Tuesday 3 November 2015

A K U

Hai, namaku Aya. Nama lengkapku Aya Purwandaru. Aku duduk di kelas X SMA 1 Milkyway. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku memiliki dua orang kakak, perempuan dan lelaki. Kakak perempuanku bernama Alanda yang sudah bekerja di kantor pemerintah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun tetapi ia belum menikah. Ia tak pernah membawa pacarnya ke rumah tetapi ia sering menghilang ketika sedang ada cuti bersama. Aku mulai mengamati kebiasaannya ketika aku menginjak kelas 4 SD. Kakak lelakiku bernama Deno yang tengah menempuh pendidikan di kota Bimasakti. Ia sangat cerdas dan pendiam. Ia lulus cum laude dan kali ini tengah melanjutkan S2. Tapi ia menyebalkan karena tidak pernah membelikanku pisang bolen Kartikasari sebagai oleh-olehnya pulang kampung. Ia mau membelikan kalau Ibu atau Ayah berpesan padanya dan mengirimkan tambahan uang jajan. Aku masih tinggal dengan Ibuku yang bernama Sutini dan Ayah yang bernama Soemarno dan keduanya sudah pensiun dari Pegawai Negeri Sipil ketika aku SMP kelas VII.
Rambutku kriting dengan poni yang tak pernah rata sejak kelas 2 SD karena kebiasaanku memotong poni sendiri di depan cermin. Aku menikmati ketika membentuk pola di atas keningku, lalu memilin rambutku, dan memotongnya lurus. Aku belajar melakukannya dari membaca majalah remaja lama milik kakak perempuanku yang terkumpul di gudang. Aku suka memotong poni dengan gunting baru yang masih tajam. Kadang aku suka membuatnya terlihat dramatis dengan memberikan kesan sasak menggunakan pisau pencukur jenggot milik Ayah. Ibu senang mengomel-ngomel dan menyuruhku untuk minta diantar ke salon kalau ingin memotong rambut. “Jangan suka memotong rambut sendiri. Pamali!” Begitu pesan ibu setiap kali aku senyam-senyum dengan poni baruku.
Aku sudah tahu kalian pasti akan bertanya mengenai maksud namaku Aya Purwandaru sementara aku sendiri anak bungsu. Sejak kelas IV SD, aku kerap mendapat pertanyaan dari guru dan kawan-kawanku hingga orang tua kawan-kawanku. “Namanya Aya Purwandaru kok anak bungsu? Purwa kan artinya pertama.” Kurang lebih begitulah komentar mereka. Jawabanku hanya cengar-cengir aja. Nama kakak perempuanku Adi Alanda Dewi Sitoresmi. Sedangkan kakak lelakiku Yuli Handeno Subakti. Orang tuaku sangat nyentrik dalam memberi nama, itulah pendapatku.


