Saturday 27 June 2015

B E R P I K I R

Manual painting karya Arief Hadinata


Beberapa hari ini aku kurang tidur. Aku sedang memikirkan sesuatu yang berat. Memikirkan bagaimana aku bisa lahir kedunia. Tiba-tiba aku berpikir tentang sesuatu. Lalu aku mulai merancang pikiranku tentang penis. Betapa sakti benda yang satu ini. Ketika benda ini—penis papa menghujam vagina mama dan memuncratkan sperma, bertemu dengan ovum, terjadi pembuahan dan menghasilkan embrio yang setelah itu berkembang menjadi janin, dan sembilan bulan kemudian lahirlah aku. Anak nakal yang tak pernah menurut pada aturan, selalu membuat keputusan yang sensasional, ingin hidup mandiri dan terbebas dari aturan, dan memiliki pendapat yang di luar nalar pikiran manusia normal. Aku mulai berpikir bahwa aku lahir dan tercipta dari sebuah ritual magis yang aku anggap menjijikan. Lebih menjijikan lagi ketika aku membayangkan ekspresi papa ketika memuncratkan sperma.
Beranjak dewasa, aku mulai memiliki banyak informasi dan pandangan. Banyak hal yang terjadi setelah aku dewasa. Bila dulu dianggap tabu, kini sudah menjadi hal umum. Beragam cerita tentang penis mulai aku dapatkan. Tidak setiap hari. Beberapa kali saja, namun sering. Bila sekarang umurku 24 tahun, dalam satu hari aku mengenal satu orang di hidupku, sudah ada berapa orang yang aku kenal? Dan setiap orang memiliki cerita sendiri. Itu belum termasuk cerita orang lain yang didengar orang lain lalu salah satu kawanku mendengarnya dan menceritakannya padaku. Tentu akan lebih banyak lagi cerita yang aku peroleh. Namun kali ini aku hanya ingin merangkumnya menjadi sebuah cerita mengenai penis. Iya, kali ini simaklah baik-baik ceritaku mengenai penis.
Beberapa hari yang lalu salah seorang kawan yang biasanya nongkrong bareng lama tak menampakkan diri. Tak berapa lama kemudian, ia menghubungiku melalui SMS untuk mendatanginya di kosan. Aku mendatangi kosnya. Namun yang kudapati justru mata bengkak yang sembab. Ia mengatakan bahwa kekasihnya telah memperkosanya. Memaksanya untuk menikmati penis. Ia dalam kesedihan dan kekecewaan karena janji pada dirinya untuk menyerahkan keperawanan hanya pada suaminya, kini telah kandas.
Cerita tentang penis yang lain pernah kudengar kala SMA kelas 3. Ia merupakan gadis paling cantik di sekolah. Dua bulan sebelum Ujian Akhir Nasional, ia menghilang. Tak ada surat yang menyatakan ia sakit atau sedang dalam urusan keluarga. Kabar yang berembus menyatakan bahwa ia keluar dari sekolah karena hamil. Obsesinya menjadi putri sekolah saat wisuda gagal. Yang ada justru berita yang menggemparkan sekolah dan menjadi headline selama beberapa minggu di sekolah menjelang Ujian Akhir Nasional. Ada pula kabar yang mengatakan bahwa kekasihnya yang merupakan anak orang terpandang di kotaku tidak menyetujui adanya pernikahan. Pihak lelaki memberikan sejumlah uang sebagai pengganti pertanggungjawaban material atas kehamilan si gadis.
Lain lagi dengan salah satu kawanku. Dalam hitungan bulan, kehidupannya sebagai anak rantau dari kampung berubah drastis. Memasuki tahun kedua kuliah, keadaannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Tinggal di kosan mahal yang memiliki fasilitas hotel bintang tiga, memiliki kendaraan roda empat, berbelanja barang bermerek premium, memiliki gadget terbaru, berpenampilan cantik dan menarik. Aku hampir tak mengenalinya lagi. Gadis dusun yang sederhana berubah bak putri raja. Saat aku tanya, dengan gigi yang dipagar kawat ia mengatakan bahwa sekarang ia menjadi budak penis dari salah satu pejabat daerah.
Saat tengah malam aku pernah dihubungi oleh salah satu kawanku. Ia mengatakan bahwa ia sedang berada di sebuah hotel dan memintaku menjemputnya. Ia menelepon sambil menangis. Aku bergegas mengegas motorku dan nekat menembus dinginnya malam menghampiri kawanku. Saat aku berhenti di depan hotel untuk mengatakan bahwa aku sudah berada di hotel yang ia katakan, datang sosok lesu yang tanpa kata-kata langsung membonceng di belakangku. Aku mengegas motorku. Aku bertanya ia ingin kuantar ke mana, ia menjawab, “terserah”. Karena bingung, aku antarkan ke kosku. Aku tahu kalau kosnya tak memungkinkan untuk pulang dini hari. Setelah sampai di kosku, ia tertegun dan menitikkan air mata. Aku bertanya ada apa. Ia mengatakan bahwa salah satu tamu di tempatnya bekerja membookingnya. Tamu tersebut mabuk dan saat hendak menyetubuhinya, ia dipukuli. Merasa kesakitan, ia melawan. Namun tamu tersebut tetap memaksa hingga akhirnya ia kalah karena ukuran tubuhnya yang mungil. Akibat persetubuhan dan pemukulan itu, ia merasakan perih sekujur tubuh. Aku bisa melihat luka lebam di bahu dan lengannya. Aku hanya bisa memintanya untuk beristirahat.
Dua bulan yang lalu, uang bulananku berkurang drastis karena dalam sebulan aku menghadiri tiga pernikahan kawan. Mereka menikah nyaris berurutan pada setiap akhir pekan. Sialnya, pernikahan tersebut ada di luar kota. Selain harus patungan untuk membeli hadiah, aku juga harus patungan untuk menyewa kendaraan. Ketiga pernikahan ini memiliki cerita yang sama. Mahasiswa dan mahasiswi yang hobi di dalam kamar, iseng bermain, lalu menstruasi menjadi terlambat dan perut membesar. Kalau mendengar cerita semacam ini, beberapa kawan suka meledek pengantin lelaki dengan mengatakan, “kalau lagi enak, suka males nyabut” dan semua tertawa. Yang mereka maksud pasti penis.
Bagiku, yang dapat melangsungkan pernikahan merupakan pihak yang beruntung. Ada pula pihak yang memilih untuk menggugurkan hasil permainan penis dan vagina mereka. Coba saja buka google dan carilah informasi mengenai obat terlambat bulan. Bahkan promo untuk obat jenis ini juga ada di mana-mana. Di tiang listrik, tembok pinggir jalan, bahkan ada juga yang menyebarkannya melalui media sosial. Salah satu kawanku kemarin harus dirawat di rumah sakit karena pendarahan hebat. Ia meminum obat penggugur kandungan saat tengah hamil empat bulan. Sial untuknya memang. Berniat untuk menutupi perbuatan dari orang tua, ia justru kena damprat orang tua. Konon papanya menampar kekasihnya hingga kekasihnya tersungkur di lantai.
Ada pula cerita konyol mengenai penis. Aku sebut konyol karena bila cerita yang lain mengenai penis yang membuat pihak wanita menangis, yang ini penis yang membuat pemiliknya menangis. Seorang jejaka bermaksud menggoda gadis. Awalnya diajak nongkrong di kafe sebagai bentuk kopi darat dari sebuah perkenalan dari jejaring sosial. Saat hari sudah semakin malam, jejaka bertanya pada gadis hendak tidur ke mana, si gadis justru menjawab bahwa ia ingin ikut jejaka saja. Jejaka dan gadis bersama-sama menuju kos jejaka. Jejaka mengajak gadis minum anggur. Gadis setuju. Mereka minum hingga mabuk. Dalam keadaan mabuk, keduanya bermesra-mesraan. Berpelukan, berciuman, hingga jejaka menjejalkan penisnya pada vagina gadis. Gadis marah dan mengamuk. Ia berteriak-teriak minta diantar pulang. Awalnya jejaka bingung dengan tingkah gadis. Dia yang menawarkan diri untuk tidur bersama, bersedia diajak minum anggur bersama, menikmati cumbuan dan pelukan, lalu tiba-tiba menjerit ketika kepala penis sudah memasuki liang vagina. Merasa malu dan risih dengan tingkah gadis, jejaka akhirnya mengantar gadis pulang. Namun karena gadis terus berteriak dan marah-marah sepanjang perjalanan, jejaka akhirnya emosi dan menghentikan kendaraan lalu menurunkan gadis di pinggir jalan. Jejaka menyuruh gadis melanjutkan perjalanannya ke rumah dengan bekal dua puluh ribu rupiah. Esoknya perbuatan jejaka mendapat sanksi karena gadis yang ia setubuhi ternyata belum genap berusia 17 tahun. Ia harus mendekam di prodeo karena tuduhan pemerkosaan pada anak di bawah umur.
Ya, penis memiliki beragam cerita bagi setiap orang. Begitupun aku. Aku memiliki cerita tersendiri mengenai penis. Suatu sore, sepulang dari kampus, aku mendapati banyak kardus di depan kamarku. Aku masuk dan melihat kekasihku sedang menata ruangan dan menyiapkan makan. Aku bertanya ada apa. Ia menarikku dan memintaku duduk di kasur. Ia memelukku sambil menangis, mengatakan ia sangat menyayangiku, mencintaiku, dan ia juga mengatakan ingin berpisah denganku karena aku tak memiliki penis.
Semarang, 25 Juni 2015 6:10 a.m.
Berbisnis dengan penis.
   



