Tuesday 16 September 2014

M E N U M A L A M I N I



Baru tujuh. Aku harus menepati janjiku untuk mendapat sebelas. Ya, sebelas. Semoga sebelum tanggal dua puluh empat, dua minggu lagi, sudah kulaksanakan janjiku. Janji untuk diriku sendiri.
“Mba, disuruh Mama makan dulu,” Frida mengagetkanku.
“Aku kan udah ngomong, kalo masuk kamar ketok pintu dulu! Nggak bisa apa?”
Frida menunjukkan wajah ketakutan.
“Bilang Mama, nanti aku nyusul.” Kutarik nafas dan mencoba biasa. Masih kuulangi kesalahan yang sama.
Nasi, sayur sop, tahu, tempe, dan ayam serta rendang. Adikku sudah duduk dengan rapi. Begitu juga Mama. Aku duduk, ikut diam. Menit-menit yang menyakitkan menyerang. Dan setelah dua puluh menit, Papa datang, duduk, dan menyendok nasi, lalu melahap hidangan istimewa yang disediakan untuknya.
Setelah Papa pergi dan menyisakan meja makan berantakan dan kotor, kami mulai mengais sisa nasi, sayur, dan lauk. Mama diam, memandang kami. Kudekati Mama, kubagi makananku dan kusuapi Mama. Mama menggeleng. Aku memaksa Mama.
“Aku tadi baru beli jajan di luar, Ma. Masih kenyang.”
Mulutnya membuka dan mengunyah, dengan airmata yang mengalir.
Tiar, Ain, dan Frida makan dengan lahap. Segera menata meja, mencuci piring, dan kuperintah mereka untuk segera masuk kamar. Aku masih menyuapi Mama. Kutahan perutku yang bernyanyi. Mama mulai menolak setiap sendok yang kutawarkan padanya. Tapi aku tetap memaksa dan sedikit mengancam akan keluar lagi malam ini.
Mama membelaiku dan tetapi menangis tanpa suara. Aku diam.
Praaaaaaang!!
Lagi. Segera kutarik Mama masuk dalam kamar adik-adikku. Mengunci mereka dari luar. Menyimpan kunci di dalam saku celanaku.
Opo neh iki?[1]
Gak usah melu-melu kowe! Ndi perek kae? Wani-wanine buka hapeku![2]
Asu yo! Disabar-sabari gak ono pengertene. Lungo soko umah iki, saiki![3]
Kowe sopo?[4]
Lah kowe yo sopo?[5]
Picek![6]
Kali ini tepat di hidung. Dengan pandangan berkunang-kunang, aku kembali bangkit dan menyerang. Tapi sosok lain menarikku dan menghalangi pandanganku, lalu cairan hangat mendarat di lenganku.
Manual painting karya Arief Hadinata

Kubersihkan sisa-sisa darah yang menempel di tangan. Otakku setengah berpikir, sepertinya aku harus mencari celah untuk janjiku itu. Mama harus opname dan operasi. Mulut bagian dalam pecah, gigi depan goyang, dan batang hidung retak dan bergeser terkena pukulan benda tumpul. Mati-matian juga aku meyakinkan ketiga adikku aman dan bisa tidur nyenyak dalam pengawasan Bu Endang. Mereka harus sekolah esok.
“Ris, gimana Mama?” Pak Tardi datang. Kujawab dengan mengantarnya ke kamar Mama.
Mama sedang tertidur. Memunggungi pintu dan menutup tubuhnya dengan selimut. Pak Tardi mengangguk dan mengajakku duduk di bangku.
“Pakde udah denger dari Bu Endang dan tetangga lain. Emang beda keterangan antara Pak Zen dan papamu. Pakde pengen yang terbaik buat kamu dan adik-adik. Pakde tau apa maumu, tapi Pakde juga butuh persetujuan mamamu buat mem-BAP kejadian ini.”
Aku mengangguk. “Maaf, Pakde, aku sedang nggak konsen. Sejak kemarin aku belum tidur. Kalo emang harus Mama yang mengambil keputusan, aku ngerti.”
Pakde mengangguk dan mengajakku makan di warung depan rumah sakit. Makan malam, sekaligus sarapanku hari ini.

