Aku mengatakan apa adanya, tetapi mereka mengatakan aku gila. Aku
dituduh menderita ayan menahun, bahkan ada yang mengatakan aku mengalami
kecenderungan psikologis aneh bernama schyzophrenia.
Ah, penyakit apa pula itu? Kalau anemia dan insomnia, aku memang sudah
mengidapnya sejak masih remaja, tepatnya saat kelas satu SMA. Kalau masih satu
keluarga dengan hernia, sepertinya tidak.
Saat aku berkata bahwa aku sangat baik hati, mereka justru mencaciku.
Mengatakan aku sinting! Ih, sinting? Kalau aku memang sinting, kenapa sebuah
Universitas-Negeri-Ternama bersedia memasukkan namaku pada daftar mahasiswa
penerima beasiswa? Indeks Prestasiku pun tak pernah di bawah tiga koma tiga.
Aku juga diterima bekerja paruh waktu sebagai asisten Public Relation sebuah swalayan skala Internasional.
Aku pernah pula dikatakan bermuka dua. Tapi selama aku berkaca, aku
hanya memiliki satu buah muka yang selalu kubawa kemana-mana. Setahuku, Tuhan
tak pernah menyediakan muka cadangan saat kita lahir yang bisa diganti sesuai
kebutuhan. Bukankah aku masih sama seperti orang lain? Memiliki satu muka dan
paten sejak lahir hingga nanti dipendam dalam liang kubur. Kenapa pula mereka
mengatakan hal itu padaku? Aneh.
Banyak yang menghujatku, tapi tak sedikit yang mengagumiku. Aku selalu
mendapat tempat duduk bila berjalan dan mampir ke sebuah warung kopi atau
tempat makan kawan-kawan mahasiswa. Kemanapun aku selalu sendiri. Bukan karena
tak punya kawan. Aku hanya tak senang saat ada yang merengek minta pulang cepat
atau sibuk dengan ponsel pintarnya, bahkan mengeluh pacarnya marah-marah karena
sudah malam masih berada di luar.
Saat aku berjalan masuk ke sebuah tempat, selalu ada yang menyapaku dan memintaku
bergabung. Sebagian besar adalah laki-laki. Tak hanya mengajakku bergabung,
mereka juga dengan senang hati membayar bill
dan membelikanku macam-macam. Aku cukup duduk dan menyambut tiap obrolan mereka.
Sering kali aku diajak mereka untuk bergabung pada jadwal acara mereka
selanjutnya. Entah itu karaoke, dugem, atau sekadar kongkow di pinggir jalan
raya. Selama aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak.
Bukankah aku sudah mengatakan aku baik hati? Ya, aku sangat baik hati.
Aku tak pernah menolak saat seseorang meminta tolong padaku. Selama aku bisa
membantu, kenapa tidak aku sanggupi? Tapi aku selalu berusaha untuk tidak
merepotkan orang lain. Kecuali orang tersebut menawarkan diri memberi bantuan
padaku.
Suatu hari, seorang sahabat datang ke kosku saat aku tengah mengerjakan
tugas. Ia mengatakan bahwa ia ingin tahu seperti apa rasanya berciuman. Karena
kawan-kawannya sudah merasakan itu. Ia sudah sunat dan sekarang sudah menjadi
mahasiswa. Tapi tak pernah sekali pun ia merasakan berciuman. Aku memandang
Bayu heran. Ia terlihat ketakutan dan segera meminta maaf. Aku mendekati Bayu
dan kuangkat wajahnya dengan kedua tanganku. Kucium ia. Wajahnya memerah dan ia
segera menunduk begitu aku mengakhiri kecupanku.
Bagaimana rasanya?
Basah.
Aku tersenyum dan kembali melanjutkan tugas kuliahku. Bayu bergeming
sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Kupikir ia segera pulang setelah
kucium tadi.
Kenapa lagi?
Apa aku boleh melakukan seperti yang kamu lakukan tadi?
Aku diam dan tersenyum. Kutatap wajahnya, tapi Bayu tetap saja menunduk
dan terlihat salah tingkah sendiri.
Boleh kok.
Wajahnya mendekat dan kami berciuman. Bibirnya gemetar saat menciumku.
Sebenarnya aku pun tak terlalu ahli dalam berciuman. Aku hanya pernah
melihatnya di film-film dan kelihatannya mudah. Ini pun pertama kalinya aku
berciuman dengan seseorang. Dan ternyata menyenangkan.
