|
Manual painting karya Arief Hadinata |
Selama Agustus 2010 hingga
September 2011 saya bekerja di Pizza Hut
dan mulai mengesampingkan kesehatan saya, apalagi kuliah saya. Walaupun tidak
setiap hari bekerja. Pernah seminggu sebanyak lima hari saya bekerja terus
menerus. Pernah pula dalam sebulan saya hanya berangkat bekerja dua hari karena
store sepi dan penjualan tidak
mencapai target. Pola makan saya kacau dan saya menderita maag hingga level
akut yang membuat saya tidak dapat berdiri tegak karena merasa lambung seperti
dilipat. Belum lagi terpaan angin malam ketika pulang kerja. Karena
keterbatasan kendaraan, setiap bekerja saya diantar-jemput P. Ia pun tengah
bekerja sebagai pelukis artisan yang mengerjakan lukisan untuk dipasarkan di
Bali. Ia membutuhkan sepeda motor untuk bolak-balik kampus-kos-kantor. Saya
mulai sering sakit-sakitan. Selama bekerja di Pizza Hut, sekitar tiga kali saya mengalami pendarahan. Kembali
dihadapkan pada hal yang dilematis. Bila saya mendapat jadwal kerja yang cukup
banyak, saya memiliki pemasukan yang cukup untuk makan, kos, dan menabung namun
saya harus mengorbankan kuliah dan kesehatan saya. Sementara bila diberi jadwal
yang sedikit, saya harus mengencangkan ikat pinggang dengan pendapatan yang
hanya bisa untuk makan selama seminggu. Belum lagi pertengkaran dengan P karena
saya selalu menangis ketika dia terlambat menjemput dan dapat membuat saya
dalam masalah dengan Team Leader atau
Manager Restaurant.
Idul Fitri 2011 saya lalui di tanah
rantau. Kali ini saya habiskan dengan Mas R. Ketika saya menghubunginya untuk menanyakan
keberadaannya saat malam Idul Fitri, ia mengatakan di Semarang. Saya
mengajaknya menikmati malam Idul Fitri bersama supaya saya tidak merasa
kesepian. Ia setuju. Kami berniat untuk jalan-jalan ketika malam Idul Fitri.
Tapi ada kelucuan ketika kami sudah bersiap untuk menikmati malam Idul Fitri,
justru muncul informasi di televisi bahwa Idul Fitri diundur lusa. Jadilah kami
yang sudah duduk santai di pinggiran Jalan Pahlawan untuk pulang sambil tertawa
geli karena baru kali ini Idul Fitri diundur. Keesokan malamnya saya dan Mas R
benar-benar menikmati kemeriahan malam Idul Fitri di pusat kota Semarang yang
ramai dengan kembang api dan petasan. Berkeliling kota menikmati kemacetan dan
kuliner yang harganya sempat membuat kaget setengah mati. Idul Fitri kedua
tanpa keluarga.
Saya benar-benar harus menyimpan
uang untuk membeli Laptop. Uang
registrasi sudah saya amankan dari uang beasiswa. Sementara untuk uang kos
sudah saya sisihkan dari gaji tiap
bulannya. Uang kos saya ketika itu sangat murah karena saya tinggal di
rumah kontrakan yang terkenal horor dan berhantu dan saya tinggal di bagian
gudang. Sangat murah bila dibandingkan dengan harga kos saat ini. Saya sangat
menginginkan Laptop. Untuk membantu
saya mengerjakan tugas. Setelah perjuangan keras dan dibantu oleh Mama, saya
dapat membeli Laptop. Tak lupa saya
pun iseng-iseng mengikuti kompetisi dan berharap memperoleh hadiah utama berupa
uang tunai. Saya mendapatkan hadiah dengan nominal yang cukup untuk menambah
tabungan membeli Laptop.
Saya mulai memfokuskan kuliah. Saya
ingin menyelesaikan studi saya. Saat kawan-kawan seangkatan sedang berjuang
dengan mata kuliah praktik, saya sedang berjuang menyelesaikan mata kuliah
teori yang tertinggal beberapa beberapa semester dan kuliah dengan adik tingkat.
