Friday 29 August 2014

B E R M A I N



Kulirik ia dan mata kami bertemu. Kami sempat terpaku selama dua detik. Sial! Kutahan malu dengan kembali membungkus puntung rokok dengan ampas kopi. Kembali aku melihatnya. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, memperhatikan rambutnya, memperhatikan kebiasaannya. Semua tentangnya. Hanya bisa kunikmati di saat tak terprediksi dari jarak yang juga sering tak pasti.
Bila aku duduk di sini dan nampak sengaja bercengkrama dengan coffee boy, Anda salah. Tapi bila dikatakan menunggunya datang dan melihatnya membuat kehebohan dengan rekan-rekannya, Anda separuh salah. Yang benar adalah aku tengah mengintai. Aku sangat ingin mengenalnya.
“Mas, itu siapa?” tanyaku pada Mas Agus sambil menunjuk gadis rambutnya keriting di antara gadis berambut lurus.
“Itu Mbak Ayya. Kenapa Mas? Naksir ya?”
“Salam ya.”
“Salam apa nih?”
“Udah, salam aja.”
Esoknya kutanyakan pada Mas Agus perihal pesanku untuk menyampaikan salam pada Mbak Ayya.
“Cuma iya, Mas.”
“Maksudnya?”
“Pas aku bilang Mbak Ayya, ‘Mbak, dapet salam.’, dia cuma jawab, ‘Ya.’ aja Mas.”
“Nggak tanya-tanya lagi?”
“Nggak.”
“Ya udah, Mas, salam lagi aja buat Mbak Ayya ya?” Aku nyengir.
“Sip, Mas.”
Hari-hari berikutnya, bahkan hampir setiap hari aku selalu menitipkan salam untuk Mbak Ayya melalui Mas Agus. Setiap hari pula aku tanyakan bagaimana perkembangannya. Dan jawaban pun berbanding lurus dengan hari kemarin. Hanya dijawab dengan ‘Ya.’. Jawaban paling berbeda hanya ‘Alah, paling juga dari kamu.’. Memang belum rejekiku untuk mengenal Mbak Ayya. Tapi itulah yang membuatku semakin ingin mengenalnya.

Siang ini, aku tak menyangka ia datang. Biasanya ia datang saat malam hari. Seperti biasa, es teh. Selalu ia gigit tiap gumpal es yang mengambang di gelas. Ia sangat menikmati aktivitasnya tanpa menghiraukan orang lain yang merasa giginya menjadi ngilu. Bahkan sebelum ia teguk teh manis itu, sudah ia tambah lagi gumpal-gumpal es kristal dan ia kunyah seperti mengunyah krupuk.
“Minta rokoknya boleh, Mas?” Kali ini ia duduk di sampingku di kursi panjang depan warung kopi.
“Silakan Mbak. Untung masih ada satu. Rejeki Mbak.”
Ia tersenyum dan kuberikan juga korek. Dinyalakannya rokok itu dan ia nampak tak canggung untuk merokok di tempat umum. Perkiraan pertama: gadis yang menarik.
“Mau ke mana, Mbak?” Kucoba memulai perbincangan. Inilah saat yang telah lama kutunggu-tunggu. Berbincang dengannya dan mengenalnya.
“Mau online di Dekanat. Bikin tugas.”
Aku mengangguk. Hari Minggu yang terik dan ia membawa laptop untuk hotspotan di Dekanat dan mengerjakan tugas. Perkiraan kedua: gadis yang rajin.
“Semester berapa Mbak?”
“Delapan.”
Setengah tak percaya dan sisanya kaget. Tingkah dan penampilannya tak sedikitpun menunjukkan ia sebagai seorang mahasiswa yang tengah dikejar-kejar skripsi. Oh, mungin alasan ia siang ini online di Dekanat adalah karena harus mengerjakan skripsi.
“Skripsi Mbak?”
Dia tertawa. “Belum. Aku masih kuliah sama semester empat. Tapi ini juga proses bikin proposal kok. Kamu ndiri, jurusan apa? Semester berapa?”
“Ekonomi, Mbak. Semester empat.”
Ia mengangguk. Setelah menghabiskan es tehnya, ia membayar, dan permisi pergi untuk melanjutkan niat awalnya online di Dekanat.
Selanjutnya, setiap kami bertemu, ia selalu menyapaku dan sedikit mengobrol. Obrolan ringan seputar yang kami lihat. Kami pun tak pernah mengobrol berdua. Saat aku bersama kawan-kawannya atau sering terlibat obrolan panjang dengan coffee boy. Aku tak mengerti kenapa sejak awal ia tak bertanya namaku.
Mural karya Arief Hadinata

