Friday 29 August 2014

T E N T U T A K M U N G K I N K U T O L A K



Aku mengatakan apa adanya, tetapi mereka mengatakan aku gila. Aku dituduh menderita ayan menahun, bahkan ada yang mengatakan aku mengalami kecenderungan psikologis aneh bernama schyzophrenia. Ah, penyakit apa pula itu? Kalau anemia dan insomnia, aku memang sudah mengidapnya sejak masih remaja, tepatnya saat kelas satu SMA. Kalau masih satu keluarga dengan hernia, sepertinya tidak.
Saat aku berkata bahwa aku sangat baik hati, mereka justru mencaciku. Mengatakan aku sinting! Ih, sinting? Kalau aku memang sinting, kenapa sebuah Universitas-Negeri-Ternama bersedia memasukkan namaku pada daftar mahasiswa penerima beasiswa? Indeks Prestasiku pun tak pernah di bawah tiga koma tiga. Aku juga diterima bekerja paruh waktu sebagai asisten Public Relation sebuah swalayan skala Internasional.
Aku pernah pula dikatakan bermuka dua. Tapi selama aku berkaca, aku hanya memiliki satu buah muka yang selalu kubawa kemana-mana. Setahuku, Tuhan tak pernah menyediakan muka cadangan saat kita lahir yang bisa diganti sesuai kebutuhan. Bukankah aku masih sama seperti orang lain? Memiliki satu muka dan paten sejak lahir hingga nanti dipendam dalam liang kubur. Kenapa pula mereka mengatakan hal itu padaku? Aneh.
Banyak yang menghujatku, tapi tak sedikit yang mengagumiku. Aku selalu mendapat tempat duduk bila berjalan dan mampir ke sebuah warung kopi atau tempat makan kawan-kawan mahasiswa. Kemanapun aku selalu sendiri. Bukan karena tak punya kawan. Aku hanya tak senang saat ada yang merengek minta pulang cepat atau sibuk dengan ponsel pintarnya, bahkan mengeluh pacarnya marah-marah karena sudah malam masih berada di luar.
Saat aku berjalan masuk ke sebuah tempat, selalu ada yang menyapaku dan memintaku bergabung. Sebagian besar adalah laki-laki. Tak hanya mengajakku bergabung, mereka juga dengan senang hati membayar bill dan membelikanku macam-macam. Aku cukup duduk dan menyambut tiap obrolan mereka. Sering kali aku diajak mereka untuk bergabung pada jadwal acara mereka selanjutnya. Entah itu karaoke, dugem, atau sekadar kongkow di pinggir jalan raya. Selama aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak.
Bukankah aku sudah mengatakan aku baik hati? Ya, aku sangat baik hati. Aku tak pernah menolak saat seseorang meminta tolong padaku. Selama aku bisa membantu, kenapa tidak aku sanggupi? Tapi aku selalu berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Kecuali orang tersebut menawarkan diri memberi bantuan padaku.
Suatu hari, seorang sahabat datang ke kosku saat aku tengah mengerjakan tugas. Ia mengatakan bahwa ia ingin tahu seperti apa rasanya berciuman. Karena kawan-kawannya sudah merasakan itu. Ia sudah sunat dan sekarang sudah menjadi mahasiswa. Tapi tak pernah sekali pun ia merasakan berciuman. Aku memandang Bayu heran. Ia terlihat ketakutan dan segera meminta maaf. Aku mendekati Bayu dan kuangkat wajahnya dengan kedua tanganku. Kucium ia. Wajahnya memerah dan ia segera menunduk begitu aku mengakhiri kecupanku.
Bagaimana rasanya?
Basah.
Aku tersenyum dan kembali melanjutkan tugas kuliahku. Bayu bergeming sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Kupikir ia segera pulang setelah kucium tadi.
Kenapa lagi?
Apa aku boleh melakukan seperti yang kamu lakukan tadi?
Aku diam dan tersenyum. Kutatap wajahnya, tapi Bayu tetap saja menunduk dan terlihat salah tingkah sendiri.
Boleh kok.