Saya masih canggung berada di kampus. Rasanya sangat aneh menampakkan diri.
Merasa asing dan tidak mengenal siapapun. Belum lagi pertanyaan dari sejumlah
dosen yang merasa saya menghilang dari peredaran. Saya belum bisa menerima
kecanggungan ini. Belum lagi dengan kesehatan saya yang sama sekali belum
membaik. Saya harus berjuang ekstra untuk bisa menaiki tangga lantai tiga.
Secara fisik dan mental, saya masih harus beradaptasi dengan keadaan yang
sangat baru.
Sesaat awal saya masih bersemangat
menempuh pendidikan. Namun akhirnya saya harus dihadapkan pada usaha untuk
berjuang mendapatkan pemasukan. Seorang kawan mengajak saya bekerja sebagai Sales Promotion Girl untuk event yang diadakan pada hari Minggu.
Ketika saya mendengar tawaran fee
sebesar Rp100.000, itu merupakan nominal besar yang belum pernah saya dengar
untuk bekerja dalam satu hari. Saya menerima. Dari situlah awal saya berjuang
sebagai Sales Promotion Girl dan
mempromosikan diri saya melalui Curriculum
Vitae yang saya kirimkan pada sejumlah Event
Organizer atau Agency. Fee yang diterima dapat saya kumpulkan
untuk membeli kebutuhan bulanan dan kebutuhan makan saya. Kuliah saya kembali
terbengkalai karena beberapa kali waktu kerja Sales Promotion Girl di waktu kuliah. Atau paling sial kalau dosen
yang sangat sibuk mengganti jadwal pada hari kerja saya. Saya hanya bisa tepok
jidat.
Keseimbangan antara kuliah dan
bekerja kembali belum mendapatkan pencerahan. Saya masih sibuk mencari rupiah.
Kali ini saya sangat terobsesi membeli sepeda motor. Saya sudah bosan berdebat
dengan P saat saya butuh kendaraan untuk bekerja dan dia butuh kendaraan untuk
kebutuhan mobilitasnya. Saya merasa buntu. Walaupun beberapa kali meminta
bantuan kawan untuk dipinjamkan sepeda motor, tetap saja saya merasa ada
perasaan tidak enak. Apalagi ketika awalnya ia mengatakan iya lalu sesaat
sebelum waktu keberangkatan, ia tidak bersedia meminjamkan. Saya hanya bisa
pasrah. Rumah kontrakan saya yang lumayan jauh dari kampus membuat saya harus
kerepotan karena saya belum bisa mengakomodasi perpindahan diri. Sudah saya
usahakan berjalan kaki dari rumah kontrakan, tapi setelah sampai kampus saya
justru tidak bisa berkonsentrasi dengan penjelasan dosen. Atau yang paling sial
adalah saya harus menelan ludah karena usaha yang sudah saya lakukan menjadi
sia-sia akibat dosen tidak masuk. Saya mulai mencari informasi mengenai harga
sepeda motor. Tapi nominal yang harus saya kumpulkan memang tidak sedikit.
Saya mulai belajar membuat karya
ilmiah. Saya merasa bekerja sebagai pembuat karya ilmiah jauh lebih
menyenangkan dibanding bekerja sebagai Sales
Promotion Girl karena nominal yang diperoleh jelas lebih besar dan saya pun
mendapat prestasi untuk buah pikiran saya. Saya belajar mengirimkan beberapa
proposal penelitian dan proposal pengabdian kepada masyarakat. Memang tidak
selalu beruntung. Tetapi paling tidak saya memperoleh kesenangan ketika membuat
karya ilmiah. Saya belajar membuat tulisan yang terstruktur dan sistematis dan
belajar mengenai kaidah keilmiahan.