Tuesday 23 June 2015

TAKUT



Aku takut kecoa. Ketakutanku pada kecoa muncul dengan sendiri tanpa aku tahu kapan itu dimulai. Melihat makhluk bertulang belakang dari kerajaan Animalia, fillum Arthropoda, kelas Insecta, upakelas Pterygota, infrakelas Neoptera, superordo Dictyoptera, ordo Blattodea—adalah hal tersial dalam hidupku. Serangga yang tidak dapat mati kecuali dibakar, ketika dikejar hendak dibunuh lalu tiba-tiba terbang dan menyerang yang bersangkutan, dan seribu karakter lainnya yang menakutkan. Selain kecoa, ada satu hal yang paling kutakutkan dalam hidupku. Namamu. Ada perasaan horor, panik, dan gugup pada namamu. Menerorku dengan telepon, SMS, Blackberry Messager, Whatsapp, WeChat, KakaoTalk, Line, Path, bahkan Instagram. Ketika kubuka komputer lipat, namamu ada pada e-mail, Facebook, Twitter, bahkan Google+. Kerap kali kudapati Skype meraung-raung dengan mencetak namamu di layar.
Kamu bukan wanita pertama di hidupku. Kau bukan pula wanita terindah yang pernah disaksikan sepasang bola mataku. Kau bukan wanitaku, kekasihku, tunanganku, apalagi istriku. Tapi kau lah wanita yang dengan sangat lancang menggagahi hidupku. Dengan keperkasaanmu kau atur hidupku. Kau kendalikan waktu kerja dan waktu liburku. Kau kendalikan relasi sosialku, keuanganku, jadwal hidupku, bahkan kau kendalikan menu sarapan, makan siang, dan makan malamku.
Kau membelengguku dengan sikapmu dan arogansimu. Kau memutarku dengan sikap butuh-tak butuhmu, peduli-tak pedulimu. Kau masukkan aku ke dalam permainan layang-layang di mana kau bebas mengendalikanku dengan kekuasaanmu. Aku harus patuh dengan semua sikap dan caramu memperlakukanku.
Aku memang hanya layang-layang yang kau gunakan untuk mengikis benang pemain lain agar layang-layang mereka putus, kau gunakan aku untuk menghalau burung atau menarik burung lain mendekat, dan kau gunakan aku untuk menantang matahari. Yang belum pernah kau lakukan hanya mempraktikkan percobaan Farandy yang menggunakan layang-layang untuk mendapatkan listrik dari petir.
 
