Aku
menunduk. Tak bisa kutatap lekat bola matanya. Hanya mencuri-curi pandang dan
mengalihkan fokus dengan objek lain yang bisa ditangkap retina mata. Aku masih agak mengantuk karena baru mengumpulkan nyawaku. Ia
mengagetkanku saat aku separuh terjaga dari tidurku, lalu mengatakan bahwa ia
telah membuktikan apa yang selama ini telah disangkakan tengah terjadi padaku.
Ia memainkan ponselku dengan tatapan ambigu—sulit kutafsirkan maksud dari air
mukanya. Tentu tak lupa senyum sinis dan angkuh yang tak pernah ia tanggalkan.
Sayang,
sebelum sempat berucap, telah berurai segala kepedihan. Aku semakin tergagap.
Ponselku ada pada genggaman tangannya. Aku cukup bisa mencerna makna
genggamannya. Sekuat tenaga menahan untuk tidak melempar atau menghancurkan
ponsel pintar pembawa petaka. Atau menamparku, bahkan
mungkin ia bisa saja memukulku saat ini juga. Aku bersandar hanya pada tembok
kamar dan memeluk bantal. Masih kututupi separuh tubuhku dengan selimut karena
siang terlalu dingin untuk dikatakan sudah siang.
“Apa
yang harus aku lakukan untuk bisa membuatmu mengerti? Bukankah aku telah
bertahan dari sejuta perih tak terperi yang kau timpakan? Kenapa masih kau
ulang kesalahan yang sama? Siapa aku di matamu?”
Kuambil sebatang
rokok. Mengisap. Menawarkan padanya batang-batang
rokok pasrah dalam bungkus—tak lupa korek. Kulihat kulkas, kubuka, dan
kuambilkan sekaleng bir. Kuajak ia untuk menikmati gelembung bir, tapi ia menggeleng. Kutatap tembok kamar. Hampa. Tak ada
rasa. Menahan gejolak tak kumengerti akibat tersadar dari mimpi dan
mendengarnya bergumam macam-macam yang tentu juga
tak kupahami.
“Kalau
memang harus berakhir, akhiri dengan bijak. Aku ingin kita menjadi kawan, bukan
sebagai lawan. Sekalipun hati sempat tertawan.” Aku memaksakan untuk tersenyum.
Memberi penguatan hati untuk diri sendiri. Berharap ia pun menikmati cahaya
keluguanku.
“Kamu
bisa mengatakan itu tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain. Kita telah
menjalani tiga puluh bulan bersama. Dengan segala kesedihan dan kesusahan. Dan
aku pun telah memberitahumu bahwa kedua orang tuaku sangat menyayangimu. Aku
menerima segala masa lalu dan kepahitmu. Apalagi yang harus kuperbuat? Kurang
cukupkah segala pengertian dan pertahananku?”
Kuputar
kembali semua memori otakku tentangmu. Bukan, tentang
kita.
Awal perkenalan kita di sebuah acara kampus. Saat kau dan teman-temanmu
menikmati botol-botol alkohol dan kau menggodaku. Menanyakan namaku dan meminta
nomor ponselku. Lalu kita mulai saling mengenal. Mengisi sisa remaja dengan
segala kekonyolan. Menertawakan segala kepedihan hidup yang selama ini kita
pendam.
Aku
masih mengingat manisnya bibirmu saat kau kecup bibirku. Aku pun masih ingat
bagaimana aku mati-matian menahan isak saat aku tak kau anggap dan ada sosok
menarik di ruang pribadimu yang tak pernah aku kenal
siapa dia.
Lebih-lebih saat aku bertanya, apakah kita selama ini? Jawabanmu menusuk ulu
hati. Kuputuskan untuk pergi dan berlari.
Kuasingkan
diri. Menyingkir darimu dan dari duniamu yang membuatku dihantui rasa tak
berarti. Kupilih sosok laki-laki yang bersedia menemani dan mengisi
hari-hariku. Mengikis kenangan dan ingatan tentangmu. Tapi kau justru
mencariku. Kupikir kau hanya sekadar ucapan maaf. Tak
kuacuhkan pintamu untuk berdialog denganku. Kusibukkan diri dengan fisik baru
yang bersedia membawa bunga dan rayuan semu. Ternyata aku lebih terluka
dibanding ketika bersamamu. Aku melarikan diri dengan racun beraroma. Membuat
tidurku nyenyak dengan jackpot dan
umpatan lepas.
Tapi
pelukanmulah yang selalu membuatku nyaman dan rindu untuk kembali. Kau sediakan
kembali bahu untukku bersandar. Aku menerima tanganmu yang menarikku dan
mengajakku berjalan beriringan. Tapi kembali, selalu ada yang tak kumengerti
tentang relasi dua manusia. Kau memang mampu menghadirkan bahu dan tangan, tapi
tak pernah kau sediakan telinga dan mata untuk menatapku yang ingin mendapat
perhatian. Aku tak butuh waktumu. Aku hanya ingin kau peduli. Tapi kau
menganggap aku kekanak-kanakan.