Idul Fitri 2012 akan saya lalui
seorang diri di kos karena saya memang tidak memungkinkan untuk pulang. Rupiah
yang saya miliki masih saya simpan untuk membeli sepeda motor. Di samping itu,
saya tidak kuat menghadapi keramaian perjalanan mudik. Saya selalu pusing
dengan keramaian dan hiruk-pikuk. Suatu hari saya diundang untuk berbuka
bersalam denga salah satu kerabat Mama yang tinggal di Semarang dan bekerja
sebagai dokter. Dalam obrolan berbuka puasa kami, beliau menawarkan diri pada
saya untuk tinggal di kediamannya dan berkumpul untuk merayakan Idul Fitri.
Kebetulan Idul Fitri tahun ini kediaman Pakde M menjadi tempat berkumpul
keluarga besar Bude R, istri Pakde M. Saya menyetujui dan dengan senang hati
karena akhirnya saya tidak lagi merayakan Idul Fitri seorang diri. Bayang-bayang
menikmati lontong-opor ayam di depan mata. Saya datang ke kediaman beliau yang
hanya berjarak sekitar empat kilometer dari kos saya. Mama tak jemu-jemunya
mengatakan pada saya untuk dapat menjaga sikap dan harus bersedia bekerja
membantu keluarga Pakde M. Saya mengiyakan nasihat Mama dan saya bersedia untuk
melakukan nasihat Mama.
Saat sore sehari sebelum Idul
Fitri, saya mendatangi kediaman Pakde M. Untuk menuju ke rumah Pakde M, saya
diantar teman. Ia segera bergegas meninggalkan saya dan karena ia memiliki
keperluan sebelum lalu lintas akan padat menjelang waktu berbuka. P sudah
terlebih dahulu pulang kampung. Saya datang dan mengobrol dengan L, putri Pakde
M. L merupakan anak tunggal sangat sayang pada A. L sendiri bukanlah anak
kandung Pakde M. Saya mendengar kalau L itu anak angkat. Tapi saya masih
bingung apa perbedaan antara anak angkat dengan anak adopsi. Saya diperkenalkan
A, sepupu L yang merupakan seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun.
A anak yang lucu yang wajahnya hampir sama dengan L, memiliki pipi yang chubby dan berambut keriting. Ada
sebagian rambutnya yang gimbal. Mitos orang Jawa mengatakan bahwa seorang anak
yang berambut gimbal memiliki keberuntungannya sendiri. Setelah mengobrol
sebentar, saya bingung dengan A. A mengatakan bahwa ia kemari dengan Papa. Tapi
saya tidak menemukan sosok lelaki yang dimaksud. Sampai akhirnya Tante H, adik
perempuan Bude R, keluar dari kamar dalam kondisi bangun tidur dengan
penampilan yang memang kebapakan. Kesimpulan saya cukup jelas. Saya hanya
menjadi penasaran dengan siapa sosok yang dipanggil A dengan sebutan mama.
Saya membantu seperlunya di rumah
yang sangat besar ini. Saya bermain dan mengawasi A. Sudah ada asisten rumah
tangga yang memasak dan mengurus kebutuhan rumah. Saya menyapu dan menata yang
dirasa berantakan. Kemudian saya menuju kamar tamu yang digunakan untuk saya
tidur yang berada di lantai dua. Saya mengeset alarm subuh untuk mempersiapkan
diri saya sebelum berangkat shalat Idul Fitri. Saya bangun paling pagi. Saya
sudah mandi, berdandan, dan saya sudah menyapu dan menata ruang tengah. Setelah
pekerjaan saya selesai, saya kembali ke kamar untuk berganti baju dan
menyiapkan mukena untuk shalat Idul Fitri. Ketika saya menaiki tangga, Bude R
yang baru keluar dari kamar mandi berteriak pada saya kenapa saya belum
bersiap. Saya menjawab bahwa saya sudah siap. Hanya perlu berganti pakaian dan
mengambil mukena. Bude R masuk ke kamarnya. Hati kecil saya merasa posisi saya
saat ini berada di tempat yang salah. Tapi saya abaikan karena saya sekarang
saya berada di rumah ini dan mengikuti aturan pemilik rumah.
