Saturday 9 December 2023

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa.

Hahaha… Ngomong nggak mau kawinin tapi jejer mantan orang-orang jurusan seni itu sebuah ironi.

Perjalanan panjang mencari jodoh akhirnya bermuara pada teman sendiri, yang biasa nongkrong bareng di jeda kuliah.

Agak geli di awal ketika kami pacaran dan menyadari dia jadi mantan pacar temenku dan aku juga mantan pacar temennya. 

Yah, tapi apapun itu perjalanan kami di masa belia, kini kami sudah berkeluarga, memiliki seorang anak bernama Aksara Abiyarsa.

Sejak menikah, aku tahu pilihan pekerjaannya, aku juga tahu risikonya menikah dengan pria yang nggak punya gaji bulanan.



Ditambah kami menikah benar-benar mulai dari nol, hanya memiliki sebuah sepeda motor, sebuah kulkas, dan sebuah kasur.

Bahkan waktu awal menikah, kami masih tinggal di kosannya di Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang.

Kami mulai ngontrak saat aku hamil dan memikirkan kalau anak kami lahir kan nggak mungkin diurus di dalam kamar ukuran 2,5 x 2,5 meter ya.

Ya sudah, akhirnya kami pindah kontrakan di daerah Kalisegoro, Gunungpati, Kota Semarang.

Saya waktu itu masih kerja sebagai wartawan perusahaan yang bergaji bulanan, dan Sayangku yang bernama Arief Hadinata ini masih dengan pekerjaannya sebagai illustrator, mural artist, community engagement expert dengan Badan Ekonomi Kreatif dan Astra.

Ya pokoknya rumah tangga kami harus tetap berjalan dengan apapun pilihan pekerjaan yang kami pilih.

Dalam hal keuangan, kami pun mengatur banyak strategi agar bisa tetap bertahan hidup dengan gaji bulanan yang cuma Upah Minimum Regional (UMR), dan gajinya yang kadang sehari bisa setengah UMR meskipun nggak tiap hari ada kerjaan kayak gitu.

Seperti umumnya pasangan suami-istri, kami memiliki cita-cita mulia, memiliki kendaraan dan hunian.

Kami pun mulai mencari informasi tentang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sekitar awal 2019.

Saat itu membayangkan angka rumah Rp 300 juta saja sudah sesak di dada ya.

Hahaha…

Boro-boro membeli rumah seharga demikian, saldo tabungan mencapai Rp 30 juta saja belum pernah.

Alasan kami memiliki hunian karena di rumah kontrakan pertama yang habis Februari 2019, kami pernah didatangi pemilik secara mendadak tanpa informasi, dan langsung masuk tanpa permisi. Macem digrebek ya!

Aduh, sakit hati banget Ya Allah.

Emang sih itu rumah dia, tapi kan kami punya hak privasi juga.

Kemudian ketika kontrak rumah hampir habis, harga dinaikkan sepihak hingga 25%.

Kami menolak kenaikan dan mencari kontrakan baru untuk hunian kami yang masih di perumahan yang sama, hanya beda RT dan blok.

Setelah pindah kontrakan, kami akui nyaman dan lingkungan pun menyenangkan.

Kami sadari, lingkungan tempat tinggal menjadi wadah paling penting untuk membesarkan putra kami yang mulai beranjak balita.

Banyak anak-anak seumuran, lingkungan tetangga akademisi, jalanan pun lengang tidak banyak hilir-mudik.

Pokoknya kami suka suasana perumahan memaklumi kerjaan suami sebagai seniman dan aku sebagai wartawan.

Kami sadar, profesi kami agak nyentrik karena suami kalo pagi nggak pernah kelihatan berangkat ke kantor, kadang malah pukul 9.00 sedang ngrokok di teras rumah dan bermain ponsel.

Atau aku yang berhalangan mengikuti kegiatan ibu-ibu Dasa Wisma (Dawis), RT, maupun PKK karena sedang liputan di luar kota.

Tetangga sudah maklum dan tidak kepo atau kurang ajar pada kami, kami bersyukur.

Cukuplah kami berhadapan dengan orang tua yang belum paham pekerjaan anaknya.

Tapi kami juga sempat survei beberapa perumahan di sekitar kami.

Jujur saja, meskipun jauh dari pusat kota, harus menempuh jarak belasan kilometer, kami memang nyaman tinggal di sini.

Selain lingkungan, air pun lancar, tidak pernah banjir atau longsor, ditambah jaringan internet mudah.



Pekerjaan suami memaksanya harus selalu terhubung dengan dunia luar.

Kliennya biasanya menghubunginya lewat Whatsapp atau email, atau sekadar bertelepon.

Kerjanya memang bisa dari mana saja, tapi dia nyaris kerja 24 jam sehari.

Terlebih kalau klien dari mancanegara, ketika jam kita istirahat, eh dia sedang jam produktif.

Pokoknya lingkungan di sini sudah paket komplit untuk tinggal dan tetap bekerja.

Ada momen diskusi dengan suami perihal rumah ketika si pemilik menawarkan akan menjual rumahnya di angka Rp 375 juta.

Kami melihat dan membaca tabel KPR, butuh uang muka berapa, cicilan bulanan yang harus dibayarkan untuk membeli rumah ini.

Duh, rasanya kok masih jauh cita-cita membeli rumah.

Ya akhirnya kami terima nasib saja sewa rumah dulu.

Singkat cerita rumah yang kami tempati saat itu sudah 3 tahun, dan si pemilik hendak menaikkan sewa (terjadi hal yang membuat kami down).

Si pemilik menawarkan kami rumahnya itu untuk bisa dibeli dengan sistem mencicil langsung, tanpa bunga, tapi harus lunas dalam setahun.

Rumahnya dibanderol Rp 400 juta, dia pun tak menanggung biaya notaris dan pajak.
Duh, kayaknya pendapatan kami setahun dipaksa untuk membeli rumah, sampe nggak makan pun, rasanya nggak mungkin deh.

Selain itu saaat itu tabungan kami juga hanya beberapa juta saja.

Akhirnya kami pindah ke rumah lain awal 2022 dan kebetulan rumah lebih besar, dengan jalan yang datar, memiliki ruang teras yang lebih luas, dan berhadapan dengan rumah sewaan kami sebelumnya.

Ditambah, si pemilik rumah menawarkan akan menjual rumahnya Rp 400 juta untuk rumah seluas 150 m2, masih mau patungan biaya notaris dan pajak pula.

Harga yang sama dengan rumah sewaan kami sebelumnya yang seluas 105 m2.

Saat itu kami masih menjalani usaha warung di Kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan aktivitas suami di bidang seni-senian juga masih jalan.

Di momen yang sama, kami sudah baru menyelesaikan tanggungan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 25 juta sejak September 2020-Februari 2022.

Pinjaman itu untuk merenovasi warung Kedai Hokage yang baru kami mulai paham, usaha kami itu berkategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Selama sekolah dan kuliah, nggak mudeng tuh kalo baca-baca berita atau artikel soal UMKM.

Ternyata kami rasakan sendiri dan yang kami lakukan ini termasuk bagian dari UMKM.

Dan dari pengalaman KUR, kalau dipikir-pikir ternyata berhutang untuk usaha membantu kami.

Soalnya, berhutang untuk usaha itu dananya bisa digunakan untuk mengembangkan usaha dan sebagai penghutang memiliki motivasi untuk melunasi.