Ia datang menenteng tas laptop. Selalu tas laptop itu. Duduk dan meminta es teh. Tak ada yang berubah. Yang kuingat hanya rambutnya yang kadang dikuncir kuda atau diikat bulat seperti onde-onde. Ia lebih sering terlihat sendiri dan juga datang sendiri. Hanya beberapa kali saja ia bersama kawan-kawannya. Aku pun tak pernah melihatnya dengan laki-laki. Kalaupun ia tengah bersama laki-laki, seratus persen aku yakin itu adalah kawan-kawannya, karena dari caranya berbicara dan berdekatan dengan mereka, tak ada yang istimewa. Lagipula, tak pernah ia bersama laki-laki yang sama lebih dari dua kali. Aku pun sering melihatnya menyapa atau disapa oleh orang-orang yang datang ke warung kopi. Perkiraan ketiga: memiliki banyak kawan dan supel.
Malam ini ia datang dengan seorang laki-laki. Tanpa tas laptop dan motor bebeknya, karena ia berboncengan dengan laki-laki itu. Nampaknya lebih muda, karena lelaki itu memanggilnya ‘Mbak’. Duduk dan makan. Aku melihatnya berbincang. Kuyakin itu bukan kekasihnya. Karena dari matanya aku tahu tak ada tatapan lebih. Mungkin adik atau kerabatnya. Ia lalu berjalan keluar dan menghadang sebuah mobil yang berhenti di depan dan berbicara dengan pengemudi mobil itu lalu kembali duduk dengan kawannya.
Ia tersenyum padaku dan kubalas senyumnya saat ia memesan makanan dan kebetulan aku duduk tak jauh dari situ.
“Siapa tuh?” Aduh, kenapa pertanyaanku tiba-tiba seperti ini? Semoga ia tak menyadari nada bicaraku.
Ia kembali tersenyum dan mendekat padaku sambil menunggu pesanannya siap. “Mantan.”
“Mbak, boleh minta nomor hapenya nggak?”
Tanpa bertanya, ia menyebutkan dua belas digit nomornya dan aku segera mengirim pesan untuk memberi tahu inilah nomorku dan meyakinkan bahwa nomor yang ia berikan adalah nomor miliknya. Kesekian kali aku mendapat nomor palsu dari wanita. Paling sial adalah meminta nomor pada wanita dan yang diberikan adalah nomor kekasihnya, lalu dengan sangat arogan kekasih wanita itu mengatakan macam-macam padaku. Aku tak menggubris. Pertama, karena aku salah. Kedua, karena aku tak punya waktu meladeni orang sakit jiwa. Wanita masih cukup banyak di dunia ini kalau sekadar membantuku menghabiskan saldo pulsa seluler.
“Oke. Udah masuk. Nomormu kan? Oh iya, siapa namamu?”
“Tulis aja Gembel, Mbak.” Akhirnya ia bertanya namaku.
Ia memandangku menyelidik. “Serius deh?”
“Bram, Mbak.”
“Aku kesana dulu ya. Mau gabung nggak? Ada adikku juga. Anak BK semester empat.”
Aku menggeleng, “Makasih, Mbak. Aku udah ama temen-temenku.”
Mereka berbincang cukup lama di meja sebelah sana. Tertawa dan kadang terlibat perbincangan yang nampaknya serius. Dan entah kenapa aku tak pernah bisa mengalihkan pandanganku untuk melihatnya dan memperhatikannya. Dan kenapa juga setiap kali aku tengah menatapnya, ia berhasil menyadari dan ganti memandangku? Membuat nafasku tercekat karena malu dan gugup.
“Pulang dulu, ya?”
“Kok pulang, Mbak?”
Ia tersenyum kembali. “Udah malem.”
Sumpah mati, aku menahan debaran-debaran aneh saat laki-laki yang ia katakan sebagai mantan menggandengnya dan keduanya berjalan dengan tatapan berbeda. Yang ia katakan sebagai adiknya, pulang sendiri dengan motor yang dibawa. Sempat terbesit, apakah ia wanita high class yang memiliki mantan bermobil. Tapi saat menyadari ia memiliki banyak kawan dan ia cukup cuek untuk urusan penampilan, kukikis habis pikiran konyolku.