Wajahnya mendekat dan kami berciuman. Bibirnya gemetar saat menciumku. Sebenarnya aku pun tak terlalu ahli dalam berciuman. Aku hanya pernah melihatnya di film-film dan kelihatannya mudah. Ini pun pertama kalinya aku berciuman dengan seseorang. Dan ternyata menyenangkan.
Makasih, Ayy.
Bayu bergegas pulang dan aku pun kembali melanjutkan tugasku.
Mural Arief Hadinata di kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Ternyata itu adalah awal dari permintaan lucu Bayu. Seminggu kemudian, ia mengatakan ingin melihat seperti apa bentuk payudara. Kuperlihatkan padanya bentuk payudara setelah ia berjanji akan menemaniku makan malam. Lalu ia terus memburu untuk mengetahui seperti apa rasanya menjilat payudara. Selanjutnya ia menanyakan padaku seperti apa bentuk vagina. Hingga akhirnya ia menanyakan apakah ia boleh meminta sesuatu yang lebih.
Apa?
Aku ingin merasakan bercinta. Hampir semua kawan-kawanku sudah melakukannya dengan kekasih mereka.
Aku mengiyakan.
Aku menangis karena kesakitan dan rasanya memang sangat sakit! Bayu meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya. Tetapi kami justru rutin melakukannya seminggu tiga kali setelah itu. Karena Bayu memohon tentunya. Tentu saja kuiyakan, karena aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak. Ia baru berhenti meminta tolong padaku setelah ia memiliki kekasih yang kebetulan aku mengenalnya.
Tak hanya Bayu. Beberapa kawanku meminta tolong padaku. Mulai dari meminta tolong ditemani menonton film, meminta tolong dicarikan kado untuk pacarnya, meminta tolong untuk menemani berbelanja, meminta untuk menemani anjingnya jalan-jalan, meminta tolong untuk menemani sarapan atau makan siang, meminta untuk mencium bibirku, memegang payudaraku, dan membawaku ke kamar. Aku tak menolak. Karena seperti telah kukatakan, selama aku bisa membantu mereka, kenapa aku harus keberatan. Aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak.
Mereka pun bukan kawan yang busuk. Saat aku membutuhkan bantuan mereka, mereka selalu bersedia dan siap. Misalnya saat aku kesulitan keuangan, dengan senang hati mereka membantuku. Tapi karena aku orang yang tak enak hati untuk merepotkan kawan, aku selalu bertanya, apa yang bisa kulakukan untuk membalas jasa mereka. Mereka menjawab agar aku melakukan apa yang mereka inginkan. Mulai dari menemani nongkrong, dugem, karaoke, sampai ada yang minta ditemani tidur. Aku kembali tak keberatan, karena aku mampu dan bisa, tentu tak mungkin kutolak.
Kebaikanku selama ini ternyata tak mengundang seorang pun lelaki untuk menjadikanku kekasih mereka. Beberapa memang mendekatiku, tapi hanya meminta tolong padaku. Lagipula, untuk menjadi kekasihku, apakah ia bersedia menerimaku yang sangat baik hati ini? Beberapa mengatakan bahwa aku jauh lebih baik begini, karena aku menjadi memiliki banyak sandaran dibanding hanya memiliki seseorang yang bisa saja akhirnya menyakitiku. Kuterima saran mereka. Kurasakan memang lebih baik sendiri, karena banyak kawan-kawanku yang mengatakan bahwa patah hati jauh lebih menyakitkan dibanding patah tulang.
Sekarang, lihatlah. Banyak orang yang mengolok-olokku. Mereka mencibirku dan melihatku dengan pandangan tak menyenangkan. Menggunjingkanku tepat di sampingku. Hanya kubalas senyuman. Dan sekali lagi, aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak untuk menyapa hangat seseorang sebagai simbol pertemanan. Selama aku tak menyakiti mereka, kupikir semua akan baik-baik saja.
Drrrt-drrrt-drrrt. Ponselku bergetar. Panggilan masuk. Nomor baru.
Halo. Maaf, ini siapa?
Halo juga. Ini Ayya?
Iya. Ini siapa?
Bian. Aku temennya Radit. Aku boleh minta tolong nggak, Ayy?
Boleh. Apa?
Aku ingin menghamilimu.

