Sunday 9 August 2015

R E U N I

Manual painting karya Arief Hadinata


Hari ini aku ngambek pada Mama. Aku tak ingin keluar dari kamar. Aku tak ingin keluar rumah. Aku tak mau makan, tak akan melakukan aktivitas apapun. Aku ingin di dalam kamar saja. Titik. Ini bentuk pemogokanku atas keputusan Mama.
Tiga hari lagi akan diadakan reuni SMP. Aku sudah mengatakan bahwa aku akan membawa serta pacarku. Aku akan memamerkan pada teman-teman SMPku mengenai kegantengan pacarku. Ia juga sudah cukup mapan dengan bisnis yang ia kembangkan sendiri. Aku selalu memamerkan di Facebook dan Twitter tentang liburan kami di tempat-tempat indah di dalam dan di luar negeri. Aku memposting hadiah-hadiah dan kejutan romantisnya di Instagram. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding mengetahui bahwa aku mengalami kehidupan sempurna bersanding dengannya. Apa yang wanita inginkan di dunia, semua sudah aku dapatkan. Tinggal menunggu waktu bahagia untuk mempublikasikan rencana bahagia kami selanjutnya
Aku mengatakan pada Mama bahwa aku akan membawa pacarku pulang untuk menghadiri reuni SMP. Mama dengan tegas mengatakan tidak mengizinkan. Aku mengatakan bahwa kekasihku akan tinggal di hotel, Mama mengulang keputusan tegasnya. Aku meminta izin agar pacarku diperkenankan datang ke reuni SMP, Mama masih mengulang pendapat yang sama. Aku ingin memaksakan egoku namun aku selalu kalah dengan sebuah ritme sejak kecil di mana aku menjadi anak yang patuh dengan segala keputusan orang tua.
“Kak, makan ya?” Adikku mengetuk pintu kamarku
“Nggak.”
“Perlu aku belikan makan di luar?”
“Nggak usah.”
“Nanti kakak sakit.”
“Gak pa-pa. Biar mati sekalian.”
“Kakak…”
Lalu terdengar suara bisikan dan langkah menjauh dari kamarku. Aku merasa kehilangan dan kesepian namun aku tetap ingin sendiri. Ini mungkin bentuk pemogokanku. Namun ini juga merupakan bentukku mengintrospeksi diri. Separuh diriku selalu percaya pada alasan Mama untuk membuat keputusan adalah kebenaran. Aku tak pernah menyangsikan itu.
Aku masih ingat ketika baru lulus TK dan hendak masuk SD, aku menangis seharian di rumah karena aku tidak dimasukkan di sekolah yang sama dengan seorang sahabatku padahal aku sangat ingin bersekolah dengan sahabatku tersebut. Tanpa alasan Mama memasukkanku ke sebuah sekolah yang cukup jauh dan aku tak mengenal siapapun di sana. Namun setelah aku menjalani sekolah hingga SMA, aku sadar bahwa Mama menginginkan yang terbaik untukku. Mama memasukkanku ke sekolah bonafit dan di situlah aku mulai belajar mengenai tren, musik, idola, persaingan, dan gaya hidup. Tentu beserta positif dan negatifnya kehidupan anak-anak borjuis yang rata-rata tak pernah mengalami kekurangan.
Ya, menikmati kehidupan sekolah dengan orang-orang paling populer di sebuah kota kecil, memiliki relasi dengan orang-orang besar yang akhirnya membuatku memiliki kehidupan seperti sekarang ini, dan tentu mengenal segala selera bersosialisasi. Kehidupan ini berlanjut hingga aku SMP—SMA dan kuliah pun aku mengalami hal yang sama. Aku cukup minder dengan keadaanku sebagai anak yang tak masuk kualifikasi dari kalangan berada, tinggal dengan orang tua tunggal, tak memiliki uang saku yang cukup untuk pergi berjalan-jalan. Aku merasa seperti makhluk amphibi yang hidup di dua alam. Ketika berkumpul dengan rekan-rekanku di