Manual painting karya Arief Hadinata
Aku selalu menghadapi sikap datang dan pergimu yang tak pernah pasti. Sekali waktu kau datang dengan wajah girang menceritakan siapa saja lelaki yang kau kenal dari petualanganmu dan bagaimana mereka berhasil memikatmu lalu kau menjerat mereka dengan permainan rodeo yang kau ceritakan dengan gamblang. Kerap kau menceritakan tentang lelaki yang membuatmu terluka hingga kau sering datang dengan wajah merah, berjalan sempoyongan, dan meracau tentang semua kesakitanmu sambil menangis sesenggukan. Aku hanya heran, kenapa kau tak lelah dengan siklus relasi berjumpa-berkenalan-bermesraan-sakit hati-dan mabuk? Selalu begitu. Aku pun heran kenapa aku tetap bersedia menampungmu yang tak pernah lupa menumpahkan muntah di setiap sudut rumahku. Padahal ketika kau sibuk dengan pria-pria itu, kau mengabaikanku. Tak pernah kau angkat teleponku apalagi membalas pesanku.
Aku mengenalmu dari sebuah warung kopi. Gayamu yang sederhana dan angkuh membuatku penasaran. Bagiku setiap pukul 20.15 merupakan momen terindah ketika kau datang dengan rambut panjang bergelombang yang kau biarkan tergerai berantakan. Aku tak berani menyapamu apalagi bernyali untuk berkenalan denganmu. Kerap kali kau tangkap aku tengah memperhatikanmu yang tengah berbincang dengan kawan-kawanmu. Hingga akhirnya kau menyapaku, mengajakku berbincang, meminta kontakku, dan kedekatan kita berlanjut hingga kau menumpahkan segala ceritamu dan kesedihanmu. Kau jadikanku sebagai tempat sampah di mana kau membuang segala kepenatan dan himpitan hidupmu yang berat. Hidupmu yang bebas dan merdeka membuatku iri. Kau bisa berada di tiga kota dari tiga provinsi yang berbeda tak lebih dari 24 jam. Memamerkan foto-fotomu yang tengah berada di landmark kota-kota besar di dalam dan luar negeri. Menceritakan kisah-kisah konyolmu berkejaran dengan kereta, bus, angkutan, pesawat, bahkan ketika kau dengan iseng menghentikan Alphard hanya dengan modal jempol teracung. Aku yang hidup dalam  kedisiplinan didikan militer, merasa ingin memiliki hidup dengan sejuta pengalaman dan cerita sepertimu. Sayangnya, Tuhan hanya menakdirkanku sebagai pendengar yang baik dan menjadi sahabatmu selama lebih dari lima tahun. Tak pernah aku bisa menjelaskan kau sebagai apa dan siapa dalam hidupku ini. Namun aku tahu kau selalu memperkenalkanku sebagai kakak di depan kawan-kawanmu.
Kini kau tepat di depan pintu kamarku, menghardikku yang sedang tak ingin mengindahkanmu. Kau merangsek masuk dan memukuliku. Duduk, menangis, dan menarik tisu menghapus air matamu. Kutunggu isakanmu mereda.
“Aku hamil. Tapi aku tak tahu siapa bapaknya.”
Semarang, 11 Juni 2014
Mendulang kenangan yang usang

