Tuesday 16 September 2014

P E T A N G B U L A N M E I



Sebuah cincin. Ya, sebuah cincin yang tak pernah ia tahu datang dari mana, tiba-tiba tersemat di jari manis kanannya, empat tahun lalu. Dan cincin ini tak bisa ia lepaskan. Apapun usaha dan cara yang ia tempuh, sia-sia. Sempat terpikir untuk memotong jarinya, tetapi itu akan sangat merugikannya karena harus mencari jari lain sebagai alternatif menekan aksara di keyboard laptop.
Sama seperti ketidak mengertiannya tentang kedatangan cincin itu, Ayya pun tak pernah mengerti sosok apa yang ada pada cincin itu. Otaknya yang logis tak mampu menjangkau sesuatu yang tidak memiliki bukti ilmiah. Tapi ia memang merasakan kejanggalan yang tak kasat mata. Cincin itu mendatangkan nestapa pada hidupnya dan hidup orang-orang di sekelilingnya.
Ia kehilangan Indra, kekasihnya. Sejak cincin itu melekat di jari Ayya, Indra selalu mendapat pesan singkat dan kiriman surat bahwa lebih baik ia menjauhi Ayya, karena Ayya telah menjadi miliknya. Dengan alamat dan nomor yang berganti, tetapi nama pengirim selalu sama. Indra bergeming. Mereka hanya tinggal menghitung hari untuk janji suci. Hingga akhirnya semua kandas. Sebuah insiden menghilangkan sosok Indra selama-lamanya. Ayya tertegun. Mimpikah ia?
Ayya selalu menangis saat malam tiba. Ia tak ingin tertidur. Ia takut bermimpi. Ia selalu histeris saat membayangkan ia harus bermimpi dan mengalami hal yang sama. Mimpi berulang yang menghantuinya empat tahun terakhir, sejak cincin emas itu melingkar di jari manisnya. Sebuah pertanyaan—atau permintaan untuk membantunya memberikan stofmap dan menjadi istri di negerinya. Negeri yang tak pernah ia jelaskan ada di belahan bumi sebelah mana. Dan itu tak hanya ia yang mengalami, Ibu juga mengalami hal yang sama.
Stofmap itu, entah kapan datangnya. Tergeletak di meja kerja Ayya. Stofmap merah yang telah lusuh dan warnanya pudar kecoklatan. Bersama dengan cincin yang tersemat di jari manisnya. Siapa yang telah datang dan masuk ke ruang pribadinya, karena penghuni rumah ini hanya ia dan Ibu. Dan ia berani menjamin, tak ada orang yang bisa sembarang masuk ke ruang pribadinya karena selalu ia kunci. Sekali pun Ibu, tak akan lancang sembarangan masuk ke kamarnya. Sudah ia konfirmasikan pada orang-orang terdekatnya, tetapi tak seorang pun mengerti perihal benda asing yang datang tiba-tiba itu. Isi stofmap itu telah ia baca. Tapi tak tahu apa kepentingannya untuk mengikuti petunjuk mimpi itu. Karena ia tak terlalu peduli. Ia hanya penulis lepas dan penerjemah, bukan jurnalis.
Ibu yang malang, saat tua harus menjadi kepala rumah tangga. Berjuang membesarkan anaknya setelah kematian suaminya enam tahun lalu. Mempertahankan nama baik suami dari tuduhan masyarakat, menghadapi berbagai gunjingan, fitnah, dan berita tak menyenangkan di televisi. Beradaptasi dengan hidup bersahaja dari berbagai keistimewaan dan sanjungan yang dulu selalu ia dapatkan. Berhenti memohon dan mengiba perlindungan pada sosok yang dulu selalu menjamin bahwa tak akan ada masalah dan semua berada dalam kendali.
Sejak menyandang gelar janda, kantung di bawah mata dan kelopak mata yang menghitam menjadi bagian dari wajah keriput Ibu. Batinnya telah lelah, tetapi raganya mencoba. Walau sebenarnya beliau tak pernah mengerti apa yang sebenarnya tengah dihadapi.
Sama seperti Ayya, setiap malam Ibu selalu dihantui oleh sosok yang tak pernah ia kenal, tapi cukup familiar. Sosok itu selalu bertanya, apakah Ibu bisa menolongnya. Memberikan sebuah stofmap pada sebuah kantor yang mempekerjakan orang-orang berseragam abu-abu. Setelah stofmap itu diserahkan, bolehkan ia meminta Ayya sebagai pendampingnya. Di negerinya yang jauh. Ibu selalu menggeleng dan menolak. Karena hanya Ayya yang ia miliki. Hanya Ayya yang ia punyai di dunia. Hanya Ayya yang bisa ia jadikan sandaran untuk usianya yang telah senja. Siapa yang akan menemani wanita setengah abad yang mulai sakit-sakitan?
Dengan kemeja kotak-kotak besar, jaket olahraga, jelana jeans biru, tas selempang hitam, sepatu pantovel berkilat, dan rambut tersisir rapi; lelaki ini selalu mengunjungi mimpi Ibu. Memberikan pertanyaan yang sama karena jawaban Ibu sebelumnya pun sama.
Berulang kali keduanya mendatangi psikolog, psikiater, hingga dokter jiwa. Bahkan mereka kini mencoba hypnotherapy dan pengobatan spiritual. Tetapi hasilnya tetaplah sama. Mimpi itu selalu datang. Dan sosok itu selalu menanyakan hal yang sama pada mereka.
Ayya tak terlalu jelek untuk ukuran seorang gadis. Ia telah melampaui usia produktif untuk mengikatkan janji setia pada lawan jenis. Telah ia miliki pula tempat yang menaunginya untuk mencari segenggam rupiah. Tak sedikit lelaki yang berminat padanya. Tapi selalu sama. Ya, kejadian yang sama seperti yang Indra alami. Ancaman yang mengatakan bahwa Ayya telah menjadi miliknya. Jangan ganggu Ayya atau nyawa melayang. Ini bukan gertak sambal a la anak SMA yang berebut gadis. Mereka yang bertahan dan nekad, mengalami eksekusi dengan cara berbeda. Entah halus atau kasar, pelan atau cepat. Tapi pasti malaikat maut menjemput. Ayya tak pernah mengerti kutukan apa yang menghantuinya, hingga ia harus mengalami hal yang membuatnya dikucilkan.
Mural Arief Hadinata di Firepot Resto Living World Mall Tangerang yang rampung sekitar Juli 2018
                                        
