Tuesday 16 September 2014

P E T A N G B U L A N M E I



Sebuah cincin. Ya, sebuah cincin yang tak pernah ia tahu datang dari mana, tiba-tiba tersemat di jari manis kanannya, empat tahun lalu. Dan cincin ini tak bisa ia lepaskan. Apapun usaha dan cara yang ia tempuh, sia-sia. Sempat terpikir untuk memotong jarinya, tetapi itu akan sangat merugikannya karena harus mencari jari lain sebagai alternatif menekan aksara di keyboard laptop.
Sama seperti ketidak mengertiannya tentang kedatangan cincin itu, Ayya pun tak pernah mengerti sosok apa yang ada pada cincin itu. Otaknya yang logis tak mampu menjangkau sesuatu yang tidak memiliki bukti ilmiah. Tapi ia memang merasakan kejanggalan yang tak kasat mata. Cincin itu mendatangkan nestapa pada hidupnya dan hidup orang-orang di sekelilingnya.
Ia kehilangan Indra, kekasihnya. Sejak cincin itu melekat di jari Ayya, Indra selalu mendapat pesan singkat dan kiriman surat bahwa lebih baik ia menjauhi Ayya, karena Ayya telah menjadi miliknya. Dengan alamat dan nomor yang berganti, tetapi nama pengirim selalu sama. Indra bergeming. Mereka hanya tinggal menghitung hari untuk janji suci. Hingga akhirnya semua kandas. Sebuah insiden menghilangkan sosok Indra selama-lamanya. Ayya tertegun. Mimpikah ia?
Ayya selalu menangis saat malam tiba. Ia tak ingin tertidur. Ia takut bermimpi. Ia selalu histeris saat membayangkan ia harus bermimpi dan mengalami hal yang sama. Mimpi berulang yang menghantuinya empat tahun terakhir, sejak cincin emas itu melingkar di jari manisnya. Sebuah pertanyaan—atau permintaan untuk membantunya memberikan stofmap dan menjadi istri di negerinya. Negeri yang tak pernah ia jelaskan ada di belahan bumi sebelah mana. Dan itu tak hanya ia yang mengalami, Ibu juga mengalami hal yang sama.
Stofmap itu, entah kapan datangnya. Tergeletak di meja kerja Ayya. Stofmap merah yang telah lusuh dan warnanya pudar kecoklatan. Bersama dengan cincin yang tersemat di jari manisnya. Siapa yang telah datang dan masuk ke ruang pribadinya, karena penghuni rumah ini hanya ia dan Ibu. Dan ia berani menjamin, tak ada orang yang bisa sembarang masuk ke ruang pribadinya karena selalu ia kunci. Sekali pun Ibu, tak akan lancang sembarangan masuk ke kamarnya. Sudah ia konfirmasikan pada orang-orang terdekatnya, tetapi tak seorang pun mengerti perihal benda asing yang datang tiba-tiba itu. Isi stofmap itu telah ia baca. Tapi tak tahu apa kepentingannya untuk mengikuti petunjuk mimpi itu. Karena ia tak terlalu peduli. Ia hanya penulis lepas dan penerjemah, bukan jurnalis.
Ibu yang malang, saat tua harus menjadi kepala rumah tangga. Berjuang membesarkan anaknya setelah kematian suaminya enam tahun lalu. Mempertahankan nama baik suami dari tuduhan masyarakat, menghadapi berbagai gunjingan, fitnah, dan berita tak menyenangkan di televisi. Beradaptasi dengan hidup bersahaja dari berbagai keistimewaan dan sanjungan yang dulu selalu ia dapatkan. Berhenti memohon dan mengiba perlindungan pada sosok yang dulu selalu menjamin bahwa tak akan ada masalah dan semua berada dalam kendali.
Sejak menyandang gelar janda, kantung di bawah mata dan kelopak mata yang menghitam menjadi bagian dari wajah keriput Ibu. Batinnya telah lelah, tetapi raganya mencoba. Walau sebenarnya beliau tak pernah mengerti apa yang sebenarnya tengah dihadapi.
