Kami
membisu. Kata-kata telah habis. Apa yang hendak kami bicarakan? Candaan macam
apa yang akan kami lontarkan? Kami putuskan untuk diam. Mengeja suasana dan bertatapan,
di samping mencuri pandang lalu memberikan pertanyaan lewat
lirikan dan dijawab dengan mengangkat bahu.
Sosok di
sana masih menjadi perhatian kami. Dia memang tampan. Maaf, aku bukan
kegenitan. Tapi aku tetap wanita normal yang bisa membedakan lelaki yang layak
diajak kencan atau hanya menjadi salah satu ciptaan.
“Sekarang
aja, Kak, keburu dia pulang.”
Kakak
masih memegang rokoknya. Ia bukan tak mendengar, tetapi tengah memusatkan
konsentrasi. Aku tahu dari caranya mengisap rokok, ia sangat tidak stabil. Kami
berharap cemas dan memohon untuk tak ada insiden. Kakak tertawa dengan santai
memperlihatkan dua gigi besarnya.
“Bentar
ya?” Kakak bangkit. Seketika wajah kami semua berubah. Panik tentunya. Tapi
kami pun berharap banyak dari peristiwa ini.
Kumulai
obrolan untuk mengalihkan pandangan kami yang sedari tadi terpusat pada meja
kecil itu. Mencoba mengendorkan urat kami yang terus tegang. Tapi tetap, kami
harus melirik meja itu lagi. Melihat Kakak yang tertawa dan berbincang dengan
sosok indah itu.
“Hah!”
Kakak melempar tubuhnya di kursi seberangku. Menghela nafas panjang. Kami
seperti tercekat. Tapi Kakak hanya membalas tatapan ingin tahu kami dengan
tertawa.
Kami pun
berbincang sendiri karena Kakak belum berniat membagi kejadian barusan dengan
kami. Memesan kopi, es, gorengan, nasi kucing, mie rebus, dan mie goreng untuk
makan malam kali ini. Kembali tertawa, menceritakan berbagai hal yang terjadi
di sekitar kami, membuka facebook,
mengetik SMS, tertawa dengan BBM yang diperoleh, dan tentu saja merokok.
“Ya.
Iya.” Mata kami tertuju dengan sumber suara. “Semua memang harus berakhir. Tak
ada yang harus ditunda.”
Mata
Kakak hanya tertuju pada cangkir di depannya. Kami menghentikan semua
aktivitas.
“Akulah
panglima yang kalah berperang.”
Kami
menunduk lesu. Tak tahu harus berbuat apa. Berkata pun rasanya tak ada yang
tepat untuk saat ini. Bungkam? Membiarkan hening menggelayut di bahu kami.
Sia-sia sudah perjuangannya. Mencoba menyatukan keping-keping hati. Aku
teringat bagaimana ia mencoba meyakinkan kami dengan argumennya. Bahkan ia
nekat melanggar nasihat orang tua. Semuanya demi yang benar-benar sudah membuat
hatinya takluk.
Tanpa
harus melakukan perjanjian atau menghubungi, kami kembali berkumpul. Di tempat
yang berbeda. Kontrakan Faisal. Tepat tengah malam kami justru membuat
kegaduhan. Kali ini kami sudah merencanakan untuk patungan membeli minuman.
Tolak galau mereka bilang. Kakak kami paksa ikut. Walaupun tanpa kami paksa ia
sudah pasti ikut karena malam ini ia tak memiliki acara.
Gelas sloki dan lima botol Vibe Leccy. Putaran kami mulai. Kali ini
sedang tidak galau, jadi aku menolak saat ditawari. Lagipula, aku pernah sekali bergabung dan seketika itu sandal Kakak
mendarat di kepalaku. Aku tak berani untuk berbuat aneh di dean Kakak. Tujuh
orang kecuali aku. Tinggal sebotol dan wajah mereka sudah memerah. Tapi putaran
tak boleh berhenti sampai habis tak bersisa. Bahkan kalau
perlu, bisa menambah botol dan baru berhenti setelah semua tak sadarkan diri.
“Yo,
merayakan perceraianku dengan Sarah!” Kakak bersuara dan kami bertepuk tangan.
Hanya aku sendiri yang wanita.
“Kenapa
tadi?”
Kakak
tertawa hambar. “Tak ada yang bisa diselamatkan, Kawan!”
Rifan
ganti tertawa. Matanya sudah merah. “Kenapa lagi Sarah? Rony, Teddy, ato
Firman?”
“Bukan
semua. Kali ini Prima.”
“Weitz…
Prima? Siapa lagi tuh?”
“Cowok
ganteng,” aku nimbrung.
“Oooooohh…
Prima anak hukum? Yang bawa Swift putih bukan?” Kali ini Chitoz bergabung
dengan obrolan kami.
“Tau
dari mana?”
“Sori
aja, Meks. Aku nggak pengen ganggu rumah tangga orang. Walaupun tau, aku
pura-pura aja nggak tau. Daripada serbasalah sendiri. Pura-pura bego aja.”
