Wednesday 4 December 2019

Ribetnya Mau Buka Usaha


Jadi, aku udah mulai mau merealisasikan cita-cita buat bikin Kedai Hokage. Soal keinginan punya kedai, warung, atau kafe sebenernya udah ada sejak aku SMA. Waktu itu aku seneng banget sama nama Tozckha. Wkwkwk... Sampe udah bikin desain venuenya segala di buku pelajaran sekolah dan berkhayal mau jualan apa.
Keinginan itu sempat terpendam dan muncul lagi sekitar 2011 ketika aku mulai tahu ada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Aku pengen mencoba mengeksekusi gagasan yang udah lama ada di kepalaku. Waktu itu aku mengajukan proposal untuk untuk SYMP[O]SIUM dan Jingga Delivery. Dua-duanya lolos PKM 2012 kalo nggak salah. Sayangnya, karena aku yang gaptek dan culun, jadi nggak tahu cara eksekusi yang pas. Hasilnya ya nggak sesaui ekspektasi.
Aku sempet down.
Tahun berikutnya ngajuin lagi.
Hasilnya masih sama, nggak sesuai ekspektasi lagi.
Karena aku terlalu muluk-muluk dan nggak tahu diri. Ya gimana nggak tahu diri, lawong proposal usaha maksimal dapet cuma Rp 10 juta kok nekat pengen sewa tempat. Kan goblok!
Jaman segitu belum usum gerobak modern kayak sekarang yang tampilannya lucu-lucu. Belum ada sewa tempat cuma Rp 300 ribu. Iklim usaha waktu itu kayaknya masih yang konvensional dan ditambah aku masih buntu.
Awalnya masih sering mengutuki kebodohan dan kesalahan diri sendiri. Kemudian aku mencoba berdamai, memaafkan diri sendiri, lalu melupakan cita-cita . Kayaknya jualan itu bukan jalan ninjaku. Jadi aku fokuskan untuk kerja, cari uang, dan lulus kuliah (saat itu).
Kemudian aku mulai pacaran sama Bihun. Aku cerita tentang mimpi-mimpiku. Di mendukung cita-citaku yang lama terkubur. Ya karena ketika awal pacaran itu aku baru kerja jadi wartawan, dia mendukung cita-citaku untuk menulis dan menjadi wartawan.
Setelah itu kami menikah.
Soal usaha mulai kami pikirkan sebagai proyek di luar pekerjaan utama.
Untungnya dia merupakan suami yang selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh pasangannya. Dia nggak merasa insecure kalau pasangannya bisa memiliki capaian yang lebih dari dia. Dia justru selalu mendorong pasangannya untuk maju dan selangkah di depannya.
Singkat cerita, setelah melahirkan Aksara, aku sudah ingin mengeksekusi jualan dan membeli gerobak bekas minuman bubble tea milik kawanku. Saat itu aku kepikiran untuk berjualan chicken wings superpedas.
Chicken wings dan salad merupakan obsesi jualanku ketika kerja di Pizza Hut. Tapi setelah menjajal, eksperimen, dan eksekusi, ternyata proses produksinya lumayan berat dan tidak memungkinkan bila harus mempekerjakan mahasiswa sebagai pekerja paruh waktu. Kemudian aku mikir lagi untuk mengganti menu. Sempat ingin jualan rice bowl. Lalu aku juga inget kalau produksi makanan, persiapannya lumayan abis-abisan. Aku nggak siap harus pusing nyetok bahan, ngrajang, nyuci. Intinya untuk preparationnya membuatku udah pusing duluan. Aku nggak siap.
Saat itu aku udah kepikiran nama kedainya Kedai Hokage karena nama julukan Bihun kan Hokage. Kepikiran nama itu ketika berantem sama dia dan keluar beli bensin, trus sekelebat pikiran lewat sebagai inspirasi. Lalu disharing ke Bihun dan dia merasa nama itu lucu. Langsung print sticker dan stempel sebelum terlambat. Gercep, Bo!
Sempet ganti lagi menu lagi ingin jualan manggo sticky rice atau durian sticky rice atau olahan ketan karena aku seneng banget sama ketan. Setelah menjajal membuat sendiri, ternyata mengolah ketan tidak semudah itu, Esmeralda.
Ya Allah...
Nyaris depresi karena aku udah jalan 30% untuk konsep dan ide. Sayang kayaknya waktu dan tenaga yang udah tercurah kalau nggak dieksekusi. Sempet ingin jualan es krim dan liat varian es krim di internet. Ada yang pake cone manual aneka warna. Pikirku saat itu, es krim akan disenangi semua orang dan nggak ada orang yang nggak suka es krim.
Sampai akhirnya kupikir, "Tapi kalo es krim nggak bisa didelivery. Jualanku cuma domestik aja donk?"
Akhirnya setelah mencari inspirasi ke sana-ke mari, aku menemukan jalan, yakni jualan aneka buah. Karena dasarnya aku suka buah, Aksara suka buah, Bihun suka buah. Dan buah nggak bikin bosen atau enek.
Iya nggak sih?
Setelah kepikiran jualan apa, menunya apa, harga berapa, di mana dapet bahan bakunya, ngolahnya, alatnya, dan beli aneka macam lainnya.
Akhirnya tibalah saat yang berbahagia yakni aku malah kepentok sama perizinan tempat usaha.
Udah nembung dari September kemarin, sampe sekarang kabarnya belum jelas. Padahal aku udah bolak-balik menanyakan. Awalnya aku harus menunggu kepastian lokasi dari Alfamart. Setelah lokasi dari Alfamart jelas, aku diminta mengubah desainku karena ternyata setelah desainku jadi, ada perbaikan. Setelah itu aku kirimkan desain revisinya, eh masih ada perubahan lagi karena adanya perbaikan besar-besaran.
Masya Allah...
Sudah tiga bulan nasibku terkatung-katung.
T_T
Pengen nangis rasanya. Perkembangan dan pertumbuhan Kedai Hokage jadi terhambat, padahal aku sudah meniatkan akan memperbesar Kedai Hokage secara serius loh ya...
:-(
Tapi, sambil menunggu kabar baik selanjutnya, kali ini aku mencoba peruntungan dengan mengirimkan proposal kerja sama dengan beberapa instansi untuk bisa mewujudkan cita-cita dan obsesiku menjadikan Kedai Hokage sebagai kedai pertama di Indonesia yang menerapkan pengelolaan swakelola limbah dan sampah.
Semoga terwujud segera. Amin. 

