“Saya tidak percaya dengan agama.”
“Sama, Yang,” jawabku riang. Kupindahkan posisi
tubuhku untuk condong ke arahmu yang ada di sudut kamar. Kau selalu berhasil
membuatku tertarik mendengarkanmu dibanding menarik selimut dan tertidur
setelah permainan melelahkan. Hingga kini aku masih memikirkan manakah yang
membuatku lebih dulu tertarik, suara beratmu atau ceritamu.
“Sebenarnya agama hanya untuk menarik perhatian
manusia pada satu konsep lalu menjadikan konsep itu sebagai kontrol sosial yang
mengatur kehidupan manusia. Manusia sendiri yang menciptakan agama, lalu
manusia pula yang mengarang-ngarang tentang Tuhan. Banyak kejanggalan ketika
aku mempelajari agama. Banyak ajaran yang kontradiktif. Antara satu kalimat dan
kalimat lain saling bertentangan.”
Kugerakkan tubuhku dan kuarahkan wajahku padamu.
Kukecup pipi, bibir, dan keningmu. Kau balas dengan kecupan kening. Aku selalu
menyukai ketika kau melakukannya. Aku kembali menuju ranjang untuk mencari
kehangatan. Rahangmu yang mengeras ketika serius menghadap langit-langit kamar.
Tanpa sehelai kain, kau dengan nyaman terlentang beralaskan keramik di bawah
jendela menikmati angin malam beraroma hujan yang pelan-pelan mengalir dari
celah gorden. Kau selalu bilang, Bali dengan 38 derajat berbeda dengan
Bandungmu yang 22 derajat.
“Aku masih percaya Tuhan, Yang. Kalau tentang
agama, sebagai bentuk alternatif selera manusia, aku masih sedikit hormatin kok.”
“Karena kamu dibesarkan dari keluarga beragama dan
lingkungan yang mempengaruhimu tentang agama. Kamu masih ragu-ragu dengan pendirianmu. Kamu harus memilih iya atau
tidak. Ragu-ragu bukan jawaban. Yang seperti dirimulah yang kerap tersesat.”
“Aku cuma kurang menyukai manusia yang mengaku
beragama tetapi bertingkah tidak sesuai dengan norma keagamaan yang
digembar-gemborkan. Mereka mengagungkan agama tetapi menutup pintu untuk
kemanusiaan. Bukankah kita di sini tinggal dengan manusia? Rasanya mereka jadi
membedakan manusia berdasarkan agama seperti memandang hanya mereka yang
manusia sementara yang lain bukan. Kalau menurutku sih, Tuhan hanya perkara
personal dan Yang Lebih Tinggi. Bukan juga bentuk pemaksaan feodal bahwa orang
lain harus mengikuti alur satu pihak. Aku lebih nggak suka dengan pemimpin
agama. Kadang mereka menyampaikan hal yang salah, tapi entah mengapa banyak
orang yang mempercayai ucapan mereka, bahkan mengagungkan orang-orang semacam
ini. Negara ini yang aneh atau manusia yang kadang susah dimengerti ya, Yang?”
“Ah, sama saja. Menurut
saya kamu masih meyakini agama.” Kau beranjak untuk meraih korek, rokok, dan asbak. Bersandar di dinding
dengan tatapan hampa dalam matamu yang lembut. Masih kulihat linangan keringat
menetes dari leher dan mengalir hingga dadamu.
Aku masih telungkup di ranjang dalam kehangatan
selimut. Kau nikmati tiap tarikan dan hembusan rokokmu. Kuraih tangan kananmu yang tak memegang rokok dan kumainkan telapak tanganmu, membagi keringat yang membanjiri
telapak tanganku. Sinyal kepanikanku muncul. Aku ingin mencairkan suasana yang mulai
tak nyaman.
“Kamu mau aku ambilin minum, Yang?” Aku
berdiri, melilitkan selimut dan mengambilkan untukmu segelas teh dingin untukmu
dan segelas air putih untukku. Aku duduk di sampingmu, dalam rengkuhan lenganmu
yang liat. Kau mengecup pipiku dan melanjutkan merokok.
“Aku merasakan chemistry antara kita. Obrolan dan responmu yang menyenangkan.”
Aku tersenyum dan mulai menyalakan rokokku.
“Kamu cantik, menarik, cerdas. Pasti banyak
laki-laki yang menyukaimu. Dan kamu masih sangat segar.” Kau suka mencium-cium rambut, telinga, dan
pipiku ketika aku sedang ada di sampingmu. Sesekali menciumi telapak tanganku.
“Kalau banyak cowok yang suka aku, sekarang aku
gak di kamar ini, sama kamu, Ayangku.”
