Kulirik ia dan mata kami bertemu. Kami sempat terpaku selama dua detik.
Sial! Kutahan malu dengan kembali membungkus puntung rokok dengan ampas kopi.
Kembali aku melihatnya. Melihat senyumnya, mendengar tawanya, memperhatikan
rambutnya, memperhatikan kebiasaannya. Semua tentangnya. Hanya bisa kunikmati
di saat tak terprediksi dari jarak yang juga sering tak pasti.
Bila aku duduk di sini dan nampak sengaja bercengkrama dengan coffee boy, Anda salah. Tapi bila
dikatakan menunggunya datang dan melihatnya membuat kehebohan dengan
rekan-rekannya, Anda separuh salah. Yang benar adalah aku tengah mengintai. Aku
sangat ingin mengenalnya.
“Mas, itu siapa?” tanyaku pada Mas Agus sambil menunjuk gadis rambutnya keriting
di antara gadis berambut lurus.
“Itu Mbak Ayya. Kenapa Mas? Naksir ya?”
“Salam ya.”
“Salam apa nih?”
“Udah, salam aja.”
Esoknya kutanyakan pada Mas Agus perihal pesanku untuk menyampaikan
salam pada Mbak Ayya.
“Cuma iya, Mas.”
“Maksudnya?”
“Pas aku bilang Mbak Ayya, ‘Mbak, dapet salam.’, dia cuma jawab, ‘Ya.’
aja Mas.”
“Nggak tanya-tanya lagi?”
“Nggak.”
“Ya udah, Mas, salam lagi aja buat Mbak Ayya ya?” Aku nyengir.
“Sip, Mas.”
Hari-hari berikutnya, bahkan hampir setiap hari aku selalu menitipkan
salam untuk Mbak Ayya melalui Mas Agus. Setiap hari pula aku tanyakan bagaimana
perkembangannya. Dan jawaban pun berbanding lurus dengan hari kemarin. Hanya
dijawab dengan ‘Ya.’. Jawaban paling berbeda hanya ‘Alah, paling juga dari
kamu.’. Memang belum rejekiku untuk mengenal Mbak Ayya. Tapi itulah yang
membuatku semakin ingin mengenalnya.
Siang ini, aku tak menyangka ia datang. Biasanya ia datang saat malam
hari. Seperti biasa, es teh. Selalu ia gigit tiap gumpal es yang mengambang di
gelas. Ia sangat menikmati aktivitasnya tanpa menghiraukan orang lain yang
merasa giginya menjadi ngilu. Bahkan sebelum ia teguk teh manis itu, sudah ia
tambah lagi gumpal-gumpal es kristal dan ia kunyah seperti mengunyah krupuk.
“Minta rokoknya boleh, Mas?” Kali ini ia duduk di sampingku di kursi
panjang depan warung kopi.
“Silakan Mbak. Untung masih ada satu. Rejeki Mbak.”
Ia tersenyum dan kuberikan juga korek. Dinyalakannya rokok itu dan ia nampak
tak canggung untuk merokok di tempat umum. Perkiraan pertama: gadis yang
menarik.
“Mau ke mana, Mbak?” Kucoba memulai perbincangan. Inilah saat yang telah
lama kutunggu-tunggu. Berbincang dengannya dan mengenalnya.
“Mau online di Dekanat. Bikin
tugas.”
Aku mengangguk. Hari Minggu yang terik dan ia membawa laptop untuk hotspotan di Dekanat dan mengerjakan
tugas. Perkiraan kedua: gadis yang rajin.
“Semester berapa Mbak?”
“Delapan.”
Setengah tak percaya dan sisanya kaget. Tingkah dan penampilannya tak sedikitpun
menunjukkan ia sebagai seorang mahasiswa yang tengah dikejar-kejar skripsi. Oh,
mungin alasan ia siang ini online di
Dekanat adalah karena harus mengerjakan skripsi.
“Skripsi Mbak?”
Dia tertawa. “Belum. Aku masih kuliah sama semester empat. Tapi ini juga
proses bikin proposal kok. Kamu ndiri, jurusan apa? Semester berapa?”
“Ekonomi, Mbak. Semester empat.”
Ia mengangguk. Setelah menghabiskan es tehnya, ia membayar, dan permisi pergi
untuk melanjutkan niat awalnya online
di Dekanat.
Selanjutnya, setiap kami bertemu, ia selalu menyapaku dan sedikit
mengobrol. Obrolan ringan seputar yang kami lihat. Kami pun tak pernah
mengobrol berdua. Saat aku bersama kawan-kawannya atau sering terlibat obrolan
panjang dengan coffee boy. Aku tak
mengerti kenapa sejak awal ia tak bertanya namaku.
