nyerinya. Kalaupun saya berangkat dari
rumah, saya biasanya enggan langsung pulang ke rumah. Saya suka berkunjung ke
rumah rekan saya, Ni, anak seorang dokter. Di rumahnya saya merasa aman dan
nyaman. Saya tidak mendengar pertengkaran orang tua. Saya bisa makan enak dan
diajak jalan-jalan dengan menggunakan sepeda motor yang dimiliki Ni. Saya baru
pulang saat petang atau magrib.
Saya juga beberapa kali kabur dari
sekolah untuk sekadar bermain di warung internet bersama Ni dan kawan-kawan. Bisa
dikatakan Ni dan kawan-kawan merupakan anak popular di angkatan kami. Mereka
memiliki segalanya. Saya berkenalan dengan Ni dan kawan-kawan karena mereka
merupakan rekan saya saat SD dan Ni merupakan sahabat No, sahabat sekaligus
tetangga di perumahan saya. No menjadi tempat saya bercerita apa yang saya
alami. Walaupun tidak seutuhnya saya ceritakan padanya, tapi saya memiliki
tempat untuk berbagi cerita. Saya tidak merasa sendiri. Setiap malam No
mengunjungi saya ke rumah atau saya berkunjung ke rumah No untuk mengobrol
ngalor-ngidul. Atau bila kami sedang bosan mengobrol, kami bersepeda keliling
kota untuk menghilangkan penat.