“Ayolah. Cobalah ciptakan dirimu semenarik
mungkin. Kamu sudah memiliki semua yang diinginkan wanita. Rambut hitam panjang
dan bergelombang, kaki jenjang, tinggi semampai, tubuh berisi dan sintal, kulit
kuning-kecoklatan, wajah ayu khas
Indonesia. Kamu
tak perlu menambah atau mengubah apapun yang ada padamu. Kamu hanya perlu merawat apa
yang sudah diberikan padamu.”
Entah mengapa rasanya aku seperti dihempas oleh
kata-katamu. Aku ingin mengalihkan pembicaraan ini.
Mural Arief Hadinata sebagai tugas akhir yang ada di kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang |
“Aku nggak suka kalo cowok lihat orang lain
dari fisik. Rasanya gak adil. Aku pengin dilihat lebih dari fisik. Aku pengin
orang mengenalku dulu sebelum menjustifikasi. Buatku fisik itu bukan yang
utama. Karena aku juga gak pernah liat cowok dari fisik. Kalo mengagumi karena
cowok itu punya sesuatu yang menarik, ya Cuma sebatas ber-’oh’ dan ’ah’ sebagai
bentuk apresiasi atas karunia yang Tuhan kasih ke dia. Tapi untuk mengenal, aku
nggak tertarik karena dia sudah menunjukkan siapa dia dari
caranya. Aku ngerasa seksi ketika
aku bisa menjadi lawan bagi cowok. Bukan jadi objek yang bikin cowok melotot
pas aku lewat.” Aku menatapmu lekat dan aku suka ketika kamu tersenyum. Angkuh, menyebalkan, dan antagonis.
“Kamu memang lawan yang menyenangkan.” Kau
mencium bahuku dan mencium bibirku. “Takdir laki-laki memang makhluk visual.
Mereka memiliki satu bagian pada otaknya yang hanya menangkap hal-hal melalui
visual. Kalau itu memang prinsipmu, ya silakan, tak ada yang melarang. Tapi kalau
ada seorang gadis cantik dengan dandanan menarik, sempurna dan ia memiliki
pasangan yang mengendarai Toyota Alphard, jangan anggap dia matre. Itu adalah
hadiah untuknya. Butuh perjuangan untuk menjadi menarik. Mulai dari mengolah
fisik, berdandan, perawatan ke dokter hingga operasi plastik. Kamu tentu lebih
memahami itu dibanding saya. Kalau untuk lelaki yang memiliki Toyota Alphard itu, itu juga berkah
untuknya. Entah itu warisan orang tua atau kerja kerasnya, siapapun tidak
peduli. Faktanya adalah ia memiliki itu dan banyak yang akan mengapresiasi
usahanya.”
“Itu kenapa aku benci dongeng. Nggak adil.
Pangeran tampan dari kerajaan dengan putri cantik anak seorang saudagar kaya.
Kenapa pangerannya nggak cacat dan pake kursi roda? Atau putrinya jerawatan,
gendut, dengan rambut kusut. Dongeng menurutku adalah racun yang membuat
seseorang digolongkan ‘sempurna’ dan ‘kekurangan’. Liat aja sekarang, banyak
orang bergaya sosialita padahal dia dhuafa. Menghalalkan segala cara untuk
menjadi pangeran dan putri. Ya, menjadi pangeran agar
mendapatkan putri dan menjadi seorang putri untuk mendapatkan pangeran. Padahal
orang tua mereka bukan raja atau ratu. Relasi yang rumit dan kacau.”
“Kalau kamu menuntut relasi sederhana, relasi
sederhana manusia ada pada saling mambutuhkan—simbiosis. Wanita membutuhkan
kenyamanan secara finansial, laki-laki membutuhkan kenyamanan secara seksual.
Tapi akan menjadi tidak indah bila itu dijelaskan gamblang. Manusia menyukai
estetika. Maka dari itu diciptakan suka, sayang, cinta, dan akhirnya
pernikahan. Untuk membungkus sebuah simbiosis dengan estetika.”
“Ya, semua orang
membutuhkan kenyamanan finansial,
seksual, spiritual, intelektual, dan emosional. Lalu
pernikahan menjadi legalitas untuk semua itu. Hmm, nggak harus semua sih. Salah
satu pun bisa, asal apa yang dicari didapatkan.”
“Ya, tepat sekali. Relasi yang paling sederhana
dan tulus di dunia, tanpa ada simbiosis adalah relasi ibu pada anak. Relasimu
dengan rekan-rekanmu adalah bentuk simbiosis, kenyataan bahwa kamu membutuhkan
mereka. Entah mereka menyebalkan atau kadang melakukan hal buruk, kamu tetap
membutuhkan mereka. Kamu tetap menyimpan kontak mereka di henponmu.