rumah, aku dianggap sebagai sosok yang cukup gemerlap karena bersekolah di tempat bonafit, dari keluarga yang bisa memenuhi kebutuhannya, dan kecerdasan sedikit di atas mereka. Namun ketika aku berada di lingkungan sekolah dan berkumpul dengan kawan-kawanku, aku merasa tak ubahnya alien. Aku hanyalah anak culun dengan pakaian yang sama sejak tiga tahun yang lalu, badan kurus, dekil, dan hitam, serta uang saku yang hanya mampu untuk membeli sebuah gorengan tempe. Berbeda dengan rekan-rekanku yang menjadikan sekolah tak ubahnya catwalk dan mall. Memamerkan apa yang dimiliki dan baru dibeli, menonjolkan diri sebagai orang paling, berbicara banyak hal tentang hal yang aku tak tahu itu apa.
Kehidupan semacam itu memacuku untuk bisa mencapai kehidupan seperti mereka. Aku harus berjuang untuk bisa menjadi seperti mereka. Mungkin secara materi aku tak mampu, maka aku akan mengejar ketinggalanku dalam hal intelektual. Aku menjadi anak yang cukup rajin di kelas. Beberapa anak mendekatiku. Mereka mengajakku bergabung dengan kelompok mereka. Aku cukup senang bisa bersama anak-anak favorit yang ketika kami berjalan selalu menarik perhatian. Aku menikmati ketika kelompokku menjadi adik kelas yang dimusuhi oleh kakak kelas karena salah satu anggota kelompokku disukai oleh kakak kelas yang anggaplah paling tampan. Aku menikmati ketika menjadi anak tengah di SMP dan bisa menghabisi adik kelas yang cukup membuat ulah dengan mencari gara-gara dengan kelompokku. Sekalipun aku sadar aku bukanlah sosok yang diperhitungkan untuk ditakuti atau dimusuhi. Aku merasa seperti seekor cicak di antara mereka yang indah dan menarik. Namun aku bahagia. Aku tahu aku hanya bagian pelopor mengerjakan tugas yang selanjutnya teman-teman kelompokku akan menyalin tugas yang sudah aku kerjakan.
Kini aku sudah lulus kuliah, bekerja dan merintis karier, lalu mulai untuk menjalin hubungan dewasa dengan pasanganku. Aku sudah bukan lagi anak SMP dengan seragam putih-biru. Kali ini aku ingin membalas beberapa kawan yang dulu sempat menghinaku, menganggapku remeh, atau bahkan dulu pernah membullyku karena aku sosok yang paling lemah dibandingkan yang lain dan layak menjadi media balas dendam.
Aku sudah memposting semua pencapaian hidupku. Kalau aku tidak memperlihatkan secara nyata di depan mereka mengenai apa yang aku miliki, aku hanya akan dianggap besar mulut dan tentu mereka akan menertawakanku habis-habisan.
“Kamu harusnya sudah tahu apa yang mama maksud dengan keputusan mama. Kamu sudah dewasa, Kak.” Mama mengetuk pintu kamar dengan meletakkan nampan di depan pintu kamar. Mungkin Mama meninggalkan makanan untukku.
Aku tak bergeming. Aku tak ingin menjawab apapun usaha Mama untuk dialog.. Hari ketiga pemogokanku sudah membuatku cukup lemas karena tak ada asupan makanan. Hanya air putih dan makanan kecil. Namun aku tak tergoda. Aku mendengar adikku memuji bagaimana enaknya soto ayam dengan bumbu tauco yang sudah Mama siapkan. Mereka pun mengatakan bahwa menu ini pasti disukai olehku. Aku ingin namun keinginanku untuk tetap mogok lebih besar daripada hasratku untuk turut mencicipi soto ayam buatan Mama.
“Masak iya kamu mau pamer ke teman-temanku kalau kamu itu lesbian?”

Berbicara dengan realita
Semarang, 29 Juli 2015 12:26 p.m.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...