Tuesday 5 August 2014

K A D O U N T U K P A P A



Rumah Pak An nampak sibuk dibanding biasanya. Hari ini usia beliau telah berangka enam puluh lima. Bermacam benda dan warna ada di rumahnya. Balon dan pita warna-warni mendominasi dekorasi rumah berbentuk Joglo. Tak lupa beragam manusia keluar-masuk pintu rumah yang sedari pagi dibuka lebar-lebar. Begitu pula mobil-mobil yang berhenti dan pergi membawa manusia dan benda.
. Berbagai kartu, bingkisan, kado, hingga surat elektronik, pesan singkat, dan telepon tak berhenti mewarnai keriuhan rumah Pak An. Anak dan cucu beliau berkumpul. Mereka bermain, berkejaran, berteriak-teriak, mengobrol, bercengkrama, makan, sebagian lagi menangis. Pak An tersenyum mendengar celoteh dan menyaksikan tingkah cucu-cucunya yang sekarang sudah lima. Tiga anaknya datang, bersama pasangannya.
“Mana Ayya?”
Ida, Ain, dan Tiar bertatapan. Masing-masing pasangan pun bertatapan. Ida maju dengan takut-takut, mendekati Pak An dan setengah berteriak di telinga Pak An.
“Mbak Ayya nggak bisa dateng, Pah. Lagi sibuk katanya.”
“Ndak telpon atau SMS?”
“Kurang tau, Pah. Katanya mau kasih surprise. Mungkin Mbak Ayya mau tiba-tiba dateng nanti malam, Pah, waktu makan malam.”
Pak An tersenyum, “Inilah hasil didikanku pada anak-anakku. Kalian harus mencontoh Ayya. Kuberi kalian makanan yang sama, pendidikan yang sama, tetapi nasib kalian berbeda.”
Ketiga pasang anaknya memilih duduk tenang dan mendengarkan.
“Pak, waktunya istirahat,” istrinya mengingatkan sambil berjalan mendekat ke arah Pak An. Mendorong kursi roda Pak An dan membimbingnya naik ranjang. Menyerahkan beberapa butir obat yang diminum sekaligus oleh Pak An. Dalam hitungan menit, Pak An terlelap saat sore baru menjelang.
Mural Arief Hadinata di Kota Semarang