Di sisi lain sebagai manusia yang memiliki kebutuhan, kami masih memiliki dana cadangan untuk kebutuhan besar dan mendesak seperti uang sekolah anak atau kebutuhan lainnya.

Kemudian kami pikir-pikir, oke deh kita coba ajukan pinjaman kembali ke KUR BRI sebesar Rp 50 juta untuk membayar sewa rumah sebagai lokasi usaha studio desain Hokgstudio, dan sebagai modal tambahan membuka warung.

Ternyata pengajuan kami disetujui untuk tempo 18 bulan.

Duh, makin sayang deh sama BRI si Pahlawan UMKM.

Kami pindah rumah karena berharap bisa ‘ngecupi’ rumah yang harganya lebih murah ini.

Strategi kami sih sewa beberapa tahun, kemudian dibeli secara tunai.

Meskipun obsesi beli secara tunai masih kami pikirkan juga duit dari mana nih.

Wkwkwk…
Ngomong-ngomong, kami ini dari keluarga sederhana yang nggak mungkin dapat warisan maupun bantuan beli rumah.

Semua harus diusahakan sendiri untuk mewujudkan mimpi kami.

Boro-boro minta warisan, udah disekolahkan pun Alhamdulillah.

Tabungan kami mulai menunjukkan hilalnya, terlebih setelah suami Juara 1 Dare To Be The Next Superstar 2022, mendapatkan hadiah Rp 105 juta.

Terharu dan lega, keyakinan kami bisa membeli rumah semakin besar.

Tapi ternyata Agustus 2022 kami secara mendadak membeli sebuah mobil baru seharga Rp 165 dengan skema DP 50% dari cicilan.

Tabungan kami tersedot untuk membeli mobil dan mulai mengencangkan ikat pinggang kembali.

Kami memang ingin membeli mobil karena setelah kontrak dengan Djarum, kerjaan suami semakin banyak dan harus ke luar kota.

Waktu itu harus mengantar dia ke bandara, ke stasiun, sembari mengantar-jemput anak yang sudah masuk TK.

Kami menabung kembali, mengumpulkan uang untuk membeli rumah.

Juli 2023, warung yang kami sewa harus diperpanjang. Celengan kami bobol kembali Rp 25 juta.

Agustus 2023, ketika kami menyampaikan niatan memperpanjang sewa rumah yang sebelumnya sudah kami perpanjang 6 bulan.

Pemilik rumah ternyata menolak dan mengatakan ia sedang butuh dana.

Bila kami tidak ada segera membeli, ia akan menjual rumah pada pihak lain.

Pusing deh karena uang tabungan kami mulai merosot drastis.

Saat itu kami dilanda kegalauan, karena kembali harus angkat kaki dari rumah ini.

Jujurly ya, yang bikin pegel kalo harus pindah-pindah rumah itu ya harus membongkar barang-barang, mengangkut, dan menata ulang.

Itu beneran capek hati, capek pikiran, capek tenaga ya.

Capeknya bisa sebulan sendiri nggak habis-habis lho!



Udah merasakan pindah dari kos ke kontrakan A, dari kontrakan A ke kontrakan B, dari kontrakan B ke kontrakan C, dan sekarang kontrakan C memberi pilihan dibeli atau angkat kaki.

Kebetulan KUR kedua kami akan lunas Agustus 2023 ini, dan kami pikir kalo harus angkat kaki, jangan sewa di perumahan, langsung sewa ruko aja untuk kami bisa hidup dan punya usaha.
Soalnya sewa warung yang sekarang sangat tidak worth it untuk kami.

Harus membayar sewa rumah, sewa warung juga.

Kami pikir akan mengajukan pinjaman ke BRI lagi untuk membiayai sewa ruko sekitar Rp 150 juta dengan tenor 5 tahun dengan jaminan sertipikat tanah orang tua di Batang, Jawa Tengah.

Kami pun berkomunikasi dengan Mas Riyan, Mantri BRI, dan dia langsung respon hari itu juga.

Nggak pake fafifu wasweswos, kami konsultasikan permasalahan kami dan ingin mencari bantuan untuk ini.

Walapun ya nggak sampe curhat kalo diusir sama pemilik rumah ya, kan malu.

Singkat cerita obrolan suami dan Mas Riyan mengalir, dan dia bilang, “Kalo lokasi agunan di Kabupaten Batang, pengajuan di Kabupaten Batang, meskipun usahanya di Semarang. Tapi juga kalo nanti akan agak susah sih ya.”

Kami mantuk-mantuk mahfum aja kalo emang gagal, memang rada tricky juga ini masalah pinjam-meminjam duit gede.

Kemudian kami disarankan sama Mas Riyan untuk menggunakan rumah ini sebagai agunan.

Kami senyum malu-malu dan salah tingkah karena ini bukan rumah kami, nggak mungkin donk kami jaminkan.

“Kalo gitu dibeli aja rumahnya, nanti BRI akan bantu pembiayaan maksimal 65% dari harga aset,” kata Mas Riyan.

Deng! Rasanya kaget, bingung, terharu, tapi juga lega.

Soalnya kepala kami berdua rasanya kayak mau pecah membayangkan soal rumah.

Tapi di sisi lain, kami baru tahu kalau KUR BRI bisa digunakan untuk membeli aset.

Setahu kami cuma untuk menambah modal usaha.

Memang kalo jadi usaha perlu banyak belajar deh kayaknya.

Kami juga baru tahu ternyata kerjaan Bihun bisa dijadikan rekomendasi hutang di bank ya.

Dulu kami pikir kerjaan seniman yaudah aja gitu, gambar dan berkarya.

Nggak ada orang-orang di lingkungan kami yang bercerita kalau mereka bisa mengajukan KUR atau KPR dari pekerjaan mereka.

Soal wawasan keuangan dan perbankan seperti orang yang tersesat, tapi kini kami tersesat di jalan yang tepat.

Kami bisa berkenalan dengan dengan bank yang memang terkenal dekat dengan rakyat.

Bank BRI untuk Indonesia menuju lebih hebat, karena kerjaan suami yang kayak orang punya pesugihan ini diminati untuk dibiayai.

Padahal selama berbincang, dari Mas Riyan nggak nanya berapa nominal setiap proyek yang kami lakoni.

Kami hanya menunjukkan kerja sama dengan Djarum, Marimas, Accenture, Livin’ by Mandiri, hingga Dippolar yang dua tahun terakhir kami jalani.

Setelah berbincang selama sekitar 20 menit, kami berdiskusi, melihat saldo tabungan kami, dan bernegosiasi dengan pemilik rumah.

Rumah seharga Rp 400 juta ini kalau dibagi 35% menjadi tanggungan kami, sekitar Rp 140 juta, kemudian Rp 260 juta akan dibayarkan BRI.

Kami mengintip tabel cicilan BRI untuk hutang Rp 250 juta tenor 5 tahun, hampir Rp 5 juta. Mungkin Rp 260 juta sekitar Rp 5 juta lebih.

Kami berpikir, bisa nggak membayar cicilan rumah dan mobil dengan pekerjaan dan pendapatan kami?
Akhirnya kami diskusi dengan orang tua karena setelah berhitung, membeli rumah nggak hanya butuh uang muka, ada biaya notaris, pajak, dan biaya lain-lain yang totalnya bisa buat beli 2 motor metik 150 cc.

