Mural Arief Hadinata di Taman KB Kota Semarang |
“Kapan
terakhir kamu ke sini?”
Kau
mengangkat bahu. Mengisap rokokmu dan mengepulkannya dengan bentuk O yang
melayang-layang di udara. Aku masih suka menonjok-nonjok lubang yang dibentuk
asap itu.
“Terakhir
kali aku ke sini bersama teman-temanku ketika ada Semarang Night Carnival. Itu juga cuma duduk di depan karena di
dalam penuhnya setengah mati. Sekitar tahun 2014.”
“Aku
udah nggak tertarik untuk duduk di sini. Apalagi dengan kamu.”
Aku
tersenyum.
“Maaf.
Yah, sebaiknya kita pulang.” Aku mengemasi ponsel, rokok, da korekku ke dalam
tas.
“Tapi
karena kita sudah di sini, jadi biarlah.”
Aku
memincingkan mata ke arahmu. Kau tersenyum, memperlihatkan gigimu. Hatiku
mendesir. Sensasi ini masih sama. Tas membeku di pangkuanku. Aku pun bingung
apa yang hendak kulakukan.
“Mungkin ada baiknya kita pulang, mungkin kamu
lelah.”
“Hahaha...”
Kali ini kau menarik kursi mendekatiku. Menatapku. “Tolol!” Kau dorong keningku
dengan telunjukmu.
“Kamu
nggak berubah.”
“Iya.
Nggak ada yang berubah. Masih jadi kere, suka minum, begadang, dan galau dengan
identitasnya.”
“Masih
jaman ya istilah galau?”
“Selama
bahasa Indonesia masih berlaku di Indonesia, kata ‘galau’ masih berlaku, Ndut.”
Aku
tersenyum kembali, tapi kali ini dengan getir yang menyetrum sekujur tubuhku.
“Kamu
ada acara apa ke Semarang?”
“Teman
kosku, si Ana, kamu inget? Yang anak Ambarawa, dia nikah. Mumpung long weekend, gak ada salahnya main-main
dulu.”
“Dari
dulu masih sama.”
“Kan
mumpung.”
“Alah.”
“Masih
aja konsisten sengak.”
“Masih
aja konsisten ngluyur.”
“Hahaha...”
Aku tertawa lagi. “Pacarmu sekarang siapa?”
“Pertanyaan
klasik dari mantan itu nanyain siapa pacar yang sekarang. Kenapa gak nanya siapa
istriku?”
“Nggaklah.
Kalo kamu udah nikah, pasti Ibu udah kasih tau aku.”
“Kamu
masih kontak sama Ibu.”
“Iya.
Terakhir kemarin ngucapin selamat Hari Ibu.”
“Oh...”
“Kenapa
emangnya.”
“Nggak
pa-pa. Lucu aja.”
“Ketawa
dong kalo lucu.”
“Udah.”
“Kapan?”
“Dalam
hati.”
Bola
mataku berputar. “Sekarang sok cool
banget.”
“Ibu
sempet cerita kabarmu. Aku gak tau harus ngrespon apa.”
“Oh,
itu. Iya.”
“Tapi
sekarang kamu baik-baik aja kan?”
“Sedikit.”
“Maaf.”
“Ngapain
kamu minta maaf?”
“Nggak
tau, pengen aja.”
Dan
kita hening untuk beberapa detik. Aku bingung.
“Aku
seneng denger semua cita-citamu tercapai. Aku tau dari dulu kamu orang yang
optimis. Dan ambisius.”
“Makasih.”
Kali
ini kau menatapku. Tatapan yang lama tak pernah aku lihat. Berhasil menembus
jantungku hingga detaknya tak beraturan lagi.
“Kenapa
kamu sempet-sempetin ngajak ketemu aku?”
Sekarang
aku yang mengangkat bahu. “Iseng.”
“Oh...
Bukan kangen?”
Aku
melihatmu yang sudah tak menatapku lagi. “Sedikit. Cuma pengin bernostalgia.”