Monday 22 June 2015

Sedang Bercerita part VI

Manual painting karya Arief Hadinata


Saya kembali melanjutkan aktivitas saya di kampus dan bekerja. Saya masih mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membeli sepeda motor. Saya pun masih mengirimkan beberapa proposal untuk saya kirimkan pada lembaga penelitian. Kuliah saya kembali terlantar karena saya masih mengejar obsesi saya memiliki sepeda motor. Saya putus dengan P dan saya menjalin hubungan dengan adik tingkat P di jurusan Seni Rupa bernama B. Hubungan yang hampir tiga tahun harus berakhir karena saya dan dia merasa buntu dengan keegoisan kami. Perpisahan yang membuat saya bertanya apakah Mama pun merasakan apa yang saya rasakan.
Permasalahan yang sama kembali saya hadapi. Saya yang tidak memiliki kendaraan kembali meminta tolong B untuk diantar-jemput bekerja atau ia menukar motornya dengan motor miliki kawannya agar bisa saya gunakan bekerja. Keterbatasan ini benar-benar membuat saya bingung. Setiap ada tawaran bekerja dari Event Organizer atau agency, saya selalu kerepotan karena saya tidak dapat mendatangi briefing yang mereka adakan dan membuat nama saya tercoret. Undangan briefing yang kerap mendadak membuat saya kesulitan mencari pinjaman kendaraan pada kawan.
Hubungan saya dengan B berakhir karena kami memiliki kehidupan yang berbeda. Saya yang tengah berusaha untuk masa depan saya dan B yang masih sibuk dengan dunia bermainnya. Dia menjadi kawan dan sahabat saya untuk berbagi cerita dan tertawa. Ia memperkenalkan pada saya dunia kreatif. Saya berpikir bahwa mungkin bila Mama dan Papa dapat mengomunikasikan perpisahan mereka dengan baik, tentu akan menjadi cerita yang indah bagi anak-anaknya.
Saya terus memburu rupiah hingga ke luar kota. Selama nominal yang ditawarkan cocok dengan usaha saya, saya bersedia. Bahkan ketika saya harus mengorbankan kuliah, saya tidak keberatan. Idul Fitri 2013 pun saya lewati seorang diri. Ada tawaran pekerjaan selama tiga hari setelah Idul Fitri di Gedongsongo. Saya dengan santainya mengiyakan walaupun saya menyadari bahwa saya tidak memiliki kendaraan untuk mencapai lokasi kerja. Saya kembali merepoti seorang kawan yang waktu berkumpulnya dengan keluarga harus dikorbankan untuk mengantar saya. Saya merasa tertekan dengan keadaan ini. Tabungan yang saya kumpulkan belum seberapa. Saya mencari-cari informasi harga sepeda motor. Saya mendapatkan harga sepeda motor yang cocok namun ketika seorang kawan yang paham mesin mengecek performa sepeda motor tersebut, dia menggelengkan kepala. Tawaran pekerjaan kembali datang dengan tempo yang panjang dan bayaran yang cocok. Selama saya bekerja, tidak terdapat masalah berarti. Hanya saya merasa tidak enak hati karena beberapa kali terlambat. Bayaran yang saya peroleh sudah mencukupi untuk melengkapi membeli sepeda motor. Saat berbincang dengan kawan mengenai rencana saya membeli sepeda motor, ia mengatakan lebih baik saya membeli sepeda motor baru dengan uang yang saya miliki. Ia menyarankan hal tersebut karena ia pernah membeli sepeda motor bekas dan ia ditipu oleh dealer sepeda motor.
Saya berunding dengan Bakhtiar mengenai rencana saya membeli sepeda motor. Ia mengatakan bahwa ia bisa membantu membayar cicilan bila saya memang memiliki cukup uang muka. Akhirnya saya membeli sepeda motor di Yogyakarta merek Honda Beat seharga Rp13.880.000 dengan uang muka sebesar Rp10.000. Kami mengambil kredit berjangka selama empat bulan dengan rincian tiga bulan pertama sebesar Rp1.000.000 dan bulan terakhir sebesar Rp880.000. Kami bagi berdua cicilan tersebut. Sepeda motor tersebut menggunakan nama Bakhtiar karena ia yang memungkinkan mengurus berkas pembelian. Bulan September saya membawa sepeda motor baru dari Yogyakarta yang masih berplat putih-merah. Saya bangga mengendarai kendaraan yang saya kumpulkan dari hasil jerih-payah saya.
Setelah mendapatkan sepeda motor bukan berarti saya dapat bersantai-santai. Saya tetap memikirkan nominal untuk mencicil sepeda motor tersebut. Saya harus tetap bekerja dan saya harus kembali berhadapan dengan dilematis bekerja atau kuliah. Waktu libur saya gunakan untuk bekerja ketika kawan-kawan seangkatan saya sedang berjuang dengn semester antara. Saya membutuhkan pemasukan untuk hidup saya dan membayar tanggungan cicilan motor.
Akhir 2013 cicilan sepeda motor sudah lunas. Namun saya dihadapkan pada masalah rumah kontrakan. Rekan saya yang mengontrak bersama sudah menyelesaikan studi mereka. Mereka pun sudah bersiap angkat kaki. Di samping itu, harga sewa rumah kontarakan yang terus merangkak naik setiap tahun membuat kami bingung. Saya mencari rumah kos dengan sewa murah, sudah tidak ada. Harga sewa rumah kos sudah jauh dari yang bisa saya jangkau. Saya kebingungan. Sampai akhirnya saya memperoleh informasi bahwa proposal penelitian saya diterima dan saya memperoleh dana yang dapat saya gunakan untuk menutup biaya sewa rumah kos. Setelah lebih dari setahun saya tidak dapat mengajukan beasiswa, perjuangan saya harus kian maksimal untuk berusaha menyelesaikan studi dengan tekanan finansial.
Tak hanya tekanan finansial, namun juga tekanan psikis sebagai mahasiswa tua. Dosen wali saya, Ibu N bertanya pada saya mengenai kelanjutan studi saya. Apakah saya masih mau berjuang atau berhenti. Sejauh mana SKS yang telah saya tempuh dan seberapa siap saya menyelesaikan Skripsi. Saya mengajukan transkip nilai yang saya miliki dan saya menunjukkan topik skripsi yang sudah saya ajukan. Bu N juga menanyakan mengenai mata kuliah praktik yang belum saya tempuh. Apalagi di semester 12 saya harus menyelesaikan pramata kuliah praktik sebelum memasuki mata kuliah praktik. Saya diminta untuk fokus dengan studi saya bila tidak ingin berhenti di tengah jalan dan menggugurkan nilai saya.
Saya hanya tersenyum. Saya menerima nasihat dan masukan dari Bu N. Saya memikirkan itu dengan sangat. Saya harus berjuang untuk detik-detik menjelang semester akhir. Saya sudah tertinggal tiga tahun dengan kawan seangkatan saya. Saya mempersiapkan biaya untuk kuliah praktik di mana saya hanya fokus dengan mata kuliah tersebut tanpa bisa menengok kanan-kiri untuk bekerja atau mencari uang.