“Ini juga yang saya suka denganmu. Kamu selalu bisa mengimbangi
percakapan kita. Saya tak akan percaya ada anak seusiamu yang bisa berpikir sematang ini.
Mungkin bila kamu tak menyantumkan usiamu di akun dan kita bertemu untuk saling
menebak usia, aku akan menyangka usiamu 25 tahun dan kali ini sedang menggeluti
studi lanjut di Pascasarjana.”
“Amin. Muga-muga aku tahun depan bisa lulus,
kerja, nabung, dan bisa kuliah lagi.”
“Ya, lulus, bekerja, sekolah lagi, mencari
pasangan yang baik, menikah, dan memiliki keluarga. Jangan terpesona oleh masa
mudamu dan mengaburkan masa depanmu. Jangan sampai terlambat seperti saya.”
Ingin aku menutup telinga bila kau sudah
mendialogkan hal ini.
“Ngomong-ngomong soal cinta, menurutku sih
cinta paling menyenangkan terjadi ketika di usia belasan, Yang. Pas SMP dan SMA.
Cinta yang gak memandang strata, warna, dan gak ada tuntutan. Abis dewasa,
pertimbangan buat memiliki relasi jadi lebih rumit. Agama, keluarga, gengsi, trus
tuntutan lingkungan soal kesiapan materi dan keturunan. Kayaknya kalo relasi
cuma dua orang yang saling mencintai tanpa melihat ada apa dan gimana, bakalan
lebih indah deh. Sampe adanya kesadaran buat mengikat dan menumbuhkan cinta dalam bentuk konkret karena
kesadaran dua pihak, bakal lebih keren lagi. Gak usah lah lingkungan
nuntut-nuntut buat, ‘Kapan nikah? Kapan punya anak?’ Kalo udah waktunya juga
bertelor sendiri.”
“Untuk usiamu memang itu belum menjadi
tuntutan. Tapi bagi usia saya?”
“Kenapa obrolan kita jadi sentralis tentang
kamu dan pendapatmu? Gak ada ruang buatku dan pendapatku?”
“Maaf. Mungkin saya yang sudah tua ini tak bisa mengimbangimu yang
masih muda.”
Aku menghela nafas. Kau selalu bisa membuatku
menutup konflik. Aku hanya bergumam dengan bahasa Jawa yang tak kau mengerti.
Aku tahu kau akan marah dan merasa tak adil ketika aku berbicara dengan bahasa
Jawa. Sama seperti ketika kamu mengomeli salah satu anak buahmu dengan bahasa
Sunda, aku pura-pura sibuk dengan ponsel. Ketika kau mengobrol via telepon
dengan sepupumu menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Mandarin, aku hanya
guling-guling sendiri di atas pasir pantai Kuta.
“Yang, tau gak sih, kadang ada orang yang coba
mempertahankan diri buat melindungi dirinya sendiri. Dari masalah yang pernah
mendera hidupnya, dari trauma, dari hal-hal yang tak diinginkan, dan dari hal yang tak dikehendaki
terjadi kembali dalam hidupnya.”
“Apa maksudmu tiba-tiba berbicara itu?”
“Gak ada maksud. Aku cuma pengin ngomong kalo
ada orang-orang yang tanpa disadari mempertahankan dirinya sendiri. Cara orang
untuk mempertahankan diri berbeda, yang intinya adalah jangan sampai ketika
lengah dan terulang lagi sakit yang dulu udah pernah kejadian. Contohnya ada
orang yang menjadi homoseksual ketika ia sadar saat menjalin hubungan dengan
lawan jenis, ia merasa disakiti dan tersiksa. Lalu untuk memupus sakit hati, ia
mempertahankan diri—atau lebih tepatnya memberontak dengan jadi homoseksual.
Supaya nggak terulang lagi kepahitan yang dialami. Ada juga yang trauma sama
perceraian orang tuanya, memilih buat nggak menikah karena tau rasanya jadi
anak broken.”
“Inti dari ucapanmu apa? Saya tak suka basa-basi.”
“Tentang manusia.”
“Okkay!”
Kau bangkit, mengenakan celanamu dan kembali ada di sudut kamar dengan komputer
lipat dan game onlinemu. Aku bangkit
dan kuputuskan menuju kamar mandi. “Mungkin kau benar mengenai mempertahankan
diri itu. Mungkin juga salah. Ya, hidup itu tentang kemungkinan kan. Itu
pendapatmu yang entah kau peroleh dari mana.”
“Makasih, Sayang.” Aku berjalan menuju kamar
mandi. Rasanya aku ingin menangis mendengar nada tinggimu ketika mengatakan ‘Okkay!’.
“Kamu pasti lapar. Saya mau masak pasta. Kamu mau?”
