Tuesday 16 September 2014

K A M I D I S I N I , K A K !



Kami membisu. Kata-kata telah habis. Apa yang hendak kami bicarakan? Candaan macam apa yang akan kami lontarkan? Kami putuskan untuk diam. Mengeja suasana dan bertatapan, di samping mencuri pandang lalu memberikan pertanyaan lewat lirikan dan dijawab dengan mengangkat bahu.
Sosok di sana masih menjadi perhatian kami. Dia memang tampan. Maaf, aku bukan kegenitan. Tapi aku tetap wanita normal yang bisa membedakan lelaki yang layak diajak kencan atau hanya menjadi salah satu ciptaan.
“Sekarang aja, Kak, keburu dia pulang.”
Kakak masih memegang rokoknya. Ia bukan tak mendengar, tetapi tengah memusatkan konsentrasi. Aku tahu dari caranya mengisap rokok, ia sangat tidak stabil. Kami berharap cemas dan memohon untuk tak ada insiden. Kakak tertawa dengan santai memperlihatkan dua gigi besarnya.
“Bentar ya?” Kakak bangkit. Seketika wajah kami semua berubah. Panik tentunya. Tapi kami pun berharap banyak dari peristiwa ini.
Kumulai obrolan untuk mengalihkan pandangan kami yang sedari tadi terpusat pada meja kecil itu. Mencoba mengendorkan urat kami yang terus tegang. Tapi tetap, kami harus melirik meja itu lagi. Melihat Kakak yang tertawa dan berbincang dengan sosok indah itu.
“Hah!” Kakak melempar tubuhnya di kursi seberangku. Menghela nafas panjang. Kami seperti tercekat. Tapi Kakak hanya membalas tatapan ingin tahu kami dengan tertawa.
Kami pun berbincang sendiri karena Kakak belum berniat membagi kejadian barusan dengan kami. Memesan kopi, es, gorengan, nasi kucing, mie rebus, dan mie goreng untuk makan malam kali ini. Kembali tertawa, menceritakan berbagai hal yang terjadi di sekitar kami, membuka facebook, mengetik SMS, tertawa dengan BBM yang diperoleh, dan tentu saja merokok.
“Ya. Iya.” Mata kami tertuju dengan sumber suara. “Semua memang harus berakhir. Tak ada yang harus ditunda.”
Mata Kakak hanya tertuju pada cangkir di depannya. Kami menghentikan semua aktivitas.
“Akulah panglima yang kalah berperang.”
Kami menunduk lesu. Tak tahu harus berbuat apa. Berkata pun rasanya tak ada yang tepat untuk saat ini. Bungkam? Membiarkan hening menggelayut di bahu kami. Sia-sia sudah perjuangannya. Mencoba menyatukan keping-keping hati. Aku teringat bagaimana ia mencoba meyakinkan kami dengan argumennya. Bahkan ia nekat melanggar nasihat orang tua. Semuanya demi yang benar-benar sudah membuat hatinya takluk.
Manual painting karya Arief Hadinata