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.” Mimpi itu datang lagi. Siap tak siap, Ayya harus siap. Karena itulah pertanyaan yang selalu diberikan. Sudah dua hari ini Ayya tak terpejam karena harus menyelesaikan sebuah buku yang harus ia terjemahkan.
“Kamu siapa? Kamu selalu menghantui mimpiku. Aku lelah. Kumohon, jangan ganggu hidupku dan hidup orang-orang di sekelilingku.”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
Ayya diam, tak bisa ia berkata. Ditatapnya mata itu. Ia sedikit ingat, ada ingatan sudah lama ia cari. Mata itu. Mata yang pernah ia lihat empat belas tahun yang lalu.
“Aku pernah melihatmu.”
“Di mana?”
“Rumah sakit. Sepertinya ruangan yang sama setelah aku kecelakaan.” Ayya hampir menangis mengingat kejadian itu. Saat itu ia masih kuliah tingkat satu dan ada huru-hara di kota. Sepulang dari mengunjungi kawan, di jalan ia menemui massa. Ketakutan, Ayya menancap gas motornya. Panik dan bingung, hingga ia terjatuh. Beruntung ada sosok baik yang membantunya berdiri dari menyingkir dari keadaan yang mencekam. Terlalu memusingkan, Ayya tak kuasa menjaga kesadaran. Ia pingsan.
Saat itu orang-orang berjas almamater turun ke jalan dan menduduki gedung DPR. Saat suara letusan tembakan dan kebakaran ada di mana-mana. Ngilu di lengan kanannya masih terasa. Bekas luka itu pun sulit hilang. Tapi luka yang sulit dihilangkan adalah luka di hati dan pikirannya. Paranoid atas tempat ramai dan huru-hara masih menghantuinya hingga kini. Hingga ia memutuskan memilih pekerjaan yang ringan dan bisa berada di dalam rumah, sekali pun yang ia peroleh hanya cukup untuk dirinya sendiri. Kota kecil yang tenang setelah anak-anak hingga enam tahun lalu tinggal di kota metropolitan penuh kebisingan.
“Empat belas tahun yang lalu.”
Sosok itu tersenyum, “Baru sekarang kamu sadari?”
Ayya menggeleng, “Nggak. Aku tahu. Aku ingat. Hanya berada di ambang praduga, sehingga aku tak terlalu mengindahkannya. Apakah kamu?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku!” Ayya memekik. Ia tak sabar dengan percakapan ini.
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
Ayya sadar ia akan lelah dengan dialog bodoh ini. Ia diam dan tetap memandang sepasang mata sayu yang tak berkedip saat menatapnya.
“Kalau aku menyerahkan stofmapmu, bisakah kamu berhenti hadir di mimpiku dan mimpi Ibuku? Berhenti meneror orang-orang di sekelilingku?”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”
“Aku bertanya kamu tak pernah menjawab!”
“Kumohon, bantulah aku. Berikan stofmap itu pada polisi. Dan jadilah permaisuri di negeriku.”