Makasih, Ayy.
Bayu bergegas pulang dan aku pun kembali melanjutkan tugasku.
Ternyata itu adalah awal dari permintaan lucu Bayu. Seminggu kemudian,
ia mengatakan ingin melihat seperti apa bentuk payudara. Kuperlihatkan padanya
bentuk payudara setelah ia berjanji akan menemaniku makan malam. Lalu ia terus
memburu untuk mengetahui seperti apa rasanya menjilat payudara. Selanjutnya ia
menanyakan padaku seperti apa bentuk vagina. Hingga akhirnya ia menanyakan
apakah ia boleh meminta sesuatu yang lebih.
Apa?
Aku ingin merasakan bercinta. Hampir semua kawan-kawanku sudah
melakukannya dengan kekasih mereka.
Aku mengiyakan.
Aku menangis karena kesakitan dan rasanya memang sangat sakit! Bayu
meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya. Tetapi kami justru rutin
melakukannya seminggu tiga kali setelah itu. Karena Bayu memohon tentunya. Tentu
saja kuiyakan, karena aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak. Ia
baru berhenti meminta tolong padaku setelah ia memiliki kekasih yang kebetulan
aku mengenalnya.
Tak hanya Bayu. Beberapa kawanku meminta tolong padaku. Mulai dari
meminta tolong ditemani menonton film, meminta tolong dicarikan kado untuk
pacarnya, meminta tolong untuk menemani berbelanja, meminta untuk menemani
anjingnya jalan-jalan, meminta tolong untuk menemani sarapan atau makan siang,
meminta untuk mencium bibirku, memegang payudaraku, dan membawaku ke kamar. Aku
tak menolak. Karena seperti telah kukatakan, selama aku bisa membantu mereka,
kenapa aku harus keberatan. Aku mampu dan aku bisa, tentu tak mungkin kutolak.
Mereka pun bukan kawan yang busuk. Saat aku membutuhkan bantuan mereka,
mereka selalu bersedia dan siap. Misalnya saat aku kesulitan keuangan, dengan
senang hati mereka membantuku. Tapi karena aku orang yang tak enak hati untuk
merepotkan kawan, aku selalu bertanya, apa yang bisa kulakukan untuk membalas
jasa mereka. Mereka menjawab agar aku melakukan apa yang mereka inginkan. Mulai
dari menemani nongkrong, dugem, karaoke, sampai ada yang minta ditemani tidur.
Aku kembali tak keberatan, karena aku mampu dan bisa, tentu tak mungkin
kutolak.
Kebaikanku selama ini ternyata tak mengundang seorang pun lelaki untuk
menjadikanku kekasih mereka. Beberapa memang mendekatiku, tapi hanya meminta
tolong padaku. Lagipula, untuk menjadi kekasihku, apakah ia bersedia menerimaku
yang sangat baik hati ini? Beberapa mengatakan bahwa aku jauh lebih baik begini, karena aku menjadi memiliki
banyak sandaran dibanding hanya memiliki seseorang yang bisa saja akhirnya
menyakitiku. Kuterima saran mereka. Kurasakan memang lebih baik sendiri, karena
banyak kawan-kawanku yang mengatakan bahwa patah hati jauh lebih menyakitkan
dibanding patah tulang.
Sekarang, lihatlah. Banyak orang yang mengolok-olokku. Mereka mencibirku
dan melihatku dengan pandangan tak menyenangkan. Menggunjingkanku tepat di
sampingku. Hanya kubalas senyuman. Dan sekali lagi, aku mampu dan aku bisa,
tentu tak mungkin kutolak untuk menyapa hangat seseorang sebagai simbol
pertemanan. Selama aku tak menyakiti mereka, kupikir semua akan baik-baik saja.
Drrrt-drrrt-drrrt. Ponselku bergetar. Panggilan masuk. Nomor baru.
Halo. Maaf, ini siapa?
Halo juga. Ini Ayya?
Iya. Ini siapa?
Bian. Aku temennya Radit. Aku boleh minta tolong nggak, Ayy?
Boleh. Apa?
Aku ingin menghamilimu.
Semarang, 26 Mei 2012
9:30:26 a.m
Sakit kepala akibat dua hari insomnia.