Ketika aku kelas VIII, guru Bahasa Inggris memintaku bercerita tentang diriku sendiri dan mengenai arti namaku. Aku sangat suka tugas dari Bu Inggrid. Aku bertanya pada Ibu ketika sedang menyiram tanaman di teras, Ibu justru menangis. Aku bertanya pada Ayah yang sedang mengobrol dengan salah satu koleksi perkututnya, Ayah malah marah dan menghukumku dengan pemukul kasur. Kedua orang tuaku tak ada yang memberikan jawaban atas pertanyaanku dan itu berarti aku belum bisa mengerjakan tugas bahasa Inggris dari Bu Inggrid. Aku putus asa dan sedih. Aku tak mau terlihat pemalas dan tidak mengerjakan tugas. Aku suka ketika guru memujiku rajin dan pintar. Aku suka ketika guru meminta tunjuk tangan dan aku selalu paling semangat mengangkat tanganku. Entah itu untuk membaca tugas di depan kelas, menjawab pertanyaan, memberi pertanyaan, atau untuk memberi tahu aku ingin ke toilet.
Aku menceritakan kegundahanku pada Mas Deno yang kebetulan tengah libur kuliah dan ada di rumah. Ia mengatakan lebih baik bertanya pada Mba Alanda. Awalnya aku takut karena aku selalu merasa tidak disayang oleh Mba Alanda. Ia sangat galak, ketus, dan imajinasiku tentang kakak perempuan yang memanjakan dan menyayangi adik perempuan, sama sekali tak ada pada dirinya. Ketika kuutarakan masalahku padanya, ia justru mengajakku jalan-jalan di Mall dan kami makan es krim di McD. Kami duduk dan bercerita panjang-lebar. Setelah menjadi adiknya selama 13 tahun, baru kali ini aku mengenal Mba Alanda. Ia tertarik dengan ceritaku dan kawan-kawanku. Aku juga senang karena ketika di Mall aku dibelikan ikat rambut, tas selempang warna merah, lalu sebuah topi warna putih.
Tiba-tiba datang laki-laki mendekati meja kami. Aku kaget setengah mati ia nampak besar dan tiba-tiba sudah berdiri di samping meja dengan suara sapaan yang berat. Mba Alanda menyuruhku menyalami lelaki berkacamata yang wajahnya tak asing untukku. “Panggil dia Papah, Sayang.”
Mural Arief Hadinata di Mr. K Cafe Kedungmundu Kota Semarang yang rampung sekitar April 2018
Sejak kecil cita-citaku menjadi pemilik restoran. Aku suka makan, aku suka memasak, aku suka berbelanja, dan aku suka uang. Ketika SD, aku memiliki semua permainan masak-masakan dari plastik. Menginjak SMP, aku minta dibelikan kompor gas portable untuk memasak pisang goreng dan tempe goreng ketika kawan-kawan berkunjung ke rumah. Aku dipercaya Ibu untuk membantu Mbak Mi memasak makan malam. Aku selalu membuat roll sushi ketika waktu makan, sekalipun menu malam itu kadang sup ayam atau soto babat.
Awal SMA dan menyerahkan proposal untuk membuka usaha restoran Jepang, Ayah, Ibu, kakak perempuan, dan Papah tak satupun menganggukkan kepala. Padahal aku sangat bangga dengan inovasiku. Aku sedang menyosialisasikan roll sushi kombinasi dengan bahan-bahan khas Indonesia. Misal roll sushi dengan menggunakan tempe, tahu, sambel trasi, sambel kacang, dan sayuran seperti: sawi putih, caesim, taoge, bayam, wortel, tomat, dan kuhiasi dengan garnish daun kemangi, kol, dan timun. Hanya kakak lelaki yang mendukungku dengan komentar, “Kok kayak pecel digulung?”
Aku suka uban. Sejak kecil aku terbiasa dengan uban. Saat awal sekolah dasar, Ibu mengajariku menggunakan pinset. Benda kecil dari logam inilah yang menurutku menjadi benda yang membuatku mengenal dunia lebih luas dibanding usiaku. Setiap hari Senin setelah pulang sekolah, aku selalu diminta Ibu mencabut ubannya. Ayah yang mengetahui, tak mau kalah. Beliau pun memintaku mencabuti ubannya tiap hari Selasa sepulang sekolah. Aku pun mendapat upah untuk ketelitianku mencari uban. Kadang berupa uang yang dimasukkan Ayah dan Ibu ke dalam celengan ayam jago. Beberapa kali Ibu dan Ayah menghadiahiku baju atau peralatan sekolah yang lucu. Aku selalu memamerkannya pada kawan-kawanku.
Pamorku sebagai pencabut inilah yang membuatku semakin mengenal dunia. Pakde, Bude, Bulik, Tante, Om, bahkan kedua kakakku suka sekali memintaku mencabuti uban mereka. Inilah kenapa kusebut aku bisa semakin mengenal dunia. Ketika aku mencabuti uban-uban mereka ketika hanya berdua, kami bercerita panjang lebar. Mengenai mereka ketika seusiaku, mengenai kehidupan mereka saat ini, mengenai lingkungan mereka, mengenai pengalaman mereka. Dari satu orang saja, dalam waktu satu hingga dua jam, aku bisa mendengar kisah yang mereka lalui selama satu, dua, sepuluh, lima belas, hingga tiga puluh tahun. Belum lagi ketika kumpul keluarga saat hari raya. Kebahagiaanku tak hanya karena aku mendapat angpao Lebaran, tetapi juga uang tambahan jajan karena seluruh orang berkumpul dan memintaku untuk mencabut uban mereka bergiliran.
Seharian aku mencabuti uban dan mendengar cerita mereka. Bermacam orang, beragam mulut, dan belasan cerita meluncur. Ada cerita menyedihkan, ada cerita menyenangkan, ada cerita membahagiakan, semuanya aku mendengar. Aku semakin suka kegiatan mencabut uban. Aku suka sekali. Mereka bercerita tentang hal yang tak kutahu, menangis, tertawa, dan melakukan kekonyolan tanpa menyadari ada aku yang diam-diam tersenyum, tertawa, terharu, atau mencuri-curi lihat atas apa yang mereka lakukan. Mungkin aku orang yang pertama kali mengerti mengapa Bude Wahyu mengamuk ketika acara sungkeman. Aku pun tahu siapa sebenarnya Tante Tasya yang selalu pamer belahan dadanya padahal susunya kecil. Mungkin aku tahu lebih banyak dibanding sepupu-sepupuku (atau tante-budeku).
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017.


