Thursday 14 January 2021

SKALA PRIORITAS

Cinta,
hal paling aneh dan sulit dikalkulasi dengan Matematika.
Hal yang kadang sulit dinalar dengan akal sehat.
Ada orang yang rela memberikan apa yang dimiliki pada orang yang dicintai. Padahal keduanya hanya memiliki relasi abstrak.
Tak ada warna, tak ada rasa, tak bisa diraba.
Kata teman-temanku, aku bucin parah. Sangat bucin sampai mereka membenciku ketika aku sedang dimabuk asmara.
Aku rela memberikan apapun yang kupunya.
Aku rela melakukan apapun untuk orang yang kucinta.
Bahkan aku menerima ketika diperlakukan setidak baik apapun, atas nama cinta.
Ketika aku jatuh cinta dan mencinta, kuberikan seluruhnya.
Orang itu menjadi daftar teratas dalam skala prioritasku.
Semua keputusanku, semua yang kulakukan, semua yang kupikirkan, bahkan semua nominal uang di rekeningku akan kuberikan pada yang menjadi skala prioritasku.
Aku tak peduli apa yang akan terjadi esok atau nanti.
Selama cinta itu masih ada dan bersarang dalam dada.
Kupelihara cinta itu setengah mati.
Segala yang bisa kuupayakan, akan kulakukan.
Aku tak akan melarikan diri dari yang kumulai.
Ketika cinta sudah diikat dalam maghligai pernikahan, kupikir itu tentang dua orang yang saling mencinta.
Yang saling memberi, saling mengisi, saling berbagi, saling menerima, saling melindungi, saling menyayangi.
Kupikir setelah menikah, dua manusia yang sudah berkomitmen akan menyadari peran dan tanggung jawab masing-masing.
Akan segera beradaptasi dan menyadari apa hak dan kewajibannya.
Kupikir dengan perjalanan waktu akan bisa dilalui.
Namun, setelah waktu berjalan, ternyata hanya ada sebuah kepalsuan.
Semua yang sudah dilalui dan diperjuangkan ternyata tak pernah nyata.
"Aku belum siap nikah."
Sebuah kalimat sederhana yang membuat duniaku mendadak gelap dan rasanya semua cinta dan rasa percayaku runtuh.
Semua yang sudah kulakukan dan kuperjuangkan ternyata percuma.
Semua kekecewaan dan luka yang ditorehkan akhirnya menemukan jawabnya.
Aku tak pernah diinginkan.
Aku tak pernah dicintai.
Aku tak pernah benar-benar ada di hadapannya sebagai apa yang kusangkakan selama ini.
Aku kecewa.
Aku ingin tak percaya, namun ternyata lukanya semakin nyata.
Cinta yang sebelumnya kupupuk, kupelihara, kujauhkan dari serangga maupun ulat maupun dari segala yang bisa merusaknya, seperti diinjak oleh kaki tak kasat mata.
Hancur, lebur, hanya menyisakan remukan yang rapuh ketika tertiup angin.
Tak ada yang abadi.
Sekalipun janji suci pada Ilahi untuk mencintai.
Karena sejak awal memang tak pernah ada cinta.
Karena sejak awal memang sebuah kesalahan yang disengaja dan diteruskan sampai membuat ceruk luka dalam.
Aku tak bisa memaksa hati untuk mencintai.
Bagaimana pun tak pernah ada cinta, tak pernah ada aku dalam prioritasnya.
Aku menyerah.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...