Orang tua meminjamkan Rp 20 juta, kami sudah membobol seluruh tabungan yang kami punya.

Ternyata mengurus rumah lumayan juga effortnya, nggak cuma harus menyiapkan uang, menyiapkan kepala dan hati untuk tetap tenang.

Ini belum ditambah drama pemilik rumah berganti-ganti kebijakan dan banyak permintaan ya.

Sementara kami sendiri waktu itu masih mengurus pekerjaan masing-masing dan urus anak sekolah.

Rasanya pengen nangis dan cakar-cakar tembok deh.

Aku diminta menyetorkan uang muka Rp 140 juta ke rekening suami sebagai debitur.

Dalam sehari, kami bisa bertransaksi ratusan juta dengan ponsel kami.

Uang tersebut pun masuk tanpa kendala atau keterlambatan.

Nggak perlu harus ambil uang, antre di bank, isi berkas, dihitung.

Semua bisa dilakukan melalui ponsel.

Digitalisasi BRI emang mempermudah, bahkan yang sudah berumur seperti orang tua kami, bisa kirim uang sambil tiduran di rumah.

Selain itu, kami juga tak lagi repot kirim-kirim data untuk pembelian rumah secara fisik.
Data fisik tetap diperlukan untuk diverifikasi, tapi data kami pun bisa dikirimkan melalui foto, nanti akan diunduh dan dicetak oleh BRI.

Jadi prosesnya nggak pake lama, satset, dan hemat waktu dan hemat biaya.

Akhirnya, waktu yang kami nantikan tiba, Jumat, 15 September 2023.

Di hadapan notaris Sugeng Budiman, S.H., Sp.N., M.H., kami bisa mewujudkan cita-cita memiliki hunian.



Senang dan terharu, meskipun saat itu saldo tabungan sudah habis bersih tak bersisa.

Berproses bersama BRI 3 tahun terakhir, membuat kami menyadari kadang sebagai manusia memang memerlukan pihak lain.

Nggak bisa jumawa apa-apa sendiri, dipikirkan sendiri, pusing sendiri.

Kadang nggak ada salahnya cerita dan curhat dengan orang yang tepat dan bisa memberi solusi.

Kabar bahagia bahwa seniman bisa mengajukan pinjaman ke pihak bank harus kami sampaikan pada rekan-rekan seprofesi.

Mereka bisa menaikkan taraf hidup lebih baik dengan modal keterampilan dan manajemen usaha yang baik.

Panjang umur perjuangan!

Wednesday 4 January 2023

Karya Terhebat Bihun yang Telah Mengubah Hidup Kami

Rasanya terlambat ya kalo baru ceritain sekarang tentang karya ini.

Tapi nggak apa-apa lah.

Aku sedang belajar menulis, karena tahun ini ingin membuat gebrakan dalam menulis.

Aku lagi ingin mencintai menulis seperti dahulu kali pertama aku berjumpa dengannya.

Proses menulis yang setiap hari harus, dirundung ketakutan dan kecemasan, membuat situasi tidak kondusif.

Kadang malah merasa tersiksa.

Akhirnya memang harus melegakan waktu untuk sekadar bercengkrama lagi dengan membaca dan menulis.

Bukan hanya karena menjadi pekerjaan dan kebutuhan, nampaknya menjadi cinta dalam hidupku.

Cinta memang tak hanya rasa tunggal, kadang di saat tertentu bisa jadi benci juga kan?

Tapi masih cinta.

Ya kayak aku ke Bihun lah.

Walaupun dia menyebalkan, suka bikin marah, suka bikin ngamuk, suka bikin nangis, tapi aku masih cinta dan bertahan.

Tuh kan, ngelantur, ngomong ngalor ngidul lagi nggak jelas.

Nah, karya ini menjadi karya monumental tahun lalu yang berhasil mengubah hidup kami.

Bihun menjadi pemenang pertama dan pemenang favorit di kompetisi Djarum berjudul Dare To Be The Next Super Star Season 2.

Setahun sebelumnya, tahun 2021 di Dare To Be The Next Super Star Season 1, dia mendapat kesempatan lolos 5 besar finalis.

Tapi dia melepaskan kesempatan itu karena jadwal yang berbarengan dengan agenda pamungkas Desa Sejahtera Astra, Program CSR Astra yang mengontraknya 2 tahun sebagai Community Engagement Expert (kalo salah tulis, maaf ya, soalnya nggak mudeng soal ini. Nanti aku cek lagi karena sekarang lagi nggak sama Bihun).

Dia melepaskan kesempatan hadiah juara pertama Rp 45 juta.

Aku nonton waktu DTBTNSS 1 dan aku bilang, harusnya Bihun bisa unggul dan juara.

Aku percaya kok sama kemampuan suamiku.

Dia hebat dan berbakat.

Dia melepas Season 1, lalu ketika Season 2 dibuka, dia submit karya di last minute.

Aku sempat nggak berharap banyak, tapi ya minta supaya semua kesempatan diikuti aja.

Aku bahkan bercanda dan menjanjikan kalo dia menang aku bakal memberi dia hadiah menyenangkan setiap pekan.

Hahaha...

Alhamdulillah, Bihun lolos sebagai 10 besar finalis DTBTNSS Season 2.

Berangkat ke Jakarta beberapa hari.

Kami menemaninya mengurus keperluan dia berangkat ke Jakarta karena harus Swab Antigen.

Waktu dia berangkat, aku mulai nggak enak badan.

Bihun selalu protes, "Mesti gitu, kalo mau ditinggal kerja mesti sakit."

Aku nggak kalah protes, "Dih, siapa juga yang minta sakit. Aku nggak minta kok. Sakit dateng sendiri, emang lagi kecapekan dan cuaca buruk."

Nah, di momen final Bihun, aku sakit sampe hampir pingsan di jalan.

Aku kuat-kuatkan karena sudah terlanjur janji sama narasumber untuk meliput acaranya.

Tapi tengah hari karena entah kepanasan atau kelelahan gendong balita yang sudah bukan bayi, aku tumbang.

Aku ke klinik untuk berobat dan meminta surat izin sakit.

Aku nggak kuat.

Tapi di tengah ketidakberdayaanku, aku masih ingin melihat suamiku berlaga.

Lucunya, di laga itu Bihun ketemu sama mantanku.

Bihun sempet nggasaki, tapi aku mah nggak peduli-peduli amat.

Wkwkwk...

Ya ngapain, hendak kurespon apa?

Aku melihat satu per satu penampil dan Bihun tampil di nomor 7 atau 8, aku lupa.

Pokoknya nomor pertengahan menjelang akhir.

Dia menampilkan karya ini.

Aku lupa judul karyanya.

Aku menyimak satu per satu penampilan finalis lain, melihat karakter gambar, presentasi, menyimak komentar juri.

Aku mengamati dan mengambil hal yang baik dan nasehat yang jauh dari keilmuan atau hal yang kukuasai.

Aku juga berharap-harap cemas dan tegang, takut ada yang lebih baik dari Bihun.

Tapi aku percaya dia ada di level terbaik dan penuh semangatnya.

Aku yakin dia menang.

Hingga tiba akhirnya pengumuman dan dia dinyatakan sebagai juara 1 dan juara favorit.

Dia mendapatkan hadiah yang saat itu angka yang tak pernah terbayangkan akan ada di rekening kami.