Kini, aku, Aya Purwandari, siswa kelas XI SMA 1 Milkyway mendeklarasikan bahwa aku ingin menjadi pencabut uban profesional. Aku akan mencari lembaga pendidikan yang dapat melegalkan keahlianku dalam mencabut uban. Aku ingin ada kompetisi atau pertandingan mencabut uban terbanyak, tercepat, dan terteliti di tingkat daerah, provinsi, nasional, maupun internasional. Aku yakin di dunia ini tak ada yang bisa selihai aku dalam mencari uban di antara ribuan helai rambut kepala. Sehalus tarikanku dalam mencabut uban sehingga orang tersebut tak merasa kesakitan atau kaget. Aku bahkan sedang belajar untuk tidak mengacak-acak rambut orang yang kucabut ubannya, justru membuat penampilannya berbeda dan lebih segar dibandingkan sebelum ubannya kucabut. Aku harus bisa menjadi pencabut uban yang lebih berbakat dari Hair Stylish dan akan membuat Oprah Winfrey berpikir untuk mencabutkan ubannya padaku dan memberiku kepercayaan untuk mengubah tatanan rambutnya yang monoton dan terkesan tua. Aku akan belajar menjadi penata rambut sejak dini dan lulus menjadi profesional dan mengambil pendidikan di luar negeri. Itulah janjiku dan komitmenku pada masa depanku.

Friday 9 October 2015

W A N I T A 1 0 0 1 M A L A M

Ialah wanitaku yang selalu menjemputku dengan senyuman ketika aku menginjakkan kaki di kediamannya. Ia selalu menyiapkan masakan yang sebelumnya telah ia tanyakan masakan jenis apa yang sedang kuinginkan. Aku selalu menjawab, sediakan saja sambal terasi, pete, dan kerupuk. Kadang ia menambahkan sayur lodeh atau sayur asam dan tempe, tahu, dan ikan asin sebagai kawan menu favoritku. Menu ini tak pernah usang, sekalipun hari menjelang berganti, tetap terasa nikmat.
Sebelum aku mengatakan bahwa aku akan datang, ia sudah memasak sepanci besar air panas untukku mandi. Ia juga sudah menyiapkan handuk dan pakaian dalamku di kamar mandi. Bersih dan wangi. Ia selalu menawarkan untuk menggosok punggungku saat mandi dan memberi pijaan saat aku mengeluh letih dan penat.
Menjelang tidur, ia menawarkan kecupan dan keluguan yang ia persembahkan untukku. Sepadat apapun aktivitasku ketika siang hari, ia selalu berhasil membuatku berjuang hingga fajar menjelang. Ia memberikan tanda lunas pada rasa capek dan kantukku yang luar biasa.
Setelah berpeluh dan melenguh, kami terbaring bersama di ranjang. Ia suka menempelkan kepalanya di dadaku, memainkan jemarinya di perutku sambil bercerita mengenai kesehariannya. Ia juga mendeskripsikan dengan gamblang pemikirannya, pendapatnya, dan berbagai hal yang ia ketahui ataupun yang ingin ia ketahui. Aku menyimak dan sesekali merespon ketika ia bertanya padaku walaupun pada beberapa kesempatan aku tertidur.
Sempat aku khawatir ia akan marah namun ia berbisik, “Aku adalah sutradara, penulis skenario, aktris, sekaligus pemeran utama. Kau adalah aktor dan tokoh protagonis pada cerita ini. Kita akan berakting untuk cerita 1001 malam. Selama 1001 malam, aku akan terus bercerita untukmu. Ini malam kita yang ke-47, masih ada 954 malam lagi. Hingga waktu itu tiba, aku akan terus membuaimu dengan tragedi dan komedi. Akan kuceritakan tentang skandal para penghuni kahyangan, kesalahan dewa-dewi, dosa orang-orang beriman, hingga rahasia para utusan Tuhan. Kita nikmati saja dulu perjalanan 1001 malam kita, sambil kusiapkan akhir cerita yang cocok untuk kita.”

Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung Juli 2017 dan jadi modal nikah.


Saat matahari sudah seperempat muncul, ia sudah menyiapkan sarapan. Segelas teh hangat, segelas air putih, dan sepiring pisang goreng. Ia menggodaku dengan memamerkan aroma tubuhnya yang berbalut kenanga dan memintaku untuk memberi kecupan di tengkuknya. Kali ini aku menolak. Aku mengatakan harus segera berangkat menuju sekolah anakku untuk mengambil rapor.