Ia datang menenteng tas laptop. Selalu tas laptop itu. Duduk dan meminta
es teh. Tak ada yang berubah. Yang kuingat hanya rambutnya yang kadang dikuncir
kuda atau diikat bulat seperti onde-onde. Ia lebih sering terlihat sendiri dan
juga datang sendiri. Hanya beberapa kali saja ia bersama kawan-kawannya. Aku
pun tak pernah melihatnya dengan laki-laki. Kalaupun ia tengah bersama
laki-laki, seratus persen aku yakin itu adalah kawan-kawannya, karena dari
caranya berbicara dan berdekatan dengan mereka, tak ada yang istimewa.
Lagipula, tak pernah ia bersama laki-laki yang sama lebih dari dua kali. Aku
pun sering melihatnya menyapa atau disapa oleh orang-orang yang datang ke
warung kopi. Perkiraan ketiga: memiliki banyak kawan dan supel.
Malam ini ia datang dengan seorang laki-laki. Tanpa tas laptop dan motor
bebeknya, karena ia berboncengan dengan laki-laki itu. Nampaknya lebih muda,
karena lelaki itu memanggilnya ‘Mbak’. Duduk dan makan. Aku melihatnya
berbincang. Kuyakin itu bukan kekasihnya. Karena dari matanya aku tahu tak ada
tatapan lebih. Mungkin adik atau kerabatnya. Ia lalu berjalan keluar dan
menghadang sebuah mobil yang berhenti di depan dan berbicara dengan pengemudi
mobil itu lalu kembali duduk dengan kawannya.
Ia tersenyum padaku dan kubalas senyumnya saat ia memesan makanan dan
kebetulan aku duduk tak jauh dari situ.
“Siapa tuh?” Aduh, kenapa pertanyaanku tiba-tiba seperti ini? Semoga ia
tak menyadari nada bicaraku.
Ia kembali tersenyum dan mendekat padaku sambil menunggu pesanannya siap.
“Mantan.”
“Mbak, boleh minta nomor hapenya nggak?”
Tanpa bertanya, ia menyebutkan dua belas digit nomornya dan aku segera
mengirim pesan untuk memberi tahu inilah nomorku dan meyakinkan bahwa nomor
yang ia berikan adalah nomor miliknya. Kesekian kali aku mendapat nomor palsu
dari wanita. Paling sial adalah meminta nomor pada wanita dan yang diberikan
adalah nomor kekasihnya, lalu dengan sangat arogan kekasih wanita itu
mengatakan macam-macam padaku. Aku tak menggubris. Pertama, karena aku salah.
Kedua, karena aku tak punya waktu meladeni orang sakit jiwa. Wanita masih cukup
banyak di dunia ini kalau sekadar membantuku menghabiskan saldo pulsa seluler.
“Oke. Udah masuk. Nomormu kan? Oh iya, siapa namamu?”
“Tulis aja Gembel, Mbak.” Akhirnya ia bertanya namaku.
Ia memandangku menyelidik. “Serius deh?”
“Bram, Mbak.”
“Aku kesana dulu ya. Mau gabung nggak? Ada adikku juga. Anak BK semester
empat.”
Aku menggeleng, “Makasih, Mbak. Aku udah ama temen-temenku.”
Mereka berbincang cukup lama di meja sebelah sana. Tertawa dan kadang
terlibat perbincangan yang nampaknya serius. Dan entah kenapa aku tak pernah
bisa mengalihkan pandanganku untuk melihatnya dan memperhatikannya. Dan kenapa
juga setiap kali aku tengah menatapnya, ia berhasil menyadari dan ganti
memandangku? Membuat nafasku tercekat karena malu dan gugup.
“Pulang dulu, ya?”
“Kok pulang, Mbak?”
Ia tersenyum kembali. “Udah malem.”
Sumpah mati, aku menahan debaran-debaran aneh saat laki-laki yang ia katakan
sebagai mantan menggandengnya dan keduanya berjalan dengan tatapan berbeda. Yang
ia katakan sebagai adiknya, pulang sendiri dengan motor yang dibawa. Sempat
terbesit, apakah ia wanita high class
yang memiliki mantan bermobil. Tapi saat menyadari ia memiliki banyak kawan dan
ia cukup cuek untuk urusan penampilan, kukikis habis pikiran konyolku.
Pagi Mba. Lagi apa?
Semoga pesanku pagi ini tak mengganggunya. Kutunggu jawaban, tapi tak
segera datang.
Hai. Pagi. Da pa nih?
Hatiku girang tak kepalang. Ia membalas pesanku.
Ga kul Mba?
Ntar. Jam3. Kmu lgi ap?
Aduh, dia bertanya tentangku. Kusingkirkan rona malu-malu. Terlalu
menjijikan untuk pemuda berusia sembilan belas tahun.
