Tuesday 5 August 2014

Jimbaran, 31 Desember 2013



Saya tidak percaya dengan agama.”
“Sama, Yang,” jawabku riang. Kupindahkan posisi tubuhku untuk condong ke arahmu yang ada di sudut kamar. Kau selalu berhasil membuatku tertarik mendengarkanmu dibanding menarik selimut dan tertidur setelah permainan melelahkan. Hingga kini aku masih memikirkan manakah yang membuatku lebih dulu tertarik, suara beratmu atau ceritamu.
“Sebenarnya agama hanya untuk menarik perhatian manusia pada satu konsep lalu menjadikan konsep itu sebagai kontrol sosial yang mengatur kehidupan manusia. Manusia sendiri yang menciptakan agama, lalu manusia pula yang mengarang-ngarang tentang Tuhan. Banyak kejanggalan ketika aku mempelajari agama. Banyak ajaran yang kontradiktif. Antara satu kalimat dan kalimat lain saling bertentangan.”
Kugerakkan tubuhku dan kuarahkan wajahku padamu. Kukecup pipi, bibir, dan keningmu. Kau balas dengan kecupan kening. Aku selalu menyukai ketika kau melakukannya. Aku kembali menuju ranjang untuk mencari kehangatan. Rahangmu yang mengeras ketika serius menghadap langit-langit kamar. Tanpa sehelai kain, kau dengan nyaman terlentang beralaskan keramik di bawah jendela menikmati angin malam beraroma hujan yang pelan-pelan mengalir dari celah gorden. Kau selalu bilang, Bali dengan 38 derajat berbeda dengan Bandungmu yang 22 derajat.
“Aku masih percaya Tuhan, Yang. Kalau tentang agama, sebagai bentuk alternatif selera manusia, aku masih sedikit hormatin kok.”
“Karena kamu dibesarkan dari keluarga beragama dan lingkungan yang mempengaruhimu tentang agama. Kamu masih ragu-ragu dengan pendirianmu. Kamu harus memilih iya atau tidak. Ragu-ragu bukan jawaban. Yang seperti dirimulah yang kerap tersesat.”
“Aku cuma kurang menyukai manusia yang mengaku beragama tetapi bertingkah tidak sesuai dengan norma keagamaan yang digembar-gemborkan. Mereka mengagungkan agama tetapi menutup pintu untuk kemanusiaan. Bukankah kita di sini tinggal dengan manusia? Rasanya mereka jadi membedakan manusia berdasarkan agama seperti memandang hanya mereka yang manusia sementara yang lain bukan. Kalau menurutku sih, Tuhan hanya perkara personal dan Yang Lebih Tinggi. Bukan juga bentuk pemaksaan feodal bahwa orang lain harus mengikuti alur satu pihak. Aku lebih nggak suka dengan pemimpin agama. Kadang mereka menyampaikan hal yang salah, tapi entah mengapa banyak orang yang mempercayai ucapan mereka, bahkan mengagungkan orang-orang semacam ini. Negara ini yang aneh atau manusia yang kadang susah dimengerti ya, Yang?”
“Ah, sama saja. Menurut saya kamu masih meyakini agama.” Kau beranjak untuk meraih korek, rokok, dan asbak. Bersandar di dinding dengan tatapan hampa dalam matamu yang lembut. Masih kulihat linangan keringat menetes dari leher dan mengalir hingga dadamu.
Aku masih telungkup di ranjang dalam kehangatan selimut. Kau nikmati tiap tarikan dan hembusan rokokmu. Kuraih tangan kananmu yang tak memegang rokok dan kumainkan telapak tanganmu, membagi keringat yang membanjiri telapak tanganku. Sinyal kepanikanku muncul. Aku ingin mencairkan suasana yang mulai tak nyaman.
“Kamu mau aku ambilin minum, Yang?” Aku berdiri, melilitkan selimut dan mengambilkan untukmu segelas teh dingin untukmu dan segelas air putih untukku. Aku duduk di sampingmu, dalam rengkuhan lenganmu yang liat. Kau mengecup pipiku dan melanjutkan merokok.
“Aku merasakan chemistry antara kita. Obrolan dan responmu yang menyenangkan.”
Aku tersenyum dan mulai menyalakan rokokku.
“Kamu cantik, menarik, cerdas. Pasti banyak laki-laki yang menyukaimu. Dan kamu masih sangat segar.” Kau suka mencium-cium rambut, telinga, dan pipiku ketika aku sedang ada di sampingmu. Sesekali menciumi telapak tanganku.
“Kalau banyak cowok yang suka aku, sekarang aku gak di kamar ini, sama kamu, Ayangku.”