Sunday 9 August 2015

R E U N I

Manual painting karya Arief Hadinata


Hari ini aku ngambek pada Mama. Aku tak ingin keluar dari kamar. Aku tak ingin keluar rumah. Aku tak mau makan, tak akan melakukan aktivitas apapun. Aku ingin di dalam kamar saja. Titik. Ini bentuk pemogokanku atas keputusan Mama.
Tiga hari lagi akan diadakan reuni SMP. Aku sudah mengatakan bahwa aku akan membawa serta pacarku. Aku akan memamerkan pada teman-teman SMPku mengenai kegantengan pacarku. Ia juga sudah cukup mapan dengan bisnis yang ia kembangkan sendiri. Aku selalu memamerkan di Facebook dan Twitter tentang liburan kami di tempat-tempat indah di dalam dan di luar negeri. Aku memposting hadiah-hadiah dan kejutan romantisnya di Instagram. Tak ada yang lebih menyenangkan dibanding mengetahui bahwa aku mengalami kehidupan sempurna bersanding dengannya. Apa yang wanita inginkan di dunia, semua sudah aku dapatkan. Tinggal menunggu waktu bahagia untuk mempublikasikan rencana bahagia kami selanjutnya
Aku mengatakan pada Mama bahwa aku akan membawa pacarku pulang untuk menghadiri reuni SMP. Mama dengan tegas mengatakan tidak mengizinkan. Aku mengatakan bahwa kekasihku akan tinggal di hotel, Mama mengulang keputusan tegasnya. Aku meminta izin agar pacarku diperkenankan datang ke reuni SMP, Mama masih mengulang pendapat yang sama. Aku ingin memaksakan egoku namun aku selalu kalah dengan sebuah ritme sejak kecil di mana aku menjadi anak yang patuh dengan segala keputusan orang tua.
“Kak, makan ya?” Adikku mengetuk pintu kamarku
“Nggak.”
“Perlu aku belikan makan di luar?”
“Nggak usah.”
“Nanti kakak sakit.”
“Gak pa-pa. Biar mati sekalian.”
“Kakak…”
Lalu terdengar suara bisikan dan langkah menjauh dari kamarku. Aku merasa kehilangan dan kesepian namun aku tetap ingin sendiri. Ini mungkin bentuk pemogokanku. Namun ini juga merupakan bentukku mengintrospeksi diri. Separuh diriku selalu percaya pada alasan Mama untuk membuat keputusan adalah kebenaran. Aku tak pernah menyangsikan itu.
Aku masih ingat ketika baru lulus TK dan hendak masuk SD, aku menangis seharian di rumah karena aku tidak dimasukkan di sekolah yang sama dengan seorang sahabatku padahal aku sangat ingin bersekolah dengan sahabatku tersebut. Tanpa alasan Mama memasukkanku ke sebuah sekolah yang cukup jauh dan aku tak mengenal siapapun di sana. Namun setelah aku menjalani sekolah hingga SMA, aku sadar bahwa Mama menginginkan yang terbaik untukku. Mama memasukkanku ke sekolah bonafit dan di situlah aku mulai belajar mengenai tren, musik, idola, persaingan, dan gaya hidup. Tentu beserta positif dan negatifnya kehidupan anak-anak borjuis yang rata-rata tak pernah mengalami kekurangan.
Ya, menikmati kehidupan sekolah dengan orang-orang paling populer di sebuah kota kecil, memiliki relasi dengan orang-orang besar yang akhirnya membuatku memiliki kehidupan seperti sekarang ini, dan tentu mengenal segala selera bersosialisasi. Kehidupan ini berlanjut hingga aku SMP—SMA dan kuliah pun aku mengalami hal yang sama. Aku cukup minder dengan keadaanku sebagai anak yang tak masuk kualifikasi dari kalangan berada, tinggal dengan orang tua tunggal, tak memiliki uang saku yang cukup untuk pergi berjalan-jalan. Aku merasa seperti makhluk amphibi yang hidup di dua