Menurut saya, ini adalah Idul Fitri
paling berdarah. Saya yang terbiasa menikmati Idul Fitri seorang diri merasa
jauh lebih bahagia dibanding berada di rumah besar dan mewah namun membuat saya
merasa di neraka. Saat shalat Idul Fitri di pelataran Rumah Sakit Karyadi, saya
mengenakan blus, celana jins, pasminah, dan sandal jepit. Berbeda dengan
anggota keluarga lain yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Bude R meminjam
pasminah saya. Saya memberikan pasminah tersebut. Tapi pasminah tersebut justru
digunakan sebagai alas duduk A. Saya merasa ada tonjokan besar menghantam dada
yang menghasilkan lubang besar. Apa yang saya kenakan di kepala dijadikan alas
duduk. Saya akhirnya hanya bisa menyadari posisi saya sebagai penumpang di
acara mereka. Saya tidak berdaya.
Selesai shalat Idul Fitri, keluarga
Bude R berkumpul. Mereka bersiap untuk berfoto bersama. Saya dipanggil oleh L
untuk bergabung dalam pasukan untuk berfoto. Saya sudah berada di barisan di
tangga untuk berpose agar diabadikan oleh Pakde M. Kali ini Bude R kembali
berteriak meminta saya yang mengambil gambar. Saya hendak turun menggantikan
Pakde M tetapi Pakde M meminta saya diam dulu untuk diambil gambarnya. Saya
bertahan. Bude R kembali berteriak. Saya bingung tapi Pakde M justru menghitung
mundur untuk mengambil gambar. Setelah mengambil gambar, Pakde M dan saya
bertukar posisi. Saya mengambil gambar untuk beberapa kali.
Acara selanjutnya adalah
sungkem-sungkeman. Saya hanya duduk di pojokan. Saya menyalami satu persatu
orang yang ada di ruangan tersebut. Saya hanya orang asing. Mungkin ada baiknya
saya bergabung dengan asisten rumah tangga Bude R. Waktunya ramah-tamah untuk
menikmati sajian yang telah disiapkan. Saya menyadari kehadiran saya tidak
diharapkan di kediaman ini. Saya memilih duduk di kolam ikan yang berada tidak
jauh dari ruang makan. Di situ saya memandang ikan sambil melamun. Saya masih
tidak percaya apa yang saya alami. Saya merindukan kamar kos saya yang jelek. Di
sana saya nyaman dengan menonton film atau saya bisa bermain di dekanat untuk
berselancar di dunia maya. Saya tidak akan makan sampai ada yang menawari saya
untuk makan. Ibu dari W, sepupu L yang sudah diangkat anak oleh Pakde M,
menawari saya untuk makan, malah beliau menyiapkan piring berisi lontong untuk
saya. Beliau datang dari Kudus dan membawa serta suami, anak perempuan dan anak
lelakinya. Saya baru bersedia makan.
Selesai sungkem-sungkeman dan
sarapan, kami bercengkrama di ruang tengah. Sepupu L dari Bandung datang.
Mereka berenam yang terdiri atas supir, bapak, ibu, satu anak perempuan, dan
dua anak lelaki. Saya mendapatkan empat angpao Idul Fitri dari Kakek L, L, Bude
dari Bandung, dan Tante H. Makanan tumpah-ruah. Saya duduk di dekat Pakde M yang
tengah mengobrol dengan L. Saya bermain kamera yang tadi digunakan untuk
mengambil gambar. Saat saya bermain kamera, Pakde M meminta saya mengambilkan
gambarnya dengan L. Saya mengiyakan. Lalu Pakde M meminta L bergantian
mengambil gambar saya dengan Pakde M. Saya sempat kikuk karena sebelumnya L
duduk di lengan sofa. Awalnya saya berdiri mematung tapi Pakde M meminta saya
duduk di lengan saya dan merangkul saya. Saya tersenyum canggung.
A merengek-rengek meminta es krim.
