Tuesday 28 July 2015

P E R N I K A H A N

Manual painting karya Arief Hadinata


Aku mendatangi kamar Lina saat sore hari, menjelang waktu berbuka puasa. Aku berniat meminta sebotol air minum karena isi galonku habis dan belum sempat membeli. Di kamar Lina, aku menyempatkan diri untuk mengobrol, bercerita ngalor-ngidul mengenai banyak hal. Aku menceritakan mengenai tingkah salah satu kawanku yang cukup menyebalkan, mengenai keluhanku, dan aku menyempatkan diri nyampah padanya, menceritakan segala hal yang aku alami dan aku pikirkan. Lina pun bercerita banyak hal dan ia mengatakan bahwa ia hamil.
Pada bulan Februari, Lina mengatakan sudah mengaborsi hasil hubungannya dengan lelaki menyebalkan dan tak bertanggung jawab dan hanya menganggap Lina sebagai pelampiasan. Dalam tempo kurang dari enam bulan, Lina sudah hamil kembali. Hanya kali ini ia tidak menangis seperti sebelumnya. Ia lebih tegarIa hamil dengan kekasihnya. Kekasihnya pun mengatakan bahwa ia bersedia bertanggung jawab dengan kehamilan Lina. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan pada orang tua kedua pihak. Kekasih Lina, Rio, memiliki usaha mandiri yang ia kelola di rumahnya. Lina baru menyelesaikan studinya. Ia hanya tinggal menunggu momen perayaan wisuda.
Ketika Lina dan Rio pacaran dan bertengkar, baik Lina maupun Rio dengan mudah mengatakan “PUTUS!” saat terjadi konflik atau permasalahan. Pernikahan tentu harus lebih bertanggung jawab karena tak hanya tentang relasi mereka, namun juga mengenai keluarga mereka masing-masing, lingkungan sosial, dan tentu anak mereka. Mereka harus berpikir lebih dewasa ketika menghadapi masalah. Aku meyakinkan Lina dengan keputusannya dan ia mengatakan bahwa ia mantap. Aku menanyakan hal tersebut bukan tanpa maksud. Aku ingin bisa memegang ucapan Lina sebagai sebuah ikrar. Bila suatu hari kedewasaan mereka diuji, aku akan mengingatkan Lina bagaimana ia sudah berani menempuh keputusan untuk mengarungi bahtera dengan Rio.
“Kamu harus sanggup menanggung segala konsekuensi. Bukan tentang pandangan masyarakat tentang status pernikahan kalian. Kalau urusan itu, abaikan saja. Toh sudah menjadi hal yang lumrah untuk masa ini. Sepahit apapun kamu menjalani kehidupan dengan Rio, dia yang kamu pilih sebagai sosok yang memimpinmu dan anakmu. Pernikahanmu merupakan kontrak mati hingga maut menjemput. Paham?” Lina mengangguk.
Aku cukup senang mendengar kabar salah seorang kawanku menemukan belahan jiwanya. Sebuah insiden yang akhirnya membuat mereka mengikat janji suci pernikahan. Lina mengatakan bahwa saat ini mungkin sebuah momen ketika Tuhan akhirnya mengganjar mereka yang tadinya bermain-main, kini mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku sempat meyakinkan keputusannya tentang pernikahan karena pernikahan tentu berbeda dengan pacaran. Ya, akhirnya, sebuah pernikahan. Siapa yang tak menginginkan pernikahan dalam kehidupannya? Bahkan ketika aku masih kanak-kanak dan duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, aku sudah terdoktrin dengan permainan rumah-rumahan di mana aku dan kawan-kawan membuat sebuah drama tanpa skenario mengenai kehidupan rumah tangga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak. Aku hanya menyarankan pada Lina untuk menjaga kehamilannya. Ia harus membiasakan diri untuk mengurangi rokok, mengurangi kopi, mengurangi kehidupan malamnya, dan lebih banyak mengonsumsi makanan, vitamin, dan susu yang baik untuk kandungannya.
Bahagia? Tentu. Namun sesaat aku merasa seperti kehilangan. Lina sahabatku. Ia yang selama ini menjadi tempatku berbagi, tempatku bercerita, menitipkan makan ketika aku malas untuk keluar rumah, meminta rokok ketika rokokku habis, bahkan ia yang memasak untukku ketika aku sibuk mengerjakan tugas. Bila ia menikah nanti, tak ada orang yang melakukan hal-hal tersebut untukku. Ia akan mengurus pernikahannya, tak lama kemudian ia akan mengurus persiapan kelahiran bagi anak pertamanya, dan ia juga akan mengurus bayi dan suaminya. Dan ia sudah tidak lagi bisa kuajak untuk nongkrong, ngebir, karaoke, bahkan aktivitas menggoda cowok-cowok di tempat nongkrong. Akhirnya, semua hanya menjadi cerita. Belum lagi kalau setelah menikah, seperti kebanyakan lelaki yang menambah tanggung jawab sebagai suami, akan sangat protektif pada istrinya. Aku tak bisa membayangkan bila suatu hari aku mengajak Lina untuk nongkrong, ia akan menjawab, “Duh, Mbak, gak bisa. Nggak boleh sama Rio.”. Walaupun ketika pacaran Lina sudah sering mengatakan hal klise semacam itu.
Bagiku, pernikahan merupakan sebuah pemakaman. Pemakaman bagi kenikmatan masa muda. Tak ada lagi keceriaan, tak ada lagi kebebasan, tak ada lagi tangis dan tawa bersama. Kehidupan akan berubah. Tujuan hidup yang awalnya bersenang-senang dan bersama kawan berubah menjadi mencukupi kebutuhan keluarga. Tak akan lagi sama kehidupan lajang dan kehidupan berpasangan. Aku sangat sedih membayangkan itu. Sebenarnya tak hanya Lina yang tidak siap menghadapi kehamilan, aku justru tak siap menghadapi kenyataan bahwa esok aku harus menghadiri ‘pemakaman’ kehidupan yang lajang, bebas, dan tanpa beban. Apalagi kami sempat memiliki cita-cita untuk berpetualang di Bali mencari kitab suci—hahaha. Becanda. Mencari pengalaman dan penghidupan yang lebih baik di tanah Dewata.
Di luar semua pemikiranku tentang pernikahan, aku turut berbahagia dengan Lina. Kami tetap sebagai sahabat. Aku orang pertama dan satu-satunya di luar kekasihnya yang mengetahui perihal kehamilannya. Ia mempercayakan rahasianya padaku. Akan kujaga rahasianya hingga ia menyampaikan kabar bahagia pernikahannya pada kawan-kawan yang lain. Dan selamat untuk kebahagiaan gandamu, Lina. Kehamilan, pernikahan, dan wisuda di waktu yang sama. Selamat menempuh hidup baru.

Amanda Rizqyana
Semarang, 18 Juli 2015
Turut berbahagia atas pilihanmu, Kawan!

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...