alam. Ketika berkumpul dengan rekan-rekanku di rumah, aku dianggap sebagai sosok yang cukup gemerlap karena bersekolah di tempat bonafit, dari keluarga yang bisa memenuhi kebutuhannya, dan kecerdasan sedikit di atas mereka. Namun ketika aku berada di lingkungan sekolah dan berkumpul dengan kawan-kawanku, aku merasa tak ubahnya alien. Aku hanyalah anak culun dengan pakaian yang sama sejak tiga tahun yang lalu, badan kurus, dekil, dan hitam, serta uang saku yang hanya mampu untuk membeli sebuah gorengan tempe. Berbeda dengan rekan-rekanku yang menjadikan sekolah tak ubahnya catwalk dan mall. Memamerkan apa yang dimiliki dan baru dibeli, menonjolkan diri sebagai orang paling, berbicara banyak hal tentang hal yang aku tak tahu itu apa.
Kehidupan semacam itu memacuku untuk bisa mencapai kehidupan seperti mereka. Aku harus berjuang untuk bisa menjadi seperti mereka. Mungkin secara materi aku tak mampu, maka aku akan mengejar ketinggalanku dalam hal intelektual. Aku menjadi anak yang cukup rajin di kelas. Beberapa anak mendekatiku. Mereka mengajakku bergabung dengan kelompok mereka. Aku cukup senang bisa bersama anak-anak favorit yang ketika kami berjalan selalu menarik perhatian. Aku menikmati ketika kelompokku menjadi adik kelas yang dimusuhi oleh kakak kelas karena salah satu anggota kelompokku disukai oleh kakak kelas yang anggaplah paling tampan. Aku menikmati ketika menjadi anak tengah di SMP dan bisa menghabisi adik kelas yang cukup membuat ulah dengan mencari gara-gara dengan kelompokku. Sekalipun aku sadar aku bukanlah sosok yang diperhitungkan untuk ditakuti atau dimusuhi. Aku merasa seperti seekor cicak di antara mereka yang indah dan menarik. Namun aku bahagia. Aku tahu aku hanya bagian pelopor mengerjakan tugas yang selanjutnya teman-teman kelompokku akan menyalin tugas yang sudah aku kerjakan.
Kini aku sudah lulus kuliah, bekerja dan merintis karier, lalu mulai untuk menjalin hubungan dewasa dengan pasanganku. Aku sudah bukan lagi anak SMP dengan seragam putih-biru. Kali ini aku ingin membalas beberapa kawan yang dulu sempat menghinaku, menganggapku remeh, atau bahkan dulu pernah membullyku karena aku sosok yang paling lemah dibandingkan yang lain dan layak menjadi media balas dendam.
Aku sudah memposting semua pencapaian hidupku. Kalau aku tidak memperlihatkan secara nyata di depan mereka mengenai apa yang aku miliki, aku hanya akan dianggap besar mulut dan tentu mereka akan menertawakanku habis-habisan.
“Kamu harusnya sudah tahu apa yang mama maksud dengan keputusan mama. Kamu sudah dewasa, Kak.” Mama mengetuk pintu kamar dengan meletakkan nampan di depan pintu kamar. Mungkin Mama meninggalkan makanan untukku.
Aku tak bergeming. Aku tak ingin menjawab apapun usaha Mama untuk dialog.. Hari ketiga pemogokanku sudah membuatku cukup lemas karena tak ada asupan makanan. Hanya air putih dan makanan kecil. Namun aku tak tergoda. Aku mendengar adikku memuji bagaimana enaknya soto ayam dengan bumbu tauco yang sudah Mama siapkan. Mereka pun mengatakan bahwa menu ini pasti disukai olehku. Aku ingin namun keinginanku untuk tetap mogok lebih besar daripada hasratku untuk turut mencicipi soto ayam buatan Mama.
“Masak iya kamu mau pamer ke teman-temanku kalau kamu itu lesbian?”