“Ayolah. Cobalah ciptakan dirimu semenarik mungkin. Kamu sudah memiliki semua yang diinginkan wanita. Rambut hitam panjang dan bergelombang, kaki jenjang, tinggi semampai, tubuh berisi dan sintal, kulit kuning-kecoklatan, wajah ayu khas Indonesia. Kamu tak perlu menambah atau mengubah apapun yang ada padamu. Kamu hanya perlu merawat apa yang sudah diberikan padamu.”
Entah mengapa rasanya aku seperti dihempas oleh kata-katamu. Aku ingin mengalihkan pembicaraan ini.

Mural Arief Hadinata sebagai tugas akhir yang ada di kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
“Aku nggak suka kalo cowok lihat orang lain dari fisik. Rasanya gak adil. Aku pengin dilihat lebih dari fisik. Aku pengin orang mengenalku dulu sebelum menjustifikasi. Buatku fisik itu bukan yang utama. Karena aku juga gak pernah liat cowok dari fisik. Kalo mengagumi karena cowok itu punya sesuatu yang menarik, ya Cuma sebatas ber-’oh’ dan ’ah’ sebagai bentuk apresiasi atas karunia yang Tuhan kasih ke dia. Tapi untuk mengenal, aku nggak tertarik karena dia sudah menunjukkan siapa dia dari caranya. Aku ngerasa seksi ketika aku bisa menjadi lawan bagi cowok. Bukan jadi objek yang bikin cowok melotot pas aku lewat.” Aku menatapmu lekat dan aku suka ketika kamu tersenyum. Angkuh, menyebalkan, dan antagonis.
“Kamu memang lawan yang menyenangkan.” Kau mencium bahuku dan mencium bibirku. “Takdir laki-laki memang makhluk visual. Mereka memiliki satu bagian pada otaknya yang hanya menangkap hal-hal melalui visual. Kalau itu memang prinsipmu, ya silakan, tak ada yang melarang. Tapi kalau ada seorang gadis cantik dengan dandanan menarik, sempurna dan ia memiliki pasangan yang mengendarai Toyota Alphard, jangan anggap dia matre. Itu adalah hadiah untuknya. Butuh perjuangan untuk menjadi menarik. Mulai dari mengolah fisik, berdandan, perawatan ke dokter hingga operasi plastik. Kamu tentu lebih memahami itu dibanding saya. Kalau untuk lelaki yang memiliki Toyota Alphard itu, itu juga berkah untuknya. Entah itu warisan orang tua atau kerja kerasnya, siapapun tidak peduli. Faktanya adalah ia memiliki itu dan banyak yang akan mengapresiasi usahanya.”
“Itu kenapa aku benci dongeng. Nggak adil. Pangeran tampan dari kerajaan dengan putri cantik anak seorang saudagar kaya. Kenapa pangerannya nggak cacat dan pake kursi roda? Atau putrinya jerawatan, gendut, dengan rambut kusut. Dongeng menurutku adalah racun yang membuat seseorang digolongkan ‘sempurna’ dan ‘kekurangan’. Liat aja sekarang, banyak orang bergaya sosialita padahal dia dhuafa. Menghalalkan segala cara untuk menjadi pangeran dan putri. Ya, menjadi pangeran agar mendapatkan putri dan menjadi seorang putri untuk mendapatkan pangeran. Padahal orang tua mereka bukan raja atau ratu. Relasi yang rumit dan kacau.”
“Kalau kamu menuntut relasi sederhana, relasi sederhana manusia ada pada saling mambutuhkan—simbiosis. Wanita membutuhkan kenyamanan secara finansial, laki-laki membutuhkan kenyamanan secara seksual. Tapi akan menjadi tidak indah bila itu dijelaskan gamblang. Manusia menyukai estetika. Maka dari itu diciptakan suka, sayang, cinta, dan akhirnya pernikahan. Untuk membungkus sebuah simbiosis dengan estetika.”
Ya, semua orang membutuhkan kenyamanan finansial, seksual, spiritual, intelektual, dan emosional. Lalu pernikahan menjadi legalitas untuk semua itu. Hmm, nggak harus semua sih. Salah satu pun bisa, asal apa yang dicari didapatkan.
“Ya, tepat sekali. Relasi yang paling sederhana dan tulus di dunia, tanpa ada simbiosis adalah relasi ibu pada anak. Relasimu dengan rekan-rekanmu adalah bentuk simbiosis, kenyataan bahwa kamu membutuhkan mereka. Entah mereka menyebalkan atau kadang melakukan hal buruk, kamu tetap membutuhkan mereka. Kamu tetap menyimpan kontak mereka di henponmu.
