Manual painting karya Arief Hadinata |
Hari ini aku ngambek pada Mama. Aku tak ingin
keluar dari kamar. Aku tak ingin keluar rumah. Aku tak mau makan, tak akan
melakukan aktivitas apapun. Aku ingin di dalam kamar saja. Titik. Ini bentuk
pemogokanku atas keputusan Mama.
Tiga hari lagi akan diadakan reuni SMP. Aku
sudah mengatakan bahwa aku akan membawa serta pacarku. Aku akan memamerkan pada
teman-teman SMPku mengenai kegantengan pacarku. Ia juga sudah cukup mapan
dengan bisnis yang ia kembangkan sendiri. Aku selalu memamerkan di Facebook dan Twitter tentang liburan kami di tempat-tempat indah di dalam dan di
luar negeri. Aku memposting hadiah-hadiah dan kejutan romantisnya di Instagram. Tak ada yang lebih
menyenangkan dibanding mengetahui bahwa aku mengalami kehidupan sempurna
bersanding dengannya. Apa yang wanita inginkan di dunia, semua sudah aku
dapatkan. Tinggal menunggu waktu bahagia untuk mempublikasikan rencana bahagia
kami selanjutnya
Aku mengatakan pada Mama bahwa aku akan membawa
pacarku pulang untuk menghadiri reuni SMP. Mama dengan tegas mengatakan tidak
mengizinkan. Aku mengatakan bahwa kekasihku akan tinggal di hotel, Mama
mengulang keputusan tegasnya. Aku meminta izin agar pacarku diperkenankan
datang ke reuni SMP, Mama masih mengulang pendapat yang sama. Aku ingin
memaksakan egoku namun aku selalu kalah dengan sebuah ritme sejak kecil di mana
aku menjadi anak yang patuh dengan segala keputusan orang tua.
“Kak, makan ya?” Adikku mengetuk pintu kamarku
“Nggak.”
“Perlu aku belikan makan di luar?”
“Nggak usah.”
“Nanti kakak sakit.”
“Gak pa-pa. Biar mati sekalian.”
“Kakak…”
Lalu terdengar suara bisikan dan langkah
menjauh dari kamarku. Aku merasa kehilangan dan kesepian namun aku tetap ingin sendiri.
Ini mungkin bentuk pemogokanku. Namun ini juga merupakan bentukku
mengintrospeksi diri. Separuh diriku selalu percaya pada alasan Mama untuk
membuat keputusan adalah kebenaran. Aku tak pernah menyangsikan itu.
Aku masih ingat ketika baru lulus TK dan hendak
masuk SD, aku menangis seharian di rumah karena aku tidak dimasukkan di sekolah
yang sama dengan seorang sahabatku padahal aku sangat ingin bersekolah dengan
sahabatku tersebut. Tanpa alasan Mama memasukkanku ke sebuah sekolah yang cukup
jauh dan aku tak mengenal siapapun di sana. Namun setelah aku menjalani sekolah
hingga SMA, aku sadar bahwa Mama menginginkan yang terbaik untukku. Mama
memasukkanku ke sekolah bonafit dan di situlah aku mulai belajar mengenai tren,
musik, idola, persaingan, dan gaya hidup. Tentu beserta positif dan negatifnya
kehidupan anak-anak borjuis yang rata-rata tak pernah mengalami kekurangan.
Ya, menikmati kehidupan sekolah dengan
orang-orang paling populer di sebuah kota kecil, memiliki relasi dengan
orang-orang besar yang akhirnya membuatku memiliki kehidupan seperti sekarang
ini, dan tentu mengenal segala selera bersosialisasi. Kehidupan ini berlanjut
hingga aku SMP—SMA dan kuliah pun aku mengalami hal yang sama. Aku cukup minder
dengan keadaanku sebagai anak yang tak masuk kualifikasi dari kalangan berada,
tinggal dengan orang tua tunggal, tak memiliki uang saku yang cukup untuk pergi
berjalan-jalan. Aku merasa seperti makhluk amphibi
yang hidup di dua alam. Ketika berkumpul dengan rekan-rekanku di rumah, aku
dianggap sebagai sosok yang cukup gemerlap karena bersekolah di tempat bonafit,
dari keluarga yang bisa memenuhi kebutuhannya, dan kecerdasan sedikit di atas
mereka. Namun ketika aku berada di lingkungan sekolah dan berkumpul dengan
kawan-kawanku, aku merasa tak ubahnya alien. Aku hanyalah anak culun dengan
pakaian yang sama sejak tiga tahun yang lalu, badan kurus, dekil, dan hitam,
serta uang saku yang hanya mampu untuk membeli sebuah gorengan tempe. Berbeda
dengan rekan-rekanku yang menjadikan sekolah tak ubahnya catwalk dan mall.