Berbicara dengan realita
Semarang, 29 Juli 2015 12:26 p.m.

Tuesday 28 July 2015

P E R N I K A H A N

Manual painting karya Arief Hadinata


Aku mendatangi kamar Lina saat sore hari, menjelang waktu berbuka puasa. Aku berniat meminta sebotol air minum karena isi galonku habis dan belum sempat membeli. Di kamar Lina, aku menyempatkan diri untuk mengobrol, bercerita ngalor-ngidul mengenai banyak hal. Aku menceritakan mengenai tingkah salah satu kawanku yang cukup menyebalkan, mengenai keluhanku, dan aku menyempatkan diri nyampah padanya, menceritakan segala hal yang aku alami dan aku pikirkan. Lina pun bercerita banyak hal dan ia mengatakan bahwa ia hamil.
Pada bulan Februari, Lina mengatakan sudah mengaborsi hasil hubungannya dengan lelaki menyebalkan dan tak bertanggung jawab dan hanya menganggap Lina sebagai pelampiasan. Dalam tempo kurang dari enam bulan, Lina sudah hamil kembali. Hanya kali ini ia tidak menangis seperti sebelumnya. Ia lebih tegarIa hamil dengan kekasihnya. Kekasihnya pun mengatakan bahwa ia bersedia bertanggung jawab dengan kehamilan Lina. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan pada orang tua kedua pihak. Kekasih Lina, Rio, memiliki usaha mandiri yang ia kelola di rumahnya. Lina baru menyelesaikan studinya. Ia hanya tinggal menunggu momen perayaan wisuda.
Ketika Lina dan Rio pacaran dan bertengkar, baik Lina maupun Rio dengan mudah mengatakan “PUTUS!” saat terjadi konflik atau permasalahan. Pernikahan tentu harus lebih bertanggung jawab karena tak hanya tentang relasi mereka, namun juga mengenai keluarga mereka masing-masing, lingkungan sosial, dan tentu anak mereka. Mereka harus berpikir lebih dewasa ketika menghadapi masalah. Aku meyakinkan Lina dengan keputusannya dan ia mengatakan bahwa ia mantap. Aku menanyakan hal tersebut bukan tanpa maksud. Aku ingin bisa memegang ucapan Lina sebagai sebuah ikrar. Bila suatu hari kedewasaan mereka diuji, aku akan mengingatkan Lina bagaimana ia sudah berani menempuh keputusan untuk mengarungi bahtera dengan Rio.
“Kamu harus sanggup menanggung segala konsekuensi. Bukan tentang pandangan masyarakat tentang status pernikahan kalian. Kalau urusan itu, abaikan saja. Toh sudah menjadi hal yang lumrah untuk masa ini. Sepahit apapun kamu menjalani kehidupan dengan Rio, dia yang kamu pilih sebagai sosok yang memimpinmu dan anakmu. Pernikahanmu merupakan kontrak mati hingga maut menjemput. Paham?” Lina mengangguk.
Aku cukup senang mendengar kabar salah seorang kawanku menemukan belahan jiwanya. Sebuah insiden yang akhirnya membuat mereka mengikat janji suci pernikahan. Lina mengatakan bahwa saat ini mungkin sebuah momen ketika Tuhan akhirnya mengganjar mereka yang tadinya bermain-main, kini mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku sempat meyakinkan keputusannya tentang pernikahan karena pernikahan tentu berbeda dengan pacaran. Ya, akhirnya, sebuah pernikahan. Siapa yang tak menginginkan pernikahan dalam kehidupannya? Bahkan ketika aku masih kanak-kanak dan duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, aku sudah terdoktrin dengan permainan rumah-rumahan di mana aku dan kawan-kawan membuat sebuah drama tanpa skenario mengenai kehidupan rumah tangga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak. Aku hanya menyarankan pada Lina untuk menjaga kehamilannya. Ia harus membiasakan diri untuk mengurangi rokok, mengurangi kopi, mengurangi kehidupan malamnya, dan lebih banyak mengonsumsi makanan, vitamin, dan susu yang baik untuk kandungannya.
Bahagia? Tentu. Namun sesaat aku merasa seperti kehilangan. Lina sahabatku. Ia yang selama ini menjadi tempatku berbagi, tempatku bercerita, menitipkan makan ketika aku malas untuk keluar rumah, meminta rokok ketika rokokku habis, bahkan ia yang memasak untukku ketika aku sibuk mengerjakan tugas. Bila ia menikah nanti, tak ada orang yang melakukan hal-hal tersebut untukku. Ia akan mengurus pernikahannya, tak lama kemudian ia akan mengurus persiapan kelahiran bagi anak pertamanya, dan ia juga akan mengurus bayi dan suaminya. Dan ia sudah tidak lagi bisa kuajak untuk nongkrong, ngebir, karaoke, bahkan aktivitas menggoda cowok-cowok di tempat nongkrong. Akhirnya, semua hanya menjadi cerita. Belum lagi kalau setelah menikah, seperti kebanyakan lelaki yang menambah tanggung jawab sebagai suami, akan sangat protektif pada istrinya. Aku tak bisa membayangkan bila suatu hari aku mengajak Lina untuk nongkrong, ia akan menjawab, “Duh, Mbak, gak bisa. Nggak boleh sama Rio.”. Walaupun ketika pacaran Lina sudah sering mengatakan hal klise semacam itu.
Bagiku, pernikahan merupakan sebuah pemakaman. Pemakaman bagi kenikmatan masa muda. Tak ada lagi keceriaan, tak ada lagi kebebasan, tak ada lagi tangis dan tawa bersama. Kehidupan akan berubah. Tujuan hidup yang awalnya bersenang-senang dan bersama kawan berubah menjadi mencukupi kebutuhan keluarga. Tak akan lagi sama kehidupan lajang dan kehidupan berpasangan. Aku sangat sedih membayangkan itu. Sebenarnya tak hanya Lina yang tidak siap menghadapi kehamilan, aku justru tak siap menghadapi kenyataan bahwa esok aku harus menghadiri ‘pemakaman’ kehidupan yang lajang, bebas, dan tanpa beban. Apalagi kami sempat memiliki cita-cita untuk berpetualang di Bali mencari kitab suci—hahaha. Becanda. Mencari pengalaman dan penghidupan yang lebih baik di tanah Dewata.
Di luar semua pemikiranku tentang pernikahan, aku turut berbahagia dengan Lina. Kami tetap sebagai sahabat. Aku orang pertama dan satu-satunya di luar kekasihnya yang mengetahui perihal kehamilannya. Ia mempercayakan rahasianya padaku. Akan kujaga rahasianya hingga ia menyampaikan kabar bahagia pernikahannya pada kawan-kawan yang lain. Dan selamat untuk kebahagiaan gandamu, Lina. Kehamilan, pernikahan, dan wisuda di waktu yang sama. Selamat menempuh hidup baru.

Amanda Rizqyana
Semarang, 18 Juli 2015
Turut berbahagia atas pilihanmu, Kawan!