“Ini juga yang saya suka denganmu. Kamu selalu bisa mengimbangi percakapan kita. Saya tak akan percaya ada anak seusiamu yang bisa berpikir sematang ini. Mungkin bila kamu tak menyantumkan usiamu di akun dan kita bertemu untuk saling menebak usia, aku akan menyangka usiamu 25 tahun dan kali ini sedang menggeluti studi lanjut di Pascasarjana.”
“Amin. Muga-muga aku tahun depan bisa lulus, kerja, nabung, dan bisa kuliah lagi.”
“Ya, lulus, bekerja, sekolah lagi, mencari pasangan yang baik, menikah, dan memiliki keluarga. Jangan terpesona oleh masa mudamu dan mengaburkan masa depanmu. Jangan sampai terlambat seperti saya.”
Ingin aku menutup telinga bila kau sudah mendialogkan hal ini.
“Ngomong-ngomong soal cinta, menurutku sih cinta paling menyenangkan terjadi ketika di usia belasan, Yang. Pas SMP dan SMA. Cinta yang gak memandang strata, warna, dan gak ada tuntutan. Abis dewasa, pertimbangan buat memiliki relasi jadi lebih rumit. Agama, keluarga, gengsi, trus tuntutan lingkungan soal kesiapan materi dan keturunan. Kayaknya kalo relasi cuma dua orang yang saling mencintai tanpa melihat ada apa dan gimana, bakalan lebih indah deh. Sampe adanya kesadaran buat mengikat dan menumbuhkan cinta dalam bentuk konkret karena kesadaran dua pihak, bakal lebih keren lagi. Gak usah lah lingkungan nuntut-nuntut buat, ‘Kapan nikah? Kapan punya anak?’ Kalo udah waktunya juga bertelor sendiri.
“Untuk usiamu memang itu belum menjadi tuntutan. Tapi bagi usia saya?”
“Kenapa obrolan kita jadi sentralis tentang kamu dan pendapatmu? Gak ada ruang buatku dan pendapatku?”
“Maaf. Mungkin saya yang sudah tua ini tak bisa mengimbangimu yang masih muda.”
Aku menghela nafas. Kau selalu bisa membuatku menutup konflik. Aku hanya bergumam dengan bahasa Jawa yang tak kau mengerti. Aku tahu kau akan marah dan merasa tak adil ketika aku berbicara dengan bahasa Jawa. Sama seperti ketika kamu mengomeli salah satu anak buahmu dengan bahasa Sunda, aku pura-pura sibuk dengan ponsel. Ketika kau mengobrol via telepon dengan sepupumu menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Mandarin, aku hanya guling-guling sendiri di atas pasir pantai Kuta.
“Yang, tau gak sih, kadang ada orang yang coba mempertahankan diri buat melindungi dirinya sendiri. Dari masalah yang pernah mendera hidupnya, dari trauma, dari hal-hal yang tak diinginkan, dan dari hal yang tak dikehendaki terjadi kembali dalam hidupnya.”
“Apa maksudmu tiba-tiba berbicara itu?”
“Gak ada maksud. Aku cuma pengin ngomong kalo ada orang-orang yang tanpa disadari mempertahankan dirinya sendiri. Cara orang untuk mempertahankan diri berbeda, yang intinya adalah jangan sampai ketika lengah dan terulang lagi sakit yang dulu udah pernah kejadian. Contohnya ada orang yang menjadi homoseksual ketika ia sadar saat menjalin hubungan dengan lawan jenis, ia merasa disakiti dan tersiksa. Lalu untuk memupus sakit hati, ia mempertahankan diri—atau lebih tepatnya memberontak dengan jadi homoseksual. Supaya nggak terulang lagi kepahitan yang dialami. Ada juga yang trauma sama perceraian orang tuanya, memilih buat nggak menikah karena tau rasanya jadi anak broken.”
“Inti dari ucapanmu apa? Saya tak suka basa-basi.”
“Tentang manusia.”
Okkay!” Kau bangkit, mengenakan celanamu dan kembali ada di sudut kamar dengan komputer lipat dan game onlinemu. Aku bangkit dan kuputuskan menuju kamar mandi. “Mungkin kau benar mengenai mempertahankan diri itu. Mungkin juga salah. Ya, hidup itu tentang kemungkinan kan. Itu pendapatmu yang entah kau peroleh dari mana.”
“Makasih, Sayang.” Aku berjalan menuju kamar mandi. Rasanya aku ingin menangis mendengar nada tinggimu ketika mengatakan ‘Okkay!’.