Sama seperti Ayya, setiap malam Ibu selalu dihantui oleh sosok yang tak pernah ia kenal, tapi cukup familiar. Sosok itu selalu bertanya, apakah Ibu bisa menolongnya. Memberikan sebuah stofmap pada sebuah kantor yang mempekerjakan orang-orang berseragam abu-abu. Setelah stofmap itu diserahkan, bolehkan ia meminta Ayya sebagai pendampingnya. Di negerinya yang jauh. Ibu selalu menggeleng dan menolak. Karena hanya Ayya yang ia miliki. Hanya Ayya yang ia punyai di dunia. Hanya Ayya yang bisa ia jadikan sandaran untuk usianya yang telah senja. Siapa yang akan menemani wanita setengah abad yang mulai sakit-sakitan?
Dengan kemeja kotak-kotak besar, jaket olahraga, jelana jeans biru, tas selempang hitam, sepatu pantovel berkilat, dan rambut tersisir rapi; lelaki ini selalu mengunjungi mimpi Ibu. Memberikan pertanyaan yang sama karena jawaban Ibu sebelumnya pun sama.
Berulang kali keduanya mendatangi psikolog, psikiater, hingga dokter jiwa. Bahkan mereka kini mencoba hypnotherapy dan pengobatan spiritual. Tetapi hasilnya tetaplah sama. Mimpi itu selalu datang. Dan sosok itu selalu menanyakan hal yang sama pada mereka.
Ayya tak terlalu jelek untuk ukuran seorang gadis. Ia telah melampaui usia produktif untuk mengikatkan janji setia pada lawan jenis. Telah ia miliki pula tempat yang menaunginya untuk mencari segenggam rupiah. Tak sedikit lelaki yang berminat padanya. Tapi selalu sama. Ya, kejadian yang sama seperti yang Indra alami. Ancaman yang mengatakan bahwa Ayya telah menjadi miliknya. Jangan ganggu Ayya atau nyawa melayang. Ini bukan gertak sambal a la anak SMA yang berebut gadis. Mereka yang bertahan dan nekad, mengalami eksekusi dengan cara berbeda. Entah halus atau kasar, pelan atau cepat. Tapi pasti malaikat maut menjemput. Ayya tak pernah mengerti kutukan apa yang menghantuinya, hingga ia harus mengalami hal yang membuatnya dikucilkan.
Mural Arief Hadinata di Firepot Resto Living World Mall Tangerang yang rampung sekitar Juli 2018
                                        
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.” Mimpi itu datang lagi. Siap tak siap, Ayya harus siap. Karena itulah pertanyaan yang selalu diberikan. Sudah dua hari ini Ayya tak terpejam karena harus menyelesaikan sebuah buku yang harus ia terjemahkan.
“Kamu siapa? Kamu selalu menghantui mimpiku. Aku lelah. Kumohon, jangan ganggu hidupku dan hidup orang-orang di sekelilingku.”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
Ayya diam, tak bisa ia berkata. Ditatapnya mata itu. Ia sedikit ingat, ada ingatan sudah lama ia cari. Mata itu. Mata yang pernah ia lihat empat belas tahun yang lalu.
“Aku pernah melihatmu.”
“Di mana?”
“Rumah sakit. Sepertinya ruangan yang sama setelah aku kecelakaan.” Ayya hampir menangis mengingat kejadian itu. Saat itu ia masih kuliah tingkat satu dan ada huru-hara di kota. Sepulang dari mengunjungi kawan, di jalan ia menemui massa. Ketakutan, Ayya menancap gas motornya. Panik dan bingung, hingga ia terjatuh. Beruntung ada sosok baik yang membantunya berdiri dari menyingkir dari keadaan yang mencekam. Terlalu memusingkan, Ayya tak kuasa menjaga kesadaran. Ia pingsan.