“Nostalgia?”
“Iya.”
“Aku
pikir kamu orang paling praktis dan tidak pernah ingin membuang waktu. Trus,
kamu sekarang beralasan nostalgia untuk bertemu denganku dan mengobrol panjang
lebar nggak penting?”
Aku
menghembuskan nafas.
“Aku
nggak mau jadi selingkuhanmu lagi.”
Aku
berjengit mendengar kalimatmu.
“Kamu
ingat kan tempat ini? Ini tempat kita selalu menghabiskan waktu dari malam
Minggu hingga Minggu pagi. Mengobrol tak jelas arah dan kabur dari pacarmu.
Pacarmu yang tak pernah mengajakmu ke Mall, tak pernah mau kau ajak nongkrong,
tak pernah memiliki waktu untukmu. Karakter yang sama dengan suamimu sekarang.
Sibuk dengan aktivitasnya. Lalu menjadikanku pelarian atas kebosananmu dengan
pacarmu.”
“Omonganmu
sama sekali nggak dipikir pakai otak.”
“Lalu
apa yang harusnya aku omongkan kalau aku memakai otak?”
“Apa
aku salah kalau ingin bertemu dan mengobrol denganmu?”
“Mengobrol?
Bukan bercerita tentang suamimu yang sibuk dengan aktivitasnya, sakitmu yang
kau simpan sendiri, ketakutanmu atas dosa-dosamu yang menjadikanmu tak
seutuhnya menjadi wanita? Aku sudah mendengar semuanya. Tak hanya dari ibu,
tapi juga dari semua status dan tweetmu
di Facebook dan Twitter.”
Aku
tak kuat menahan air mata. “Aku nggak bahagia.”
“Bener
kan apa yang barusan aku bilang?”
Tangisku
semakin menjadi.
“Udah,
nggak usah nangis. Malu-maluin.”
“Kamu
nggak pernah tau rasanya mendapat semua yang diinginkan tapi kehilangan
kebahagiaan.”
“Apa
kurang semua kemewahan yang kamu inginkan itu? Kurang bahagia dengan semua yang
bisa kamu beli?”
“Bahagia
nggak bisa dibeli?”
“Bahagia
macam apa yang tak bisa dibeli?”
“Aku
nggak tau.”
“Lalu
buat apa kamu menuntut bahagia kalau kamu sendiri nggak ngerti apa itu
bahagia?”
“Karena
aku udah lama nggak ngerti apa itu bahagia. Aku nggak punya definisinya.”
“Aneh.”
“Aku
kehilangan. Kehilangan semua hal-hal sederhana yang bikin aku tertawa.”
“Kamu
bisa pergi nonton film atau ke taman hiburan. Kamu bisa tertawa. Kamu bisa
berkumpul dengan teman-temanmu, berbicara banyak hal. Pamer habis jalan-jalan
ke Inggris, beli tas bermerek, beli rumah baru, beli mobil baru...”
“Iya!
Aku bisa semua. Tapi aku selalu merasa menyesal kenapa aku nggak pernah bisa
mendorongmu untuk berjuang bersamaku.”
Kau
tersenyum sinis. “Berjuang bersama? Apa yang kau inginkan bukan apa yang aku
inginkan. Kita punya target berbeda dalam hidup.”
“Apa
targetmu dalam hidup?”
“Tak
ingin menjadi pasanganmu.”
“Itu?”
“Iya.”
“Apa
alasannya?”
“Kamu
dan segala keanehanmu yang tidak aku mengerti.”
“Oke.
Maaf udah buang waktumu.” Aku bangkit.
“Aku
sadar aku siapa dan bagaimana. Harusnya kamu ngerti. Ada orang yang ingin
bersama tapi sadar tak mungkin bersama.”
Aku
segera melenggang pergi dengan berurai air mata.
Semarang, 28 Mei 2014
Ketika manusia dihempas oleh fakta
No comments:
Post a Comment