Sebuah cincin. Ya, sebuah cincin yang tak pernah ia tahu datang dari
mana, tiba-tiba tersemat di jari manis kanannya, empat tahun lalu. Dan cincin
ini tak bisa ia lepaskan. Apapun usaha dan cara yang ia tempuh, sia-sia. Sempat
terpikir untuk memotong jarinya, tetapi itu akan sangat merugikannya karena
harus mencari jari lain sebagai alternatif menekan aksara di keyboard laptop.
Sama seperti ketidak mengertiannya tentang kedatangan cincin itu, Ayya
pun tak pernah mengerti sosok apa yang ada pada cincin itu. Otaknya yang logis
tak mampu menjangkau sesuatu yang tidak memiliki bukti ilmiah. Tapi ia memang
merasakan kejanggalan yang tak kasat mata. Cincin itu mendatangkan nestapa pada
hidupnya dan hidup orang-orang di sekelilingnya.
Ia kehilangan Indra, kekasihnya. Sejak cincin itu melekat di jari Ayya,
Indra selalu mendapat pesan singkat dan kiriman surat bahwa lebih baik ia
menjauhi Ayya, karena Ayya telah menjadi miliknya. Dengan alamat dan nomor yang
berganti, tetapi nama pengirim selalu sama. Indra bergeming. Mereka hanya
tinggal menghitung hari untuk janji suci. Hingga akhirnya semua kandas. Sebuah
insiden menghilangkan sosok Indra selama-lamanya. Ayya tertegun. Mimpikah ia?
Ayya selalu menangis saat malam tiba. Ia tak ingin tertidur. Ia takut
bermimpi. Ia selalu histeris saat membayangkan ia harus bermimpi dan mengalami
hal yang sama. Mimpi berulang yang menghantuinya empat tahun terakhir, sejak
cincin emas itu melingkar di jari manisnya. Sebuah pertanyaan—atau permintaan
untuk membantunya memberikan stofmap dan menjadi istri di negerinya. Negeri
yang tak pernah ia jelaskan ada di belahan bumi sebelah mana. Dan itu tak hanya
ia yang mengalami, Ibu juga mengalami hal yang sama.
Stofmap itu, entah kapan datangnya. Tergeletak di meja kerja Ayya.
Stofmap merah yang telah lusuh dan warnanya pudar kecoklatan. Bersama dengan
cincin yang tersemat di jari manisnya. Siapa yang telah datang dan masuk ke
ruang pribadinya, karena penghuni rumah ini hanya ia dan Ibu. Dan ia berani
menjamin, tak ada orang yang bisa sembarang masuk ke ruang pribadinya karena
selalu ia kunci. Sekali pun Ibu, tak akan lancang sembarangan masuk ke
kamarnya. Sudah ia konfirmasikan pada orang-orang terdekatnya, tetapi tak
seorang pun mengerti perihal benda asing yang datang tiba-tiba itu. Isi stofmap
itu telah ia baca. Tapi tak tahu apa kepentingannya untuk mengikuti petunjuk
mimpi itu. Karena ia tak terlalu peduli. Ia hanya penulis lepas dan penerjemah,
bukan jurnalis.
Ibu yang malang, saat tua harus menjadi kepala rumah tangga. Berjuang
membesarkan anaknya setelah kematian suaminya enam tahun lalu. Mempertahankan
nama baik suami dari tuduhan masyarakat, menghadapi berbagai gunjingan, fitnah,
dan berita tak menyenangkan di televisi. Beradaptasi dengan hidup bersahaja
dari berbagai keistimewaan dan sanjungan yang dulu selalu ia dapatkan. Berhenti
memohon dan mengiba perlindungan pada sosok yang dulu selalu menjamin bahwa tak
akan ada masalah dan semua berada dalam kendali.
Sejak menyandang gelar janda, kantung di bawah mata dan kelopak mata
yang menghitam menjadi bagian dari wajah keriput Ibu. Batinnya telah lelah,
tetapi raganya mencoba. Walau sebenarnya beliau tak pernah mengerti apa yang
sebenarnya tengah dihadapi.