Saat itu orang-orang berjas almamater turun ke jalan dan menduduki gedung DPR. Saat suara letusan tembakan dan kebakaran ada di mana-mana. Ngilu di lengan kanannya masih terasa. Bekas luka itu pun sulit hilang. Tapi luka yang sulit dihilangkan adalah luka di hati dan pikirannya. Paranoid atas tempat ramai dan huru-hara masih menghantuinya hingga kini. Hingga ia memutuskan memilih pekerjaan yang ringan dan bisa berada di dalam rumah, sekali pun yang ia peroleh hanya cukup untuk dirinya sendiri. Kota kecil yang tenang setelah anak-anak hingga enam tahun lalu tinggal di kota metropolitan penuh kebisingan.
“Empat belas tahun yang lalu.”
Sosok itu tersenyum, “Baru sekarang kamu sadari?”
Ayya menggeleng, “Nggak. Aku tahu. Aku ingat. Hanya berada di ambang praduga, sehingga aku tak terlalu mengindahkannya. Apakah kamu?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku!” Ayya memekik. Ia tak sabar dengan percakapan ini.
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
Ayya sadar ia akan lelah dengan dialog bodoh ini. Ia diam dan tetap memandang sepasang mata sayu yang tak berkedip saat menatapnya.
“Kalau aku menyerahkan stofmapmu, bisakah kamu berhenti hadir di mimpiku dan mimpi Ibuku? Berhenti meneror orang-orang di sekelilingku?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
“Aku bertanya kamu tak pernah menjawab!”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”

Ibu menangis. Ia duduk di samping pusara suaminya tercinta. Memandang namanya dan menangis. Matanya semakin hitam dan tubuhnya mengering. Setiap hari hanya menangis. Tekanan mental yang ia hadapi atas tuduhan masyarakat pada suaminya sebagai pembunuh. Militer yang menembak mahasiswa saat kerusuhan empat belas tahun yang lalu. Tak ada gelar atau penghargaan dari pemerintah pada sosok suaminya yang hanya mematuhi perintah atas hirarki yang setingkat di atasnya.
Mereka tak pernah tahu bahwa suaminya menangis setelah memerintah pada prajurit. Lima tahun suaminya tak pernah bisa tidur dihantui rasa bersalah atas wajah-wajah yang selalu menghantui mimpinya. Ia melarikan diri dengan alkohol, berharap tidur nyenyak sudi mampir pada raganya. Tapi sia-sia. Dan sisa hidupnya dihabiskan di atas ranjang karena komplikasi penyakit. Belum genap usianya untuk mendapat pensiun, sudah berakhir halaman hidupnya.
Tatapan Ibu menjauh, memandang nama anak semata wayangnya berdampingan dengan nama suaminya. Hatinya nelangsa. Tanpa sepengetahuannya, Ayya menyerahkan stofmap itu setelah menggandakannya. Bukan sesuatu yang diharapkan Ayya, yaitu membebaskan dirinya dari teror mimpi. Ia justru menjemput teror lain yang akhirnya sukses membuat namanya hancur. Dugaan penyerangan dan terorisme mampir di koran setelah Ayya diinterogasi di suatu sore. Ibu tak bisa mengunjungi Ayya karena alasan keamanan. Dan setelah satu minggu, Ibu mampu melihat Ayya. Yang terbungkus kain kafan.
Ibu kembali menangis.
“Ibu, segeralah menyusul. Ayya tunggu Ibu di sini. Di sini Ayya bahagia. Bisa bertemu Ayah dan menikah dengan lelaki yang sekilas memandang Ayya saat di rumah sakit. Saat nyawanya meregang terkena peluru karet. Ibu, Ayya sayang Ibu.” Dalam mimpi, Ayya mengecup pipi Ibu. Ibu bahagia. Ayya menarik tangan Ibu untuk menyongsong Ayah dan suaminya, sosok yang selalu hadir di mimpinya.

Semarang, 27 Mei 2012
11:01:45 p.m
Lugu yang ambigu.