Monday 2 December 2019

Menulis Lagi Untuk Terapi



Menulis apapun itu.
Sulit rasanya untuk tetap bisa konsisten menulis ketika masih membuat pemakluman untuk diri sendiri.
Sebenarnya aku selalu suka aktivitas menulis.
Entah menulis cerita fiksi, menulis puisi, atau sekadar menulis catatan harian.
Aku belajar mencintai bercerita dan merangkai kata sejak aku mulai suka membaca. Perlahan aku mengenal buku berikut penciptanya. Aku mulai mengidolakan para penulis yang menurutku karyanya membuatku bisa tersenyum atau menangis.
Aku juga mulai senang dengan aktivitas menulis ketika remaja, tepatnya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kupamerkan karyaku pada kawan-kawanku. Namun aku selalu tak mendapat respon yang kuinginkan karena mereka hanya menjawab, "Bagus."
Kemudian menjadi bercita-cita menjadi penulis. Bahkan saat Sekolah Menengah Atas (SMA), aku memilih Program Studi (Prodi) Bahasa. Papaku sempat mencemooh, katanya penulis bukanlah pekerjaan, itu sambilan saja.
Aku sempat down.
Berjalannya waktu, sambil kuliah aku menjajal beragam pekerjaan dan mulai realistis bahwa aku bekerja untuk bertahan hidup, bukan untuk mendapatkan pengakuan atau bahkan sekadar kebanggaan.
Namun takdir mengarahkanku menjadi jurnalis.
Pekerjaan yang mengharuskanku menulis sebagai presensi di kantor dan sebagai eksistensi di hadapan khalayak.
Kadang menulis menjadi caraku bercerita tentang apa yang kualami. Menjadi catatan yang akan dikenang selamanya di laman beritaku.
Namun aku kadang merasa tersiksa ketika menulis sesuatu yang aku sendiri tak mengerti. Kadang aku menjadi sangat bebal karena tak pernah ingin tahu atau mencari tahu. Aku juga kadang menyebalkan karena masih tak bisa menempatkan diri sebagai pribadi atau sebagai profesi.
Ternyata aku butuh berbagai alternatif penyaluran.
Ketika kepalaku bisa membagi diri antara kepentingan ruang redaksi dan kepuasan diri, aku tentu bisa belajar mengelola emosi. Kapan bisa menjadi seseorang yang idealis, kapan bisa menjadi manusia yang praktis.
Aku pun sedang belajar untuk menerapi diri sendiri.
Dulu aku suka menulis di buku harian.
Sekarang pun masih sama.
Menulis menggunakan bolpoin di kertas memang menyenangkan karena setiap kata yang terukir bisa meninggalkan goresan yang menggambarkan kondisi emosi saat itu.
Namun aku tak boleh hanya mengandalkan sebuah media.
Karena kadang aku juga tak hanya ingin bercerita, namun aku juga butuh untuk didengarkan. Aku butuh mendapatkan respon dan apresiasi.
Tak melulu itu pujian, bisa juga cacian.
Sebagai proses menerapi diriku sendiri bahwa aku tak hidup dalam duniaku saja yang serba sekehendakku.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...