Kembali
sebuah kejadian membawaku untuk tertarik pada sosok baru yang menarik
perhatianku. Ia memberiku apa yang tak bisa kau berikan padaku. Ia menawarkan kesenangan
yang memabukkan. Ia menawarkan warna padaku yang merasa hitam-putih denganmu. Kau
kembali terhempas dari daftar hidupku. Kau berubah sebagai fatamorgana.
Terjangkau mata tetapi tanganku tak mampu menggenggam. Kepala kita berbenturan.
Kesemuan yang rasanya seperti menenggak minuman berkarbonasi.
Mural Arief Hadinata di Urban Gigs Marina Convention Center bulan Mei 2017 |
Sisi lain hatiku
mengatakan bahwa kaulah yang berhasil membuatku nyaman dan menghasilkan sebait
senyuman yang kunantikan. Kukembalikan lagi hati dan diriku padamu. Setelah dua
pekan kita menjadi musuh dan menghasilkan segala caci dan maki
karena berakhirnya hubungan. Hatiku memilihmu. Kutawarkan kompensasi agar kau
bersedia menghadirkanku di tengah keluargamu. Kau terima dengan sejuta
pertimbangan dan harapan bahwa hubungan kita adalah mengikat dua
keluarga.
Keluargamu menerimaku dan menyukaiku. Mereka tak keberatan. Bahkan setiap kau
pulang, selalu mereka menanyakan kealpaanku yang tak bisa turut berkunjung.
Kita pun
menjalani delapan belas bulan tanpa ada masalah. Hanya terbentur pada ego dan
ketidakmengertian kita yang sulit diungkapkan sebagai wacana. Segala kekacauan
pada diri dan lingkungan membawa kita pada sengketa. Hal yang sebenarnya tak perlu
menjadi pokok pertikaian, tetapi akhirnya menggiring kita pada titik yang
melelahkan. Terlebih setelah dialog tak sudi mampir pada kita yang juga tak berkenan
saling membagi telinga, lidah, dan mata. Jenuh: inilah
kata yang rasanya tepat. Menyongsong dua puluh sekian bulan bersama dengan mata
yang sama, sosok yang sama, dan yang paling menjemukan adalah masalah yang sama
dan tak pernah mencapai antiklimaks. Selalu sebuah pertikaian diakhiri dengan
kau yang melenggang pergi dan menganggap semua perkara usai dengan bungkam.
Kembali bertemu mata dan melupakan yang semalam menjadi pokok pertikaian.
Kusadari
kita tak bisa bersama. Terlalu memaksa bila akhirnya hanya membuang waktu dan
tenaga sia-sia. Segala tentangku tak bisa kau mengerti. Begitupun segala tentangmu
yang tak kumengerti. Telah kita kehilangan segala cerita tentang remaja yang
seharusnya masih bisa kukais dari sosokku dan sosokmu yang belum terlalu matang
untuk dikatakan dewasa. Romantisme, kejutan, kata sayang, pujian, rayuan, dan
segalanya telah luput dari bumbu hubungan dua manusia. Tentang kita yang terlalu
mementingkan logika dan efisiensi.
“Nggak
penting dan buang waktu. Mending cari uang dan bikin prestasi.” Itulah
jawabanmu saat aku merengek untuk menyaksikan penampilan Maliq and d’Essentials.
Atau saat berulang tahun dan aku meminta sebuah kue tart padamu, kau hanya
menjawab tak memiliki uang. Bahkan saat aku sakit, tak kau hiraukan aku yang
menangis kesepian. Kupendam sedih dan dendam dalam hati. Atau saat kau dengan
arogan mengatakan bahwa maaf dan terima kasih tak perlu disampaikan olehmu
untukku karena selama ini akulah yang membutuhkanmu. Kuelus dada dan mengusap
air mata. Walaupun memang begitulah fakta. Tapi minimal, kenankanlah bibirmu
tak berucap yang membuat lukaku semakin menganga.
Sosoknya
hanyalah sebuah momen. Toh aku pun sadar ia hanya sebagai pariwara dalam hidup.
Mengucapkan permisi dan pergi dalam kedipan mata. Ia memang sempat menawan
separuh hatiku. Hanya sempat menawan
dan kutarik kembali hatiku saat sadar lebih sia-sia memberi hati pada sosok
yang tak kumengerti. Separuh hatiku yang lain telah kau miliki dan tak akan
mungkin kuminta kembali.
“Bisakah
kau hentikan kebiasaanmu bermain api? Tak sadarkah bahwa itu berbahaya dan
menyakitkan. Kenapa terus kau ulangi?”
Kutatap
matanya lekat. Memfokuskan pandanganku padanya agar ia dapat melihat setiap
gerak bibirku. “Aku suka kompetisi. Aku pun sangat menikmati saat orang
memperebutkanku dan bersaing untuk mendapatkanku.”
Kumatikan
puntung rokok dan berjalan menuju kamar mandi. Tak peduli ia yang menendang
meja dan membanting gelas.
Semarang,
8 Mei 2012
5:51:55
AM
Mengeja
hati yang sulit dimaknai.
No comments:
Post a Comment