S E N Y U M A Y Y A



Masih kuyakinkan diriku bahwa Ayya mengatakannya secara sadar. Tapi senyumnya terlalu nyata kalau kukatakan ini adalah mimpi. Teras rumah memberikan hawa dingin untuk malam di bulan Juni. Tapi, ah, saat ini bulan tak lagi mampu menentukan musim. Musim datang tergantung mood langit.
“Kamu yakin?”
Ayya mengangguk dan kembali tersenyum. “Aku sangat yakin. Perlukah kujawab lagi untuk keempat kalinya?”
Aku menghela nafas. Terlalu rumit perasaan hatiku.
“Tolongah, Ayy, jangan kekanak-kanakan. Kali ini aku serius.”
Aya mengangguk kembali dan kembali tersenyum. “Aku juga serius, Sayangku.”
“Semua persiapan dan segala urusan sudah selesai dan hanya menunggu hari H. Tinggal satu minggu lagi Ayya. Tolong jangan membuat pikiranku kacau. Aku pun tengah mempersiapkan diri untuk ujian masuk S2 ku—seperti yang kamu minta. Harusnya kamu tahu, ini bukan perkara mudah. Kulakukan semua ini demi kamu, tetapi kenapa kamu justru menjungkirbalikkan keadaan dengan begitu menyakitkan?”
Ayya kali ini menggeleng. “Ini tidak menyakitkan, Sayangku. Aku sangat dewasa. Logis dan realistis, Sayangku. Aku berpikir sepuluh langkah, jauh di atas perkiraan langkah manusia lainnya, Sayangku.”
“Tapi ini terlalu ganjil. Sudut mana yang mengatakan ini logis dan realistis, Ayy? Ini sudah masuk kategori sakit jiwa. Kamu nggak mikir apa, kalo ini juga harus kita rundingkan dengan keluarga, bukan cuma urusanku dan urusanmu. Ingat Ayya, semua ini juga menyangkut dua keluarga. Nama baik dua keluarga, bahkan keluarga besar kita dipertaruhkan.”
Ayya tersenyum. “Aku sudah menyampaikan pada keluargaku dan mereka menerima usulanku, Sayangku.”
“Lalu apa kamu pikir keluargaku bisa menerima? Kamu nggak memprediksi kemungkinan salah paham dari keluargaku dan keluargamu tentang rencana tambahan yang konyol ini?”
“Sayangku, kita yang akan menjalani pernikahan. Mereka akan mengerti setelah kita beri penjelasan. Seminggu bukan waktu yang sebentar untuk dengan jelas memberi pengertian pada mereka. Apa lagi yang masih mengganjal di hatimu, Sayangku?”
Ingin kubanting saja asbak di depanku dan melempar vas bunga ke dinding. Aku ingin pulang, tertidur, bangun, dan meyakinkan diriku bahwa ini adalah mimpi dan semua akan baik-baik saja setelah aku terbangun. Setelah kulanggar pantangan untuk tak bertemu calon istri selama empat puluh hari menjelang pernikahan. Hingga satu minggu sebelum pernikahan, aku menyempatkan berbincang dengannya.
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017
 “Aku masih belum mengerti apa alasanmu mengajukan syarat tak masuk akal ini. Membuatku merasa benar-benar idiot di depanmu.”
Ayya tersenyum—dan sungguh, aku muak dengan setiap senyum dan anggukannya malam ini. “Sudah kubilang, Sayangku, aku memerlukan partner untuk membantuku mengurus segala kebutuhanmu. Aku tempramen dan kamu moody. Itu sangat tidak seimbang untuk sebuah hidup yang bahagia. Aku membutuhkan bantuan orang untuk memenuhi apa yang kamu inginkan, karena aku sadar tak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Maka, ijinkan aku mengajukan sebuah nama untuk berdampingan denganku di pelaminan esok.”