Semarang, 26 Mei 2012
9:30:26 a.m
Sakit kepala akibat dua hari insomnia.

B E R M A I N



Kulirik ia dan mata kami bertemu. Kami sempat terpaku selama dua detik. Sial! Kutahan malu dengan kembali membungkus puntung rokok dengan ampas kopi. Kembali aku melihatnya. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, memperhatikan rambutnya, memperhatikan kebiasaannya. Semua tentangnya. Hanya bisa kunikmati di saat tak terprediksi dari jarak yang juga sering tak pasti.
Bila aku duduk di sini dan nampak sengaja bercengkrama dengan coffee boy, Anda salah. Tapi bila dikatakan menunggunya datang dan melihatnya membuat kehebohan dengan rekan-rekannya, Anda separuh salah. Yang benar adalah aku tengah mengintai. Aku sangat ingin mengenalnya.
“Mas, itu siapa?” tanyaku pada Mas Agus sambil menunjuk gadis rambutnya keriting di antara gadis berambut lurus.
“Itu Mbak Ayya. Kenapa Mas? Naksir ya?”
“Salam ya.”
“Salam apa nih?”
“Udah, salam aja.”
Esoknya kutanyakan pada Mas Agus perihal pesanku untuk menyampaikan salam pada Mbak Ayya.
“Cuma iya, Mas.”
“Maksudnya?”
“Pas aku bilang Mbak Ayya, ‘Mbak, dapet salam.’, dia cuma jawab, ‘Ya.’ aja Mas.”
“Nggak tanya-tanya lagi?”
“Nggak.”
“Ya udah, Mas, salam lagi aja buat Mbak Ayya ya?” Aku nyengir.
“Sip, Mas.”
Hari-hari berikutnya, bahkan hampir setiap hari aku selalu menitipkan salam untuk Mbak Ayya melalui Mas Agus. Setiap hari pula aku tanyakan bagaimana perkembangannya. Dan jawaban pun berbanding lurus dengan hari kemarin. Hanya dijawab dengan ‘Ya.’. Jawaban paling berbeda hanya ‘Alah, paling juga dari kamu.’. Memang belum rejekiku untuk mengenal Mbak Ayya. Tapi itulah yang membuatku semakin ingin mengenalnya.

