Aku memiliki relasi emosional aneh dengan Papaku.
Aku nggak bisa dibilang membencinya, tapi aku juga tak menyayanginya. Kesalahannya kumaafkan, tapi tak menjadikanku berubah melankolis padanya.
Aku membatasi diriku sendiri pada sudut emosional yang realistis.
Kekecewaanku bertubi-tubi pada Papa ketika aku memberikannya kesempatan untuk memperbaiki keadaan, membuatku sadar: aku tak layak mengharapkannya lagi.
Daripada aku harus marah dan menuntut pada Tuhan, ada baiknya aku menerima keadaan ini.
Dia, Papaku, tak cakap menjadi orang tua.
Pada level itu, aku mencoba menjadi selayaknya anak yang masih ingat orang tua, masih mengunjungi orang tua, masih berusaha menyapa dan baik pada orang tua.
Tanpa harapan Papa akan menyapaku dan menyambutku sebagai tamu di rumahnya.
Bagi sebagian orang, ceritaku terdengar absurd.
Apakah benar ada orang tua sekejam Papaku?
Meninggalkan empat anaknya yang masih di usia sekolah dan menelantarkan mereka begitu saja dengan dalih Papa dipenjara.
Padahal sebelum Papa dipenjara, ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi terkait kewajibannya sebagai orang tua atau jalur hukum.
Papa keukeuh dengan kebenaran yang ia yakini.
Ia menelan kebenaran yang ia yakini itu.
Bahkan hingga purna hukumannya, ia masih berkoar-koar atas keyakinannya itu.
Hingga aku lulus kuliah hendak wisuda, memintanya datang, ia menggenggam keyakinannya dan menolak kehadiran Mamaku.
Aku menikah pun Papa tak datang.
Adikku bertunangan pun Papa tak datang.
Ia tak lagi hadir di hidup anak-anaknya.
Ia yang memilih jalannya.
Aku tak berhak menggugat.
Aku sudah terlampau kerap berharap dan kecewa.
Kini aku memutuskan tak akan mengharapkan Papaku.
Semua telah menjadi pilihannya.
Pilihanku ialah, seperti yang beberapa kali ia ucapkan di hadapanku, bukanlah anaknya.
Aku nggak bisa dibilang membencinya, tapi aku juga tak menyayanginya. Kesalahannya kumaafkan, tapi tak menjadikanku berubah melankolis padanya.
Aku membatasi diriku sendiri pada sudut emosional yang realistis.
Kekecewaanku bertubi-tubi pada Papa ketika aku memberikannya kesempatan untuk memperbaiki keadaan, membuatku sadar: aku tak layak mengharapkannya lagi.
Daripada aku harus marah dan menuntut pada Tuhan, ada baiknya aku menerima keadaan ini.
Dia, Papaku, tak cakap menjadi orang tua.
Pada level itu, aku mencoba menjadi selayaknya anak yang masih ingat orang tua, masih mengunjungi orang tua, masih berusaha menyapa dan baik pada orang tua.
Tanpa harapan Papa akan menyapaku dan menyambutku sebagai tamu di rumahnya.
Bagi sebagian orang, ceritaku terdengar absurd.
Apakah benar ada orang tua sekejam Papaku?
Meninggalkan empat anaknya yang masih di usia sekolah dan menelantarkan mereka begitu saja dengan dalih Papa dipenjara.
Padahal sebelum Papa dipenjara, ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi terkait kewajibannya sebagai orang tua atau jalur hukum.
Papa keukeuh dengan kebenaran yang ia yakini.
Ia menelan kebenaran yang ia yakini itu.
Bahkan hingga purna hukumannya, ia masih berkoar-koar atas keyakinannya itu.
Hingga aku lulus kuliah hendak wisuda, memintanya datang, ia menggenggam keyakinannya dan menolak kehadiran Mamaku.
Aku menikah pun Papa tak datang.
Adikku bertunangan pun Papa tak datang.
Ia tak lagi hadir di hidup anak-anaknya.
Ia yang memilih jalannya.
Aku tak berhak menggugat.
Aku sudah terlampau kerap berharap dan kecewa.
Kini aku memutuskan tak akan mengharapkan Papaku.
Semua telah menjadi pilihannya.
Pilihanku ialah, seperti yang beberapa kali ia ucapkan di hadapanku, bukanlah anaknya.