Semester 12 saya lalui dengan baik dan saya menyongsong semester 13 dengan mata kuliah praktik yang membuat saya harus fokus dalam kegiatan praktik. Selama lima bulan saya harus menyelesaikan mata kuliah praktik. Rencana saya untuk menyelesaikan skripsi pun kandas karena mata kuliah praktik ini benar-benar membuat saya tidak dapat bergerak. Berkumpul dengan manusia dari beragam latar belakang dan beragam pemikiran membuat saya memiliki ilmu baru mengenai bersosialisasi. Hal ini berbeda ketika saya bekerja. Segala rintangan dan kesakitan tetap saya terima karena saya membayangkan nominal rupiah yang akan saya terima. Mata kuliah praktik membutuhkan profesionalisme yang sama dengan bekerja namun kali ini saya hanya berharap pada nilai. Belum lagi saya dihadapkan dengan kehampaan finansial di mana tidak ada pemasukan namun pengeluaran terus mengalir untuk berbagai keperluan bersama. Saat kekurangan biaya, saya harus menanyakan kepada setiap orang yang saya kenal untuk memberi pinjaman. Terkadang mereka memberi bantuan walau tidak sebesar yang saya butuhkan, setidaknya membatu saya mengatasi masalah saya.
Memasuki semester 14, saya kembali diingatkan oleh Bu N bahwa masa studi saya sudah diujung tanduk. Beliau benar-benar mengingatkan saya untuk fokus. Beliau menyarankan saya untuk berhenti bekerja sejenak dan saya dapat kembali melanjutkan bekerja bila saya sudah lulus. Ketika saya sudah memiliki ijazah dan nilai yang baik, tentu saya bisa mengajukan lamaran pada tempat kerja yang lebih dan memperbaiki kehidupan saya.
Ketika saya menghubungi Mama mengenai apa yang saya alami, Mama justru menyalahkan Papa yang dianggap tidak bertanggung jawab dan menelantarkan anaknya. Papa yang mendengar kabarku dari Insanul atau Bakhtiar juga berbalik menyalahkan Mama karena menganggap Mama yang telah mengakibatkan Papa di tahan di sel dan harus kehilangan pekerjaannya. Mereka saling menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab. Saya sudah lelah mendengarkan segala ucapan saling menjelekkan dan menuduh dari kedua orang tua. Apa yang saya harapkan dapat berubah dalam tujuh tahun ini hanya sebagai angan.
Juga ketika saya mengatakan pada Mama bahwa saya menderita sakit. Terdapat tumor di kandungan saya. Sudah sejak tahun 2011 saya sering mengalami pendarahan dan siklus menstruasi yang kacau. Ketika saya USG pada tahun 2013, ditemukan tumor berdiameter 3,3 cm. Saya pendam apa yang saya sakit selama tidak mengganggu. Saya hanya mengeluhkan pusing dan mual bila terlalu lelah dan kadang berakibat pada pendarahan hebat. Mereka kembali marah-marah dan saling menyalahkan. Saya hanya diam. Saya tidak tahu apakah saya yang salah mengatakan pada mereka atau mereka yang salah menerima. Akhirnya semua permasalahan hanya menjadi pemicu konflik. Saya lalu mengambil kesimpulan bahwa ada baiknya apa yang saya alami saya selesaikan sendiri. Bukan hanya ketika saya yang mendapat kesulitan atau permasalah, tetapi juga ketika adik-adik saya mendapat kesulitan dan permasalahan, Papa dan Mama memberikan respon yang sama. Kami pun belajar untuk hidup lebih mandiri dalam menghadapi permasalahan yang kami hadapi.
Saya hanya berharap perjuangan saya berakhir indah. Saya sangat ingin membantu adik-adik saya. Mereka yang tinggal berpencar dan tanpa pengawasan orang tua. Saya tidak ingin adik saya mengalami apa yang saya alami. Saya hanya memiliki sebuah cita-cita, menyediakan masa depan untuk adik saya. Saya tidak ingin membuat mereka kecewa dan merasa harus berjuang seorang diri.
Untuk itu, saya sangat memohon bantuan agar dapat melancarkan cita-cita saya. Tak hanya menyelamatkan masa depan seorang anak, namun juga menyelamatkan masa depan tiga anak lainnya. Masa lalu tidak dapat diubah. Kami yang terlahir di dunia, entah karena kesalahan atau kehendak, entak diharapkan atau tidak, kami telah tercipta dan bernafas di dunia. Kami memiliki hak untuk memiliki masa depan. Kami masih memiliki sejumput asa yang layak kami perjuangkan. Kami masih ingin merangkai cerita indah kehidupan kami walaupun hanya perih dan sakit yang kami rasakan.
Tak ada satu orang pun anak di dunia yang menginginkan mengalami apa yang saya alami. Saya tidak dapat memilih apa yang akan saya hadapi. Saya hanya memiliki pilihan untuk menjalani atau berlari. Namun saya sadar, ketika saya memilih berlari, tidak akan mengubah apapun dan saya tetap akan menemui hal yang harus saya alami dengan kemasan yang berbeda. Pepatah mengatakan bahwa selama manusia hidup dan bernafas, mereka memiliki masalah. Manusia yang tidak memiliki masalah ialah manusia yang berada di dalam tanah.
Saya tidak dapat membenci dan menyalahkan kedua orang tua saya sekali pun saya sadar bahwa apa yang saya alami merupakan akibat perbuatan kedua orang tua saya. Saya hanya berpikir bila saya berhenti pada tahap menyalahkan dan membenci, saya tidak dapat maju dan berkembang. Apa yang saya butuhkan saat ini adalah sebuah pengorbanan dan perjuangan untuk melaksanakan apa yang telah ditentukan. Saya belajar untuk menerima kenyataan bahwa inilah yang harus saya hadapi. Sayalah yang ditunjuk untuk menjalankan lakon ini. Bila orang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada umatnya melebihi kemampuan umatnya. Mungkin tepat. Bila saya tidak dihadapkan pada kondisi sekarang, saya tentu tidak mengetahui bagaimana harga sebuah rupiah, bagaimana panas dan pedihnya mencari rupiah, bagaimana rasanya berjuang untuk masa depan.
Bila ada fase saya membenci kedua orang tua saya, saya selalu teringat segala kebaikan dan keindahan mereka ketika mereka membesarkan saya. Saya hanya berpikir bila saya menolak apa yang terjadi di masa lalu berarti saya tidak mensyukuri apa yang saya peroleh hari ini dan saya tidak berusaha meraih keindahan hari esok. Tentu saya tidak dapat mengenal orang-orang yang berada di lingkaran kehidupan saya, menjadi sahabat dan keluarga yang mendukung perjuangan saya. Saya berusaha membesarkan hati saya pemandangan di kanan-kiri saya bahwa masih ada orang-orang baik yang Tuhan titipkan untuk saya. Mungkin orang tua saya kurang menjalankan perannya dengan baik. Mungkin Tuhan menitipkan sosok malaikat dalam diri orang lain yang sekiranya dapat menjadi pelipur hati saya. Saya ingin memperjuangkan apa yang masih bisa diperjuangkan. Saya ingin berusaha sampai Tuhan meminta saya untuk berhenti.
Semoga ada kebaikan yang dapat membuka kebaikan lainnya.

