Tuesday 16 September 2014

S E L A M A T T I D U R , M I M P I



Aku menunduk. Tak bisa kutatap lekat bola matanya. Hanya mencuri-curi pandang dan mengalihkan fokus dengan objek lain yang bisa ditangkap retina mata. Aku masih agak mengantuk karena baru mengumpulkan nyawaku. Ia mengagetkanku saat aku separuh terjaga dari tidurku, lalu mengatakan bahwa ia telah membuktikan apa yang selama ini telah disangkakan tengah terjadi padaku. Ia memainkan ponselku dengan tatapan ambigu—sulit kutafsirkan maksud dari air mukanya. Tentu tak lupa senyum sinis dan angkuh yang tak pernah ia tanggalkan.
Sayang, sebelum sempat berucap, telah berurai segala kepedihan. Aku semakin tergagap. Ponselku ada pada genggaman tangannya. Aku cukup bisa mencerna makna genggamannya. Sekuat tenaga menahan untuk tidak melempar atau menghancurkan ponsel pintar pembawa petaka. Atau menamparku, bahkan mungkin ia bisa saja memukulku saat ini juga. Aku bersandar hanya pada tembok kamar dan memeluk bantal. Masih kututupi separuh tubuhku dengan selimut karena siang terlalu dingin untuk dikatakan sudah siang.
“Apa yang harus aku lakukan untuk bisa membuatmu mengerti? Bukankah aku telah bertahan dari sejuta perih tak terperi yang kau timpakan? Kenapa masih kau ulang kesalahan yang sama? Siapa aku di matamu?”
Kuambil sebatang rokok. Mengisap. Menawarkan padanya batang-batang rokok pasrah dalam bungkus—tak lupa korek. Kulihat kulkas, kubuka, dan kuambilkan sekaleng bir. Kuajak ia untuk menikmati gelembung bir, tapi ia menggeleng. Kutatap tembok kamar. Hampa. Tak ada rasa. Menahan gejolak tak kumengerti akibat tersadar dari mimpi dan mendengarnya bergumam macam-macam yang tentu juga tak kupahami.
“Kalau memang harus berakhir, akhiri dengan bijak. Aku ingin kita menjadi kawan, bukan sebagai lawan. Sekalipun hati sempat tertawan.” Aku memaksakan untuk tersenyum. Memberi penguatan hati untuk diri sendiri. Berharap ia pun menikmati cahaya keluguanku.
“Kamu bisa mengatakan itu tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain. Kita telah menjalani tiga puluh bulan bersama. Dengan segala kesedihan dan kesusahan. Dan aku pun telah memberitahumu bahwa kedua orang tuaku sangat menyayangimu. Aku menerima segala masa lalu dan kepahitmu. Apalagi yang harus kuperbuat? Kurang cukupkah segala pengertian dan pertahananku?”
Kuputar kembali semua memori otakku tentangmu. Bukan, tentang kita. Awal perkenalan kita di sebuah acara kampus. Saat kau dan teman-temanmu menikmati botol-botol alkohol dan kau menggodaku. Menanyakan namaku dan meminta nomor ponselku. Lalu kita mulai saling mengenal. Mengisi sisa remaja dengan segala kekonyolan. Menertawakan segala kepedihan hidup yang selama ini kita pendam.
Aku masih mengingat manisnya bibirmu saat kau kecup bibirku. Aku pun masih ingat bagaimana aku mati-matian menahan isak saat aku tak kau anggap dan ada sosok menarik di ruang pribadimu yang tak pernah aku kenal siapa dia. Lebih-lebih saat aku bertanya, apakah kita selama ini? Jawabanmu menusuk ulu hati. Kuputuskan untuk pergi dan berlari.
Kuasingkan diri. Menyingkir darimu dan dari duniamu yang membuatku dihantui rasa tak berarti. Kupilih sosok laki-laki yang bersedia menemani dan mengisi hari-hariku. Mengikis kenangan dan ingatan tentangmu. Tapi kau justru mencariku. Kupikir kau hanya sekadar ucapan maaf. Tak kuacuhkan pintamu untuk berdialog denganku. Kusibukkan diri dengan fisik baru yang bersedia membawa bunga dan rayuan semu. Ternyata aku lebih terluka dibanding ketika bersamamu. Aku melarikan diri dengan racun beraroma. Membuat tidurku nyenyak dengan jackpot dan umpatan lepas.
Tapi pelukanmulah yang selalu membuatku nyaman dan rindu untuk kembali. Kau sediakan kembali bahu untukku bersandar. Aku menerima tanganmu yang menarikku dan mengajakku berjalan beriringan. Tapi kembali, selalu ada yang tak kumengerti tentang relasi dua manusia. Kau memang mampu menghadirkan bahu dan tangan, tapi tak pernah kau sediakan telinga dan mata untuk menatapku yang ingin mendapat perhatian. Aku tak butuh waktumu. Aku hanya ingin kau peduli. Tapi kau menganggap aku kekanak-kanakan.