Dia pulang dengan kebanggaan dan kemenangan.

Aku senang bukan kepalang.

Tapi ternyata yang mengubah tak hanya di sini, tapi di tahap selanjutnya juga ternyata terjadi banyak hal baik yang membersamai.

Diajak berpartisipasi dalam beragam kesempatan bersama brand besar.

Bertemu banyak orang besar, saling mengenal, berjalan, dan tentu saja cita-cita kami yang sempat kandas mewujud semakin baik.

Bahkan lebih dari apa yang kami harapkan.

Beberapa hal tidak menyenangkan terjadi, tapi kami hadapi dan bisa lampaui.

Karya ini menjadi monumen penting dalam kehidupan keluarga kami.

Bahwa cita-cita tak hanya tentang asa, tapi juga usaha.

Kalau tadi aku bilang ada mantanku yang berkompetisi bareng Bihun.

Aku pernah bilang ke Bihun, mantanku memiliki bakat alami yang sudah hebat untuk orang sepertinya.

Dari bapak petani dan ibu pedagang cabai di pasar, rumah di kampung, tapi memiliki bakat menggambar yang telah tercium sejak usia belia.

Tapi karena dia terlalu meyakini bakat yang dimiliki sudah cukup untuk menghidupi, tanpa ada usaha untuk mengembangkan diri, entah belajar atau mencari pengalaman dan berkenalan.

Ketika hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, tak ingin mengenal dunia di luar tempurungnya, ya sudah, dunia juga tak ingin mengenalmu.

Aku memang memuji mantanku di depan Bihun, tapi bukan untuk menjatuhkan Bihun.

Tapi aku perlihatkan keadaan di mana bakat alam saja tak cukup.

Orang harus menjaring banyak hal untuk bisa menempa kemampuan.

Jangan berpuas diri dengan keadaan saat ini dan merasa sudah cukup.

Bakat saja tak akan membuat seseorang ke mana-mana, tapi juga usaha untuk terus menjadi pemenang.

Di momen kemenangan Bihun, aku juga sadar bahwa dukungan keluarga dan semangat diri jadi bagian penting.

Aku mendukung Bihun tak hanya untuk menjalankan apa yang dia suka.

Aku menjadi mulut pedas pertama yang mengkritik karyanya, cara kerjanya, caranya berkomunikasi dengan klien.

Aku ingin ia tetap ada di rel yang tepat dan bukan menjadi orang yang seenake dewe.

Keberuntungan datang ketika kesempatan bertemu dengan persiapan.

Aku selalu mengingatkan Bihun untuk bersiap bila di masa depan ada kesempatan yang menghampirinya.

Aku juga seribu kali selalu mengingatkan dia agar selalu mengontrol egonya.

Bukan karena aku ingin mematikan jiwa senimannya.

Aku hanya tak ingin dia salah menempatkan sosok 

Beberapa kali dia salah menempatkan sosok.

Belajar dari orang-orang, menjadi seniman bukan dengan jiwa sombong merasa lebih baik.

Justru menjadi seniman harus orang yang memiliki kerendahan hati dan kesadaran untuk terus belajar dan menjadi lebih baik.

Oh iya, sebelumnya Bihun sempat mengajukan kerja kantoran dengan gaji pertama waktu itu Rp 3,5 juta, dan akan naik setelah 6 bulan.

Aku menolak permintaannya.

Aku memaksanya untuk tetap di jalan seniman.

Bukan hanya kau percaya akan bakatnya, aku memaksanya konsekuen dengan pilihan yang ia ambil.

Menjadi seniman merupakan pilihan yang ajukan saat mengencaniku dan mengajakku menikah.

Dia harus tahu bahwa pekerjaan yang dipilih bukanlah pekerjaan yang bisa bangun siang dan tak perlu merasakan penatnya lalu lintas kota.

Pekerjaannya menuntut komitmen 24/7 harus selalu siap ditambah harus menyelesaikan deadline tanpa peduli sakit, bencana alam, atau apapun itu.

Apalagi pekerjaannya bukan digaji, tapi ia menggaji diri sendiri.

Tentu mental yang ia miliki harus berbeda denganku yang digaji.

Aku memang sedang menghukum Bihun atas pilihannya, agar di masa depan ia tak menyalahkan keadaan atau pilihan yang ia ambil.

Nanti kita akan bicara tentang pengaruh orang tua dan keluarga dalam membentuk mental anak hingga dewasa.

Semoga aku inget ya.

Nah, komitmen itu yang selama beberapa tahun lalu tak ia miliki.

Ia masih merasa sebagai seniman yang memiliki pesona untuk menarik klien, bukan ia yang mencari dan memperkenalkan pada orang yang berpotensi sebagai klien atau kolektor karyanya.

Sekarang ia sudah berubah, sudah lebih adaptatif.

Aku bersyukur.

Nggak bisa memang sekaligus sesuai dengan keinginanku.

Harus perlahan, satu per satu, sedikit demi sedikit untuk bisa masuk ke dalam pikiran orang.

Tapi apapun itu, aku ingin mencapai target hidup sesuai dengan apa yang kami idamkan.

Kami sadar harus berusaha menggunakan kaki sendiri untuk mendapatkan kenyamanan yang kami inginkan.

Nggak bisa mengandalkan kaki atau bahu orang lain.

Karena emang nggak ada.

Hahahaha...


Semarang, 4 Januari 2023

Aku ingin bercerita

Dengarkan saja

Tak usah kau sela


Tuesday 3 January 2023

Investasi Paling Tepat di Usia Produktif Menurutku, Terlebih Setelah Nonton Konser 30 Tahun L'arc en Ciel

Beberapa hari lalu aku sengaja menonton konser 30 tahun L'arc en Ciel.

Band asal Jepang itu lho.

Berawal dari melihat postingan story teman dari cuplikan konser Laruku (orang-orang menyebutnya demikian), aku kemudian pengen nonton video konser Laruku di Youtube.

Seltelah aku cari-cari, sepertinya video konser dibanned karena melanggar hak cipta.

Yaudah lah ya, memang seharusnya begitu cara menghargai kreator.

Kita juga kalo bikin karya dibajak, ada orang mendapatkan rupiah dari jerih payah kita, pasti gak ikhlas kan?

Anyway, aku cari-cari dan nemu konser 30 tahun Laruku di Primevideo.

Kebetulan punya akun Amazon, jadilah nonton di masa trial Primevideo 7 hari.

Mayan lah ya, dapet gretongan, Cint.

Duh, hepi banget beneran nonton Laruku.

Ngeliat Hyde-san yang masih energik di usia 53 tahun tuh sesuatu banget kan ya.

Sementara melihat orang tuaku yang udah keliatan sepuh banget di usia yang nggak terlalu jauh.

Hyde kelahiran 1969, Papaku kelahiran 1965, Mamaku kelahiran 1973.

Tapi rasanya Hyde masih kayak orang umur 40an tapi dengan keriput leher sih.

Hehehe...

Melihat Hyde yang masih penuh semangat, menghibur orang lain di usia yang tak lagi muda, aku membayangkan dia sendiri pernah bosan mungkin.

Membawakan lagu yang sama selama puluhan tahun di setiap panggung.

Memikirkan persiapan dan selalu menghibur orang lain di saat mungkin dia sendiri sedang kelelahan 

Lalu aku melihat suamiku, si Bihun itu, di umurnya yang baru 32 tahun.