Siang ini, aku tak menyangka ia datang. Biasanya ia datang saat malam hari. Seperti biasa, es teh. Selalu ia gigit tiap gumpal es yang mengambang di gelas. Ia sangat menikmati aktivitasnya tanpa menghiraukan orang lain yang merasa giginya menjadi ngilu. Bahkan sebelum ia teguk teh manis itu, sudah ia tambah lagi gumpal-gumpal es kristal dan ia kunyah seperti mengunyah krupuk.
“Minta rokoknya boleh, Mas?” Kali ini ia duduk di sampingku di kursi panjang depan warung kopi.
“Silakan Mbak. Untung masih ada satu. Rejeki Mbak.”
Ia tersenyum dan kuberikan juga korek. Dinyalakannya rokok itu dan ia nampak tak canggung untuk merokok di tempat umum. Perkiraan pertama: gadis yang menarik.
“Mau ke mana, Mbak?” Kucoba memulai perbincangan. Inilah saat yang telah lama kutunggu-tunggu. Berbincang dengannya dan mengenalnya.
“Mau online di Dekanat. Bikin tugas.”
Aku mengangguk. Hari Minggu yang terik dan ia membawa laptop untuk hotspotan di Dekanat dan mengerjakan tugas. Perkiraan kedua: gadis yang rajin.
“Semester berapa Mbak?”
“Delapan.”
Setengah tak percaya dan sisanya kaget. Tingkah dan penampilannya tak sedikitpun menunjukkan ia sebagai seorang mahasiswa yang tengah dikejar-kejar skripsi. Oh, mungin alasan ia siang ini online di Dekanat adalah karena harus mengerjakan skripsi.
“Skripsi Mbak?”
Dia tertawa. “Belum. Aku masih kuliah sama semester empat. Tapi ini juga proses bikin proposal kok. Kamu ndiri, jurusan apa? Semester berapa?”
“Ekonomi, Mbak. Semester empat.”
Ia mengangguk. Setelah menghabiskan es tehnya, ia membayar, dan permisi pergi untuk melanjutkan niat awalnya online di Dekanat.
Selanjutnya, setiap kami bertemu, ia selalu menyapaku dan sedikit mengobrol. Obrolan ringan seputar yang kami lihat. Kami pun tak pernah mengobrol berdua. Saat aku bersama kawan-kawannya atau sering terlibat obrolan panjang dengan coffee boy. Aku tak mengerti kenapa sejak awal ia tak bertanya namaku.
Mural karya Arief Hadinata

Ia datang menenteng tas laptop. Selalu tas laptop itu. Duduk dan meminta es teh. Tak ada yang berubah. Yang kuingat hanya rambutnya yang kadang dikuncir kuda atau diikat bulat seperti onde-onde. Ia lebih sering terlihat sendiri dan juga datang sendiri. Hanya beberapa kali saja ia bersama kawan-kawannya. Aku pun tak pernah melihatnya dengan laki-laki. Kalaupun ia tengah bersama laki-laki, seratus persen aku yakin itu adalah kawan-kawannya, karena dari caranya berbicara dan berdekatan dengan mereka, tak ada yang istimewa. Lagipula, tak pernah ia bersama laki-laki yang sama lebih dari dua kali. Aku pun sering melihatnya menyapa atau disapa oleh orang-orang yang datang ke warung kopi. Perkiraan ketiga: memiliki banyak kawan dan supel.
