Baru
tujuh. Aku harus menepati janjiku untuk mendapat sebelas. Ya, sebelas. Semoga
sebelum tanggal dua puluh empat, dua minggu lagi, sudah kulaksanakan janjiku.
Janji untuk diriku sendiri.
“Mba,
disuruh Mama makan dulu,” Frida mengagetkanku.
“Aku kan
udah ngomong, kalo masuk kamar ketok pintu dulu! Nggak bisa apa?”
Frida
menunjukkan wajah ketakutan.
“Bilang
Mama, nanti aku nyusul.” Kutarik nafas dan mencoba biasa. Masih kuulangi
kesalahan yang sama.
Nasi,
sayur sop, tahu, tempe, dan ayam serta rendang. Adikku sudah duduk dengan rapi.
Begitu juga Mama. Aku duduk, ikut diam. Menit-menit yang menyakitkan menyerang.
Dan setelah dua puluh menit, Papa datang, duduk, dan menyendok nasi, lalu melahap
hidangan istimewa yang disediakan untuknya.
Setelah
Papa pergi dan menyisakan meja makan berantakan dan kotor, kami mulai mengais
sisa nasi, sayur, dan lauk. Mama diam, memandang kami. Kudekati Mama, kubagi
makananku dan kusuapi Mama. Mama menggeleng. Aku memaksa Mama.
“Aku
tadi baru beli jajan di luar, Ma. Masih kenyang.”
Mulutnya
membuka dan mengunyah, dengan airmata yang mengalir.
Tiar,
Ain, dan Frida makan dengan lahap. Segera menata meja, mencuci piring, dan kuperintah
mereka untuk segera masuk kamar. Aku masih menyuapi Mama. Kutahan perutku yang bernyanyi.
Mama mulai menolak setiap sendok yang kutawarkan padanya. Tapi aku tetap
memaksa dan sedikit mengancam akan keluar lagi malam ini.
Mama
membelaiku dan tetapi menangis tanpa suara. Aku diam.
Praaaaaaang!!
Lagi.
Segera kutarik Mama masuk dalam kamar adik-adikku. Mengunci mereka dari luar. Menyimpan
kunci di dalam saku celanaku.
“Opo neh iki?[1]”
“Gak usah melu-melu kowe! Ndi perek kae?
Wani-wanine buka hapeku![2]”
“Asu yo! Disabar-sabari gak ono pengertene.
Lungo soko umah iki, saiki![3]”
“Kowe sopo?[4]”
“Lah kowe yo sopo?[5]”
“Picek![6]”
Kali ini
tepat di hidung. Dengan pandangan berkunang-kunang, aku kembali bangkit dan
menyerang. Tapi sosok lain menarikku dan menghalangi pandanganku, lalu cairan
hangat mendarat di lenganku.
Kubersihkan
sisa-sisa darah yang menempel di tangan. Otakku setengah berpikir, sepertinya
aku harus mencari celah untuk janjiku itu. Mama harus opname dan operasi. Mulut
bagian dalam pecah, gigi depan goyang, dan batang hidung retak dan bergeser
terkena pukulan benda tumpul. Mati-matian juga aku meyakinkan ketiga adikku
aman dan bisa tidur nyenyak dalam pengawasan Bu Endang. Mereka harus sekolah
esok.
“Ris,
gimana Mama?” Pak Tardi datang. Kujawab dengan mengantarnya ke kamar Mama.
Mama
sedang tertidur. Memunggungi pintu dan menutup tubuhnya dengan selimut. Pak
Tardi mengangguk dan mengajakku duduk di bangku.
“Pakde
udah denger dari Bu Endang dan tetangga lain. Emang beda keterangan antara Pak Zen dan papamu. Pakde pengen yang terbaik buat
kamu dan adik-adik. Pakde tau apa maumu, tapi Pakde juga butuh persetujuan
mamamu buat mem-BAP kejadian ini.”
Aku
mengangguk. “Maaf, Pakde, aku sedang nggak konsen. Sejak kemarin aku belum
tidur. Kalo emang harus Mama yang mengambil keputusan, aku ngerti.”
Pakde
mengangguk dan mengajakku makan di warung depan rumah sakit. Makan malam,
sekaligus sarapanku hari ini.