Dia sedang ranum-ranumnya, sedang mengunduh buah perjuangannya.

Aku merasa harus bisa memaksimalkan potensinya, karena inilah doaku selama ini.

Entah kenapa aku sama sekali nggak tertarik dengan semangat pensiun usia tua para anak muda.

Aku justru punya semangat untuk terus berkarya dan melakukan sesuatu di usiaku.

Ya emang sih sering sambat dan mengeluhkan banyak hal, tapi aku beneran pengen terus bisa berkarya.

Mungkin di umur muda memang harus kerja untuk diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri, nanti di umur tua baru beneran berkarya sesuai passion.

Artinya, di umur muda harus perbanyak pengalaman, belajar, melakukan kesalahan, melakukan kegagalan.

Kupikir, apa sih yang disesali dan dirugikan dari melakukan kesalahan?

Banyak orang menghindari melakukan kesalahan, takut mencoba, sampe akhirnya nggak mau belajar.

Maunya sekali melakukan langsung sukses dan hebat, jadi wah.

Padahal sebagai manusia biasa, pasti nggak setiap pilihan selalu sesuai yang diinginkan.

Ada kalanya pilihan yang diambil harus berbuah hal buruk.

Tapi apa sih yang bisa dilakukan?

Menyesali?

Nggak pengen belajar?

Nggak pengen berusaha?

Kupikir, aku sangat kenyang dengan kesalahan dan kebodohanku di masa muda.

Aku puas berinvestasi pengalaman, mulai dari hal yang menyenangkan dan menggembirakan, sampe hal yang menyakitkan dan melukai.

Ketika kutatap diriku sekarang di depan cermin dan aku mengenang semua kebodohan itu, aku puas.

Karena sekarang hidupku sudah sepenuhnya kubaktikan untuk keluargaku.

Aku nyaris menghabiskan 24 jam untuk keluarga, mulai dari bekerja, anak, pekerjaan rumah, suami.

Apa lagi?

Aku masih main, nongkrong, dolan, tapi hanya beberapa jam dari ribuan jam yang kupersembahkan untuk keluarga.

Aku merasa nggak kehilangan masa mudaku atau hidupku terkekang setelah menikah.

Karena menurutku, ketika berkomitmen dengan pernikahan, memang sebuah pengabdian seumur hidup.

Tapi dalam pernikahan tentu ada kesepakatan.

Itu hal lain yang lain kali akan kita obrolkan di lain kesempatan.

Nah, balik lagi (emang suka nyasar-nyasar kalo ngobrol nih, ke mana-mana nggak) soal produktif di usia tua.

Aku melihat sendiri bagaimana postpower syndrome orang tua di usia pensiun.

Mereka bingung ketika anak-anak sudah dewasa dan mandiri, dan bisa menentukan pilihan sendiri.

Orang tua masih intervensi, dan merasa anak sudah tidak membutuhkan.

Melihat hal itu, aku merasa sebagai anak yang tengah menyandang peran sebagai orang tua juga, aku tak ingin masa tuaku demikian.

Aku melihat bahwa usia tua bukannya pensiun atau tidak melakukan apapun.

Pensiun yang artinya beristirahat dan merasa bekerja sebagai beban.

Sampai detik ini aku masih merasa bekerja sebagai kebahagiaan.

Ya nggak bekerjanya aja sih, tapi juga gajian tiap bulan kan pasti bikin hepi kan ya?

Hahaha...

Tapi aku juga pengen produktif, pengen berkarya, pengin dikenang.

Kalo ada peribahasa, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama."

Bagaimana bisa meninggalkan nama, kalau tidak pernah membuat karya.

Aku juga mulai menyadari, untuk terus berkarya, seseorang harus memiliki banyak pengalaman dan wawasan.

Pengalaman dari mencoba hal baru, mempelajari hal baru yang berbeda, bahkan hal yang dulu dihindari.

Kalo kata Adriano Qalbi, "Orang yang menjilat ludah sendiri adalah orang yang mau berubah dan berkembang."

Dulu aku nggak mau menikah, takut punya anak.

Nah nyatanya sekarang aku jadi Nyonya Arief Hadinata dan Bunda Aksara Abiyarsa.

Nah kan, nah kan, nah kan, melenceng lagi.

Ya intinya investasi paling tepat di usia produktif ialah menambah pengalaman, kenalan atau relasi, dan menambah perbanyak wawasan.

Supaya saat tua memiliki bekal untuk berefleksi dan lebih bijak.

Orang tua yang bijaksana kuyakin di masa mudanya sudah merasakan seribu derita.

Sebenarnya, hidup hanya menyatukan cerita-cerita kan?

Semoga aku masih diberi kekuatan dan kesabaran untuk terus belajar, mencari pengalaman, kenalan, dan menambah wawasan.

Lifelong learning.


Semarang, 3 Januari 2023

Untukmu cinta, aku mengabdikan segenap usia

Bukan hanya untuk akhir bahagia, tapi bersama menatap asa dan mewujudkan cita-cita.


Monday 2 January 2023

Empat Alasanku Benci Sakit, Tapi Kadang Fisik Memang Perlu Istirahat dan Mengeluarkan Racun Melalui Sakit

Seperti biasa, sebelum tidur aku menyetel agenda hari ini.

Kebetulan hari ini, Senin (2/1/2022) hari pertama masuk kerja dan masuk sekolah.

Sudah sepekan ini tenggorokanku kering dan gatal.

Sebagai pelanggan tetap sakit radang tenggorokan, rasanya tanda-tanda paling familiar untuk penyakitku ya biasanya mata pedas dan berair plus hidung gatal.

Baru kemudian disusul demam dan pilek.

Baru kali ini langsung menyerang tenggorokan dan batuk.

Kubeli obat batuk, tapi batuk tak kunjung reda dan hari ini mulai menggigil.

Aku nggak mau sakit karena pertama, aku nggak suka ke klinik dan antri.

Sumpah, aku pernah mau periksa, udah lemes, mau pingsan rasanya, naik motor bawa anak masih bayi.

Sampai klinik, aku harus antre hampir 3 jam.

Sialnya, waktu itu area klinik belum seramai sekarang.

Masih bingung harus ngapain atau kemana nunggu antrean panjang.

Kalau sekarang kan enak, antre panjang bisa ke depan ada ayam goreng dan es krim.

Indomaret sebelah sih udah lama, cuma kan waktu itu ngapain ke Indomaret, sini juga udah tele-tele nyaris pingsan.

Alasan pertama antri, alasan kedua aku selalu tersiksa kalo meminum obat bentuk kapsul, tablet, pil.

Aku paling cocok obat sirup aja deh ya.

Soalnya praktis bener.

Tinggi sendokin, malah kadang kokop dari botol.

Kalo obat kapsul, tablet, pil, aku harus sedia pisang, roti, bahkan nasi untuk bisa masuk.

Itu juga kalo ketelen sambil kayak mau muntah dan mata berkaca-kaca.

Belum lagi minum obat harus terjadwal dan sampe habis.

Iiizzz....

Menyiksa sekali ya selama beberapa hari menelan beberapa obat.

Alasan ketigaku malas sakit tentu karena aku tak bisa beraktivitas leluasa.

Pekerjaan kantor okelah, bisa izin sakit atau cuti.