Pagi Mba. Lagi apa?
Semoga pesanku pagi ini tak mengganggunya. Kutunggu jawaban, tapi tak segera datang.
Hai. Pagi. Da pa nih?
Hatiku girang tak kepalang. Ia membalas pesanku.
Ga kul Mba?
Ntar. Jam3. Kmu lgi ap?
Aduh, dia bertanya tentangku. Kusingkirkan rona malu-malu. Terlalu menjijikan untuk pemuda berusia sembilan belas tahun.
Nongkrong di Kopinan Mba.
Tiap wktu nongkrong. Ga bosen ya? Eh, ak boleh mnta tlong ga?
Apa?
Jmput dong. Ak pngen mkan es batu.
Kapan Mba? Sekarang?
Ntar, ak mau mandi dulu. Stengah jam lgi, bsa?
SMS aja, Mba.
Ok!
Satu jam kemudian ia baru menghubungiku dan mengatakan untuk dijemput di kontrakannya. Di perumahan yang jaraknya tak terlalu jauh dari kampus. Ia hanya memberi alamat, tanpa memberi denah alamat tempatnya tinggal. Karena jujur saja, aku cukup bingung untuk mencari alamatnya. Sampai akhirnya ada seorang ibu yang tengah menyuapi anaknya di pinggir jalan dan aku bertanya alamat yang telah diberikan dan ternyata alamat yang kucari ada di depan mataku. Kuucapkan terima kasih pada ibu yang baik hati itu.
Udah di depan Mba.
Tak lama kemudian, ia keluar dari rumah, dan tak lupa membawa tas laptopnya.
Ternyata ia hanya ingin nongkrong dan merasa jenuh berada di kamarnya. Kutemani ia dan kukatakan padanya bahwa aku hanya bisa menemani hingga pukul sebelas siang, karena aku harus kuliah. Ia mengerti dan mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mengantarnya. Aku tak berkata-kata lagi.
Itulah awal kedekatanku dengannya. Mengenalnya dan selalu bersama dengannya. Kedekatan kami terlalu dalam. Sangat dalam. Aku baru mengetahui bahwa ia sudah memiliki pasangan dan mereka memang jarang bersama karena kesibukan masing-masing. Tak usah tanya apa yang kurasa. Tapi aku menghargai kejujurannya mengatakan itu sejak awal menyadari kami menjadi lebih dekat. Ia pun tak pernah mengatakan apapun tentang kekasihnya. Sehingga aku tak perlu terlalu banyak bertanya, seolah aku mulai menuntut padanya.
Terlanjur sudah aku terjebak pada keadaan aneh yang membuatku menjadi orang paling bodoh di dunia. Mengejarnya dan merebutnya dari kekasihnya atau mundur menjadi lelaki pecundang. Aku sempat kalut. Segala sesuatu tentang hati memang tak pernah memiliki rumus pasti. Apalagi baik aku maupun dia, tak pernah mengucapkan kalimat apa pun tentang kedekatan kami. Segalanya mengambang dan menggantung. Di antara kebimbanganku untuk mengakhiri dan melanjutkan relasi rumit ini, kuputuskan untuk menikmati. Sebagian dariku memutuskan untuk bertahan, sisanya memasrahkan episode selanjutnya ini pada sang waktu.
Hingga akhirnya tiba pada situasi yang tak menyenangkan, saat kekasihnya menyadari sesuatu yang tak kasat mata dan menghubungiku. Aku merasa bersalah dan memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Ia tak merelakanku menjauh. Ia memaksa untuk seperti biasa, seperti awal saling mengenal dan menyapa. Ia pun tak ingin sesuatu yang berubah dalam tempo singkat. Ia ingin semua memiliki tahap, seperti bagaimana kami saling mengenal. Tapi lidahku terlalu kelu untuk sekadar mengucapkan bahwa itulah yang menyakitkan. Perpisahan. Kedua tanganku menggenggam dua hal yang saling bertentangan. Antara ego pribadi untuk memiliki dan kenyataan harus sebagai gentleman yang berani sakit hati karena bermain hati.
“Tolong, jangan tinggalin aku.”
Ia memaksa bertemu suatu sore setelah sehari aku mengatakan untuk saling menjauh demi kebaikan semua pihak. Kuturuti permintaannya karena ia terus memaksa untuk bertemu. Kembali, pertemuan di warung kopi. Tapi kali ini ia meminta untuk berbicara hanya berdua. Kami menyingkir dari keramaian warung kopi, di sudut warung kopi yang tak terjangkau oleh mata.
“Mbak, ini demi kebaikan kita berdua. Dewasalah.”
“Nggak,” ia menggeleng keras. “Tolong jangan. Tolong. Jangan tinggalin aku.” Ia mencengkeram tanganku keras. Menatap kedua mataku. Air mata mengalir dari matanya. Aku tak pernah tega melihat gadis menangis di depanku. Hatiku melunak.
“Kenapa, Mbak?” Kuusap air matanya.
“Aku hamil.”

23 Mei 2012
9:40:20 a.m.
Mengaku gila tetapi bangga.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...