Kembali sebuah kejadian membawaku untuk tertarik pada sosok baru yang menarik perhatianku. Ia memberiku apa yang tak bisa kau berikan padaku. Ia menawarkan kesenangan yang memabukkan. Ia menawarkan warna padaku yang merasa hitam-putih denganmu. Kau kembali terhempas dari daftar hidupku. Kau berubah sebagai fatamorgana. Terjangkau mata tetapi tanganku tak mampu menggenggam. Kepala kita berbenturan. Kesemuan yang rasanya seperti menenggak minuman berkarbonasi.
Mural Arief Hadinata di Urban Gigs Marina Convention Center bulan Mei 2017
Sisi lain hatiku mengatakan bahwa kaulah yang berhasil membuatku nyaman dan menghasilkan sebait senyuman yang kunantikan. Kukembalikan lagi hati dan diriku padamu. Setelah dua pekan kita menjadi musuh dan menghasilkan segala caci dan maki karena berakhirnya hubungan. Hatiku memilihmu. Kutawarkan kompensasi agar kau bersedia menghadirkanku di tengah keluargamu. Kau terima dengan sejuta pertimbangan dan harapan bahwa hubungan kita adalah mengikat dua keluarga. Keluargamu menerimaku dan menyukaiku. Mereka tak keberatan. Bahkan setiap kau pulang, selalu mereka menanyakan kealpaanku yang tak bisa turut berkunjung.
Kita pun menjalani delapan belas bulan tanpa ada masalah. Hanya terbentur pada ego dan ketidakmengertian kita yang sulit diungkapkan sebagai wacana. Segala kekacauan pada diri dan lingkungan membawa kita pada sengketa. Hal yang sebenarnya tak perlu menjadi pokok pertikaian, tetapi akhirnya menggiring kita pada titik yang melelahkan. Terlebih setelah dialog tak sudi mampir pada kita yang juga tak berkenan saling membagi telinga, lidah, dan mata. Jenuh: inilah kata yang rasanya tepat. Menyongsong dua puluh sekian bulan bersama dengan mata yang sama, sosok yang sama, dan yang paling menjemukan adalah masalah yang sama dan tak pernah mencapai antiklimaks. Selalu sebuah pertikaian diakhiri dengan kau yang melenggang pergi dan menganggap semua perkara usai dengan bungkam. Kembali bertemu mata dan melupakan yang semalam menjadi pokok pertikaian.
Kusadari kita tak bisa bersama. Terlalu memaksa bila akhirnya hanya membuang waktu dan tenaga sia-sia. Segala tentangku tak bisa kau mengerti. Begitupun segala tentangmu yang tak kumengerti. Telah kita kehilangan segala cerita tentang remaja yang seharusnya masih bisa kukais dari sosokku dan sosokmu yang belum terlalu matang untuk dikatakan dewasa. Romantisme, kejutan, kata sayang, pujian, rayuan, dan segalanya telah luput dari bumbu hubungan dua manusia. Tentang kita yang terlalu mementingkan logika dan efisiensi.
“Nggak penting dan buang waktu. Mending cari uang dan bikin prestasi.” Itulah jawabanmu saat aku merengek untuk menyaksikan penampilan Maliq and d’Essentials. Atau saat berulang tahun dan aku meminta sebuah kue tart padamu, kau hanya menjawab tak memiliki uang. Bahkan saat aku sakit, tak kau hiraukan aku yang menangis kesepian. Kupendam sedih dan dendam dalam hati. Atau saat kau dengan arogan mengatakan bahwa maaf dan terima kasih tak perlu disampaikan olehmu untukku karena selama ini akulah yang membutuhkanmu. Kuelus dada dan mengusap air mata. Walaupun memang begitulah fakta. Tapi minimal, kenankanlah bibirmu tak berucap yang membuat lukaku semakin menganga.
Sosoknya hanyalah sebuah momen. Toh aku pun sadar ia hanya sebagai pariwara dalam hidup. Mengucapkan permisi dan pergi dalam kedipan mata. Ia memang sempat menawan separuh hatiku. Hanya sempat menawan dan kutarik kembali hatiku saat sadar lebih sia-sia memberi hati pada sosok yang tak kumengerti. Separuh hatiku yang lain telah kau miliki dan tak akan mungkin kuminta kembali.
“Bisakah kau hentikan kebiasaanmu bermain api? Tak sadarkah bahwa itu berbahaya dan menyakitkan. Kenapa terus kau ulangi?”
Kutatap matanya lekat. Memfokuskan pandanganku padanya agar ia dapat melihat setiap gerak bibirku. “Aku suka kompetisi. Aku pun sangat menikmati saat orang memperebutkanku dan bersaing untuk mendapatkanku.”
Kumatikan puntung rokok dan berjalan menuju kamar mandi. Tak peduli ia yang menendang meja dan membanting gelas.

Semarang, 8 Mei 2012
5:51:55 AM


Mengeja hati yang sulit dimaknai.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...