Tapi pekerjaan rumah kadang nggak bisa diajak santai.

Tetap harus dikerjakan.

Pernah berantem sama Bihun gegara aku tepar dan sakit, dia bilang aku aleman, manja karena cuma di kasur aja, nanti nggak sembuh-sembuh.

Kesel bener lagi sakit digituin.

Untungnya beberapa kali sakit masuknya ringan, berkutat di radang tenggorokan dan tipes dan alhamdulillah nggak pernah opname.

Pernah kena DB, tapi jadi sembuh karena nularin Aksara.

Nah, soal nularin ini jadi alasan keempat karena sekarang kesibukan kami udah ektra.

Arsa sekolah, Bihun kerja luar kota.

Kalo aku sakit dan nularin ke Bihun atau Arsa, kerjaan dan sekolah bakal berantakan.

Soalnya pernah kejadian, sakit radang, saling menularkan, sebulan nggak kelar-kelar sakitnya.

Arsa yang harusnya di sekolah, jadi cuma di rumah aja nyaris sebulan.

Aku capek kerja, ngurus anak juga, mana Bihun beberapa kali ada kerjaan di luar kota.

Apalagi waktu itu masih sekolah masih paranoid untuk mengizinkan anak masuk sekolah kalau batuk dan pilek.

Anak yang masuk sekolah harus dalam kondisi fit, kalo sakit diperkenankan belajar dari rumah.

Supaya nggak menulari teman yang lain.

Akhirnya hari ini putuskan ke dokter, menghadapi segala tantangannya.

Ke klinik setelah anter Aksara sekolah yang ternyata sekolahnya masuk besok Selasa (3/1/2023), itupun dalam jaringan (daring).

Masuk sekolah tatap muka baru Rabu (4/1/2023).

Hikz T_T mana udah bangunin pagi dan buru-buru berangkat, ternyata sekolahnya baru Rabu besok.

Kebetulan Selasa jatahku libur, jadi aku bisa beristirahat 2 hari, lumayan lah.

Karena sakit kali ini batuk, lebih gak nyaman ketika ketemu orang.

Pascapandemi, orang jadi paranoid sama batuk.

Yaudah lah ya, doakan aku lekas sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Hehehe...

Semarang, 2 Januari 2023

Yang membahagiakan dari mencintaimu ialah merindukanmu

Selalu ada buncahan bahagia dalam dada ketika bertemu



Sunday 1 January 2023

Halo 2023

Halo 2023.
Selamat datang tahun yang baru.

Aku tak merayakan kehadiranmu, tapi aku menyambut optimis tahun ini.
Karena kami, saya, Arief Hadinata, dan Aksara Abiyarsa memiliki segudang cita-cita yang ingin terlaksana dalam 364 hari ke depan.
Pada 2022 kami belajar, membuat rencana itu perlu.
Tapi belajar untuk introspeksi dan evaluasi bila rencana tak tereksekusi sesuai ekspektasi juga perlu.
Ada yang datang, ada yang pergi.
Ada yang baru, ada yang lama.
Ada perjumpaan, ada perpisahan.
Menyadari pada usia 31 tahun, aku kadang masih kekanak-kanakan.
Di tahun ini aku ditempa untuk berpikir, "Oke, apa yang harus kita lakukan?"
Belajar menerima keadaan dan mencari solusi atas permasalahan.
Masih sering mengeluarkan amarah yang meledak-ledak, tapi juga sering tetiba nangis sambil naik motor hanya padahal situasi sedang baik-baik saja.
Tak peduli tahun berganti, bulan berganti, hari berganti, tanggal berganti, doaku masih sama.

Semarang, 1 Januari 2023
Perlu disadari pergi bukan untuk kembali, apalagi untuk kembali merangkai mimpi.
Jangan hidup dalam ilusi, lama-lama gila dibuai mimpi sendiri.

Saturday 30 April 2022

Mengembalikan Semangat Masa Belia dan Percaya Diri

Sejak menjadi dewasa, segala hal dipikirkan matang-matang.

Harus mempertimbangkan banyak aspek.

Kemudian muncul ketakutan-ketakutan yang menghalangi untuk mengerjakan hal tersebut.

Takut salah, takut ada yang marah, takut hasil tidak memuaskan, takut dikritik, takut terluka, takut terjatuh, takut segala hal yang sebenernya belum tentu ada.

Aku sedih mengalami segala ketakutan ini.

Sedih dan lelah mengikuti kehendak hatiku yang tak ingin terluka.

Aku ingin menapaki hal berbekal kalimat, "Halah, persetan!"

Aku rindu ketika segala hal menjadi penuh semangat dan penuh rasa percaya diri.

Aku rindu ketika segala mimpi dan cita-cita masih tinggi dan menggebu.

Aku sungguh mengalami kelelahan masa dewasa.

Kumohon, kembalikan kekuatan dan tenagaku di masa lampau.

Kembalikan romantisme dan segala optimisme itu.

Untuk menjadi pembakar semangatku.

Kumohon.

Thursday 14 January 2021

SKALA PRIORITAS

Cinta,
hal paling aneh dan sulit dikalkulasi dengan Matematika.
Hal yang kadang sulit dinalar dengan akal sehat.
Ada orang yang rela memberikan apa yang dimiliki pada orang yang dicintai. Padahal keduanya hanya memiliki relasi abstrak.
Tak ada warna, tak ada rasa, tak bisa diraba.
Kata teman-temanku, aku bucin parah. Sangat bucin sampai mereka membenciku ketika aku sedang dimabuk asmara.
Aku rela memberikan apapun yang kupunya.
Aku rela melakukan apapun untuk orang yang kucinta.
Bahkan aku menerima ketika diperlakukan setidak baik apapun, atas nama cinta.
Ketika aku jatuh cinta dan mencinta, kuberikan seluruhnya.
Orang itu menjadi daftar teratas dalam skala prioritasku.
Semua keputusanku, semua yang kulakukan, semua yang kupikirkan, bahkan semua nominal uang di rekeningku akan kuberikan pada yang menjadi skala prioritasku.
Aku tak peduli apa yang akan terjadi esok atau nanti.
Selama cinta itu masih ada dan bersarang dalam dada.
Kupelihara cinta itu setengah mati.
Segala yang bisa kuupayakan, akan kulakukan.
Aku tak akan melarikan diri dari yang kumulai.
Ketika cinta sudah diikat dalam maghligai pernikahan, kupikir itu tentang dua orang yang saling mencinta.
Yang saling memberi, saling mengisi, saling berbagi, saling menerima, saling melindungi, saling menyayangi.
Kupikir setelah menikah, dua manusia yang sudah berkomitmen akan menyadari peran dan tanggung jawab masing-masing.
Akan segera beradaptasi dan menyadari apa hak dan kewajibannya.
Kupikir dengan perjalanan waktu akan bisa dilalui.
Namun, setelah waktu berjalan, ternyata hanya ada sebuah kepalsuan.
Semua yang sudah dilalui dan diperjuangkan ternyata tak pernah nyata.
"Aku belum siap nikah."
Sebuah kalimat sederhana yang membuat duniaku mendadak gelap dan rasanya semua cinta dan rasa percayaku runtuh.
Semua yang sudah kulakukan dan kuperjuangkan ternyata percuma.
Semua kekecewaan dan luka yang ditorehkan akhirnya menemukan jawabnya.
Aku tak pernah diinginkan.
Aku tak pernah dicintai.
Aku tak pernah benar-benar ada di hadapannya sebagai apa yang kusangkakan selama ini.
Aku kecewa.
Aku ingin tak percaya, namun ternyata lukanya semakin nyata.
Cinta yang sebelumnya kupupuk, kupelihara, kujauhkan dari serangga maupun ulat maupun dari segala yang bisa merusaknya, seperti diinjak oleh kaki tak kasat mata.
Hancur, lebur, hanya menyisakan remukan yang rapuh ketika tertiup angin.
Tak ada yang abadi.
Sekalipun janji suci pada Ilahi untuk mencintai.
Karena sejak awal memang tak pernah ada cinta.
Karena sejak awal memang sebuah kesalahan yang disengaja dan diteruskan sampai membuat ceruk luka dalam.
Aku tak bisa memaksa hati untuk mencintai.
Bagaimana pun tak pernah ada cinta, tak pernah ada aku dalam prioritasnya.
Aku menyerah.