Saturday 27 June 2015

B E R P I K I R

Manual painting karya Arief Hadinata


Beberapa hari ini aku kurang tidur. Aku sedang memikirkan sesuatu yang berat. Memikirkan bagaimana aku bisa lahir kedunia. Tiba-tiba aku berpikir tentang sesuatu. Lalu aku mulai merancang pikiranku tentang penis. Betapa sakti benda yang satu ini. Ketika benda ini—penis papa menghujam vagina mama dan memuncratkan sperma, bertemu dengan ovum, terjadi pembuahan dan menghasilkan embrio yang setelah itu berkembang menjadi janin, dan sembilan bulan kemudian lahirlah aku. Anak nakal yang tak pernah menurut pada aturan, selalu membuat keputusan yang sensasional, ingin hidup mandiri dan terbebas dari aturan, dan memiliki pendapat yang di luar nalar pikiran manusia normal. Aku mulai berpikir bahwa aku lahir dan tercipta dari sebuah ritual magis yang aku anggap menjijikan. Lebih menjijikan lagi ketika aku membayangkan ekspresi papa ketika memuncratkan sperma.
Beranjak dewasa, aku mulai memiliki banyak informasi dan pandangan. Banyak hal yang terjadi setelah aku dewasa. Bila dulu dianggap tabu, kini sudah menjadi hal umum. Beragam cerita tentang penis mulai aku dapatkan. Tidak setiap hari. Beberapa kali saja, namun sering. Bila sekarang umurku 24 tahun, dalam satu hari aku mengenal satu orang di hidupku, sudah ada berapa orang yang aku kenal? Dan setiap orang memiliki cerita sendiri. Itu belum termasuk cerita orang lain yang didengar orang lain lalu salah satu kawanku mendengarnya dan menceritakannya padaku. Tentu akan lebih banyak lagi cerita yang aku peroleh. Namun kali ini aku hanya ingin merangkumnya menjadi sebuah cerita mengenai penis. Iya, kali ini simaklah baik-baik ceritaku mengenai penis.
Beberapa hari yang lalu salah seorang kawan yang biasanya nongkrong bareng lama tak menampakkan diri. Tak berapa lama kemudian, ia menghubungiku melalui SMS untuk mendatanginya di kosan. Aku mendatangi kosnya. Namun yang kudapati justru mata bengkak yang sembab. Ia mengatakan bahwa kekasihnya telah memperkosanya. Memaksanya untuk menikmati penis. Ia dalam kesedihan dan kekecewaan karena janji pada dirinya untuk menyerahkan keperawanan hanya pada suaminya, kini telah kandas.
Cerita tentang penis yang lain pernah kudengar kala SMA kelas 3. Ia merupakan gadis paling cantik di sekolah. Dua bulan sebelum Ujian Akhir Nasional, ia menghilang. Tak ada surat yang menyatakan ia sakit atau sedang dalam urusan keluarga. Kabar yang berembus menyatakan bahwa ia keluar dari sekolah karena hamil. Obsesinya menjadi putri sekolah saat wisuda gagal. Yang ada justru berita yang menggemparkan sekolah dan menjadi headline selama beberapa minggu di sekolah menjelang Ujian Akhir Nasional. Ada pula kabar yang mengatakan bahwa kekasihnya yang merupakan anak orang terpandang di kotaku tidak menyetujui adanya pernikahan. Pihak lelaki memberikan sejumlah uang sebagai pengganti pertanggungjawaban material atas kehamilan si gadis.
Lain lagi dengan salah satu kawanku. Dalam hitungan bulan, kehidupannya sebagai anak rantau dari kampung berubah drastis. Memasuki tahun kedua kuliah, keadaannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Tinggal di kosan mahal yang memiliki fasilitas hotel bintang tiga, memiliki kendaraan roda empat, berbelanja barang bermerek premium, memiliki gadget terbaru, berpenampilan cantik dan menarik. Aku hampir tak mengenalinya lagi. Gadis dusun yang sederhana berubah bak putri raja. Saat aku tanya, dengan gigi yang dipagar kawat ia mengatakan bahwa sekarang ia menjadi budak penis dari salah satu pejabat daerah.
Saat tengah malam aku pernah dihubungi oleh salah satu kawanku. Ia mengatakan bahwa ia sedang berada di sebuah hotel dan memintaku menjemputnya. Ia menelepon sambil menangis. Aku bergegas mengegas motorku dan nekat menembus dinginnya malam menghampiri kawanku. Saat aku berhenti di depan hotel untuk mengatakan bahwa aku sudah berada di hotel yang ia katakan, datang sosok lesu yang tanpa kata-kata langsung membonceng di belakangku. Aku mengegas motorku. Aku bertanya ia ingin kuantar ke mana, ia menjawab, “terserah”. Karena bingung, aku antarkan ke kosku. Aku tahu kalau kosnya tak memungkinkan untuk pulang dini hari. Setelah sampai di kosku, ia tertegun dan menitikkan air mata. Aku bertanya ada apa. Ia mengatakan bahwa salah satu tamu di tempatnya bekerja membookingnya. Tamu tersebut mabuk dan saat hendak menyetubuhinya, ia dipukuli. Merasa kesakitan, ia melawan. Namun tamu tersebut tetap memaksa hingga akhirnya ia kalah karena ukuran tubuhnya yang mungil. Akibat persetubuhan dan pemukulan itu, ia merasakan perih sekujur tubuh. Aku bisa melihat luka lebam di bahu dan lengannya. Aku hanya bisa memintanya untuk beristirahat.
