Rumah Pak An nampak sibuk dibanding biasanya. Hari ini usia beliau telah
berangka enam puluh lima. Bermacam benda dan warna ada di rumahnya. Balon dan
pita warna-warni mendominasi dekorasi rumah berbentuk Joglo. Tak lupa beragam
manusia keluar-masuk pintu rumah yang sedari pagi dibuka lebar-lebar. Begitu
pula mobil-mobil yang berhenti dan pergi membawa manusia dan benda.
. Berbagai kartu, bingkisan, kado, hingga surat elektronik, pesan
singkat, dan telepon tak berhenti mewarnai keriuhan rumah Pak An. Anak dan cucu
beliau berkumpul. Mereka bermain, berkejaran, berteriak-teriak, mengobrol,
bercengkrama, makan, sebagian lagi menangis. Pak An tersenyum mendengar celoteh
dan menyaksikan tingkah cucu-cucunya yang sekarang sudah lima. Tiga anaknya
datang, bersama pasangannya.
“Mana Ayya?”
Ida, Ain, dan Tiar bertatapan. Masing-masing pasangan pun bertatapan.
Ida maju dengan takut-takut, mendekati Pak An dan setengah berteriak di telinga
Pak An.
“Mbak Ayya nggak bisa dateng, Pah. Lagi sibuk katanya.”
“Ndak telpon atau SMS?”
“Kurang tau, Pah. Katanya mau kasih surprise.
Mungkin Mbak Ayya mau tiba-tiba dateng nanti malam, Pah, waktu makan malam.”
Pak An tersenyum, “Inilah hasil didikanku pada anak-anakku. Kalian harus
mencontoh Ayya. Kuberi kalian makanan yang sama, pendidikan yang sama, tetapi
nasib kalian berbeda.”
Ketiga pasang anaknya memilih duduk tenang dan mendengarkan.
“Pak, waktunya istirahat,” istrinya mengingatkan sambil berjalan
mendekat ke arah Pak An. Mendorong kursi roda Pak An dan membimbingnya naik
ranjang. Menyerahkan beberapa butir obat yang diminum sekaligus oleh Pak An.
Dalam hitungan menit, Pak An terlelap saat sore baru menjelang.
“Pah, ini ada kiriman kado dari Mbak Ayya.” Tiar menyerahkan kotak besar
yang sedari tadi ada di belakangnya. Malam ini suasana rumah tetap ramai. Tapi
besok pasti sudah sepi. Hanya ada ia dan istrinya. Istrinya pun lebih senang berada
di luar rumah. Menghabiskan waktu untuk arisan atau kegiatan sosial yang
menginap hingga berhari-hari.
Pak An mengusap mulutnya dengan lap. Tak sabar ia membuka kado dari anak
pertamanya. Sebuah kotak berbalut kertas cantik berwarna merah muda dan dihias pita
lilin berbentuk bunga warna merah hati . Di atasnya tertempel kartu ucapan. Pak
An hanya melihat sekilas kado sebesar dua kali papan catur itu. Diletakkannya
di samping piring makan yang tadi ditepikan. Kartu ucapan—bergambar anak kecil berkepang
dua yang tengah memegang balon dan seorang wanita—sebesar buku tulis anak
sekolah. Keduanya tengah tersenyum. Tak Pak An sangka, meskipun anaknya telah
dewasa dan tinggal di negeri orang, tetapi ia tetap memiliki selera yang
mencengangkan dalam memilih kartu ucapan untuk manula sepertinya.
Pak An tersenyum pada seluruh anak, menantu, dan cucunya yang duduk tenang
di meja makan. Sedikit-banyak ia bangga memiliki anak yang tengah berada di
luar negeri. Mampu melanjutkan cita-citanya, begitu menurut Pak An. Selalu diceritakan
pada kawan-kawannya saat check-up di
rumah sakit atau mengunjungi dokter pribadinya. Di samping selalu mengulang
cerita tentang dirinya yang mendapat penghargaan dari tiap Presiden Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan kesombongannya sebagai seorang pendidik
perguruan tinggi.
Makan malam kali ini istrinya tak ikut bergabung, sedang ada arisan di
rumah Bu Cokro dan akan pulang esok siang. Pak An tak mengambil pusing siapa Bu
Cokro dan di mana rumahnya, karena hari ini adalah harinya dan ia berkumpul
dengan anak-cucunya. Dibukanya kartu ucapan bertulis tangan itu dengan penuh
bangga hati dan dibacakannya lantang.
Selamat ulang
tahun Papah. Maaf, seperti biasanya, aku tak bisa pulang.
Sekarang aku
masih ada di Paris, tugas peliputan fashion musim panas. Sekalipun aku mencuri
waktu untuk pulang ke rumah, tak akan cukup waktu untuk sekadar makan malam.