Semarang, 27 Januari 2015
Amanda Rizqyana

Sedang Bercerita part V

Manual painting karya Arief Hadinata




Selama Agustus 2010 hingga September 2011 saya bekerja di Pizza Hut dan mulai mengesampingkan kesehatan saya, apalagi kuliah saya. Walaupun tidak setiap hari bekerja. Pernah seminggu sebanyak lima hari saya bekerja terus menerus. Pernah pula dalam sebulan saya hanya berangkat bekerja dua hari karena store sepi dan penjualan tidak mencapai target. Pola makan saya kacau dan saya menderita maag hingga level akut yang membuat saya tidak dapat berdiri tegak karena merasa lambung seperti dilipat. Belum lagi terpaan angin malam ketika pulang kerja. Karena keterbatasan kendaraan, setiap bekerja saya diantar-jemput P. Ia pun tengah bekerja sebagai pelukis artisan yang mengerjakan lukisan untuk dipasarkan di Bali. Ia membutuhkan sepeda motor untuk bolak-balik kampus-kos-kantor. Saya mulai sering sakit-sakitan. Selama bekerja di Pizza Hut, sekitar tiga kali saya mengalami pendarahan. Kembali dihadapkan pada hal yang dilematis. Bila saya mendapat jadwal kerja yang cukup banyak, saya memiliki pemasukan yang cukup untuk makan, kos, dan menabung namun saya harus mengorbankan kuliah dan kesehatan saya. Sementara bila diberi jadwal yang sedikit, saya harus mengencangkan ikat pinggang dengan pendapatan yang hanya bisa untuk makan selama seminggu. Belum lagi pertengkaran dengan P karena saya selalu menangis ketika dia terlambat menjemput dan dapat membuat saya dalam masalah dengan Team Leader atau Manager Restaurant.
Idul Fitri 2011 saya lalui di tanah rantau. Kali ini saya habiskan dengan Mas R. Ketika saya menghubunginya untuk menanyakan keberadaannya saat malam Idul Fitri, ia mengatakan di Semarang. Saya mengajaknya menikmati malam Idul Fitri bersama supaya saya tidak merasa kesepian. Ia setuju. Kami berniat untuk jalan-jalan ketika malam Idul Fitri. Tapi ada kelucuan ketika kami sudah bersiap untuk menikmati malam Idul Fitri, justru muncul informasi di televisi bahwa Idul Fitri diundur lusa. Jadilah kami yang sudah duduk santai di pinggiran Jalan Pahlawan untuk pulang sambil tertawa geli karena baru kali ini Idul Fitri diundur. Keesokan malamnya saya dan Mas R benar-benar menikmati kemeriahan malam Idul Fitri di pusat kota Semarang yang ramai dengan kembang api dan petasan. Berkeliling kota menikmati kemacetan dan kuliner yang harganya sempat membuat kaget setengah mati. Idul Fitri kedua tanpa keluarga.
Saya benar-benar harus menyimpan uang untuk membeli Laptop. Uang registrasi sudah saya amankan dari uang beasiswa. Sementara untuk uang kos sudah saya sisihkan dari gaji tiap  bulannya. Uang kos saya ketika itu sangat murah karena saya tinggal di rumah kontrakan yang terkenal horor dan berhantu dan saya tinggal di bagian gudang. Sangat murah bila dibandingkan dengan harga kos saat ini. Saya sangat menginginkan Laptop. Untuk membantu saya mengerjakan tugas. Setelah perjuangan keras dan dibantu oleh Mama, saya dapat membeli Laptop. Tak lupa saya pun iseng-iseng mengikuti kompetisi dan berharap memperoleh hadiah utama berupa uang tunai. Saya mendapatkan hadiah dengan nominal yang cukup untuk menambah tabungan membeli Laptop.
Saya mulai memfokuskan kuliah. Saya ingin menyelesaikan studi saya. Saat kawan-kawan seangkatan sedang berjuang dengan mata kuliah praktik, saya sedang berjuang menyelesaikan mata kuliah teori yang tertinggal beberapa beberapa semester dan kuliah dengan adik tingkat. Saya masih canggung berada di kampus. Rasanya sangat aneh menampakkan diri. Merasa asing dan tidak mengenal siapapun. Belum lagi pertanyaan dari sejumlah dosen yang merasa saya menghilang dari peredaran. Saya belum bisa menerima kecanggungan ini. Belum lagi dengan kesehatan saya yang sama sekali belum membaik. Saya harus berjuang ekstra untuk bisa menaiki tangga lantai tiga. Secara fisik dan mental, saya masih harus beradaptasi dengan keadaan yang sangat baru.
Sesaat awal saya masih bersemangat menempuh pendidikan. Namun akhirnya saya harus dihadapkan pada usaha untuk berjuang mendapatkan pemasukan. Seorang kawan mengajak saya bekerja sebagai Sales Promotion Girl untuk event yang diadakan pada hari Minggu. Ketika saya mendengar tawaran fee sebesar Rp100.000, itu merupakan nominal besar yang belum pernah saya dengar untuk bekerja dalam satu hari. Saya menerima. Dari situlah awal saya berjuang sebagai Sales Promotion Girl dan mempromosikan diri saya melalui Curriculum Vitae yang saya kirimkan pada sejumlah Event Organizer atau Agency. Fee yang diterima dapat saya kumpulkan untuk membeli kebutuhan bulanan dan kebutuhan makan saya. Kuliah saya kembali terbengkalai karena beberapa kali waktu kerja Sales Promotion Girl di waktu kuliah. Atau paling sial kalau dosen yang sangat sibuk mengganti jadwal pada hari kerja saya. Saya hanya bisa tepok jidat.
Keseimbangan antara kuliah dan bekerja kembali belum mendapatkan pencerahan. Saya masih sibuk mencari rupiah. Kali ini saya sangat terobsesi membeli sepeda motor. Saya sudah bosan berdebat dengan P saat saya butuh kendaraan untuk bekerja dan dia butuh kendaraan untuk kebutuhan mobilitasnya. Saya merasa buntu. Walaupun beberapa kali meminta bantuan kawan untuk dipinjamkan sepeda motor, tetap saja saya merasa ada perasaan tidak enak. Apalagi ketika awalnya ia mengatakan iya lalu sesaat sebelum waktu keberangkatan, ia tidak bersedia meminjamkan. Saya hanya bisa pasrah. Rumah kontrakan saya yang lumayan jauh dari kampus membuat saya harus kerepotan karena saya belum bisa mengakomodasi perpindahan diri. Sudah saya usahakan berjalan kaki dari rumah kontrakan, tapi setelah sampai kampus saya justru tidak bisa berkonsentrasi dengan penjelasan dosen. Atau yang paling sial adalah saya harus menelan ludah karena usaha yang sudah saya lakukan menjadi sia-sia akibat dosen tidak masuk. Saya mulai mencari informasi mengenai harga sepeda motor. Tapi nominal yang harus saya kumpulkan memang tidak sedikit.
Saya mulai belajar membuat karya ilmiah. Saya merasa bekerja sebagai pembuat karya ilmiah jauh lebih menyenangkan dibanding bekerja sebagai Sales Promotion Girl karena nominal yang diperoleh jelas lebih besar dan saya pun mendapat prestasi untuk buah pikiran saya. Saya belajar mengirimkan beberapa proposal penelitian dan proposal pengabdian kepada masyarakat. Memang tidak selalu beruntung. Tetapi paling tidak saya memperoleh kesenangan ketika membuat karya ilmiah. Saya belajar membuat tulisan yang terstruktur dan sistematis dan belajar mengenai kaidah keilmiahan.