Monday 6 January 2020

No More Love, No Longer Hate

Aku memiliki relasi emosional aneh dengan Papaku.
Aku nggak bisa dibilang membencinya, tapi aku juga tak menyayanginya. Kesalahannya kumaafkan, tapi tak menjadikanku berubah melankolis padanya.
Aku membatasi diriku sendiri pada sudut emosional yang realistis.
Kekecewaanku bertubi-tubi pada Papa ketika aku memberikannya kesempatan untuk memperbaiki keadaan, membuatku sadar: aku tak layak mengharapkannya lagi.
Daripada aku harus marah dan menuntut pada Tuhan, ada baiknya aku menerima keadaan ini.
Dia, Papaku, tak cakap menjadi orang tua.
Pada level itu, aku mencoba menjadi selayaknya anak yang masih ingat orang tua, masih mengunjungi orang tua, masih berusaha menyapa dan baik pada orang tua.
Tanpa harapan Papa akan menyapaku dan menyambutku sebagai tamu di rumahnya.
Bagi sebagian orang, ceritaku terdengar absurd.
Apakah benar ada orang tua sekejam Papaku?
Meninggalkan empat anaknya yang masih di usia sekolah dan menelantarkan mereka begitu saja dengan dalih Papa dipenjara.
Padahal sebelum Papa dipenjara, ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi terkait kewajibannya sebagai orang tua atau jalur hukum.
Papa keukeuh dengan kebenaran yang ia yakini.
Ia menelan kebenaran yang ia yakini itu.
Bahkan hingga purna hukumannya, ia masih berkoar-koar atas keyakinannya itu.
Hingga aku lulus kuliah hendak wisuda, memintanya datang, ia menggenggam keyakinannya dan menolak kehadiran Mamaku.
Aku menikah pun Papa tak datang.
Adikku bertunangan pun Papa tak datang.
Ia tak lagi hadir di hidup anak-anaknya.
Ia yang memilih jalannya.
Aku tak berhak menggugat.
Aku sudah terlampau kerap berharap dan kecewa.
Kini aku memutuskan tak akan mengharapkan Papaku.
Semua telah menjadi pilihannya.
Pilihanku ialah, seperti yang beberapa kali ia ucapkan di hadapanku, bukanlah anaknya.


Thursday 2 January 2020

Nggak Mau Berharap Sama Kantor Karena Takut Nangis

Aku mengunggah foto perangkatku kerja di sosial media.
Kemudian, seorang kawan mengomentari, "Tumben kantor mau modal."
Aku membalasnya dengan tawa dan kujawab kalau aku membeli itu sendiri. Kujawab, "Nunggu fasilitas kantor malah udah nangis dulu."
Dia kembali bertanya, "Kenapa nggak cuek aja?"
Aku jawab, aku orang yang manja.
Kemudian dia membalas, "Yaudah deh, terserah kamu."
Setelah komentarnya ini, aku mulai berpikir tentang diriku sendiri, kebiasaanku.
Ternyata aku memang orang yang manja.
Aku nggak bisa kalau kerja seadanya. Laptop lemot dikit, aku betek. Internet lemot, aku betek. Bahkan nggak ada air mineral habis aja aku juga betek. Kalo udah betek, kerjaan ambyar deh.
Tapi, sebenarnya alasan yang paling realistis untukku sih karena aku nggak mau stuck di kondisi itu.
***
Sebelum kerja jadi wartawan kayak sekarang, aku pernah kerja jadi guru les, pelayan restoran, SPG, MC, dan TL. Ketika melakoni setiap pekerjaan, aku selalu meniatkan, "Belajar dari pekerjaanmu, karena uang bisa habis tapi ilmu nggak akan habis."
Dulu aku mikirnya gitu.
Makanya meskipun pekerjaannya 'cuma' guru les, aku belajar tentang peta Kota Semarang dan belajar tentang etika.
Jadi pelayan restoran juga aku belajar banyak tentang manajerial restoran. Gimana restoran bisa bekerja nggak cuma bermodal ada yang bisa masak, tapi juga tentang pembagian tugas di belakang layar dan administrasinya.
Pun ketika jadi SPG, belajar menjajakan barang dan kualitas barang.
Banyak pelajaran yang kuambil.
Lalu soal uang yang kuperoleh dari tiap pekerjaanku itu, aku selalu tabung. Aku selalu meniatkan uang yang kuperoleh harus bisa menjadi anak tangga agar bisa meraih yang lebih tinggi.
Uang dari kerja TL dan SPG kutabung untuk hidup sebagai anak kos dan membeli laptop, supaya bisa mengerjakan tugas. Laptop kugunakan untuk mengerjakan tugas dan membuat PKM. Uang dari PKM kugunakan untuk membeli motor. Setelah membeli motor, aku bisa meraih sarjana. Ijazah sarjana kugunakan untuk melamar pekerjaan. Setelah diterima kerja aku membeli kamera. Kamera kugunakan untuk menunjang pekerjaanku agar lebih profesional. Dari pekerjaanku aku bisa menikah dan berkeluarga. 
***
Kesadaran melakoni ini kulakukan karena aku nggak mau menjadi budak bagi pekerjaan. Aku nggak mau hidupku stagnan di sini aja. Aku harus pinter mencari celah dan peluang untuk terus mengembangkan diri dan memiliki capaian yang lebih baik. Aku harus lebih berkembang dan mencapai tingkat yang lebih tinggi dari yang sekarang kutapaki.
Aku harus dapet ilmu dan pelajaran dari apa yang kulakoni.
Aku sadar diri, sebagai karyawan swasta aku hanya bekerja mengandalkan apa yang bisa kukerjakan sekarang.
Padahal saat ini hidup bukan tentang hari ini saja. Ada besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, setahun lagi, sepuluh tahun lagi.
Apalagi setelah punya Aksara Abiyarsa.
Aku nggak cuma memikirkan tentang diri sendiri, tapi juga memikirkan pihak lain.
***
Jadi, menurutku memiliki modal dalam bekerja meskipun sebagai karyawan swasta itu sama baik dan pentingnya.
Jangan karena udah kerja di perusahaan, semua harus minta perusahaan.
Meskipun kerja di perusahaan, harus punya motivasi untuk diri sendiri juga kan?
Supaya nggak jadi budak korporat mulu.
Iya kan?
Iya lah.
Ya?
Ya?
Ya?


