Manual painting karya Arief Hadinata |
Aku mendatangi kamar Lina saat sore
hari, menjelang waktu berbuka puasa. Aku berniat meminta sebotol air minum
karena isi galonku habis dan belum sempat membeli. Di kamar Lina, aku
menyempatkan diri untuk mengobrol, bercerita ngalor-ngidul mengenai banyak hal. Aku menceritakan mengenai
tingkah salah satu kawanku yang cukup menyebalkan, mengenai keluhanku, dan aku
menyempatkan diri nyampah padanya,
menceritakan segala hal yang aku alami dan aku pikirkan. Lina pun bercerita
banyak hal dan ia mengatakan bahwa ia hamil.
Pada bulan Februari, Lina
mengatakan sudah mengaborsi hasil hubungannya dengan lelaki menyebalkan dan tak
bertanggung jawab dan hanya menganggap Lina sebagai pelampiasan. Dalam tempo
kurang dari enam bulan, Lina sudah hamil kembali. Hanya kali ini ia tidak
menangis seperti sebelumnya. Ia lebih tegarIa hamil dengan kekasihnya.
Kekasihnya pun mengatakan bahwa ia bersedia bertanggung jawab dengan kehamilan
Lina. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan pada orang tua kedua
pihak. Kekasih Lina, Rio, memiliki usaha mandiri yang ia kelola di rumahnya.
Lina baru menyelesaikan studinya. Ia hanya tinggal menunggu momen perayaan
wisuda.
Ketika Lina dan Rio pacaran dan
bertengkar, baik Lina maupun Rio dengan mudah mengatakan “PUTUS!” saat terjadi
konflik atau permasalahan. Pernikahan tentu harus lebih bertanggung jawab
karena tak hanya tentang relasi mereka, namun juga mengenai keluarga mereka
masing-masing, lingkungan sosial, dan tentu anak mereka. Mereka harus berpikir
lebih dewasa ketika menghadapi masalah. Aku meyakinkan Lina dengan keputusannya
dan ia mengatakan bahwa ia mantap. Aku menanyakan hal tersebut bukan tanpa
maksud. Aku ingin bisa memegang ucapan Lina sebagai sebuah ikrar. Bila suatu
hari kedewasaan mereka diuji, aku akan mengingatkan Lina bagaimana ia sudah
berani menempuh keputusan untuk mengarungi bahtera dengan Rio.
“Kamu harus sanggup menanggung
segala konsekuensi. Bukan tentang pandangan masyarakat tentang status
pernikahan kalian. Kalau urusan itu, abaikan saja. Toh sudah menjadi hal yang
lumrah untuk masa ini. Sepahit apapun kamu menjalani kehidupan dengan Rio, dia
yang kamu pilih sebagai sosok yang memimpinmu dan anakmu. Pernikahanmu
merupakan kontrak mati hingga maut menjemput. Paham?” Lina mengangguk.
Aku cukup senang mendengar kabar
salah seorang kawanku menemukan belahan jiwanya. Sebuah insiden yang akhirnya membuat mereka mengikat janji suci
pernikahan. Lina mengatakan bahwa saat ini mungkin sebuah momen ketika Tuhan
akhirnya mengganjar mereka yang tadinya bermain-main, kini mereka harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku sempat meyakinkan keputusannya
tentang pernikahan karena pernikahan tentu berbeda dengan pacaran. Ya,
akhirnya, sebuah pernikahan. Siapa yang tak menginginkan pernikahan dalam
kehidupannya? Bahkan ketika aku masih kanak-kanak dan duduk di bangku Taman
Kanak-Kanak, aku sudah terdoktrin dengan permainan rumah-rumahan di mana aku dan kawan-kawan membuat sebuah drama
tanpa skenario mengenai kehidupan rumah tangga yang terdiri atas bapak, ibu,
dan anak. Aku hanya menyarankan pada Lina untuk menjaga kehamilannya. Ia harus
membiasakan diri untuk mengurangi rokok, mengurangi kopi, mengurangi kehidupan
malamnya, dan lebih banyak mengonsumsi makanan, vitamin, dan susu yang baik
untuk kandungannya.
Bahagia? Tentu. Namun sesaat aku
merasa seperti kehilangan. Lina sahabatku. Ia yang selama ini menjadi tempatku
berbagi, tempatku bercerita, menitipkan makan ketika aku malas untuk keluar
rumah, meminta rokok ketika rokokku habis, bahkan ia yang memasak untukku
ketika aku sibuk mengerjakan tugas. Bila ia menikah nanti, tak ada orang yang
melakukan hal-hal tersebut untukku. Ia akan mengurus pernikahannya, tak lama
kemudian ia akan mengurus persiapan kelahiran bagi anak pertamanya, dan ia juga
akan mengurus bayi dan suaminya. Dan ia sudah tidak lagi bisa kuajak untuk
nongkrong, ngebir, karaoke, bahkan aktivitas menggoda cowok-cowok di tempat
nongkrong. Akhirnya, semua hanya menjadi cerita. Belum lagi kalau setelah
menikah, seperti kebanyakan lelaki yang menambah tanggung jawab sebagai suami,
akan sangat protektif pada istrinya. Aku tak bisa membayangkan bila suatu hari
aku mengajak Lina untuk nongkrong, ia akan menjawab, “Duh, Mbak, gak bisa.
Nggak boleh sama Rio.”. Walaupun ketika pacaran Lina sudah sering mengatakan
hal klise semacam itu.
Bagiku, pernikahan merupakan sebuah
pemakaman. Pemakaman bagi kenikmatan masa muda. Tak ada lagi keceriaan, tak ada
lagi kebebasan, tak ada lagi tangis dan tawa bersama. Kehidupan akan berubah.
Tujuan hidup yang awalnya bersenang-senang dan bersama kawan berubah menjadi
mencukupi kebutuhan keluarga. Tak akan lagi sama kehidupan lajang dan kehidupan
berpasangan. Aku sangat sedih membayangkan itu. Sebenarnya tak hanya Lina yang
tidak siap menghadapi kehamilan, aku justru tak siap menghadapi kenyataan bahwa
esok aku harus menghadiri ‘pemakaman’ kehidupan yang lajang, bebas, dan tanpa
beban. Apalagi kami sempat memiliki cita-cita untuk berpetualang di Bali
mencari kitab suci—hahaha. Becanda. Mencari pengalaman dan penghidupan yang
lebih baik di tanah Dewata.
Di luar semua pemikiranku tentang
pernikahan, aku turut berbahagia dengan Lina. Kami tetap sebagai sahabat. Aku
orang pertama dan satu-satunya di luar kekasihnya yang mengetahui perihal
kehamilannya. Ia mempercayakan rahasianya padaku. Akan kujaga rahasianya hingga
ia menyampaikan kabar bahagia pernikahannya pada kawan-kawan yang lain. Dan selamat
untuk kebahagiaan gandamu, Lina. Kehamilan, pernikahan, dan wisuda di waktu
yang sama. Selamat menempuh hidup baru.
Amanda
Rizqyana
Semarang,
18 Juli 2015
Turut
berbahagia atas pilihanmu, Kawan!