Tuesday 5 August 2014

E N T A H

Mural Arief Hadinata di Taman KB Kota Semarang


“Kapan terakhir kamu ke sini?”
Kau mengangkat bahu. Mengisap rokokmu dan mengepulkannya dengan bentuk O yang melayang-layang di udara. Aku masih suka menonjok-nonjok lubang yang dibentuk asap itu.
“Terakhir kali aku ke sini bersama teman-temanku ketika ada Semarang Night Carnival. Itu juga cuma duduk di depan karena di dalam penuhnya setengah mati. Sekitar tahun 2014.”
“Aku udah nggak tertarik untuk duduk di sini. Apalagi dengan kamu.”
Aku tersenyum.
“Maaf. Yah, sebaiknya kita pulang.” Aku mengemasi ponsel, rokok, da korekku ke dalam tas.
“Tapi karena kita sudah di sini, jadi biarlah.”
Aku memincingkan mata ke arahmu. Kau tersenyum, memperlihatkan gigimu. Hatiku mendesir. Sensasi ini masih sama. Tas membeku di pangkuanku. Aku pun bingung apa yang hendak kulakukan.
 “Mungkin ada baiknya kita pulang, mungkin kamu lelah.”
“Hahaha...” Kali ini kau menarik kursi mendekatiku. Menatapku. “Tolol!” Kau dorong keningku dengan telunjukmu.
“Kamu nggak berubah.”
“Iya. Nggak ada yang berubah. Masih jadi kere, suka minum, begadang, dan galau dengan identitasnya.”
“Masih jaman ya istilah galau?”
“Selama bahasa Indonesia masih berlaku di Indonesia, kata ‘galau’ masih berlaku, Ndut.”
Aku tersenyum kembali, tapi kali ini dengan getir yang menyetrum sekujur tubuhku.
“Kamu ada acara apa ke Semarang?”
“Teman kosku, si Ana, kamu inget? Yang anak Ambarawa, dia nikah. Mumpung long weekend, gak ada salahnya main-main dulu.”
“Dari dulu masih sama.”
“Kan mumpung.”
“Alah.”
“Masih aja konsisten sengak.”
“Masih aja konsisten ngluyur.”
“Hahaha...” Aku tertawa lagi. “Pacarmu sekarang siapa?”
“Pertanyaan klasik dari mantan itu nanyain siapa pacar yang sekarang. Kenapa gak nanya siapa istriku?”
“Nggaklah. Kalo kamu udah nikah, pasti Ibu udah kasih tau aku.”
“Kamu masih kontak sama Ibu.”
“Iya. Terakhir kemarin ngucapin selamat Hari Ibu.”
“Oh...”
“Kenapa emangnya.”
“Nggak pa-pa. Lucu aja.”
“Ketawa dong kalo lucu.”
“Udah.”
“Kapan?”
“Dalam hati.”
Bola mataku berputar. “Sekarang sok cool banget.”
“Ibu sempet cerita kabarmu. Aku gak tau harus ngrespon apa.”
“Oh, itu. Iya.”
“Tapi sekarang kamu baik-baik aja kan?”
“Sedikit.”
“Maaf.”
“Ngapain kamu minta maaf?”
“Nggak tau, pengen aja.”
Dan kita hening untuk beberapa detik. Aku bingung.
“Aku seneng denger semua cita-citamu tercapai. Aku tau dari dulu kamu orang yang optimis. Dan ambisius.”
“Makasih.”
Kali ini kau menatapku. Tatapan yang lama tak pernah aku lihat. Berhasil menembus jantungku hingga detaknya tak beraturan lagi.
“Kenapa kamu sempet-sempetin ngajak ketemu aku?”
Sekarang aku yang mengangkat bahu. “Iseng.”
“Oh... Bukan kangen?”
Aku melihatmu yang sudah tak menatapku lagi. “Sedikit. Cuma pengin bernostalgia.”
“Nostalgia?”
“Iya.”
“Aku pikir kamu orang paling praktis dan tidak pernah ingin membuang waktu. Trus, kamu sekarang beralasan nostalgia untuk bertemu denganku dan mengobrol panjang lebar nggak penting?”
Aku menghembuskan nafas.
“Aku nggak mau jadi selingkuhanmu lagi.”
Aku berjengit mendengar kalimatmu.
“Kamu ingat kan tempat ini? Ini tempat kita selalu menghabiskan waktu dari malam Minggu hingga Minggu pagi. Mengobrol tak jelas arah dan kabur dari pacarmu. Pacarmu yang tak pernah mengajakmu ke Mall, tak pernah mau kau ajak nongkrong, tak pernah memiliki waktu untukmu. Karakter yang sama dengan suamimu sekarang. Sibuk dengan aktivitasnya. Lalu menjadikanku pelarian atas kebosananmu dengan pacarmu.”
“Omonganmu sama sekali nggak dipikir pakai otak.”
“Lalu apa yang harusnya aku omongkan kalau aku memakai otak?”
“Apa aku salah kalau ingin bertemu dan mengobrol denganmu?”
“Mengobrol? Bukan bercerita tentang suamimu yang sibuk dengan aktivitasnya, sakitmu yang kau simpan sendiri, ketakutanmu atas dosa-dosamu yang menjadikanmu tak seutuhnya menjadi wanita? Aku sudah mendengar semuanya. Tak hanya dari ibu, tapi juga dari semua status dan tweetmu di Facebook dan Twitter.”
Aku tak kuat menahan air mata. “Aku nggak bahagia.”
“Bener kan apa yang barusan aku bilang?”
Tangisku semakin menjadi.
“Udah, nggak usah nangis. Malu-maluin.”
“Kamu nggak pernah tau rasanya mendapat semua yang diinginkan tapi kehilangan kebahagiaan.”
“Apa kurang semua kemewahan yang kamu inginkan itu? Kurang bahagia dengan semua yang bisa kamu beli?”
“Bahagia nggak bisa dibeli?”
“Bahagia macam apa yang tak bisa dibeli?”
“Aku nggak tau.”
“Lalu buat apa kamu menuntut bahagia kalau kamu sendiri nggak ngerti apa itu bahagia?”
“Karena aku udah lama nggak ngerti apa itu bahagia. Aku nggak punya definisinya.”
“Aneh.”
“Aku kehilangan. Kehilangan semua hal-hal sederhana yang bikin aku tertawa.”
“Kamu bisa pergi nonton film atau ke taman hiburan. Kamu bisa tertawa. Kamu bisa berkumpul dengan teman-temanmu, berbicara banyak hal. Pamer habis jalan-jalan ke Inggris, beli tas bermerek, beli rumah baru, beli mobil baru...”
“Iya! Aku bisa semua. Tapi aku selalu merasa menyesal kenapa aku nggak pernah bisa mendorongmu untuk berjuang bersamaku.”
Kau tersenyum sinis. “Berjuang bersama? Apa yang kau inginkan bukan apa yang aku inginkan. Kita punya target berbeda dalam hidup.”
“Apa targetmu dalam hidup?”
“Tak ingin menjadi pasanganmu.”
“Itu?”
“Iya.”
“Apa alasannya?”
“Kamu dan segala keanehanmu yang tidak aku mengerti.”
“Oke. Maaf udah buang waktumu.” Aku bangkit.
“Aku sadar aku siapa dan bagaimana. Harusnya kamu ngerti. Ada orang yang ingin bersama tapi sadar tak mungkin bersama.”
Aku segera melenggang pergi dengan berurai air mata.

Semarang, 28 Mei 2014
Ketika manusia dihempas oleh fakta

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...