Tante H meminta ijin pada Bude R untuk meminjam mobil untuk digunakan
berjalan-jalan. Saya diajak serta. Ada L, tiga orang sepupu L dari Bandung, A,
W, dan dua adik W. Ternyata Pakde dan Bude dari Bandung ingin turut serta. Juga
Kakek L. Kami pergi dengan dua mobil. Kedua orang tua W, Pakde M, dan Bude R
yang ditinggal di rumah. Bude R merasa tidak enak badan dan enggan untuk keluar
rumah.
Awalnya kami ingin mampir ke J.Co untuk menikmati J.Cool. Namun J.Co belum siap untuk beroperasi. Hari yang belum genap pukul 10.00
saat Idul Fitri memang bukan waktu yang tepat untuk mencari lokasi jajanan yang
sudah buka. Akhirnya pencarian kami berakhir di Black Canyon Café. Di sana setiap orang memesan satu minuman.
Minuman dengan harga mencekik. Harga yang menurut saya tidak rasional untuk
segelas minuman. Kami bercanda dan mengobrol. Saya bergabung dengan pasukan
anak-anak kecil dan tidak bergabung dengan L dan tiga sepupunya dari Bandung.
Saya merasa minder untuk bergabung dan mengobrol dengan mereka.
Tak lama berselang, Pakde M dan
Bude R datang. Mereka bergabung dengan obrolan meja panjang. Setelah pesanan
habis, kami bersiap kembali menuju kediaman Pakde M yang tidak jauh. Sepanjang
jalan mereka mengobrol dan saya hanya diam saja karena tidak paham obrolan
mereka. Mereka membicarakan mengenai keluarga mereka. Saya hanya merasa saya
bukan bagian dari keluarga mereka. Setelah sampai rumah, menu makan siang telah
siap berupa aneka macem seafood yang
dipesan dari rumah makan yang terkenal dengan kelezatan seafoodnya. Saya bergabung dengan anak-anak lainnya dan bermain di
depan televisi, mengobrol. Saya menikmati jajanan yang disajikan di meja. Bude
R datang dan memanggil satu persatu anak untuk segera makan. Semua disebutkan
namanya kecuali saya. Saya diam saja. Saya kembali memutuskan tidak makan sampai
ada yang meminta atau menyuruh saya makan. Kalaupun saya tidak makan berat,
masih ada jajanan di meja yang bisa saya habiskan.
Waktu bergulir. Menjelang sore, L
mengantar Bude R menuju rumah sakit karena jadwal piket Bude R di salah satu
rumah sakit swasta di pusat kota. Saya melihat Bude R dari kejauhan. Saya
merasakan ada keganjilan yang menyakitkan hati. Menjelang petang, kakak
perempuan Pakde M, Bude Y datang bersama suami, anak perempuan, menantu, dan
dua anak lelakinya. Saya melihat mereka mengobrol panjang-lebar di ruang makan.
Ruang makan dan ruang tengah hanya dibatasi pintu kaca. Sesaat setelah
berbicara dengan Pakde M, Bude Y memanggil saya. Beliau mengajak saya berbicara
empat mata. Beliau menanyakan kapan saya akan pulang. Saya menjawab besok. Bude
Y mengatakan bahwa Bude R memiliki beban ketika saya ada di kediamannya karena
ketika saya diantar dengan kawan lelaki saya dan kawan yang mengantarkan saya
tidak diminta mampir. Saya hanya bingung karena saat saya datang, Pakde M dan
Bude R sedang pergi keluar. Lagipula Bude R tidak mengatakan secara langsung
pada saya. Saya hanya merasa alasan yang dibuat oleh Bude R hanya alasan semu.
