Monday 6 January 2020

No More Love, No Longer Hate

Aku memiliki relasi emosional aneh dengan Papaku.
Aku nggak bisa dibilang membencinya, tapi aku juga tak menyayanginya. Kesalahannya kumaafkan, tapi tak menjadikanku berubah melankolis padanya.
Aku membatasi diriku sendiri pada sudut emosional yang realistis.
Kekecewaanku bertubi-tubi pada Papa ketika aku memberikannya kesempatan untuk memperbaiki keadaan, membuatku sadar: aku tak layak mengharapkannya lagi.
Daripada aku harus marah dan menuntut pada Tuhan, ada baiknya aku menerima keadaan ini.
Dia, Papaku, tak cakap menjadi orang tua.
Pada level itu, aku mencoba menjadi selayaknya anak yang masih ingat orang tua, masih mengunjungi orang tua, masih berusaha menyapa dan baik pada orang tua.
Tanpa harapan Papa akan menyapaku dan menyambutku sebagai tamu di rumahnya.
Bagi sebagian orang, ceritaku terdengar absurd.
Apakah benar ada orang tua sekejam Papaku?
Meninggalkan empat anaknya yang masih di usia sekolah dan menelantarkan mereka begitu saja dengan dalih Papa dipenjara.
Padahal sebelum Papa dipenjara, ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi terkait kewajibannya sebagai orang tua atau jalur hukum.
Papa keukeuh dengan kebenaran yang ia yakini.
Ia menelan kebenaran yang ia yakini itu.
Bahkan hingga purna hukumannya, ia masih berkoar-koar atas keyakinannya itu.
Hingga aku lulus kuliah hendak wisuda, memintanya datang, ia menggenggam keyakinannya dan menolak kehadiran Mamaku.
Aku menikah pun Papa tak datang.
Adikku bertunangan pun Papa tak datang.
Ia tak lagi hadir di hidup anak-anaknya.
Ia yang memilih jalannya.
Aku tak berhak menggugat.
Aku sudah terlampau kerap berharap dan kecewa.
Kini aku memutuskan tak akan mengharapkan Papaku.
Semua telah menjadi pilihannya.
Pilihanku ialah, seperti yang beberapa kali ia ucapkan di hadapanku, bukanlah anaknya.


Thursday 2 January 2020

Nggak Mau Berharap Sama Kantor Karena Takut Nangis

Aku mengunggah foto perangkatku kerja di sosial media.
Kemudian, seorang kawan mengomentari, "Tumben kantor mau modal."
Aku membalasnya dengan tawa dan kujawab kalau aku membeli itu sendiri. Kujawab, "Nunggu fasilitas kantor malah udah nangis dulu."
Dia kembali bertanya, "Kenapa nggak cuek aja?"
Aku jawab, aku orang yang manja.
Kemudian dia membalas, "Yaudah deh, terserah kamu."
Setelah komentarnya ini, aku mulai berpikir tentang diriku sendiri, kebiasaanku.
Ternyata aku memang orang yang manja.
Aku nggak bisa kalau kerja seadanya. Laptop lemot dikit, aku betek. Internet lemot, aku betek. Bahkan nggak ada air mineral habis aja aku juga betek. Kalo udah betek, kerjaan ambyar deh.
Tapi, sebenarnya alasan yang paling realistis untukku sih karena aku nggak mau stuck di kondisi itu.
***
Sebelum kerja jadi wartawan kayak sekarang, aku pernah kerja jadi guru les, pelayan restoran, SPG, MC, dan TL. Ketika melakoni setiap pekerjaan, aku selalu meniatkan, "Belajar dari pekerjaanmu, karena uang bisa habis tapi ilmu nggak akan habis."
Dulu aku mikirnya gitu.
Makanya meskipun pekerjaannya 'cuma' guru les, aku belajar tentang peta Kota Semarang dan belajar tentang etika.
Jadi pelayan restoran juga aku belajar banyak tentang manajerial restoran. Gimana restoran bisa bekerja nggak cuma bermodal ada yang bisa masak, tapi juga tentang pembagian tugas di belakang layar dan administrasinya.
Pun ketika jadi SPG, belajar menjajakan barang dan kualitas barang.
Banyak pelajaran yang kuambil.
Lalu soal uang yang kuperoleh dari tiap pekerjaanku itu, aku selalu tabung. Aku selalu meniatkan uang yang kuperoleh harus bisa menjadi anak tangga agar bisa meraih yang lebih tinggi.
Uang dari kerja TL dan SPG kutabung untuk hidup sebagai anak kos dan membeli laptop, supaya bisa mengerjakan tugas. Laptop kugunakan untuk mengerjakan tugas dan membuat PKM. Uang dari PKM kugunakan untuk membeli motor. Setelah membeli motor, aku bisa meraih sarjana. Ijazah sarjana kugunakan untuk melamar pekerjaan. Setelah diterima kerja aku membeli kamera. Kamera kugunakan untuk menunjang pekerjaanku agar lebih profesional. Dari pekerjaanku aku bisa menikah dan berkeluarga. 
***
Kesadaran melakoni ini kulakukan karena aku nggak mau menjadi budak bagi pekerjaan. Aku nggak mau hidupku stagnan di sini aja. Aku harus pinter mencari celah dan peluang untuk terus mengembangkan diri dan memiliki capaian yang lebih baik. Aku harus lebih berkembang dan mencapai tingkat yang lebih tinggi dari yang sekarang kutapaki.
Aku harus dapet ilmu dan pelajaran dari apa yang kulakoni.
Aku sadar diri, sebagai karyawan swasta aku hanya bekerja mengandalkan apa yang bisa kukerjakan sekarang.
Padahal saat ini hidup bukan tentang hari ini saja. Ada besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, setahun lagi, sepuluh tahun lagi.
Apalagi setelah punya Aksara Abiyarsa.
Aku nggak cuma memikirkan tentang diri sendiri, tapi juga memikirkan pihak lain.
***
Jadi, menurutku memiliki modal dalam bekerja meskipun sebagai karyawan swasta itu sama baik dan pentingnya.
Jangan karena udah kerja di perusahaan, semua harus minta perusahaan.
Meskipun kerja di perusahaan, harus punya motivasi untuk diri sendiri juga kan?
Supaya nggak jadi budak korporat mulu.
Iya kan?
Iya lah.
Ya?
Ya?
Ya?


Wednesday 1 January 2020

Selamat Datang 2020!!

Satu Januari dua ribu dua puluh.
Selamat datang tahun baru.
Nggak berharap banyak, nggak berekspektasi banyak selain bisa memperbaiki diri sendiri.
Nggak pengen memaksakan apa yang nggak bisa dicapai.
Pengen lebih selow tapi tetep menghasilkan kesan.
Pengen realistis tapi nggak perlu pake urat.
Diberikan kesehatan dan keberkahan selalu.
Menikmati setiap keintiman sama Arief Hadinata dan Aksara Abiyarsa.
Hadiah tahun baru untuk kami dari kami adalah mengunjungi Sam Poo Kong dan Lawang Sewu.
Secara kebetulan, aku dan Bihun baru pertama kali ke Lawang Sewu loh, setelah 11,5 tahun hidup di Semarang.
-_-

*Kami belum punya kalender 2020



Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...