“Pah, ini ada kiriman kado dari Mbak Ayya.” Tiar menyerahkan kotak besar yang sedari tadi ada di belakangnya. Malam ini suasana rumah tetap ramai. Tapi besok pasti sudah sepi. Hanya ada ia dan istrinya. Istrinya pun lebih senang berada di luar rumah. Menghabiskan waktu untuk arisan atau kegiatan sosial yang menginap hingga berhari-hari.
Pak An mengusap mulutnya dengan lap. Tak sabar ia membuka kado dari anak pertamanya. Sebuah kotak berbalut kertas cantik berwarna merah muda dan dihias pita lilin berbentuk bunga warna merah hati . Di atasnya tertempel kartu ucapan. Pak An hanya melihat sekilas kado sebesar dua kali papan catur itu. Diletakkannya di samping piring makan yang tadi ditepikan. Kartu ucapan—bergambar anak kecil berkepang dua yang tengah memegang balon dan seorang wanita—sebesar buku tulis anak sekolah. Keduanya tengah tersenyum. Tak Pak An sangka, meskipun anaknya telah dewasa dan tinggal di negeri orang, tetapi ia tetap memiliki selera yang mencengangkan dalam memilih kartu ucapan untuk manula sepertinya.
Pak An tersenyum pada seluruh anak, menantu, dan cucunya yang duduk tenang di meja makan. Sedikit-banyak ia bangga memiliki anak yang tengah berada di luar negeri. Mampu melanjutkan cita-citanya, begitu menurut Pak An. Selalu diceritakan pada kawan-kawannya saat check-up di rumah sakit atau mengunjungi dokter pribadinya. Di samping selalu mengulang cerita tentang dirinya yang mendapat penghargaan dari tiap Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kesombongannya sebagai seorang pendidik perguruan tinggi.
Makan malam kali ini istrinya tak ikut bergabung, sedang ada arisan di rumah Bu Cokro dan akan pulang esok siang. Pak An tak mengambil pusing siapa Bu Cokro dan di mana rumahnya, karena hari ini adalah harinya dan ia berkumpul dengan anak-cucunya. Dibukanya kartu ucapan bertulis tangan itu dengan penuh bangga hati dan dibacakannya lantang.
Selamat ulang tahun Papah. Maaf, seperti biasanya, aku tak bisa pulang.
Sekarang aku masih ada di Paris, tugas peliputan fashion musim panas. Sekalipun aku mencuri waktu untuk pulang ke rumah, tak akan cukup waktu untuk sekadar makan malam. Jadi daripada harus terburu-buru dikejar tanggung jawab dan tak menikmati berkumpul dengan keluarga, kuputuskan untuk tak pulang. Mungkin Lebaran atau Natal, atau semoga setelah Ida melahirkan Juni depan aku bisa mengambil sisa cuti. Terlalu banyak pekerjaan di sini. Aku harus melanjutkan kewajibanku di sini, Pah. Sekali lagi, maafkan anakmu, Pah.
Kuharap kado ini datang tepat waktu, Pah, karena aku telah memperhitungkan agar kado ini tiba tepat Papah berulang tahun. Kuyakinkan pada pihak jasa kurir bahwa harus sampai di tangan pengirim tanggal 24 Maret. Mereka menyanggupi. Kalau sudah sampai, tolong hubungi aku, Pah. Supaya aku tenang dan tak merasa bersalah pada Papah dan ketiga adikku tersayang.
“Telepon Ayya dan katakan padanya, kado sudah kuterima dan sekarang aku sedang membaca kartu ucapan darinya,” perintah Pak An sambil menunjuk anak keduanya, Tiar.
Tiar menurut dan segera menghubungi Ayya melalui telepon di meja dekat ruang makan. Ia hanya mengatakan kado sudah sampai. Di sana sedang jam dua siang. Waktu kerja setelah jam makan siang. Ayya tak suka diganggu saat jam kerja. Tiar sudahi saja karena Ayya juga sedang tak ingin berbicara banyak.
“Sudah, Pah.” Tiar duduk di kursinya.
Kembali Pak An tersenyum.
Kuhadiahkan sesuatu yang istimewa untuk Papahku tersayang. Bisa Papah buka sekarang. Atau bila Papah tak sempat, bisa Papah buka lain waktu. Menggunakannya pun tak harus sekarang. Simpan saja dulu, sampai Papah merasa siap untuk menikmati kado istimewa yang jauh-jauh aku kirimkan untuk Papah dari Frankfurt. Aku ingin Papah tahu bahwa anakmu di sini baik-baik saja dan memiliki inisiatif yang besar untuk bergabung dalam kemeriahan bertambahnya usia Papah.
Kado yang kuberikan bukanlah obat-obatan, voucher kemoterapi, voucher menginap di ruang VVIP rumah sakit, kursi roda listrik,  peralatan medis tercanggih yang bisa digunakan di rumah, atau suster cantik di bawah dua puluh tahun. Pasti itu sudah diberikan oleh kolega-kolega Papa lain yang sangat baik hati dan sangat mengerti kebutuhan Papah.
Aku membelinya saat tengah berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Berlin. Ada pameran elektronik, otomotif, dan fashion. Jangan heran dengan pameran yang diadakan sekaligus dalam satu tempat. Orang Eropa sangat suka efisiensi. Mereka tak suka menghabiskan waktu untuk sesuatu yang membuang waktu. Yang mereka butuhkan adalah fasilitas pendukung yang mempermudah dan menghemat waktu mereka. Semakin padat dan efisien, sangat mereka sukai dan menjadi daya tarik sebuah acara.