Ibu menangis. Ia duduk di samping pusara suaminya tercinta. Memandang namanya dan menangis. Matanya semakin hitam dan tubuhnya mengering. Setiap hari hanya menangis. Tekanan mental yang ia hadapi atas tuduhan masyarakat pada suaminya sebagai pembunuh. Militer yang menembak mahasiswa saat kerusuhan empat belas tahun yang lalu. Tak ada gelar atau penghargaan dari pemerintah pada sosok suaminya yang hanya mematuhi perintah atas hirarki yang setingkat di atasnya.
Mereka tak pernah tahu bahwa suaminya menangis setelah memerintah pada prajurit. Lima tahun suaminya tak pernah bisa tidur dihantui rasa bersalah atas wajah-wajah yang selalu menghantui mimpinya. Ia melarikan diri dengan alkohol, berharap tidur nyenyak sudi mampir pada raganya. Tapi sia-sia. Dan sisa hidupnya dihabiskan di atas ranjang karena komplikasi penyakit. Belum genap usianya untuk mendapat pensiun, sudah berakhir halaman hidupnya.
Tatapan Ibu menjauh, memandang nama anak semata wayangnya berdampingan dengan nama suaminya. Hatinya nelangsa. Tanpa sepengetahuannya, Ayya menyerahkan stofmap itu setelah menggandakannya. Bukan sesuatu yang diharapkan Ayya, yaitu membebaskan dirinya dari teror mimpi. Ia justru menjemput teror lain yang akhirnya sukses membuat namanya hancur. Dugaan penyerangan dan terorisme mampir di koran setelah Ayya diinterogasi di suatu sore. Ibu tak bisa mengunjungi Ayya karena alasan keamanan. Dan setelah satu minggu, Ibu mampu melihat Ayya. Yang terbungkus kain kafan.
Ibu kembali menangis.
“Ibu, segeralah menyusul. Ayya tunggu Ibu di sini. Di sini Ayya bahagia. Bisa bertemu Ayah dan menikah dengan lelaki yang sekilas memandang Ayya saat di rumah sakit. Saat nyawanya meregang terkena peluru karet. Ibu, Ayya sayang Ibu.” Dalam mimpi, Ayya mengecup pipi Ibu. Ibu bahagia. Ayya menarik tangan Ibu untuk menyongsong Ayah dan suaminya, sosok yang selalu hadir di mimpinya.

Semarang, 27 Mei 2012
11:01:45 p.m
Lugu yang ambigu.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...