“Kamu pasti lapar. Saya mau masak pasta. Kamu mau?”
“Iya, Yang.”
Kunikmati setiap tetes air yang mengalir dari shower. Aku mulai memikirkanmu, memikirkan tentang kita. Aku tersenyum sendiri. Bukankah kita unik. Kita mengenal dari dunia maya, lalu melakukan keisengan untuk bertemu, dan kita menjadi seperti Adam dan Hawa yang kembali bertemu setelah empat puluh hari berpisah. Memang rasanya seperti kita pernah bertemu dan mengenal sebelumnya, lalu terpisah dan bertemu kembali. Kita mengenal belum sampai 24 jam. Kita tidak sedang mempraktikkan American Style. Kita hanya terbawa pada romansa yang tak akan mengikat kita satu sama lain. Seperti kau ucapkan, “Apa yang terjadi di Bali, biarkan tertinggal di Bali. Kau harus menjaga hatimu untuk yang lain.” Keanehanmu yang membuatku terombang-ambing. Pada satu fase kau terasa menyenangkan, lalu terlihat menyebalkan, lalu dengan mudah menjadi sangat menyenangkan. Kau sulit untuk diprediksi.
Saya sudah selesai masak. Kalau sudah mandi, cepet pakai baju dan makan.” Teriakmu dari pintu kamar mandi.
Aku segera membasuh badanku, mengenakan handuk, dan berlari menuju kamar, menuju ragamu yang sudah manis dengan piring, sendok, garpu, dan satu pitcher es teh. Kuhempaskan tubuh ke arahmu.
“Apa yang kamu lihat dari aku?”
“Belum pakai baju.” Kamu meringis, menarikku dan memelukku.
Aku menangis. “Kenapa kamu kasih ruang dan jarak buatku? Rasanya nggak adil.”
Saya memberikanmu kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik. Kamu layak untuk itu.”
“Klise!” teriakku.
Saya mencari pasangan yang matang dan bisa untuk berkomitmen. Menjadi Ibu rumah tangga untuk mengurus saya dan anak-anak saya. Lihatlah, saya 36 tahun. Kamu 22 tahun. Jarak usia yang terlampau jauh dan kamu masih memiliki masa depan yang jauh lebih indah dibandingkan memikirkan egomu untuk bersama saya. Apalagi ibumu hanya 4 tahun lebih tua dari saya. Apa pula yang akan orang pikirkan ketika saya dan kamu berjalan di tengah umum? Kamu lebih pantas menjadi anak saya dan kawan-kawanmu akan menertawakan saya karena lelucon saya yang dirasa garing. Orang akan berpikir saya menderita pedofilia. Di samping itu, keluarga saya dari Katolik Roma yang kental, dan kamu dari keluarga yang kental dengan Islam. Bukankah kita sudah membicarakan agama adalah bentuk penggolongan manusia? Untuk kita memang tidak menjadi masalah, tapi akan menjadi masalah bagi keluarga kita. Relasi yang sudah tidak mungkin untuk dijalani.
Kamu bisa saja besok ketika hendak pulang ke Semarang, bertemu seorang pemuda tampan di pintu masuk toilet, mengajakmu berkenalan dan bertukar nomor telepon. Jangan tutup kemungkinan untuk mengenal orang yang lebih baik. Bukankah kamu wanita cerdas? Jangan konyol memasrahkan masa depanmu pada orang yang tak memiliki masa depan.”
“Kita belum coba buat jalani kan? Kenapa kamu udah putus asa dulu?”
“Untuk apa menjalani hubungan yang memang sudah tidak mungkin memiliki jalan. Hanya membuang waktu dan tenaga sia-sia. Lebih baik kau gunakan waktu dan tenagamu untuk merawat dirimu, menjadikanmu lebih menarik—bukan berarti sekarang tidak menarik. Kamu sangat menarik dan aku benar-benar menyukaimu sebagai lelaki normal. Saat ini mungkin kau belum membutuhkan penampilan. Ya, mungkin nanti kau akan tahu seberapa penting penampilan bisa membuat perbedaan besar. Kau akan memiliki nilai lebih ketika kau bisa menjadi lebih menarik dan akan banyak lelaki yang bersedia melakukan apapun untukmu.”
“Aku bakal nglakuin apa aja kalo emang kamu laki-laki yang mau lakuin apapun buatku.
Saya tak akan pernah menjadi apapun untukmu. Saya tidak bisa dan tidak mau.”
Aku menangis sejadi-jadinya. Meringkuk di pangkuanmu.

Mengenangmu dan aku yang tak mungkin bersatu.

1 comment:

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...