Kado ini adalah der Todenskaten atau dalam bahasa Indonesia disebut Kotak Maut. Der Todenskaten ini adalah produk yang diproduksi oleh der Sensenmann Institute dalam jumlah terbatas. Hanya ada dua puluh di seluruh dunia. Produk ini sangat teruji dan ampuh, Pah. Mengadopsi dari sistem Holocaust-Hitler untuk Genosida Yahudi dan segala macam penyiksaan dan pemusnahaan saat rezim Nazi. Aku percaya karena sejarah telah membuktikan kekejian saat itu dan ini merupakan produk hasil riset intensif dari para peneliti Jerman selama setengah abad lebih.
Harga der Todenskaten ini sangat mahal, Pah, €25.000 atau dalam rupiah sekitar Rp 380 juta. Kuhabiskan tabunganku untuk membeli kado. Itu pun aku peroleh sudah dengan diskon 20% karena membeli saat pameran berlangsung. Pertama melihatnya, seketika itu juga aku meminta pramuniaga untuk membungkuskan untukku. Aku senang bukan kepalang telah berhasil menemukan sebuah kado yang sangat dibutuhkan Papahku tersayang.
Dengan kertas kado merah jambu dan pita merah hati, kado istimewa ini kupersembahkan hanya untuk Papahku tersayang. Tak lupa aku berikan sebuah kartu ucapan bergambar anak kecil dan seorang wanita dengan latar belakang rumah sederhana berjendela dua. Secara khusus kupesan jauh-jauh hari pada rekanku yang membuat kartu ucapan edisi terbatas. Ingatkah Papah saat aku kecil? Atau masih ingatkah Papah dengan sosok Mamah?
Aku yakin Papah masih ingat. Bagaimana Papah menyiksaku sejak aku baru bisa menggambar pemandangan dengan sebuah matahari tersenyum yang diapit dua buah gunung. Papah memukulku dengan pemukul kasur, hanger, sapu, tongkat, penggaris kayu, bahkan tiang bendera—hingga semua benda itu patah berkeping-keping. Punggung, lengan, paha, kakiku lebam dan berdarah. Sering pula kepalaku benjol di sana-sini. dan luka-luka di wajah karena tamparan, pukulan, dan terkena lemparan benda-benda. Mulai dari asbak, sepatu, penggorengan, wajan, piring, gelas, hingga setrika. Yang kuingat, hanya satu benda di rumah yang tak pernah mampir di kulitku, pisau.
Ingatkah Papah saat aku menangis kesakitan karena Papah meninju hidungku hingga patah dan berdarah, Papah justru semakin beringas membentur-benturkan kepalaku ke tembok? Hanya karena aku lupa mematikan kompor saat tengah memasak air untuk memandikan Ida. Atau saat aku melihat Papah bercumbu dengan mahasiswa Papah—yang sekarang menjadi istri Papah tercinta—di ruang tamu. Lalu aku mengadu pada Mamah dan seketika itu Papah menginjak-injak badanku seolah aku onggokan sampah yang memenuhi tempat sampah?
Apakah Papah telah melupakan Mamah? Aku harap tidak. Bukankah warna pita itu semerah darah yang selalu menetes dari tiap senti kulit Mamah sejak aku masih menggunakan popok? Dan semerah warna surat yang Mamah tinggalkan di meja rias sebelum kereta api menghancurkan tubuhnya yang molek? Juga warna gamis yang terakhir Mamah kenakan. Bahkan itu adalah gamis kesayangan Mamah yang hanya akan digunakan untuk saat yang istimewa. Ya, saat terakhir Mamah mengucapkan permisi dan meminta ijin padaku hendak membeli mentega di minimarket untuk kue ulang tahun Ida.
Oh iya, kembali pada der Todenskaten. Tenang saja, Pah, sudah diujicobakan pada tikus dan kucing kampung saat aku ingin mengecek apakah alat ini berfungsi dengan baik. Dan memang berhasil membuat tikus dan kucing kampung itu meregang nyawa. Sedikit saja kuceritakan tentang cara penggunaannya bila Papah malas membaca petunjuk manual yang menggunakan bahasa Jerman itu. Tapi aku percaya, Papah yang sangat gaul teknologi, pasti bisa mengoperasikannya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Oh iya, Pah, alat itu hanya bisa digunakan sekali saja. Bila sudah digunakan dan mencapai tujuan yang diharapkan, secara otomatis alat akan mati. Ini untuk mencegah adanya penyalahgunaan alat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Setelah diujicobakan sebelumnya pada tikus dan kucing kampong, alat ini masih memiliki kemampuan hingga 95%.
Keterangan pada setiap tombol menggunakan bahasa Inggris. Tentu Papah bisa memahaminya. Tombol ON/OFF sudah tentu Papah tahu digunakan untuk menyalakan dan mematikan alat. Tenang, Pah, listrik yang digunakan sama seperti menyalakan kulkas, sekitar 80 watt. Cukup Papah lilit sabuk berwarna hitam di dada, alat itu sudah bisa dioperasikan. Di kotak itu, ada pilihan waktu yang digunakan. Mulai dari satu detik, satu jam, satu hari, atau satu minggu. Tapi tenang saja, Papah tak akan merasakan sakit. Pilihan waktu itu hanya untuk memberikan kesempatan, ingin segera berakhir atau ingin menikmati malaikat menarik-ulur nyawa. Papah bisa memilih yang Papah suka. Aku kurang paham selera Papah tentang tempo.
Sepertinya cukup banyak pesan yang aku sampaikan pada kartu ucapan ini, sampai habis ruang kosong kartu ucapan ini untuk menyampaikan hal yang aku ingin sampaikan pada Papah.
Sekali lagi. Selamat ulang tahun Papah! Selamat tidak mengulang umur!
Peluk dan cium sayang,
Putrimu,
Ayya Poerwandaroe

Semarang, 28 Mei 2012
12:23:25 a.m.
Menumpahkan sesak yang terus menusuk-nusuk!

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...