Tanpa harus melakukan perjanjian atau menghubungi, kami kembali berkumpul. Di tempat yang berbeda. Kontrakan Faisal. Tepat tengah malam kami justru membuat kegaduhan. Kali ini kami sudah merencanakan untuk patungan membeli minuman. Tolak galau mereka bilang. Kakak kami paksa ikut. Walaupun tanpa kami paksa ia sudah pasti ikut karena malam ini ia tak memiliki acara.
Gelas sloki dan lima botol Vibe Leccy. Putaran kami mulai. Kali ini sedang tidak galau, jadi aku menolak saat ditawari. Lagipula, aku pernah sekali bergabung dan seketika itu sandal Kakak mendarat di kepalaku. Aku tak berani untuk berbuat aneh di dean Kakak. Tujuh orang kecuali aku. Tinggal sebotol dan wajah mereka sudah memerah. Tapi putaran tak boleh berhenti sampai habis tak bersisa. Bahkan kalau perlu, bisa menambah botol dan baru berhenti setelah semua tak sadarkan diri.
“Yo, merayakan perceraianku dengan Sarah!” Kakak bersuara dan kami bertepuk tangan. Hanya aku sendiri yang wanita.
“Kenapa tadi?”
Kakak tertawa hambar. “Tak ada yang bisa diselamatkan, Kawan!”
Rifan ganti tertawa. Matanya sudah merah. “Kenapa lagi Sarah? Rony, Teddy, ato Firman?”
“Bukan semua. Kali ini Prima.”
“Weitz… Prima? Siapa lagi tuh?”
“Cowok ganteng,” aku nimbrung.
“Oooooohh… Prima anak hukum? Yang bawa Swift putih bukan?” Kali ini Chitoz bergabung dengan obrolan kami.
“Tau dari mana?”
“Sori aja, Meks. Aku nggak pengen ganggu rumah tangga orang. Walaupun tau, aku pura-pura aja nggak tau. Daripada serbasalah sendiri. Pura-pura bego aja.”
“Emang kamu tau dari mana?” Wajah Kakak berubah. Aku tahu ia sedikit tidak berkenan, tetapi ia pun harus menyadari bagaimana komitmen pertemanan antara kami yang memang mencoba tak saling menggurui atau mencampuri.
“Sarah nginep tempatku. Aku kan satu kos sama Prima.”
“Kapan?”
“Seminggu yang lalu.”
“Sekarang?”
“Kurang tau. Dari tadi pagi aku belum pulang kos.”
“Kemarin dia nginep tempatmu? Maksudku, Sarah nginep tempat Prima?”
Chitoz mengangguk.
Kakak diam beberapa saat. Ketika bangkit, tangan kami menahannya dan aku bagian mengamankan kunci motor.
“Plis, Toz, temenin aku ke kosmu.” Wajah Kakak memerah. Suaranya getir.
Chitoz memandang Kakak.
“Aku nggak akan bikin resek. Janji.”
“Dek, mending kamu ikut.” Chitoz menarikku. Firman melemparkan kunci mobilnya padaku dan memastikan bahwa orang sadarlah yang membawa Putihnya.
Sesampai di kos Chitoz, ia menunjuk kamar yang dimaksud. Aku merasakan degub jantungku berdetak lebih cepat dan tanganku berkeringat. Aku memegang lengan Kakak yang menegang. Wajahnya pun kaku dan sama sekali tak menunjukkan wajah semenit yang lalu. Chitoz mengode untuk diam dan tenang. Aku dan Kakak diminta bersembunyi di belakang tembok kamar. Chitoz mengetuk pintu kamar tersebut.
“Siapa?”
“Chitoz.”
“Tunggu.”
Suara kunci dibuka. “Ada apa?”
Kakak tiba-tiba berpindah di samping Chitoz.
“Hai!”
Aku ikut pindah, di belakang Chitoz.
“Boleh numpang masuk?” Tanpa dipersilakan Kakak masuk. Prima tak bisa menahan. Wajahnya pucat. Aku dan Chitoz di depan pintu kamar seperti membeku. Menunggu adegan selanjutnya. Jantungku tercekat. Rasanya sepersekian detik nyawaku tercabut dari ragaku.
“Gak usah sembunyi. Aku tau kamu di sini. Sandalmu di depan lupa dimasukkan.” Aku dan Chitoz melihat sandal jepit warna merah di samping pintu kamar.
Seseorang keluar dari kamar mandi. Dengan rambut berantakan dan baju kusut. Tanpa sadar aku dan Chitoz berpegangan tangan, saling membagi ketegangan. Nampaknya efek alkohol sudah luntur akibat kejadian ini.
“Aku nggak butuh alasan. Berpisah sekarang atau nanti sama aja. Ada baiknya kita bicarakan ini baik-baik pada orang tua, daripada semua orang akhirnya tahu kejadian yang sebenarnya.” Kakak mengajaknya bersalaman. Tetapi Sarah tak segera membalas. Ia justru menangis, hendak memeluk Kakak. Kakak menghindar.
“Prima, aku nitip Sarah. Aku memang bukan suami yang baik sampai dia seperti ini. Tapi aku berusaha jadi sahabat yang baik. Kalo sampe terjadi sesuatu dengan Sarah, aku orang pertama yang bakal membuat hidungmu patah.” Kakak menyalami Prima dan permisi pulang. Aku dan Chitoz membuntut di belakang.

“Meks, kamu baik-baik aja kan?”
Aku menghentikan mobil saat Chitoz memberi tahu bahwa Kakak menangis.
“Mending jangan gabung ama anak-anak dulu, daripada gempar,” saranku.
Chitoz mengerti dan kami pun meluncur ke sebuah minimarket. Chitoz masuk untuk membeli enam kaleng susu murni dan beberapa makanan ringan. Kakak meminta bir tapi kami memohon untuk tidak saat ini. Kami meluncur ke depan sebuah bengkel yang senyap. Membuka pintu mobil, menikmati musik, cemilan, susu, dan rokok.
“Aku nggak percaya bahwa pernikahan yang kuanggap bisa membuatku dan Sarah menjadi lebih baik, justru menghancurkan kami berdua. Harusnya aku sadar kami tidak siap berkomitmen. Aku emang goblog! Pernikahan bukan cuma urusan seks, tapi banyak hal dan banyak pertimbangan. Dan…”
Aku dan Chitoz diam, membiarkan Kakak menangis. Melihat sisi lain Kakak yang sudah enam bulan lebih mencoba tegar dengan semua yang terjadi pada rumah tangganya. Kini ia meratapi mahligai yang baru seumur jagung. Meratapi istri yang dulu selalu dibanggakan. Menjilat ajakan bahwa menikah dini mampu menghindari dosa. Di antara semua kefatalan itu adalah bahwa ia tak mampu membuktikan pada kedua orang tua perihal istri yang mampu memberinya ketenangan hati.

Menikah bukan hanya urusan kelamin, Kawan!
18 April 2012
10:43:00 p.m.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...