Malam ini ia datang dengan seorang laki-laki. Tanpa tas laptop dan motor bebeknya, karena ia berboncengan dengan laki-laki itu. Nampaknya lebih muda, karena lelaki itu memanggilnya ‘Mbak’. Duduk dan makan. Aku melihatnya berbincang. Kuyakin itu bukan kekasihnya. Karena dari matanya aku tahu tak ada tatapan lebih. Mungkin adik atau kerabatnya. Ia lalu berjalan keluar dan menghadang sebuah mobil yang berhenti di depan dan berbicara dengan pengemudi mobil itu lalu kembali duduk dengan kawannya.
Ia tersenyum padaku dan kubalas senyumnya saat ia memesan makanan dan kebetulan aku duduk tak jauh dari situ.
“Siapa tuh?” Aduh, kenapa pertanyaanku tiba-tiba seperti ini? Semoga ia tak menyadari nada bicaraku.
Ia kembali tersenyum dan mendekat padaku sambil menunggu pesanannya siap. “Mantan.”
“Mbak, boleh minta nomor hapenya nggak?”
Tanpa bertanya, ia menyebutkan dua belas digit nomornya dan aku segera mengirim pesan untuk memberi tahu inilah nomorku dan meyakinkan bahwa nomor yang ia berikan adalah nomor miliknya. Kesekian kali aku mendapat nomor palsu dari wanita. Paling sial adalah meminta nomor pada wanita dan yang diberikan adalah nomor kekasihnya, lalu dengan sangat arogan kekasih wanita itu mengatakan macam-macam padaku. Aku tak menggubris. Pertama, karena aku salah. Kedua, karena aku tak punya waktu meladeni orang sakit jiwa. Wanita masih cukup banyak di dunia ini kalau sekadar membantuku menghabiskan saldo pulsa seluler.
“Oke. Udah masuk. Nomormu kan? Oh iya, siapa namamu?”
“Tulis aja Gembel, Mbak.” Akhirnya ia bertanya namaku.
Ia memandangku menyelidik. “Serius deh?”
“Bram, Mbak.”
“Aku kesana dulu ya. Mau gabung nggak? Ada adikku juga. Anak BK semester empat.”
Aku menggeleng, “Makasih, Mbak. Aku udah ama temen-temenku.”
Mereka berbincang cukup lama di meja sebelah sana. Tertawa dan kadang terlibat perbincangan yang nampaknya serius. Dan entah kenapa aku tak pernah bisa mengalihkan pandanganku untuk melihatnya dan memperhatikannya. Dan kenapa juga setiap kali aku tengah menatapnya, ia berhasil menyadari dan ganti memandangku? Membuat nafasku tercekat karena malu dan gugup.
“Pulang dulu, ya?”
“Kok pulang, Mbak?”
Ia tersenyum kembali. “Udah malem.”
Sumpah mati, aku menahan debaran-debaran aneh saat laki-laki yang ia katakan sebagai mantan menggandengnya dan keduanya berjalan dengan tatapan berbeda. Yang ia katakan sebagai adiknya, pulang sendiri dengan motor yang dibawa. Sempat terbesit, apakah ia wanita high class yang memiliki mantan bermobil. Tapi saat menyadari ia memiliki banyak kawan dan ia cukup cuek untuk urusan penampilan, kukikis habis pikiran konyolku.