Idul Fitri 2012 akan saya lalui seorang diri di kos karena saya memang tidak memungkinkan untuk pulang. Rupiah yang saya miliki masih saya simpan untuk membeli sepeda motor. Di samping itu, saya tidak kuat menghadapi keramaian perjalanan mudik. Saya selalu pusing dengan keramaian dan hiruk-pikuk. Suatu hari saya diundang untuk berbuka bersalam denga salah satu kerabat Mama yang tinggal di Semarang dan bekerja sebagai dokter. Dalam obrolan berbuka puasa kami, beliau menawarkan diri pada saya untuk tinggal di kediamannya dan berkumpul untuk merayakan Idul Fitri. Kebetulan Idul Fitri tahun ini kediaman Pakde M menjadi tempat berkumpul keluarga besar Bude R, istri Pakde M. Saya menyetujui dan dengan senang hati karena akhirnya saya tidak lagi merayakan Idul Fitri seorang diri. Bayang-bayang menikmati lontong-opor ayam di depan mata. Saya datang ke kediaman beliau yang hanya berjarak sekitar empat kilometer dari kos saya. Mama tak jemu-jemunya mengatakan pada saya untuk dapat menjaga sikap dan harus bersedia bekerja membantu keluarga Pakde M. Saya mengiyakan nasihat Mama dan saya bersedia untuk melakukan nasihat Mama.
Saat sore sehari sebelum Idul Fitri, saya mendatangi kediaman Pakde M. Untuk menuju ke rumah Pakde M, saya diantar teman. Ia segera bergegas meninggalkan saya dan karena ia memiliki keperluan sebelum lalu lintas akan padat menjelang waktu berbuka. P sudah terlebih dahulu pulang kampung. Saya datang dan mengobrol dengan L, putri Pakde M. L merupakan anak tunggal sangat sayang pada A. L sendiri bukanlah anak kandung Pakde M. Saya mendengar kalau L itu anak angkat. Tapi saya masih bingung apa perbedaan antara anak angkat dengan anak adopsi. Saya diperkenalkan A, sepupu L yang merupakan seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun. A anak yang lucu yang wajahnya hampir sama dengan L, memiliki pipi yang chubby dan berambut keriting. Ada sebagian rambutnya yang gimbal. Mitos orang Jawa mengatakan bahwa seorang anak yang berambut gimbal memiliki keberuntungannya sendiri. Setelah mengobrol sebentar, saya bingung dengan A. A mengatakan bahwa ia kemari dengan Papa. Tapi saya tidak menemukan sosok lelaki yang dimaksud. Sampai akhirnya Tante H, adik perempuan Bude R, keluar dari kamar dalam kondisi bangun tidur dengan penampilan yang memang kebapakan. Kesimpulan saya cukup jelas. Saya hanya menjadi penasaran dengan siapa sosok yang dipanggil A dengan sebutan mama.
Saya membantu seperlunya di rumah yang sangat besar ini. Saya bermain dan mengawasi A. Sudah ada asisten rumah tangga yang memasak dan mengurus kebutuhan rumah. Saya menyapu dan menata yang dirasa berantakan. Kemudian saya menuju kamar tamu yang digunakan untuk saya tidur yang berada di lantai dua. Saya mengeset alarm subuh untuk mempersiapkan diri saya sebelum berangkat shalat Idul Fitri. Saya bangun paling pagi. Saya sudah mandi, berdandan, dan saya sudah menyapu dan menata ruang tengah. Setelah pekerjaan saya selesai, saya kembali ke kamar untuk berganti baju dan menyiapkan mukena untuk shalat Idul Fitri. Ketika saya menaiki tangga, Bude R yang baru keluar dari kamar mandi berteriak pada saya kenapa saya belum bersiap. Saya menjawab bahwa saya sudah siap. Hanya perlu berganti pakaian dan mengambil mukena. Bude R masuk ke kamarnya. Hati kecil saya merasa posisi saya saat ini berada di tempat yang salah. Tapi saya abaikan karena saya sekarang saya berada di rumah ini dan mengikuti aturan pemilik rumah.
Menurut saya, ini adalah Idul Fitri paling berdarah. Saya yang terbiasa menikmati Idul Fitri seorang diri merasa jauh lebih bahagia dibanding berada di rumah besar dan mewah namun membuat saya merasa di neraka. Saat shalat Idul Fitri di pelataran Rumah Sakit Karyadi, saya mengenakan blus, celana jins, pasminah, dan sandal jepit. Berbeda dengan anggota keluarga lain yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Bude R meminjam pasminah saya. Saya memberikan pasminah tersebut. Tapi pasminah tersebut justru digunakan sebagai alas duduk A. Saya merasa ada tonjokan besar menghantam dada yang menghasilkan lubang besar. Apa yang saya kenakan di kepala dijadikan alas duduk. Saya akhirnya hanya bisa menyadari posisi saya sebagai penumpang di acara mereka. Saya tidak berdaya.
Selesai shalat Idul Fitri, keluarga Bude R berkumpul. Mereka bersiap untuk berfoto bersama. Saya dipanggil oleh L untuk bergabung dalam pasukan untuk berfoto. Saya sudah berada di barisan di tangga untuk berpose agar diabadikan oleh Pakde M. Kali ini Bude R kembali berteriak meminta saya yang mengambil gambar. Saya hendak turun menggantikan Pakde M tetapi Pakde M meminta saya diam dulu untuk diambil gambarnya. Saya bertahan. Bude R kembali berteriak. Saya bingung tapi Pakde M justru menghitung mundur untuk mengambil gambar. Setelah mengambil gambar, Pakde M dan saya bertukar posisi. Saya mengambil gambar untuk beberapa kali.
Acara selanjutnya adalah sungkem-sungkeman. Saya hanya duduk di pojokan. Saya menyalami satu persatu orang yang ada di ruangan tersebut. Saya hanya orang asing. Mungkin ada baiknya saya bergabung dengan asisten rumah tangga Bude R. Waktunya ramah-tamah untuk menikmati sajian yang telah disiapkan. Saya menyadari kehadiran saya tidak diharapkan di kediaman ini. Saya memilih duduk di kolam ikan yang berada tidak jauh dari ruang makan. Di situ saya memandang ikan sambil melamun. Saya masih tidak percaya apa yang saya alami. Saya merindukan kamar kos saya yang jelek. Di sana saya nyaman dengan menonton film atau saya bisa bermain di dekanat untuk berselancar di dunia maya. Saya tidak akan makan sampai ada yang menawari saya untuk makan. Ibu dari W, sepupu L yang sudah diangkat anak oleh Pakde M, menawari saya untuk makan, malah beliau menyiapkan piring berisi lontong untuk saya. Beliau datang dari Kudus dan membawa serta suami, anak perempuan dan anak lelakinya. Saya baru bersedia makan.
Selesai sungkem-sungkeman dan sarapan, kami bercengkrama di ruang tengah. Sepupu L dari Bandung datang. Mereka berenam yang terdiri atas supir, bapak, ibu, satu anak perempuan, dan dua anak lelaki. Saya mendapatkan empat angpao Idul Fitri dari Kakek L, L, Bude dari Bandung, dan Tante H. Makanan tumpah-ruah. Saya duduk di dekat Pakde M yang tengah mengobrol dengan L. Saya bermain kamera yang tadi digunakan untuk mengambil gambar. Saat saya bermain kamera, Pakde M meminta saya mengambilkan gambarnya dengan L. Saya mengiyakan. Lalu Pakde M meminta L bergantian mengambil gambar saya dengan Pakde M. Saya sempat kikuk karena sebelumnya L duduk di lengan sofa. Awalnya saya berdiri mematung tapi Pakde M meminta saya duduk di lengan saya dan merangkul saya. Saya tersenyum canggung.