Dua bulan yang lalu, uang bulananku berkurang drastis karena dalam sebulan aku menghadiri tiga pernikahan kawan. Mereka menikah nyaris berurutan pada setiap akhir pekan. Sialnya, pernikahan tersebut ada di luar kota. Selain harus patungan untuk membeli hadiah, aku juga harus patungan untuk menyewa kendaraan. Ketiga pernikahan ini memiliki cerita yang sama. Mahasiswa dan mahasiswi yang hobi di dalam kamar, iseng bermain, lalu menstruasi menjadi terlambat dan perut membesar. Kalau mendengar cerita semacam ini, beberapa kawan suka meledek pengantin lelaki dengan mengatakan, “kalau lagi enak, suka males nyabut” dan semua tertawa. Yang mereka maksud pasti penis.
Bagiku, yang dapat melangsungkan pernikahan merupakan pihak yang beruntung. Ada pula pihak yang memilih untuk menggugurkan hasil permainan penis dan vagina mereka. Coba saja buka google dan carilah informasi mengenai obat terlambat bulan. Bahkan promo untuk obat jenis ini juga ada di mana-mana. Di tiang listrik, tembok pinggir jalan, bahkan ada juga yang menyebarkannya melalui media sosial. Salah satu kawanku kemarin harus dirawat di rumah sakit karena pendarahan hebat. Ia meminum obat penggugur kandungan saat tengah hamil empat bulan. Sial untuknya memang. Berniat untuk menutupi perbuatan dari orang tua, ia justru kena damprat orang tua. Konon papanya menampar kekasihnya hingga kekasihnya tersungkur di lantai.
Ada pula cerita konyol mengenai penis. Aku sebut konyol karena bila cerita yang lain mengenai penis yang membuat pihak wanita menangis, yang ini penis yang membuat pemiliknya menangis. Seorang jejaka bermaksud menggoda gadis. Awalnya diajak nongkrong di kafe sebagai bentuk kopi darat dari sebuah perkenalan dari jejaring sosial. Saat hari sudah semakin malam, jejaka bertanya pada gadis hendak tidur ke mana, si gadis justru menjawab bahwa ia ingin ikut jejaka saja. Jejaka dan gadis bersama-sama menuju kos jejaka. Jejaka mengajak gadis minum anggur. Gadis setuju. Mereka minum hingga mabuk. Dalam keadaan mabuk, keduanya bermesra-mesraan. Berpelukan, berciuman, hingga jejaka menjejalkan penisnya pada vagina gadis. Gadis marah dan mengamuk. Ia berteriak-teriak minta diantar pulang. Awalnya jejaka bingung dengan tingkah gadis. Dia yang menawarkan diri untuk tidur bersama, bersedia diajak minum anggur bersama, menikmati cumbuan dan pelukan, lalu tiba-tiba menjerit ketika kepala penis sudah memasuki liang vagina. Merasa malu dan risih dengan tingkah gadis, jejaka akhirnya mengantar gadis pulang. Namun karena gadis terus berteriak dan marah-marah sepanjang perjalanan, jejaka akhirnya emosi dan menghentikan kendaraan lalu menurunkan gadis di pinggir jalan. Jejaka menyuruh gadis melanjutkan perjalanannya ke rumah dengan bekal dua puluh ribu rupiah. Esoknya perbuatan jejaka mendapat sanksi karena gadis yang ia setubuhi ternyata belum genap berusia 17 tahun. Ia harus mendekam di prodeo karena tuduhan pemerkosaan pada anak di bawah umur.
Ya, penis memiliki beragam cerita bagi setiap orang. Begitupun aku. Aku memiliki cerita tersendiri mengenai penis. Suatu sore, sepulang dari kampus, aku mendapati banyak kardus di depan kamarku. Aku masuk dan melihat kekasihku sedang menata ruangan dan menyiapkan makan. Aku bertanya ada apa. Ia menarikku dan memintaku duduk di kasur. Ia memelukku sambil menangis, mengatakan ia sangat menyayangiku, mencintaiku, dan ia juga mengatakan ingin berpisah denganku karena aku tak memiliki penis.
Semarang, 25 Juni 2015 6:10 a.m.
Berbisnis dengan penis.
   



Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...