Memamerkan apa yang dimiliki dan baru dibeli, menonjolkan diri sebagai orang
paling, berbicara banyak hal tentang hal yang aku tak tahu itu apa.
Kehidupan semacam itu memacuku untuk bisa
mencapai kehidupan seperti mereka. Aku harus berjuang untuk bisa menjadi
seperti mereka. Mungkin secara materi aku tak mampu, maka aku akan mengejar
ketinggalanku dalam hal intelektual. Aku menjadi anak yang cukup rajin di
kelas. Beberapa anak mendekatiku. Mereka mengajakku bergabung dengan kelompok
mereka. Aku cukup senang bisa bersama anak-anak favorit yang ketika kami
berjalan selalu menarik perhatian. Aku menikmati ketika kelompokku menjadi adik
kelas yang dimusuhi oleh kakak kelas karena salah satu anggota kelompokku
disukai oleh kakak kelas yang anggaplah paling tampan. Aku menikmati ketika
menjadi anak tengah di SMP dan bisa menghabisi adik kelas yang cukup membuat
ulah dengan mencari gara-gara dengan kelompokku. Sekalipun aku sadar aku
bukanlah sosok yang diperhitungkan untuk ditakuti atau dimusuhi. Aku merasa
seperti seekor cicak di antara mereka yang indah dan menarik. Namun aku
bahagia. Aku tahu aku hanya bagian pelopor mengerjakan tugas yang selanjutnya
teman-teman kelompokku akan menyalin tugas yang sudah aku kerjakan.
Kini aku sudah lulus kuliah, bekerja dan
merintis karier, lalu mulai untuk menjalin hubungan dewasa dengan pasanganku.
Aku sudah bukan lagi anak SMP dengan seragam putih-biru. Kali ini aku ingin
membalas beberapa kawan yang dulu sempat menghinaku, menganggapku remeh, atau
bahkan dulu pernah membullyku karena
aku sosok yang paling lemah dibandingkan yang lain dan layak menjadi media
balas dendam.
Aku sudah memposting semua pencapaian hidupku.
Kalau aku tidak memperlihatkan secara nyata di depan mereka mengenai apa yang
aku miliki, aku hanya akan dianggap besar mulut dan tentu mereka akan
menertawakanku habis-habisan.
“Kamu harusnya sudah tahu apa yang mama maksud
dengan keputusan mama. Kamu sudah dewasa, Kak.” Mama mengetuk pintu kamar
dengan meletakkan nampan di depan pintu kamar. Mungkin Mama meninggalkan
makanan untukku.
Aku tak bergeming. Aku tak ingin menjawab
apapun usaha Mama untuk dialog.. Hari ketiga pemogokanku sudah membuatku cukup
lemas karena tak ada asupan makanan. Hanya air putih dan makanan kecil. Namun
aku tak tergoda. Aku mendengar adikku memuji bagaimana enaknya soto ayam dengan
bumbu tauco yang sudah Mama siapkan. Mereka pun mengatakan bahwa menu ini pasti
disukai olehku. Aku ingin namun keinginanku untuk tetap mogok lebih besar
daripada hasratku untuk turut mencicipi soto ayam buatan Mama.
“Masak iya kamu mau pamer ke teman-temanku
kalau kamu itu lesbian?”
Berbicara dengan
realita
Semarang, 29 Juli 2015
12:26 p.m.