Pagi Mba. Lagi apa?
Semoga pesanku pagi ini tak mengganggunya. Kutunggu jawaban, tapi tak segera datang.
Hai. Pagi. Da pa nih?
Hatiku girang tak kepalang. Ia membalas pesanku.
Ga kul Mba?
Ntar. Jam3. Kmu lgi ap?
Aduh, dia bertanya tentangku. Kusingkirkan rona malu-malu. Terlalu menjijikan untuk pemuda berusia sembilan belas tahun.
Nongkrong di Kopinan Mba.
Tiap wktu nongkrong. Ga bosen ya? Eh, ak boleh mnta tlong ga?
Apa?
Jmput dong. Ak pngen mkan es batu.
Kapan Mba? Sekarang?
Ntar, ak mau mandi dulu. Stengah jam lgi, bsa?
SMS aja, Mba.
Ok!
Satu jam kemudian ia baru menghubungiku dan mengatakan untuk dijemput di kontrakannya. Di perumahan yang jaraknya tak terlalu jauh dari kampus. Ia hanya memberi alamat, tanpa memberi denah alamat tempatnya tinggal. Karena jujur saja, aku cukup bingung untuk mencari alamatnya. Sampai akhirnya ada seorang ibu yang tengah menyuapi anaknya di pinggir jalan dan aku bertanya alamat yang telah diberikan dan ternyata alamat yang kucari ada di depan mataku. Kuucapkan terima kasih pada ibu yang baik hati itu.
Udah di depan Mba.
Tak lama kemudian, ia keluar dari rumah, dan tak lupa membawa tas laptopnya.
Ternyata ia hanya ingin nongkrong dan merasa jenuh berada di kamarnya. Kutemani ia dan kukatakan padanya bahwa aku hanya bisa menemani hingga pukul sebelas siang, karena aku harus kuliah. Ia mengerti dan mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mengantarnya. Aku tak berkata-kata lagi.
Itulah awal kedekatanku dengannya. Mengenalnya dan selalu bersama dengannya. Kedekatan kami terlalu dalam. Sangat dalam. Aku baru mengetahui bahwa ia sudah memiliki pasangan dan mereka memang jarang bersama karena kesibukan masing-masing. Tak usah tanya apa yang kurasa. Tapi aku menghargai kejujurannya mengatakan itu sejak awal menyadari kami menjadi lebih dekat. Ia pun tak pernah mengatakan apapun tentang kekasihnya. Sehingga aku tak perlu terlalu banyak bertanya, seolah aku mulai menuntut padanya.
Terlanjur sudah aku terjebak pada keadaan aneh yang membuatku menjadi orang paling bodoh di dunia. Mengejarnya dan merebutnya dari kekasihnya atau mundur menjadi lelaki pecundang. Aku sempat kalut. Segala sesuatu tentang hati memang tak pernah memiliki rumus pasti. Apalagi baik aku maupun dia, tak pernah mengucapkan kalimat apa pun tentang kedekatan kami. Segalanya mengambang dan menggantung. Di antara kebimbanganku untuk mengakhiri dan melanjutkan relasi rumit ini, kuputuskan untuk menikmati. Sebagian dariku memutuskan untuk bertahan, sisanya memasrahkan episode selanjutnya ini pada sang waktu.
Hingga akhirnya tiba pada situasi yang tak menyenangkan, saat kekasihnya menyadari sesuatu yang tak kasat mata dan menghubungiku. Aku merasa bersalah dan memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Ia tak merelakanku menjauh. Ia memaksa untuk seperti biasa, seperti awal saling mengenal dan menyapa. Ia pun tak ingin sesuatu yang berubah dalam tempo singkat. Ia ingin semua memiliki tahap, seperti bagaimana kami saling mengenal. Tapi lidahku terlalu kelu untuk sekadar mengucapkan bahwa itulah yang menyakitkan. Perpisahan. Kedua tanganku menggenggam dua hal yang saling bertentangan. Antara ego pribadi untuk memiliki dan kenyataan harus sebagai gentleman yang berani sakit hati karena bermain hati.
“Tolong, jangan tinggalin aku.”
Ia memaksa bertemu suatu sore setelah sehari aku mengatakan untuk saling menjauh demi kebaikan semua pihak. Kuturuti permintaannya karena ia terus memaksa untuk bertemu. Kembali, pertemuan di warung kopi. Tapi kali ini ia meminta untuk berbicara hanya berdua. Kami menyingkir dari keramaian warung kopi, di sudut warung kopi yang tak terjangkau oleh mata.
“Mbak, ini demi kebaikan kita berdua. Dewasalah.”
“Nggak,” ia menggeleng keras. “Tolong jangan. Tolong. Jangan tinggalin aku.” Ia mencengkeram tanganku keras. Menatap kedua mataku. Air mata mengalir dari matanya. Aku tak pernah tega melihat gadis menangis di depanku. Hatiku melunak.
“Kenapa, Mbak?” Kuusap air matanya.
“Aku hamil.”