Alasan yang sebenarnya beliau tidak menghendaki kehadiran saya hanya karena
merasa cemburu. Pakde M yang memberikan perhatian pada saya membuat Bude R
takut. Hanya itu yang ada di pikiran saya. Sebenarnya tidak usah ditanyakan
kapan saya akan pulang, saya sudah berkeinginan pergi saat itu juga. Bude Y
mengakhiri obrolannya dengan saya. Setelah semua orang pulang dan bersiap
istirahat, saya menata dan membersihkan ruang tengah lalu menaiki tangga untuk
istirahat. Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya ingin menangis namun tidak ada
airmata yang menetes. Ingin rasanya saya menyelinap untuk pulang. Saya tidak
takut berjalan kaki sendiri menuju kos saya yang jaraknya jauh dan melewati
perbukitan dan jurang yang gelap. Saya justru lebih tersiksa berada di sini
berlama-lama.
Keesokan harinya, saya sudah
mengemasi barang saya. Saya bangun pagi dan membersihkan dan membereskan ruangan.
Saya juga mencuci dan membersihkan peralatan makan yang tercecer. Asisten rumah
tangga justru memarahi saya dan meminta saya untuk duduk saja. Saya sudah
berpakaian rapi dan bersiap untuk kembali ke kos. Bude R dan Pakde M belum
bangun. Saat saya bingung hendak melakukan apa, saya kembali ke kamar dan
bermain dengan Laptop saya. Menjelang siang, ketika saya pikir Pakde M dan Bude
R sudah bangun, saya justru diberi tahu kalau beliau berdua akan keluar dengan
L dan W berkeliling lingkungan sekitar rumah. Saya diajak serta. Namun saya
memilih untuk diam di rumah dan menunggu kepulangan mereka. Saat saya hendak
meminta ijin untuk pulang, mereka berdua kedatangan tamu secara silih berganti.
Saya kehilangan waktu untuk menyampaikan niatan saya. Hingga malam menjelang
pukul 22.00 ketika Pakde M dan Bude R bersiap menemui salah seorang kerabat
bersama dengan orang tua W, saya memberanikan diri menyampaikan niatan saya
untuk pamit. Mereka memberikan ijin untuk saya kembali ke kos dengan alasan
bekerja dan saya meminta tolong W untuk untuk mengantarkan saya pulang. Saya
mengatakan bahwa saya bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek yang berada tidak
jauh dari kediaman Pakde M. Di tempat W selesai mengantarkan saya, saya sudah
dijemput oleh P yang menunggu saya sejak sore. Ia marah-marah karena harus
menunggu saya selama enam jam.
Idul Fitri 2012 ini memberikan luka
yang sangat dalam bagi saya. Saya semakin merasa sendiri dan tidak memiliki
sosok di mana saya bisa menganggapnya sebagai orang tua, memberi nasihat, dan
memberi dorongan bagi saya. Saya kembali merasa sebagai makhluk yang tidak
diharapkan, dibuang, dan tidak layak. Saya terluka dan terlunta. Saat itu saya
membenci hari raya. Saat itu saya membenci agama yang menyediakan hari raya.
Hari raya hanya untuk mereka yang memiliki keluarga. Sementara untuk saya yang
sebatang kara tak lebih dari siksaan kehampaan.
Selepas Idul Fitri 2012, Papa bebas
dari rumah tahanan. Papa menghirup udara luar. Hanya yang saya dengar, Papa
mengalami tekanan psikis. Papa tidak memiliki pekerjaan dan tidak tahu apa yang
harus dikerjakan. Saya hanya khawatir Papa menjadi tidak kuat menghadapi
permasalahan hidupnya. Yang ada di kepala saya, bagaimana Papa nanti di masa
depan. Sebagai anak pertama, saya berangan-angan untuk memiliki pasangan dan
keluarga. Apa yang akan saya tunjukkan pada pasangan dan keluarga pasangan saya
mengenai keluarga saya. Dan seketika itu saya disadarkan bahwa saya hanya
ditakdirkan berjuang, bukan memikirkan mimpi mengenai berkeluarga. Saya hanya
ditakdirkan memperbaiki keluarga yang saat ini saya miliki, bukan membangun
keluarga. Banyak hal yang akhirnya saya sadari dan mengubah tujuan hidup saya.