Jadi daripada harus terburu-buru dikejar tanggung jawab dan tak menikmati
berkumpul dengan keluarga, kuputuskan untuk tak pulang. Mungkin Lebaran atau
Natal, atau semoga setelah Ida melahirkan Juni depan aku bisa mengambil sisa
cuti. Terlalu banyak pekerjaan di sini. Aku harus melanjutkan kewajibanku di
sini, Pah. Sekali lagi, maafkan anakmu, Pah.
Kuharap kado ini
datang tepat waktu, Pah, karena aku telah memperhitungkan agar kado ini tiba
tepat Papah berulang tahun. Kuyakinkan pada pihak jasa kurir bahwa harus sampai
di tangan pengirim tanggal 24 Maret. Mereka menyanggupi. Kalau sudah sampai,
tolong hubungi aku, Pah. Supaya aku tenang dan tak merasa bersalah pada Papah
dan ketiga adikku tersayang.
“Telepon Ayya dan katakan padanya, kado sudah kuterima dan sekarang aku
sedang membaca kartu ucapan darinya,” perintah Pak An sambil menunjuk anak
keduanya, Tiar.
Tiar menurut dan segera menghubungi Ayya melalui telepon di meja dekat
ruang makan. Ia hanya mengatakan kado sudah sampai. Di sana sedang jam dua
siang. Waktu kerja setelah jam makan siang. Ayya tak suka diganggu saat jam
kerja. Tiar sudahi saja karena Ayya juga sedang tak ingin berbicara banyak.
“Sudah, Pah.” Tiar duduk di kursinya.
Kembali Pak An tersenyum.
Kuhadiahkan
sesuatu yang istimewa untuk Papahku tersayang. Bisa Papah buka sekarang. Atau
bila Papah tak sempat, bisa Papah buka lain waktu. Menggunakannya pun tak harus
sekarang. Simpan saja dulu, sampai Papah merasa siap untuk menikmati kado
istimewa yang jauh-jauh aku kirimkan untuk Papah dari Frankfurt. Aku ingin
Papah tahu bahwa anakmu di sini baik-baik saja dan memiliki inisiatif yang
besar untuk bergabung dalam kemeriahan bertambahnya usia Papah.
Kado yang
kuberikan bukanlah obat-obatan, voucher kemoterapi, voucher menginap di ruang
VVIP rumah sakit, kursi roda listrik, peralatan medis tercanggih yang bisa digunakan
di rumah, atau suster cantik di bawah dua puluh tahun. Pasti itu sudah diberikan
oleh kolega-kolega Papa lain yang sangat baik hati dan sangat mengerti
kebutuhan Papah.
Aku membelinya
saat tengah berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Berlin. Ada pameran
elektronik, otomotif, dan fashion. Jangan heran dengan pameran yang diadakan
sekaligus dalam satu tempat. Orang Eropa sangat suka efisiensi. Mereka tak suka
menghabiskan waktu untuk sesuatu yang membuang waktu. Yang mereka butuhkan
adalah fasilitas pendukung yang mempermudah dan menghemat waktu mereka. Semakin
padat dan efisien, sangat mereka sukai dan menjadi daya tarik sebuah acara.
Kado ini adalah der
Todenskaten atau dalam bahasa Indonesia disebut Kotak Maut. Der Todenskaten ini
adalah produk yang diproduksi oleh der Sensenmann Institute dalam jumlah
terbatas. Hanya ada dua puluh di seluruh dunia. Produk ini sangat teruji dan
ampuh, Pah. Mengadopsi dari sistem Holocaust-Hitler untuk Genosida Yahudi dan
segala macam penyiksaan dan pemusnahaan saat rezim Nazi. Aku percaya karena
sejarah telah membuktikan kekejian saat itu dan ini merupakan produk hasil
riset intensif dari para peneliti Jerman selama setengah abad lebih.
Harga der
Todenskaten ini sangat mahal, Pah, €25.000 atau dalam rupiah sekitar Rp 380
juta. Kuhabiskan tabunganku untuk membeli kado. Itu pun aku peroleh sudah
dengan diskon 20% karena membeli saat pameran berlangsung. Pertama melihatnya,
seketika itu juga aku meminta pramuniaga untuk membungkuskan untukku. Aku
senang bukan kepalang telah berhasil menemukan sebuah kado yang sangat
dibutuhkan Papahku tersayang.
Dengan kertas
kado merah jambu dan pita merah hati, kado istimewa ini kupersembahkan hanya
untuk Papahku tersayang. Tak lupa aku berikan sebuah kartu ucapan bergambar
anak kecil dan seorang wanita dengan latar belakang rumah sederhana berjendela
dua. Secara khusus kupesan jauh-jauh hari pada rekanku yang membuat kartu
ucapan edisi terbatas. Ingatkah Papah saat aku kecil? Atau masih ingatkah Papah
dengan sosok Mamah?