Nongkrong di Kopinan Mba.
Tiap wktu nongkrong. Ga
bosen ya? Eh, ak boleh mnta tlong ga?
Apa?
Jmput dong. Ak pngen mkan es
batu.
Kapan Mba? Sekarang?
Ntar, ak mau mandi dulu.
Stengah jam lgi, bsa?
SMS aja, Mba.
Ok!
Satu jam kemudian ia baru menghubungiku dan mengatakan untuk dijemput di
kontrakannya. Di perumahan yang jaraknya tak terlalu jauh dari kampus. Ia hanya
memberi alamat, tanpa memberi denah alamat tempatnya tinggal. Karena jujur
saja, aku cukup bingung untuk mencari alamatnya. Sampai akhirnya ada seorang
ibu yang tengah menyuapi anaknya di pinggir jalan dan aku bertanya alamat yang
telah diberikan dan ternyata alamat yang kucari ada di depan mataku. Kuucapkan
terima kasih pada ibu yang baik hati itu.
Udah di depan Mba.
Tak lama kemudian, ia keluar dari rumah, dan tak lupa membawa tas
laptopnya.
Ternyata ia hanya ingin nongkrong dan merasa jenuh berada di kamarnya.
Kutemani ia dan kukatakan padanya bahwa aku hanya bisa menemani hingga pukul
sebelas siang, karena aku harus kuliah. Ia mengerti dan mengucapkan terima
kasih padaku karena sudah mengantarnya. Aku tak berkata-kata lagi.
Itulah awal kedekatanku dengannya. Mengenalnya dan selalu bersama
dengannya. Kedekatan kami terlalu dalam. Sangat dalam. Aku baru mengetahui
bahwa ia sudah memiliki pasangan dan mereka memang jarang bersama karena
kesibukan masing-masing. Tak usah tanya apa yang kurasa. Tapi aku menghargai
kejujurannya mengatakan itu sejak awal menyadari kami menjadi lebih dekat. Ia
pun tak pernah mengatakan apapun tentang kekasihnya. Sehingga aku tak perlu
terlalu banyak bertanya, seolah aku mulai menuntut padanya.
Terlanjur sudah aku terjebak pada keadaan aneh yang membuatku menjadi
orang paling bodoh di dunia. Mengejarnya dan merebutnya dari kekasihnya atau
mundur menjadi lelaki pecundang. Aku sempat kalut. Segala sesuatu tentang hati
memang tak pernah memiliki rumus pasti. Apalagi baik aku maupun dia, tak pernah
mengucapkan kalimat apa pun tentang kedekatan kami. Segalanya mengambang dan
menggantung. Di antara kebimbanganku untuk mengakhiri dan melanjutkan relasi
rumit ini, kuputuskan untuk menikmati. Sebagian dariku memutuskan untuk
bertahan, sisanya memasrahkan episode selanjutnya ini pada sang waktu.
Hingga akhirnya tiba pada situasi yang tak menyenangkan, saat kekasihnya
menyadari sesuatu yang tak kasat mata dan menghubungiku. Aku merasa bersalah
dan memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Ia tak merelakanku menjauh. Ia
memaksa untuk seperti biasa, seperti awal saling mengenal dan menyapa. Ia pun
tak ingin sesuatu yang berubah dalam tempo singkat. Ia ingin semua memiliki
tahap, seperti bagaimana kami saling mengenal. Tapi lidahku terlalu kelu untuk
sekadar mengucapkan bahwa itulah yang menyakitkan. Perpisahan. Kedua tanganku
menggenggam dua hal yang saling bertentangan. Antara ego pribadi untuk memiliki
dan kenyataan harus sebagai gentleman
yang berani sakit hati karena bermain hati.
“Tolong, jangan tinggalin aku.”
Ia memaksa bertemu suatu sore setelah sehari aku mengatakan untuk saling
menjauh demi kebaikan semua pihak. Kuturuti permintaannya karena ia terus
memaksa untuk bertemu. Kembali, pertemuan di warung kopi. Tapi kali ini ia
meminta untuk berbicara hanya berdua. Kami menyingkir dari keramaian warung
kopi, di sudut warung kopi yang tak terjangkau oleh mata.
“Mbak, ini demi kebaikan kita berdua. Dewasalah.”
“Nggak,” ia menggeleng keras. “Tolong jangan. Tolong. Jangan tinggalin
aku.” Ia mencengkeram tanganku keras. Menatap kedua mataku. Air mata mengalir
dari matanya. Aku tak pernah tega melihat gadis menangis di depanku. Hatiku
melunak.
“Kenapa, Mbak?” Kuusap air matanya.
“Aku hamil.”
23 Mei 2012
9:40:20 a.m.
Mengaku gila tetapi bangga.
No comments:
Post a Comment