Monday 13 October 2014

L I A R



Aku pembohong paling lihai di dunia. Semua orang yang kukenal berhasil kukelabui dengan lisanku. Aku selalu mampu membuat mereka percaya akan apa yang meluncur dari mulutku. Keahlian yang kuperoleh karena berlatih terus-menerus sejak kecil. Orang tuaku mendidikku dengan baik. Keduanya mengajarkan dengan sepenuh hati. Tak pernah kutahu ada orang tua yang memiliki totalitas dalam mengajarkan anak mereka selain kedua orang tuaku.
Teman-temanku di TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah, semua sudah merasakan dustaku. Bahkan guru-guru dan dosenku pun sudah aku dustai. Kerap terbesit tanya, apakah aku yang terlalu pintar atau mereka yang terlalu bodoh, percaya apa yang aku sampaikan. Tetangga, kerabat, handai-taulan, bahkan orang yang baru kutemui: semuanya percaya dengan dustaku. Awalnya aku meninggalkan mereka sambil terkikik ketika mereka berekspresi bengong dan mengeluarkan respon tidak percaya. Tapi lama-kelamaan aku justru betah ketika mereka memberikan komentar dan pendapat. Walaupun akhirnya aku tetap melenggang pergi dan membuang semua ucapan mereka dari kepalaku.
Kebohongan awal yang kulakukan adalah mengatakan bahwa aku bertemu setan ketika hendak buang air besar di sungai belakang rumah. Setan memukulku dengan tongkat gaib hingga lengan dan betisku berwarna biru. Pipi sebelah kiriku juga bengkak karena ditampar oleh setan itu. Teman-teman dan guru di TK percaya dengan bualanku. Aku cengar-cengir dan berkata dalam hati, ini akibat ulahku yang tak menghabiskan makan malam.
Kebohongan terbanyak kulakukan ketika SD. Setiap ke sekolah dengan luka-luka bekas cakaran dan gigitan, aku mengatakan kalau di dekat rumahku ada monster yang suka memakan anak kecil. Monster itu tak memakanku—kalau aku dimakannya, tentu aku tidak bisa bercerita pada teman-temanku—karena aku melawannya. Tapi ia mencakar dan menggigitku. Bodohnya aku kala itu adalah aku tak berpikir bahwa imajinasiku justru membuat mereka tak sudi mampir ke rumahku. Mereka takut dimangsa monster. Aku jadi sedih karena tak seorang teman pun yang mengunjungi rumahku selama SD. Ingin kuungkapkan fakta kalau bekas cakaran dan gigitan itu karena aku ketiduran membuat PR. Tapi kalau aku mengatakan yang sebenarnya, mereka pasti akan menjauhiku. Akhirnya aku membungkam dustaku dan meratapi kesendirianku.
Di tingkat SMP, aku ke sekolah dengan mata diperban. Mereka bertanya apa yang terjadi dengan mataku. Aku bercerita bahwa ketika aku sedang tidur, seekor ular masuk kamarku dan tiba-tiba menyerangku, hendak mencaplok bola mataku. Ular itu gagal mencaplok bola mataku sebelah kanan, hanya membuat mataku berdarah dan pelupuk mataku luka. Sebagian teman-temanku tertarik mendengar ceritaku dan bertanya bagaimana kronologis kejadiannya, bagaimana bisa seekor ular masuk rumah, apa yang kulakukan pada ular itu, apakah aku menangis, jenis ular apa yang menyerangku, dan banyak pertanyaan lainnya yang kujawab satu persatu dengan lancar dan menggebu-gebu. Sebagian temanku yang lain dan  mayoritas teman perempuan tak tertarik dengan ceritaku karena mereka jijik dan takut dengan ular. Aku terus mereka-reka cerita sambil membayangkan sepatu melayang ke wajahku dan mengenai mataku sebelah kiri.
Saat SMA dan aku tengah melaksanakan ujian akhir sekolah, teman-temanku bertanya mengenai tubuhku. Mereka mengatakan padaku kalau aku terlihat sangat gemuk. Ketika ada pengecekan tinggi badan dan berat badan bulanan, aku hanya mendapati berat meningkat empat kilogram. Aku membuat pernyataan jenius dengan mengatakan bahwa beratku naik karena aku memakan buah ajaib yang bisa membuat berat badan membesar dalam hitungan detik. Kalau di serial anime One Piece, aku seperti Ruffi yang memakan buah gomu-gomu. Kali ini efekku bukan elastis, tapi membesar. Kukatakan pada setiap orang aku menemukan buah itu secara tak sengaja ketika sedang membantu nenekku membersihkan kebun di rumah. Buah merah menggoda mirip mahkota dewa. Dua minggu kemudian, aku mendapati dua garis merah dan pacarku menyeretku ke dokter untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Yang tersisa hanya puting mengkal yang terus meneteskan air.
Mural Arief Hadinata di Holycow TKP Semarang, Jalan Sultan Agung Kota Semarang yang dikerjakan 20 September 2017, sehari setelah akad nikah.
Saat kuliah dan diterima di kampus prestisius, aku melenggang dengan segala kebebasan. Bebas berbohong pada siapa saja dan kapan saja karena mereka pasti tidak ada yang akan memverifikasi setiap ucapanku. Aku mengatakan pada dosenku bahwa aku harus check-up di rumah sakit agar aku bisa tetap masuk kelasnya padahal saat itu aku tengah setengah mati membuang efek alkohol yang masih melayang-layang di kepalaku. Aku selalu tak bisa fokus ketika teman-temanku menanyakan mengenai asalku, keluargaku, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadiku, aku selalu menghindar. Kali ini aku harus cerdas. Aku tak boleh berbohong. Karena kebohongan justru akan menamparku keras apabila kawan-kawanku saling mengomunikasikan apa yang aku sampaikan. Aku akan dicap pembohong dan mereka tidak lagi percaya padaku lalu mereka tak ingin berteman denganku lagi. Itu adalah akhir dari kisah pembohong. Aku tak mau.
Kebohonganku menjadi semacam candu. Ketika sehari saja aku tidak berbohong, ada yang aneh dalam hidupku. Aku selalu tak nyaman ketika aku mengungkapkan hal yang sebenarnya. Aku mengatakan aku baik-baik saja, aku seperti mereka yang bercanda tawa dengan kawan-kawannya di kantin kampus. Aku membaur bersama mereka yang bahagia agar aku nampak bahagia. Terbesit di kepalaku bahwa berbohong merupakan konsep yang menyenangkan. Bagiku, berbohong bukanlah kriminalitas. Tentu berbeda dengan mencuri, merampok, memperkosa, bahkan membunuh. Berbohong membutuhkan keseriusan untuk terus meningkatkan keterampilan berbohong.
“Ayya, kamu sayang aku?”
“Iya,” aku nyengir. Aku asyik menikmati es telerku. Anggara masih menikmati es cendolnya. Siang yang panas di kantin kampus memang cocok dengan beragam es. Aku sangat suka es dan aku bersumpah ini tidak bohong.
“Aku juga sayang kamu, Ay. Aku cinta kamu, butuh kamu, dan aku bahagia banget bisa sama kamu.”
Tiba-tiba tangan Anggara menarik tanganku. Aku mengerutkan alis dan menatapnya heran.
“Kalo gitu kita nikah yuk?”

13 Oktober 2014
3:49:18 am
Mengurut kepala yang kini tak berguna.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...