Wednesday 1 January 2020

Selamat Datang 2020!!

Satu Januari dua ribu dua puluh.
Selamat datang tahun baru.
Nggak berharap banyak, nggak berekspektasi banyak selain bisa memperbaiki diri sendiri.
Nggak pengen memaksakan apa yang nggak bisa dicapai.
Pengen lebih selow tapi tetep menghasilkan kesan.
Pengen realistis tapi nggak perlu pake urat.
Diberikan kesehatan dan keberkahan selalu.
Menikmati setiap keintiman sama Arief Hadinata dan Aksara Abiyarsa.
Hadiah tahun baru untuk kami dari kami adalah mengunjungi Sam Poo Kong dan Lawang Sewu.
Secara kebetulan, aku dan Bihun baru pertama kali ke Lawang Sewu loh, setelah 11,5 tahun hidup di Semarang.
-_-

*Kami belum punya kalender 2020



Wednesday 4 December 2019

Ribetnya Mau Buka Usaha


Jadi, aku udah mulai mau merealisasikan cita-cita buat bikin Kedai Hokage. Soal keinginan punya kedai, warung, atau kafe sebenernya udah ada sejak aku SMA. Waktu itu aku seneng banget sama nama Tozckha. Wkwkwk... Sampe udah bikin desain venuenya segala di buku pelajaran sekolah dan berkhayal mau jualan apa.
Keinginan itu sempat terpendam dan muncul lagi sekitar 2011 ketika aku mulai tahu ada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Aku pengen mencoba mengeksekusi gagasan yang udah lama ada di kepalaku. Waktu itu aku mengajukan proposal untuk untuk SYMP[O]SIUM dan Jingga Delivery. Dua-duanya lolos PKM 2012 kalo nggak salah. Sayangnya, karena aku yang gaptek dan culun, jadi nggak tahu cara eksekusi yang pas. Hasilnya ya nggak sesaui ekspektasi.
Aku sempet down.
Tahun berikutnya ngajuin lagi.
Hasilnya masih sama, nggak sesuai ekspektasi lagi.
Karena aku terlalu muluk-muluk dan nggak tahu diri. Ya gimana nggak tahu diri, lawong proposal usaha maksimal dapet cuma Rp 10 juta kok nekat pengen sewa tempat. Kan goblok!
Jaman segitu belum usum gerobak modern kayak sekarang yang tampilannya lucu-lucu. Belum ada sewa tempat cuma Rp 300 ribu. Iklim usaha waktu itu kayaknya masih yang konvensional dan ditambah aku masih buntu.
Awalnya masih sering mengutuki kebodohan dan kesalahan diri sendiri. Kemudian aku mencoba berdamai, memaafkan diri sendiri, lalu melupakan cita-cita . Kayaknya jualan itu bukan jalan ninjaku. Jadi aku fokuskan untuk kerja, cari uang, dan lulus kuliah (saat itu).
Kemudian aku mulai pacaran sama Bihun. Aku cerita tentang mimpi-mimpiku. Di mendukung cita-citaku yang lama terkubur. Ya karena ketika awal pacaran itu aku baru kerja jadi wartawan, dia mendukung cita-citaku untuk menulis dan menjadi wartawan.
Setelah itu kami menikah.
Soal usaha mulai kami pikirkan sebagai proyek di luar pekerjaan utama.
Untungnya dia merupakan suami yang selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh pasangannya. Dia nggak merasa insecure kalau pasangannya bisa memiliki capaian yang lebih dari dia. Dia justru selalu mendorong pasangannya untuk maju dan selangkah di depannya.
Singkat cerita, setelah melahirkan Aksara, aku sudah ingin mengeksekusi jualan dan membeli gerobak bekas minuman bubble tea milik kawanku. Saat itu aku kepikiran untuk berjualan chicken wings superpedas.
Chicken wings dan salad merupakan obsesi jualanku ketika kerja di Pizza Hut. Tapi setelah menjajal, eksperimen, dan eksekusi, ternyata proses produksinya lumayan berat dan tidak memungkinkan bila harus mempekerjakan mahasiswa sebagai pekerja paruh waktu. Kemudian aku mikir lagi untuk mengganti menu. Sempat ingin jualan rice bowl. Lalu aku juga inget kalau produksi makanan, persiapannya lumayan abis-abisan. Aku nggak siap harus pusing nyetok bahan, ngrajang, nyuci. Intinya untuk preparationnya membuatku udah pusing duluan. Aku nggak siap.
Saat itu aku udah kepikiran nama kedainya Kedai Hokage karena nama julukan Bihun kan Hokage. Kepikiran nama itu ketika berantem sama dia dan keluar beli bensin, trus sekelebat pikiran lewat sebagai inspirasi. Lalu disharing ke Bihun dan dia merasa nama itu lucu. Langsung print sticker dan stempel sebelum terlambat. Gercep, Bo!
Sempet ganti lagi menu lagi ingin jualan manggo sticky rice atau durian sticky rice atau olahan ketan karena aku seneng banget sama ketan. Setelah menjajal membuat sendiri, ternyata mengolah ketan tidak semudah itu, Esmeralda.
Ya Allah...
Nyaris depresi karena aku udah jalan 30% untuk konsep dan ide. Sayang kayaknya waktu dan tenaga yang udah tercurah kalau nggak dieksekusi. Sempet ingin jualan es krim dan liat varian es krim di internet. Ada yang pake cone manual aneka warna. Pikirku saat itu, es krim akan disenangi semua orang dan nggak ada orang yang nggak suka es krim.
Sampai akhirnya kupikir, "Tapi kalo es krim nggak bisa didelivery. Jualanku cuma domestik aja donk?"
Akhirnya setelah mencari inspirasi ke sana-ke mari, aku menemukan jalan, yakni jualan aneka buah. Karena dasarnya aku suka buah, Aksara suka buah, Bihun suka buah. Dan buah nggak bikin bosen atau enek.
Iya nggak sih?
Setelah kepikiran jualan apa, menunya apa, harga berapa, di mana dapet bahan bakunya, ngolahnya, alatnya, dan beli aneka macam lainnya.
Akhirnya tibalah saat yang berbahagia yakni aku malah kepentok sama perizinan tempat usaha.
Udah nembung dari September kemarin, sampe sekarang kabarnya belum jelas. Padahal aku udah bolak-balik menanyakan. Awalnya aku harus menunggu kepastian lokasi dari Alfamart. Setelah lokasi dari Alfamart jelas, aku diminta mengubah desainku karena ternyata setelah desainku jadi, ada perbaikan. Setelah itu aku kirimkan desain revisinya, eh masih ada perubahan lagi karena adanya perbaikan besar-besaran.
Masya Allah...
Sudah tiga bulan nasibku terkatung-katung.
T_T
Pengen nangis rasanya. Perkembangan dan pertumbuhan Kedai Hokage jadi terhambat, padahal aku sudah meniatkan akan memperbesar Kedai Hokage secara serius loh ya...
:-(
Tapi, sambil menunggu kabar baik selanjutnya, kali ini aku mencoba peruntungan dengan mengirimkan proposal kerja sama dengan beberapa instansi untuk bisa mewujudkan cita-cita dan obsesiku menjadikan Kedai Hokage sebagai kedai pertama di Indonesia yang menerapkan pengelolaan swakelola limbah dan sampah.
Semoga terwujud segera. Amin. 

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...