“Udah, Ayy. Apa pun kamu, sesibuk apa pun kamu, aku bisa ngerti. Bahkan kalau kamu nggak bisa telepon atau SMS atau hanya pulang satu jam dalam satu bulan pun, aku tetap bisa bersabar. Kita bisa menyewa pembantu yang mengurus kebutuhan rumah. Kamu nggak perlu repot memasak, mencuci, atau menyetrika pakaianku. Kita bisa juga pesan makan di luar dan menggunakan jasa binatu. Tapi nggak ini, Ayy. Kumohon. Kalau kamu realistis dan logis, aku bisa mengerti, tapi kumohon, Ayy, ini sangat konyol dan kekanakkan.”
Ayya tersenyum kembali dan menggeleng. “Kembali kusampaikan bahwa aku prediksi langkah yang lebih jauh dibanding orang pada umumnya. Aku dan kamu memiliki kesibukan. Aku dan kamu pun kerap terjebak pada sengketa yang sulit dieja. Kita butuh penengah. Dan aku akan dengan senang hati membagi cintaku. Aku tak peduli pada dasar sebuah keyakinan atau apapun.”
Segera kesela ucapannya, “Sudahlah, Ayy, apa yang membuatmu berpikir tak rasional? Aku semakin tak mengerti.”
“Pernikahan menjebakku pada tanggung jawab sebagai ibu dan istri. Sementara aku masih menikmati sebagai seorang wanita. Biarlah status hitam di atas putih dan di hadapan kawan-kawanmu, bahwa akulah istrimu. Tapi untuk tanggung jawab, akan kupasrahkan pada partnerku. Lagipula—“
“Apa lagi?”
“Winda mengatakan bahwa ia tengah mengandung anakmu. Empat bulan.”
Leherku tercekik. Winda? Winda? Winda?
“Aku tahu. Sudahlah. Aku cukup bisa menerima. Jangan pikir aku tak rasional. Karena aku sangat rasional dan sangat peka, Indra.”
 Ayya masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang tengah mengurutkan kejadian konyol pasca-Bachelor Party Bayu hampir lima bulan yang lalu.

24 Mei 2012
3:27:53 a.m.
Kehilangan otak dan ingin insaf sejenak.

S E L A M A T T I D U R , M I M P I



Aku menunduk. Tak bisa kutatap lekat bola matanya. Hanya mencuri-curi pandang dan mengalihkan fokus dengan objek lain yang bisa ditangkap retina mata. Aku masih agak mengantuk karena baru mengumpulkan nyawaku. Ia mengagetkanku saat aku separuh terjaga dari tidurku, lalu mengatakan bahwa ia telah membuktikan apa yang selama ini telah disangkakan tengah terjadi padaku. Ia memainkan ponselku dengan tatapan ambigu—sulit kutafsirkan maksud dari air mukanya. Tentu tak lupa senyum sinis dan angkuh yang tak pernah ia tanggalkan.
Sayang, sebelum sempat berucap, telah berurai segala kepedihan. Aku semakin tergagap. Ponselku ada pada genggaman tangannya. Aku cukup bisa mencerna makna genggamannya. Sekuat tenaga menahan untuk tidak melempar atau menghancurkan ponsel pintar pembawa petaka. Atau menamparku, bahkan mungkin ia bisa saja memukulku saat ini juga. Aku bersandar hanya pada tembok kamar dan memeluk bantal. Masih kututupi separuh tubuhku dengan selimut karena siang terlalu dingin untuk dikatakan sudah siang.
“Apa yang harus aku lakukan untuk bisa membuatmu mengerti? Bukankah aku telah bertahan dari sejuta perih tak terperi yang kau timpakan? Kenapa masih kau ulang kesalahan yang sama? Siapa aku di matamu?”
Kuambil sebatang rokok. Mengisap. Menawarkan padanya batang-batang rokok pasrah dalam bungkus—tak lupa korek. Kulihat kulkas, kubuka, dan kuambilkan sekaleng bir. Kuajak ia untuk menikmati gelembung bir, tapi ia menggeleng. Kutatap tembok kamar. Hampa. Tak ada rasa. Menahan gejolak tak kumengerti akibat tersadar dari mimpi dan mendengarnya bergumam macam-macam yang tentu juga tak kupahami.