Hari ini
seharusnya aku bisa mengerjakan yang terakhir. Tapi hari ini tak ada yang
menunggu Mama di rumah sakit. Ketiga adikku sekolah. Sudah seminggu ini aku
bolos sekolah. Sengaja tak kutulis surat izin, sekalipun itu izin palsu,
seperti yang banyak dilakukan kawan-kawanku. Aku malas basa-basi. Peduli setan
kalau akhirnya aku dikeluarkan, toh tak akan mengubah apa pun. Tujuanku yang
utama hanya untuk yang kesebelas. Dan harus segera kutunaikan yang kesebelas.
“Mama
udah maem?”
Mama
mengangguk. “Jangan ngerokok terus. Kasian paru-parumu. Tiar,
Ain, Frida, gimana?”
“Kan
lagi sekolah.”
“Kamu
kok nggak sekolah?”
“Males.”
Mama
menahan pertanyaan selanjutnya dan menyerahkan stofmap padaku.
“Maafkan
Mama, Sayang.” Kali ini Mama menangis dengan isakan. Surat persetujuan untuk
tidak menindaklanjuti hasil visum dokter dan tidak akan mengajukan tuntutan.
Dengan ancaman halus tidak akan membiayai kehidupan ketiga adikku dan mengusir
kami dari satu-satunya rumah yang menaungi kami. Tentu saja ia menang, karena
semua aset atas namanya.
“Apapun
yang terbaik, Ma.”
Mama
tersenyum dan menarikku untuk mencium pipiku.
Hari ini
rumah terasa istimewa. Tertata rapi, berbau wangi, dan yang pasti ada banyak
kado dan parsel di ruang tamu dari
beberapa tetangga dan kerabat yang tak sempat menjenguk saat Mama di rumah sakit. Mama telah
pulih dari sakit dan sudah melalui masa kritis pascaoperasi. Wajahnya
terlihat segar dan agak gemuk. Suasana rumah
sakit yang konon horor justru dirasa lebih nyaman bagi Mama dibanding rumah
ini. Mama kugandeng masuk, didamping Bu Endang, tetanggaku yang baik hati.
“Mamaaaaaaaa…”
Frida berlari memeluk Mama. Mama mencium Frida. Tiar dan Ain mendekat, mereka
pun mendapat kecupan rindu dari Mama.
“Maafin
aku ya?” Seikat mawar merah diberikan Papa pada Mama. Mama menerima dan mencium
Papa. Kejadian klasik a la sinetron.
“Aku
janji akan berubah dan nggak akan mengulangi lagi kesalahan ini. Kita buka lembaran
hidup baru, ya?”
Papa
mendekat, hendak merangkulku. Aku diam, tak bergerak. Mama masih menggenggam
tanganku erat, tak mengizinkanku berpindah tempat.
“Nanti
malam kita syukuran ya? Papa udah undang tetangga-tetangga. Nanti ada burung
dara goreng favorit kalian.” Ketiga adikku tersenyum dan duduk rapi di meja
makan, menunggu giliran potongan kue tart yang ternyata juga salah satu
hidangan penyambutan.
Aku
harus menepati janjiku. Hari ini tanggal dua puluh tiga. Jam sebelas malam. Semua
sesuai rencana. Ketiga adikku sudah tertidur di kamar. Hanya hari ini dan hanya
ini kesempatanku. Tasku tak mampu membawa sebelas benda ini, tetapi kupaksa dan
kuyakinkan tak akan menimbulkan bunyi mencurigakan. Kudatangi kamar Mama. Dalam
gelap, aku mendengar suara nafas berat di antara dengung AC. Pelan-pelan.
Pelan-pelan saja. Jangan timbulkan suara atau kegaduhan. Semoga tanganku tak
berkeringat.
Satu.
Leher.
Dua.
Jantung.
Tiga.
Perut.
Empat.
Lima. Mata.
Enam.
Mulut.
Tujuh.
Delapan. Tangan.
Sembilan.
Penis.
Sepuluh.
Sebelas. Kaki.
Ya. Tak
akan ada lagi nafas berat di rumah ini. Aku pergi.
Menahan
flu yang terus memburu
26 Maret
2012
22:20:08
*Merindukan
yang harus kurindukan*
No comments:
Post a Comment