“Emang
kamu tau dari mana?” Wajah Kakak berubah. Aku tahu ia sedikit tidak
berkenan, tetapi ia pun harus menyadari bagaimana komitmen pertemanan antara
kami yang memang mencoba tak saling menggurui atau mencampuri.
“Sarah
nginep tempatku. Aku kan satu kos sama Prima.”
“Kapan?”
“Seminggu
yang lalu.”
“Sekarang?”
“Kurang tau. Dari tadi pagi aku belum pulang kos.”
“Kemarin dia nginep tempatmu? Maksudku, Sarah nginep tempat Prima?”
Chitoz mengangguk.
Kakak
diam beberapa saat. Ketika bangkit, tangan kami menahannya dan aku bagian mengamankan
kunci motor.
“Plis,
Toz, temenin aku ke kosmu.” Wajah Kakak memerah. Suaranya getir.
Chitoz
memandang Kakak.
“Aku
nggak akan bikin resek. Janji.”
“Dek,
mending kamu ikut.” Chitoz menarikku. Firman
melemparkan kunci mobilnya padaku dan memastikan bahwa orang sadarlah yang
membawa Putihnya.
Sesampai
di kos Chitoz, ia menunjuk kamar yang dimaksud. Aku merasakan degub jantungku
berdetak lebih cepat dan tanganku berkeringat. Aku memegang lengan Kakak yang
menegang. Wajahnya pun kaku dan sama sekali tak menunjukkan wajah semenit yang
lalu. Chitoz mengode untuk diam dan tenang. Aku dan Kakak diminta bersembunyi di belakang tembok kamar. Chitoz
mengetuk pintu kamar tersebut.
“Siapa?”
“Chitoz.”
“Tunggu.”
Suara
kunci dibuka. “Ada apa?”
Kakak tiba-tiba
berpindah di samping Chitoz.
“Hai!”
Aku ikut
pindah, di belakang Chitoz.
“Boleh
numpang masuk?” Tanpa dipersilakan Kakak masuk. Prima tak bisa menahan.
Wajahnya pucat. Aku dan Chitoz di depan pintu kamar seperti membeku. Menunggu
adegan selanjutnya. Jantungku tercekat. Rasanya sepersekian detik nyawaku
tercabut dari ragaku.
“Gak
usah sembunyi. Aku tau kamu di sini. Sandalmu di depan lupa dimasukkan.” Aku
dan Chitoz melihat sandal jepit warna merah di samping pintu kamar.
Seseorang
keluar dari kamar mandi. Dengan rambut berantakan dan baju kusut. Tanpa sadar
aku dan Chitoz berpegangan tangan, saling membagi ketegangan. Nampaknya efek
alkohol sudah luntur akibat kejadian ini.
“Aku
nggak butuh alasan. Berpisah sekarang atau nanti sama aja. Ada baiknya kita
bicarakan ini baik-baik pada orang tua, daripada semua orang akhirnya tahu
kejadian yang sebenarnya.” Kakak mengajaknya bersalaman. Tetapi Sarah tak
segera membalas. Ia justru menangis, hendak memeluk Kakak. Kakak menghindar.
“Prima,
aku nitip Sarah. Aku memang bukan suami yang baik sampai dia seperti ini. Tapi
aku berusaha jadi sahabat yang baik. Kalo sampe terjadi sesuatu dengan Sarah,
aku orang pertama yang bakal membuat hidungmu patah.” Kakak menyalami Prima dan
permisi pulang. Aku dan Chitoz membuntut di belakang.
“Meks,
kamu baik-baik aja kan?”
Aku
menghentikan mobil saat Chitoz memberi tahu bahwa Kakak menangis.
“Mending
jangan gabung ama anak-anak dulu, daripada gempar,” saranku.
Chitoz
mengerti dan kami pun meluncur ke sebuah minimarket. Chitoz masuk untuk membeli
enam kaleng susu murni dan beberapa makanan ringan. Kakak meminta bir tapi kami
memohon untuk tidak saat ini. Kami meluncur ke
depan sebuah bengkel yang senyap. Membuka pintu mobil, menikmati musik,
cemilan, susu, dan rokok.
“Aku nggak
percaya bahwa pernikahan yang kuanggap bisa membuatku dan Sarah menjadi lebih
baik, justru menghancurkan kami berdua. Harusnya aku sadar kami tidak siap
berkomitmen. Aku emang goblog! Pernikahan bukan cuma urusan seks, tapi banyak
hal dan banyak pertimbangan. Dan…”
Aku dan
Chitoz diam, membiarkan Kakak menangis. Melihat sisi lain Kakak yang sudah enam bulan
lebih mencoba tegar dengan semua yang terjadi pada rumah tangganya. Kini ia
meratapi mahligai yang baru seumur jagung. Meratapi istri yang dulu selalu
dibanggakan. Menjilat ajakan bahwa menikah dini mampu menghindari dosa. Di
antara semua kefatalan itu adalah bahwa ia tak mampu membuktikan pada kedua
orang tua perihal istri yang mampu memberinya ketenangan hati.
Menikah
bukan hanya urusan kelamin, Kawan!
18 April
2012
10:43:00
p.m.
No comments:
Post a Comment