“Kalau memang harus berakhir, akhiri dengan bijak. Aku ingin kita menjadi kawan, bukan sebagai lawan. Sekalipun hati sempat tertawan.” Aku memaksakan untuk tersenyum. Memberi penguatan hati untuk diri sendiri. Berharap ia pun menikmati cahaya keluguanku.
“Kamu bisa mengatakan itu tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain. Kita telah menjalani tiga puluh bulan bersama. Dengan segala kesedihan dan kesusahan. Dan aku pun telah memberitahumu bahwa kedua orang tuaku sangat menyayangimu. Aku menerima segala masa lalu dan kepahitmu. Apalagi yang harus kuperbuat? Kurang cukupkah segala pengertian dan pertahananku?”
Kuputar kembali semua memori otakku tentangmu. Bukan, tentang kita. Awal perkenalan kita di sebuah acara kampus. Saat kau dan teman-temanmu menikmati botol-botol alkohol dan kau menggodaku. Menanyakan namaku dan meminta nomor ponselku. Lalu kita mulai saling mengenal. Mengisi sisa remaja dengan segala kekonyolan. Menertawakan segala kepedihan hidup yang selama ini kita pendam.
Aku masih mengingat manisnya bibirmu saat kau kecup bibirku. Aku pun masih ingat bagaimana aku mati-matian menahan isak saat aku tak kau anggap dan ada sosok menarik di ruang pribadimu yang tak pernah aku kenal siapa dia. Lebih-lebih saat aku bertanya, apakah kita selama ini? Jawabanmu menusuk ulu hati. Kuputuskan untuk pergi dan berlari.
Kuasingkan diri. Menyingkir darimu dan dari duniamu yang membuatku dihantui rasa tak berarti. Kupilih sosok laki-laki yang bersedia menemani dan mengisi hari-hariku. Mengikis kenangan dan ingatan tentangmu. Tapi kau justru mencariku. Kupikir kau hanya sekadar ucapan maaf. Tak kuacuhkan pintamu untuk berdialog denganku. Kusibukkan diri dengan fisik baru yang bersedia membawa bunga dan rayuan semu. Ternyata aku lebih terluka dibanding ketika bersamamu. Aku melarikan diri dengan racun beraroma. Membuat tidurku nyenyak dengan jackpot dan umpatan lepas.
Tapi pelukanmulah yang selalu membuatku nyaman dan rindu untuk kembali. Kau sediakan kembali bahu untukku bersandar. Aku menerima tanganmu yang menarikku dan mengajakku berjalan beriringan. Tapi kembali, selalu ada yang tak kumengerti tentang relasi dua manusia. Kau memang mampu menghadirkan bahu dan tangan, tapi tak pernah kau sediakan telinga dan mata untuk menatapku yang ingin mendapat perhatian. Aku tak butuh waktumu. Aku hanya ingin kau peduli. Tapi kau menganggap aku kekanak-kanakan.
Kembali sebuah kejadian membawaku untuk tertarik pada sosok baru yang menarik perhatianku. Ia memberiku apa yang tak bisa kau berikan padaku. Ia menawarkan kesenangan yang memabukkan. Ia menawarkan warna padaku yang merasa hitam-putih denganmu. Kau kembali terhempas dari daftar hidupku. Kau berubah sebagai fatamorgana. Terjangkau mata tetapi tanganku tak mampu menggenggam. Kepala kita berbenturan. Kesemuan yang rasanya seperti menenggak minuman berkarbonasi.
Mural Arief Hadinata di Urban Gigs Marina Convention Center bulan Mei 2017
Sisi lain hatiku mengatakan bahwa kaulah yang berhasil membuatku nyaman dan menghasilkan sebait senyuman yang kunantikan. Kukembalikan lagi hati dan diriku padamu. Setelah dua pekan kita menjadi musuh dan menghasilkan segala caci dan maki karena berakhirnya hubungan. Hatiku memilihmu. Kutawarkan kompensasi agar kau bersedia menghadirkanku di tengah keluargamu. Kau terima dengan sejuta pertimbangan dan harapan bahwa hubungan kita adalah mengikat dua keluarga. Keluargamu menerimaku dan menyukaiku. Mereka tak keberatan. Bahkan setiap kau pulang, selalu mereka menanyakan kealpaanku yang tak bisa turut berkunjung.