Hari ini seharusnya aku bisa mengerjakan yang terakhir. Tapi hari ini tak ada yang menunggu Mama di rumah sakit. Ketiga adikku sekolah. Sudah seminggu ini aku bolos sekolah. Sengaja tak kutulis surat izin, sekalipun itu izin palsu, seperti yang banyak dilakukan kawan-kawanku. Aku malas basa-basi. Peduli setan kalau akhirnya aku dikeluarkan, toh tak akan mengubah apa pun. Tujuanku yang utama hanya untuk yang kesebelas. Dan harus segera kutunaikan yang kesebelas.
“Mama udah maem?”
Mama mengangguk. “Jangan ngerokok terus. Kasian paru-parumu. Tiar, Ain, Frida, gimana?”
“Kan lagi sekolah.”
“Kamu kok nggak sekolah?”
“Males.”
Mama menahan pertanyaan selanjutnya dan menyerahkan stofmap padaku.
“Maafkan Mama, Sayang.” Kali ini Mama menangis dengan isakan. Surat persetujuan untuk tidak menindaklanjuti hasil visum dokter dan tidak akan mengajukan tuntutan. Dengan ancaman halus tidak akan membiayai kehidupan ketiga adikku dan mengusir kami dari satu-satunya rumah yang menaungi kami. Tentu saja ia menang, karena semua aset atas namanya.
“Apapun yang terbaik, Ma.”
Mama tersenyum dan menarikku untuk mencium pipiku.

Hari ini rumah terasa istimewa. Tertata rapi, berbau wangi, dan yang pasti ada banyak kado dan parsel di ruang tamu dari  beberapa tetangga dan kerabat yang tak sempat menjenguk saat Mama di rumah sakit. Mama telah pulih dari sakit dan sudah melalui masa kritis pascaoperasi. Wajahnya terlihat segar dan agak gemuk. Suasana rumah sakit yang konon horor justru dirasa lebih nyaman bagi Mama dibanding rumah ini. Mama kugandeng masuk, didamping Bu Endang, tetanggaku yang baik hati.
“Mamaaaaaaaa…” Frida berlari memeluk Mama. Mama mencium Frida. Tiar dan Ain mendekat, mereka pun mendapat kecupan rindu dari Mama.
“Maafin aku ya?” Seikat mawar merah diberikan Papa pada Mama. Mama menerima dan mencium Papa. Kejadian klasik a la sinetron.
“Aku janji akan berubah dan nggak akan mengulangi lagi kesalahan ini. Kita buka lembaran hidup baru, ya?”
Papa mendekat, hendak merangkulku. Aku diam, tak bergerak. Mama masih menggenggam tanganku erat, tak mengizinkanku berpindah tempat.
“Nanti malam kita syukuran ya? Papa udah undang tetangga-tetangga. Nanti ada burung dara goreng favorit kalian.” Ketiga adikku tersenyum dan duduk rapi di meja makan, menunggu giliran potongan kue tart yang ternyata juga salah satu hidangan penyambutan.

Aku harus menepati janjiku. Hari ini tanggal dua puluh tiga. Jam sebelas malam. Semua sesuai rencana. Ketiga adikku sudah tertidur di kamar. Hanya hari ini dan hanya ini kesempatanku. Tasku tak mampu membawa sebelas benda ini, tetapi kupaksa dan kuyakinkan tak akan menimbulkan bunyi mencurigakan. Kudatangi kamar Mama. Dalam gelap, aku mendengar suara nafas berat di antara dengung AC. Pelan-pelan. Pelan-pelan saja. Jangan timbulkan suara atau kegaduhan. Semoga tanganku tak berkeringat.
Satu. Leher.
Dua. Jantung.
Tiga. Perut.
Empat. Lima. Mata.
Enam. Mulut.
Tujuh. Delapan. Tangan.
Sembilan. Penis.
Sepuluh. Sebelas. Kaki.
Ya. Tak akan ada lagi nafas berat di rumah ini. Aku pergi.

Menahan flu yang terus memburu
26 Maret 2012
22:20:08
*Merindukan yang harus kurindukan*




[1] Apa lagi nih?
[2] Gak usah ikut campur! Mana pelacur itu? Berani-beraninya buka hapeku!
[3] Anjing! Dikasih kesabaran nggak ngerti juga. Keluar dari rumah ini, sekarang!
[4] Kamu siapa?
[5] Kamu juga siapa?
[6] Buta! (dalam hal ini berarti umpatan)

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...