Aku yakin Papah
masih ingat. Bagaimana Papah menyiksaku sejak aku baru bisa menggambar pemandangan
dengan sebuah matahari tersenyum yang diapit dua buah gunung. Papah memukulku
dengan pemukul kasur, hanger, sapu, tongkat, penggaris kayu, bahkan tiang
bendera—hingga semua benda itu patah berkeping-keping. Punggung, lengan, paha,
kakiku lebam dan berdarah. Sering pula kepalaku benjol di sana-sini. dan
luka-luka di wajah karena tamparan, pukulan, dan terkena lemparan benda-benda.
Mulai dari asbak, sepatu, penggorengan, wajan, piring, gelas, hingga setrika.
Yang kuingat, hanya satu benda di rumah yang tak pernah mampir di kulitku,
pisau.
Ingatkah Papah
saat aku menangis kesakitan karena Papah meninju hidungku hingga patah dan
berdarah, Papah justru semakin beringas membentur-benturkan kepalaku ke tembok?
Hanya karena aku lupa mematikan kompor saat tengah memasak air untuk memandikan
Ida. Atau saat aku melihat Papah bercumbu dengan mahasiswa Papah—yang sekarang
menjadi istri Papah tercinta—di ruang tamu. Lalu aku mengadu pada Mamah dan
seketika itu Papah menginjak-injak badanku seolah aku onggokan sampah yang
memenuhi tempat sampah?
Apakah Papah
telah melupakan Mamah? Aku harap tidak. Bukankah warna pita itu semerah darah
yang selalu menetes dari tiap senti kulit Mamah sejak aku masih menggunakan
popok? Dan semerah warna surat yang Mamah tinggalkan di meja rias sebelum
kereta api menghancurkan tubuhnya yang molek? Juga warna gamis yang terakhir
Mamah kenakan. Bahkan itu adalah gamis kesayangan Mamah yang hanya akan
digunakan untuk saat yang istimewa. Ya, saat terakhir Mamah mengucapkan permisi
dan meminta ijin padaku hendak membeli mentega di minimarket untuk kue ulang
tahun Ida.
Oh iya, kembali
pada der Todenskaten. Tenang saja, Pah, sudah diujicobakan pada tikus dan kucing
kampung saat aku ingin mengecek apakah alat ini berfungsi dengan baik. Dan
memang berhasil membuat tikus dan kucing kampung itu meregang nyawa. Sedikit
saja kuceritakan tentang cara penggunaannya bila Papah malas membaca petunjuk
manual yang menggunakan bahasa Jerman itu. Tapi aku percaya, Papah yang sangat
gaul teknologi, pasti bisa mengoperasikannya sendiri, tanpa bantuan orang lain.
Oh iya, Pah, alat itu hanya bisa digunakan sekali saja. Bila sudah digunakan
dan mencapai tujuan yang diharapkan, secara otomatis alat akan mati. Ini untuk
mencegah adanya penyalahgunaan alat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Setelah diujicobakan sebelumnya pada tikus dan kucing kampong, alat ini masih
memiliki kemampuan hingga 95%.
Keterangan pada
setiap tombol menggunakan bahasa Inggris. Tentu Papah bisa memahaminya. Tombol
ON/OFF sudah tentu Papah tahu digunakan untuk menyalakan dan mematikan alat.
Tenang, Pah, listrik yang digunakan sama seperti menyalakan kulkas, sekitar 80
watt. Cukup Papah lilit sabuk berwarna hitam di dada, alat itu sudah bisa
dioperasikan. Di kotak itu, ada pilihan waktu yang digunakan. Mulai dari satu
detik, satu jam, satu hari, atau satu minggu. Tapi tenang saja, Papah tak akan
merasakan sakit. Pilihan waktu itu hanya untuk memberikan kesempatan, ingin
segera berakhir atau ingin menikmati malaikat menarik-ulur nyawa. Papah bisa
memilih yang Papah suka. Aku kurang paham selera Papah tentang tempo.
Sepertinya cukup
banyak pesan yang aku sampaikan pada kartu ucapan ini, sampai habis ruang
kosong kartu ucapan ini untuk menyampaikan hal yang aku ingin sampaikan pada Papah.
Sekali lagi.
Selamat ulang tahun Papah! Selamat tidak mengulang umur!
Peluk
dan cium sayang,
Putrimu,
Ayya
Poerwandaroe
Semarang, 28 Mei 2012
12:23:25 a.m.
Menumpahkan sesak yang terus menusuk-nusuk!
No comments:
Post a Comment