Kita pun menjalani delapan belas bulan tanpa ada masalah. Hanya terbentur pada ego dan ketidakmengertian kita yang sulit diungkapkan sebagai wacana. Segala kekacauan pada diri dan lingkungan membawa kita pada sengketa. Hal yang sebenarnya tak perlu menjadi pokok pertikaian, tetapi akhirnya menggiring kita pada titik yang melelahkan. Terlebih setelah dialog tak sudi mampir pada kita yang juga tak berkenan saling membagi telinga, lidah, dan mata. Jenuh: inilah kata yang rasanya tepat. Menyongsong dua puluh sekian bulan bersama dengan mata yang sama, sosok yang sama, dan yang paling menjemukan adalah masalah yang sama dan tak pernah mencapai antiklimaks. Selalu sebuah pertikaian diakhiri dengan kau yang melenggang pergi dan menganggap semua perkara usai dengan bungkam. Kembali bertemu mata dan melupakan yang semalam menjadi pokok pertikaian.
Kusadari kita tak bisa bersama. Terlalu memaksa bila akhirnya hanya membuang waktu dan tenaga sia-sia. Segala tentangku tak bisa kau mengerti. Begitupun segala tentangmu yang tak kumengerti. Telah kita kehilangan segala cerita tentang remaja yang seharusnya masih bisa kukais dari sosokku dan sosokmu yang belum terlalu matang untuk dikatakan dewasa. Romantisme, kejutan, kata sayang, pujian, rayuan, dan segalanya telah luput dari bumbu hubungan dua manusia. Tentang kita yang terlalu mementingkan logika dan efisiensi.
“Nggak penting dan buang waktu. Mending cari uang dan bikin prestasi.” Itulah jawabanmu saat aku merengek untuk menyaksikan penampilan Maliq and d’Essentials. Atau saat berulang tahun dan aku meminta sebuah kue tart padamu, kau hanya menjawab tak memiliki uang. Bahkan saat aku sakit, tak kau hiraukan aku yang menangis kesepian. Kupendam sedih dan dendam dalam hati. Atau saat kau dengan arogan mengatakan bahwa maaf dan terima kasih tak perlu disampaikan olehmu untukku karena selama ini akulah yang membutuhkanmu. Kuelus dada dan mengusap air mata. Walaupun memang begitulah fakta. Tapi minimal, kenankanlah bibirmu tak berucap yang membuat lukaku semakin menganga.
Sosoknya hanyalah sebuah momen. Toh aku pun sadar ia hanya sebagai pariwara dalam hidup. Mengucapkan permisi dan pergi dalam kedipan mata. Ia memang sempat menawan separuh hatiku. Hanya sempat menawan dan kutarik kembali hatiku saat sadar lebih sia-sia memberi hati pada sosok yang tak kumengerti. Separuh hatiku yang lain telah kau miliki dan tak akan mungkin kuminta kembali.
“Bisakah kau hentikan kebiasaanmu bermain api? Tak sadarkah bahwa itu berbahaya dan menyakitkan. Kenapa terus kau ulangi?”
Kutatap matanya lekat. Memfokuskan pandanganku padanya agar ia dapat melihat setiap gerak bibirku. “Aku suka kompetisi. Aku pun sangat menikmati saat orang memperebutkanku dan bersaing untuk mendapatkanku.”
Kumatikan puntung rokok dan berjalan menuju kamar mandi. Tak peduli ia yang menendang meja dan membanting gelas.

Semarang, 8 Mei 2012
5:51:55 AM


Mengeja hati yang sulit dimaknai.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...