Sama seperti Ayya, setiap malam Ibu selalu dihantui oleh sosok yang tak
pernah ia kenal, tapi cukup familiar. Sosok itu selalu bertanya, apakah Ibu
bisa menolongnya. Memberikan sebuah stofmap pada sebuah kantor yang
mempekerjakan orang-orang berseragam abu-abu. Setelah stofmap itu diserahkan,
bolehkan ia meminta Ayya sebagai pendampingnya. Di negerinya yang jauh. Ibu
selalu menggeleng dan menolak. Karena hanya Ayya yang ia miliki. Hanya Ayya
yang ia punyai di dunia. Hanya Ayya yang bisa ia jadikan sandaran untuk usianya
yang telah senja. Siapa yang akan menemani wanita setengah abad yang mulai sakit-sakitan?
Dengan kemeja kotak-kotak besar, jaket olahraga, jelana jeans biru, tas selempang hitam, sepatu
pantovel berkilat, dan rambut tersisir rapi; lelaki ini selalu mengunjungi
mimpi Ibu. Memberikan pertanyaan yang sama karena jawaban Ibu sebelumnya pun
sama.
Berulang kali keduanya mendatangi psikolog,
psikiater, hingga dokter jiwa. Bahkan
mereka kini mencoba hypnotherapy dan
pengobatan spiritual. Tetapi hasilnya tetaplah sama. Mimpi itu selalu datang.
Dan sosok itu selalu menanyakan hal yang sama pada mereka.
Ayya tak terlalu jelek untuk ukuran seorang gadis. Ia telah melampaui
usia produktif untuk mengikatkan janji setia pada lawan jenis. Telah ia miliki
pula tempat yang menaunginya untuk mencari segenggam rupiah. Tak sedikit lelaki
yang berminat padanya. Tapi selalu sama. Ya, kejadian yang sama seperti yang Indra
alami. Ancaman yang mengatakan bahwa Ayya telah menjadi miliknya. Jangan ganggu
Ayya atau nyawa melayang. Ini bukan gertak sambal a la anak SMA yang berebut
gadis. Mereka yang bertahan dan nekad, mengalami eksekusi dengan cara berbeda.
Entah halus atau kasar, pelan atau cepat. Tapi pasti malaikat maut menjemput.
Ayya tak pernah mengerti kutukan apa yang menghantuinya, hingga ia harus
mengalami hal yang membuatnya dikucilkan.
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah
permaisuri di negeriku.” Mimpi itu datang lagi. Siap tak siap, Ayya harus siap.
Karena itulah pertanyaan yang selalu diberikan. Sudah dua hari ini Ayya tak
terpejam karena harus menyelesaikan sebuah buku yang harus ia terjemahkan.
“Kamu siapa? Kamu selalu menghantui mimpiku. Aku lelah. Kumohon, jangan
ganggu hidupku dan hidup orang-orang di sekelilingku.”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah
permaisuri di negeriku.”
Ayya diam, tak bisa ia berkata. Ditatapnya mata itu. Ia sedikit ingat,
ada ingatan sudah lama ia cari. Mata itu. Mata yang pernah ia lihat empat belas
tahun yang lalu.
“Aku pernah melihatmu.”
“Di mana?”
“Rumah sakit. Sepertinya ruangan yang sama setelah aku kecelakaan.” Ayya
hampir menangis mengingat kejadian itu. Saat itu ia masih kuliah tingkat satu
dan ada huru-hara di kota. Sepulang dari mengunjungi kawan, di jalan ia menemui
massa. Ketakutan, Ayya menancap gas motornya. Panik dan bingung, hingga ia
terjatuh. Beruntung ada sosok baik yang membantunya berdiri dari menyingkir
dari keadaan yang mencekam. Terlalu memusingkan, Ayya tak kuasa menjaga
kesadaran. Ia pingsan.