23 Mei 2012
9:40:20 a.m.
Mengaku gila tetapi bangga.

Wednesday 6 August 2014

D O N G E N G V I N A

Mural Arief Hadinata di kampus Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang


Aku harus mengerutkan dahi setiap mencoba mencerna tentangnya. Tak pernah kumengerti orang sekompleks dia. Dan baru kali ini aku mengenal orang yang semacam ini. Vina namanya. Sederhana. Dan setahuku hanya itulah nama yang ia miliki
Vina tak cantik. Vina hanya menarik. Ceria, ramah, mudah bergaul, pendengar yang baik, dan berbincang dengannya tak akan kehabisan topik. Semua orang betah duduk di dekatnya untuk mendengarnya bercerita. Vina pun sangat bersemangat, memiliki segudang prestasi, dan nilai akademisnya tak pernah dibawah B. Caranya berpakaian sederhana. Tak pernah terlihat mentereng atau pun gembel. Hanya dengan celana jins dan kaos, Vina sudah mampu menarik mata orang-orang untuk memperhatikannya. Rambut ikalnya pun hanya diikat ekor kuda atau digerai lepas.
Sudah kujamin Vina adalah tipikal menantu idaman setiap mertua. Manis, menarik, pintar, sangat telaten, pandai memasak, mudah mengambil hati orang, dan sangat pandai mengurus dan menata rumah. Vina pun sangat rajin beribadah. Enerjik, cekatan, dan bisa mengendalikan keadaan.
Saat siang, Vina sangat pantas dengan penampilannya sebagai seorang mahasiswa. Mengenakan rok, kemeja, bolero atau cardigan, rambut yang dicepol rapi, lipstick atau lipgloss dan eyeliner, sepatu flat warna gelap. Tapi saat hari menjelang gelap, Vina berpakaian yang terbuka di beberapa sisi dirinya dan riasan tebal aneka warna. Menunggu suara klakson memanggil dan segera mengenakan high heels lima belas senti.
Menjelang pagi, Vina pulang dengan meraba-raba dinding. Lalu segera ambruk di ranjang. Tapi lebih sering pulang diantar oleh laki-laki. Lalu lelaki itu dengan senang hati menyetubuhinya yang sudah tak sadarkan diri. Beberapa kali kulihat Vina mengeluarkan isi perutnya di ranjang atau saat tengah bercinta. Tapi dasar lelaki, mereka tetap melanjutkan aktivitasnya, dan setelah ejakulasi segera berpakaian dan pergi. Beberapa kali Vina mendapat beberapa lembar warna merah di samping ranjang atau diselipkan di antara sepasang payudaranya.
Di antara sekian banyak lelaki yang mampir di kamarnya, ada satu sosok yang tak datang saat ia tengah hangover. Lelaki itu datang saat siang hari. Saat matahari tepat di atas ubun-ubun. Vina selalu segera pulang dari kampus dan memasak, lalu menjamu lelaki itu. Mereka berbincang, melihat televisi atau film bersama. Menikmati Wine atau bir dingin dengan salad buah. Hanya beberapa kali saja mereka terlihat bercinta. Itu pun tak pernah dengan lenguhan atau suara pukulan dan teriakan. Mereka melakukannya dengan halus. Setelah itu mereka berbincang dan merokok bersama. Tepat saat matahari hampir menyiratkan jingga, lelaki itu pamit pulang. Lelaki itu tak setiap hari datang. Hanya hari-hari tertentu. Nampaknya saat Vina sedang tak ada kuliah.
Hari ini aku dibuat terkejut dengan kedatangan seorang wanita. Wanita itu mengetuk pintu dengan kasar. Setelah pintu dibuka, tanpa bertanya wanita itu berteriak-teriak, menampar, dan diakhiri dengan memukul wajah Vina dengan tas yang wanita itu genggam, lalu wanita itu pergi dengan umpatan.
Vina terduduk di lantai dan menangis. Lalu Vina mengangkat ponselnya. Tak lama seorang wanita datang. Wanita ini berbeda dengan yang barusan datang. Wanita itu sangat cantik, anggun, dengan dress selutut hitam dan bolero kuning, lengkap dengan aksesoris dari logam dan batuan yang membuatnya sangat berkelas. Juga rambut coklat ikal yang mengilat, halus dan jatuh. Tubuh tinggi, putih, dan mengenakan wedges coklat. Sosok yang lebih sempurna dibanding Vina. Wanita ini menarik Vina dan mengajak berbincang. Membuatkan segelas coklat hangat, menciumnya. Entah bagaimana, mereka akhirnya bercinta. Dan sungguh, kali ini sangat berbeda dengan yang biasa kulihat. Sangat liar, menggelora, panas, dan durasi luar biasa lama! Sampai akhirnya wanita ini menyerah dan berhenti. Diakhiri dengan berpelukan dan saling mengusap rambut. Dan aku hanyalah jendela kos yang telah usang dan tak sengaja menangkap semua aktivitas yang terjadi.

Agak gila dan sedang mencari gara-gara
Semarang, 22 April 2012
3:07:01 pm

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...