“Iya, Yang.”
Kunikmati setiap tetes air yang mengalir dari shower. Aku mulai memikirkanmu,
memikirkan tentang kita. Aku tersenyum sendiri. Bukankah kita unik. Kita
mengenal dari dunia maya, lalu melakukan keisengan untuk bertemu, dan kita menjadi
seperti Adam dan Hawa yang kembali bertemu setelah empat
puluh hari berpisah. Memang rasanya seperti kita pernah bertemu dan mengenal
sebelumnya, lalu terpisah dan bertemu kembali. Kita mengenal belum sampai 24 jam. Kita tidak sedang mempraktikkan American Style. Kita hanya terbawa pada
romansa yang tak akan mengikat kita satu sama lain. Seperti kau ucapkan, “Apa
yang terjadi di Bali, biarkan tertinggal di Bali. Kau harus menjaga hatimu
untuk yang lain.” Keanehanmu yang membuatku terombang-ambing. Pada satu fase
kau terasa menyenangkan, lalu terlihat menyebalkan, lalu dengan mudah menjadi
sangat menyenangkan. Kau sulit untuk diprediksi.
“Saya sudah selesai masak. Kalau sudah mandi, cepet
pakai baju dan makan.” Teriakmu dari pintu kamar mandi.
Aku segera membasuh badanku, mengenakan handuk,
dan berlari menuju kamar, menuju ragamu yang sudah manis dengan piring, sendok,
garpu, dan satu pitcher es teh.
Kuhempaskan tubuh ke arahmu.
“Apa yang kamu lihat dari aku?”
“Belum pakai baju.” Kamu meringis, menarikku
dan memelukku.
Aku menangis. “Kenapa kamu kasih ruang dan
jarak buatku? Rasanya nggak adil.”
“Saya memberikanmu kesempatan untuk mendapatkan yang
lebih baik. Kamu layak untuk itu.”
“Klise!” teriakku.
“Saya mencari pasangan yang matang dan bisa untuk
berkomitmen. Menjadi Ibu rumah tangga untuk mengurus saya
dan anak-anak saya. Lihatlah, saya 36 tahun. Kamu 22 tahun. Jarak usia
yang terlampau jauh dan kamu masih memiliki masa depan
yang jauh lebih indah dibandingkan memikirkan egomu untuk bersama saya. Apalagi ibumu hanya 4 tahun lebih tua dari saya. Apa pula yang akan orang
pikirkan ketika saya dan kamu berjalan di tengah umum? Kamu lebih pantas menjadi anak saya dan
kawan-kawanmu akan menertawakan saya karena lelucon saya yang dirasa garing. Orang akan berpikir saya menderita pedofilia.
Di samping itu, keluarga saya dari Katolik Roma yang kental, dan kamu dari keluarga yang
kental dengan Islam. Bukankah kita sudah membicarakan
agama adalah bentuk penggolongan manusia? Untuk kita memang tidak menjadi masalah, tapi akan menjadi masalah bagi
keluarga kita. Relasi yang sudah tidak mungkin untuk dijalani.
“Kamu bisa saja besok ketika hendak pulang ke
Semarang, bertemu seorang pemuda tampan di pintu masuk toilet, mengajakmu
berkenalan dan bertukar nomor telepon. Jangan tutup kemungkinan untuk mengenal
orang yang lebih baik. Bukankah kamu wanita cerdas? Jangan konyol memasrahkan
masa depanmu pada orang yang tak memiliki masa depan.”
“Kita belum coba buat jalani kan? Kenapa kamu
udah putus asa dulu?”
“Untuk apa menjalani hubungan yang memang sudah
tidak mungkin memiliki jalan. Hanya membuang waktu dan tenaga sia-sia. Lebih
baik kau gunakan waktu dan tenagamu untuk merawat dirimu, menjadikanmu lebih
menarik—bukan berarti sekarang tidak menarik. Kamu sangat menarik dan aku
benar-benar menyukaimu sebagai lelaki normal. Saat ini mungkin kau belum
membutuhkan penampilan. Ya, mungkin nanti kau akan tahu seberapa penting
penampilan bisa membuat perbedaan besar. Kau akan memiliki nilai lebih ketika
kau bisa menjadi lebih menarik dan akan banyak lelaki yang bersedia melakukan
apapun untukmu.”
“Aku bakal nglakuin apa aja kalo emang kamu
laki-laki yang mau lakuin apapun buatku.
“Saya tak akan pernah menjadi apapun untukmu. Saya tidak bisa dan tidak
mau.”
Aku menangis sejadi-jadinya. Meringkuk di
pangkuanmu.
Mengenangmu dan aku yang tak mungkin bersatu.
Thanks Man
ReplyDelete