Saat itu orang-orang berjas almamater turun ke jalan dan menduduki
gedung DPR. Saat suara letusan tembakan dan kebakaran ada di mana-mana. Ngilu
di lengan kanannya masih terasa. Bekas luka itu pun sulit hilang. Tapi luka
yang sulit dihilangkan adalah luka di hati dan pikirannya. Paranoid atas tempat
ramai dan huru-hara masih menghantuinya hingga kini. Hingga ia memutuskan memilih
pekerjaan yang ringan dan bisa berada di dalam rumah, sekali pun yang ia
peroleh hanya cukup untuk dirinya sendiri. Kota kecil yang tenang setelah anak-anak
hingga enam tahun lalu tinggal di kota metropolitan penuh kebisingan.
“Empat belas tahun yang lalu.”
Sosok itu tersenyum, “Baru sekarang kamu sadari?”
Ayya menggeleng, “Nggak. Aku tahu. Aku ingat. Hanya berada di ambang
praduga, sehingga aku tak terlalu mengindahkannya. Apakah kamu?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah
permaisuri di negeriku.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku!” Ayya memekik. Ia tak sabar dengan
percakapan ini.
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah
permaisuri di negeriku.”
Ayya sadar ia akan lelah dengan dialog bodoh ini. Ia diam dan tetap
memandang sepasang mata sayu yang tak berkedip saat menatapnya.
“Kalau aku menyerahkan stofmapmu, bisakah kamu berhenti hadir di mimpiku
dan mimpi Ibuku? Berhenti meneror orang-orang di sekelilingku?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah
permaisuri di negeriku.”
“Aku bertanya kamu tak pernah menjawab!”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah
permaisuri di negeriku.”
Ibu menangis. Ia duduk di samping pusara suaminya tercinta. Memandang
namanya dan menangis. Matanya semakin hitam dan tubuhnya mengering. Setiap hari
hanya menangis. Tekanan mental yang ia hadapi atas tuduhan masyarakat pada suaminya
sebagai pembunuh. Militer yang menembak mahasiswa saat kerusuhan empat belas
tahun yang lalu. Tak ada gelar atau penghargaan dari pemerintah pada sosok
suaminya yang hanya mematuhi perintah atas hirarki yang setingkat di atasnya.
Mereka tak pernah tahu bahwa suaminya menangis setelah memerintah pada
prajurit. Lima tahun suaminya tak pernah bisa tidur dihantui rasa bersalah atas
wajah-wajah yang selalu menghantui mimpinya. Ia melarikan diri dengan alkohol,
berharap tidur nyenyak sudi mampir pada raganya. Tapi sia-sia. Dan sisa
hidupnya dihabiskan di atas ranjang karena komplikasi penyakit. Belum genap
usianya untuk mendapat pensiun, sudah berakhir halaman hidupnya.
Tatapan Ibu menjauh, memandang nama anak semata wayangnya berdampingan
dengan nama suaminya. Hatinya nelangsa. Tanpa sepengetahuannya, Ayya menyerahkan
stofmap itu setelah menggandakannya. Bukan sesuatu yang diharapkan Ayya, yaitu
membebaskan dirinya dari teror mimpi. Ia justru menjemput teror lain yang
akhirnya sukses membuat namanya hancur. Dugaan penyerangan dan terorisme mampir
di koran setelah Ayya diinterogasi di suatu sore. Ibu tak bisa mengunjungi Ayya
karena alasan keamanan. Dan setelah satu minggu, Ibu mampu melihat Ayya. Yang
terbungkus kain kafan.
Ibu kembali menangis.
“Ibu, segeralah menyusul. Ayya tunggu Ibu di sini. Di sini Ayya bahagia.
Bisa bertemu Ayah dan menikah dengan lelaki yang sekilas memandang Ayya saat di
rumah sakit. Saat nyawanya meregang terkena peluru karet. Ibu, Ayya sayang
Ibu.” Dalam mimpi, Ayya mengecup pipi Ibu. Ibu bahagia. Ayya menarik tangan Ibu
untuk menyongsong Ayah dan suaminya, sosok yang selalu hadir di mimpinya.
Semarang, 27 Mei 2012
11:01:45 p.m
Lugu yang ambigu.