A merengek-rengek meminta es krim. Tante H meminta ijin pada Bude R untuk meminjam mobil untuk digunakan berjalan-jalan. Saya diajak serta. Ada L, tiga orang sepupu L dari Bandung, A, W, dan dua adik W. Ternyata Pakde dan Bude dari Bandung ingin turut serta. Juga Kakek L. Kami pergi dengan dua mobil. Kedua orang tua W, Pakde M, dan Bude R yang ditinggal di rumah. Bude R merasa tidak enak badan dan enggan untuk keluar rumah.
Awalnya kami ingin mampir ke J.Co untuk menikmati J.Cool. Namun J.Co belum siap untuk beroperasi. Hari yang belum genap pukul 10.00 saat Idul Fitri memang bukan waktu yang tepat untuk mencari lokasi jajanan yang sudah buka. Akhirnya pencarian kami berakhir di Black Canyon Café. Di sana setiap orang memesan satu minuman. Minuman dengan harga mencekik. Harga yang menurut saya tidak rasional untuk segelas minuman. Kami bercanda dan mengobrol. Saya bergabung dengan pasukan anak-anak kecil dan tidak bergabung dengan L dan tiga sepupunya dari Bandung. Saya merasa minder untuk bergabung dan mengobrol dengan mereka.
Tak lama berselang, Pakde M dan Bude R datang. Mereka bergabung dengan obrolan meja panjang. Setelah pesanan habis, kami bersiap kembali menuju kediaman Pakde M yang tidak jauh. Sepanjang jalan mereka mengobrol dan saya hanya diam saja karena tidak paham obrolan mereka. Mereka membicarakan mengenai keluarga mereka. Saya hanya merasa saya bukan bagian dari keluarga mereka. Setelah sampai rumah, menu makan siang telah siap berupa aneka macem seafood yang dipesan dari rumah makan yang terkenal dengan kelezatan seafoodnya. Saya bergabung dengan anak-anak lainnya dan bermain di depan televisi, mengobrol. Saya menikmati jajanan yang disajikan di meja. Bude R datang dan memanggil satu persatu anak untuk segera makan. Semua disebutkan namanya kecuali saya. Saya diam saja. Saya kembali memutuskan tidak makan sampai ada yang meminta atau menyuruh saya makan. Kalaupun saya tidak makan berat, masih ada jajanan di meja yang bisa saya habiskan.
Waktu bergulir. Menjelang sore, L mengantar Bude R menuju rumah sakit karena jadwal piket Bude R di salah satu rumah sakit swasta di pusat kota. Saya melihat Bude R dari kejauhan. Saya merasakan ada keganjilan yang menyakitkan hati. Menjelang petang, kakak perempuan Pakde M, Bude Y datang bersama suami, anak perempuan, menantu, dan dua anak lelakinya. Saya melihat mereka mengobrol panjang-lebar di ruang makan. Ruang makan dan ruang tengah hanya dibatasi pintu kaca. Sesaat setelah berbicara dengan Pakde M, Bude Y memanggil saya. Beliau mengajak saya berbicara empat mata. Beliau menanyakan kapan saya akan pulang. Saya menjawab besok. Bude Y mengatakan bahwa Bude R memiliki beban ketika saya ada di kediamannya karena ketika saya diantar dengan kawan lelaki saya dan kawan yang mengantarkan saya tidak diminta mampir. Saya hanya bingung karena saat saya datang, Pakde M dan Bude R sedang pergi keluar. Lagipula Bude R tidak mengatakan secara langsung pada saya. Saya hanya merasa alasan yang dibuat oleh Bude R hanya alasan semu. Alasan yang sebenarnya beliau tidak menghendaki kehadiran saya hanya karena merasa cemburu. Pakde M yang memberikan perhatian pada saya membuat Bude R takut. Hanya itu yang ada di pikiran saya. Sebenarnya tidak usah ditanyakan kapan saya akan pulang, saya sudah berkeinginan pergi saat itu juga. Bude Y mengakhiri obrolannya dengan saya. Setelah semua orang pulang dan bersiap istirahat, saya menata dan membersihkan ruang tengah lalu menaiki tangga untuk istirahat. Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya ingin menangis namun tidak ada airmata yang menetes. Ingin rasanya saya menyelinap untuk pulang. Saya tidak takut berjalan kaki sendiri menuju kos saya yang jaraknya jauh dan melewati perbukitan dan jurang yang gelap. Saya justru lebih tersiksa berada di sini berlama-lama.
Keesokan harinya, saya sudah mengemasi barang saya. Saya bangun pagi dan membersihkan dan membereskan ruangan. Saya juga mencuci dan membersihkan peralatan makan yang tercecer. Asisten rumah tangga justru memarahi saya dan meminta saya untuk duduk saja. Saya sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk kembali ke kos. Bude R dan Pakde M belum bangun. Saat saya bingung hendak melakukan apa, saya kembali ke kamar dan bermain dengan Laptop saya. Menjelang siang, ketika saya pikir Pakde M dan Bude R sudah bangun, saya justru diberi tahu kalau beliau berdua akan keluar dengan L dan W berkeliling lingkungan sekitar rumah. Saya diajak serta. Namun saya memilih untuk diam di rumah dan menunggu kepulangan mereka. Saat saya hendak meminta ijin untuk pulang, mereka berdua kedatangan tamu secara silih berganti. Saya kehilangan waktu untuk menyampaikan niatan saya. Hingga malam menjelang pukul 22.00 ketika Pakde M dan Bude R bersiap menemui salah seorang kerabat bersama dengan orang tua W, saya memberanikan diri menyampaikan niatan saya untuk pamit. Mereka memberikan ijin untuk saya kembali ke kos dengan alasan bekerja dan saya meminta tolong W untuk untuk mengantarkan saya pulang. Saya mengatakan bahwa saya bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek yang berada tidak jauh dari kediaman Pakde M. Di tempat W selesai mengantarkan saya, saya sudah dijemput oleh P yang menunggu saya sejak sore. Ia marah-marah karena harus menunggu saya selama enam jam.
Idul Fitri 2012 ini memberikan luka yang sangat dalam bagi saya. Saya semakin merasa sendiri dan tidak memiliki sosok di mana saya bisa menganggapnya sebagai orang tua, memberi nasihat, dan memberi dorongan bagi saya. Saya kembali merasa sebagai makhluk yang tidak diharapkan, dibuang, dan tidak layak. Saya terluka dan terlunta. Saat itu saya membenci hari raya. Saat itu saya membenci agama yang menyediakan hari raya. Hari raya hanya untuk mereka yang memiliki keluarga. Sementara untuk saya yang sebatang kara tak lebih dari siksaan kehampaan.
Selepas Idul Fitri 2012, Papa bebas dari rumah tahanan. Papa menghirup udara luar. Hanya yang saya dengar, Papa mengalami tekanan psikis. Papa tidak memiliki pekerjaan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Saya hanya khawatir Papa menjadi tidak kuat menghadapi permasalahan hidupnya. Yang ada di kepala saya, bagaimana Papa nanti di masa depan. Sebagai anak pertama, saya berangan-angan untuk memiliki pasangan dan keluarga. Apa yang akan saya tunjukkan pada pasangan dan keluarga pasangan saya mengenai keluarga saya. Dan seketika itu saya disadarkan bahwa saya hanya ditakdirkan berjuang, bukan memikirkan mimpi mengenai berkeluarga. Saya hanya ditakdirkan memperbaiki keluarga yang saat ini saya miliki, bukan membangun keluarga. Banyak hal yang akhirnya saya sadari dan mengubah tujuan hidup saya.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...