Hai, namaku Aya. Nama lengkapku Aya Purwandaru.
Aku duduk di kelas X SMA 1 Milkyway.
Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku memiliki dua orang kakak, perempuan
dan lelaki. Kakak perempuanku bernama Alanda yang sudah bekerja di kantor
pemerintah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun tetapi ia belum menikah. Ia tak
pernah membawa pacarnya ke rumah tetapi ia sering menghilang ketika sedang ada
cuti bersama. Aku mulai mengamati kebiasaannya ketika aku menginjak kelas 4 SD.
Kakak lelakiku bernama Deno yang tengah menempuh pendidikan di kota Bimasakti.
Ia sangat cerdas dan pendiam. Ia lulus cum
laude dan kali ini tengah melanjutkan S2. Tapi ia menyebalkan karena tidak
pernah membelikanku pisang bolen Kartikasari sebagai oleh-olehnya pulang kampung.
Ia mau membelikan kalau Ibu atau Ayah berpesan padanya dan mengirimkan tambahan
uang jajan. Aku masih tinggal dengan Ibuku yang bernama Sutini dan Ayah yang
bernama Soemarno dan keduanya sudah pensiun dari Pegawai Negeri Sipil ketika
aku SMP kelas VII.
Rambutku kriting dengan poni yang tak pernah
rata sejak kelas 2 SD karena kebiasaanku memotong poni sendiri di depan cermin.
Aku menikmati ketika membentuk pola di atas keningku, lalu memilin rambutku,
dan memotongnya lurus. Aku belajar melakukannya dari membaca majalah remaja
lama milik kakak perempuanku yang terkumpul di gudang. Aku suka memotong poni
dengan gunting baru yang masih tajam. Kadang aku suka membuatnya terlihat
dramatis dengan memberikan kesan sasak menggunakan pisau pencukur jenggot milik
Ayah. Ibu senang mengomel-ngomel dan menyuruhku untuk minta diantar ke salon
kalau ingin memotong rambut. “Jangan suka memotong rambut sendiri. Pamali!” Begitu pesan ibu setiap kali
aku senyam-senyum dengan poni baruku.
Aku sudah tahu kalian pasti akan bertanya
mengenai maksud namaku Aya Purwandaru sementara aku sendiri anak bungsu. Sejak
kelas IV SD, aku kerap mendapat pertanyaan dari guru dan kawan-kawanku hingga
orang tua kawan-kawanku. “Namanya Aya Purwandaru kok anak bungsu? Purwa kan
artinya pertama.” Kurang lebih begitulah komentar mereka. Jawabanku hanya
cengar-cengir aja. Nama kakak perempuanku Adi Alanda Dewi Sitoresmi. Sedangkan
kakak lelakiku Yuli Handeno Subakti. Orang tuaku sangat nyentrik dalam memberi
nama, itulah pendapatku.
Ketika aku kelas VIII, guru Bahasa Inggris
memintaku bercerita tentang diriku sendiri dan mengenai arti namaku. Aku sangat
suka tugas dari Bu Inggrid. Aku bertanya pada Ibu ketika sedang menyiram tanaman
di teras, Ibu justru menangis. Aku bertanya pada Ayah yang sedang mengobrol
dengan salah satu koleksi perkututnya, Ayah malah marah dan menghukumku dengan
pemukul kasur. Kedua orang tuaku tak ada yang memberikan jawaban atas
pertanyaanku dan itu berarti aku belum bisa mengerjakan tugas bahasa Inggris
dari Bu Inggrid. Aku putus asa dan sedih. Aku tak mau terlihat pemalas dan
tidak mengerjakan tugas. Aku suka ketika guru memujiku rajin dan pintar. Aku
suka ketika guru meminta tunjuk tangan dan aku selalu paling semangat
mengangkat tanganku. Entah itu untuk membaca tugas di depan kelas, menjawab
pertanyaan, memberi pertanyaan, atau untuk memberi tahu aku ingin ke toilet.
Aku menceritakan kegundahanku pada Mas Deno yang
kebetulan tengah libur kuliah dan ada di rumah. Ia mengatakan lebih baik bertanya
pada Mba Alanda. Awalnya aku takut karena aku selalu merasa tidak disayang oleh
Mba Alanda. Ia sangat galak, ketus, dan imajinasiku tentang kakak perempuan
yang memanjakan dan menyayangi adik perempuan, sama sekali tak ada pada
dirinya. Ketika kuutarakan masalahku padanya, ia justru mengajakku jalan-jalan
di Mall dan kami makan es krim di McD. Kami duduk dan bercerita panjang-lebar.
Setelah menjadi adiknya selama 13 tahun, baru kali ini aku mengenal Mba Alanda.
Ia tertarik dengan ceritaku dan kawan-kawanku. Aku juga senang karena ketika di
Mall aku dibelikan ikat rambut, tas selempang warna merah, lalu sebuah topi
warna putih.
Tiba-tiba datang laki-laki mendekati meja kami.
Aku kaget setengah mati ia nampak besar dan tiba-tiba sudah berdiri di samping
meja dengan suara sapaan yang berat. Mba Alanda menyuruhku menyalami lelaki
berkacamata yang wajahnya tak asing untukku. “Panggil dia Papah, Sayang.”
Sejak kecil cita-citaku menjadi pemilik
restoran. Aku suka makan, aku suka memasak, aku suka berbelanja, dan aku suka
uang. Ketika SD, aku memiliki semua permainan masak-masakan dari plastik.
Menginjak SMP, aku minta dibelikan kompor gas portable untuk memasak pisang goreng dan tempe goreng ketika kawan-kawan
berkunjung ke rumah. Aku dipercaya Ibu untuk membantu Mbak Mi memasak makan
malam. Aku selalu membuat roll sushi
ketika waktu makan, sekalipun menu malam itu kadang sup ayam atau soto babat.
Awal SMA dan menyerahkan proposal untuk membuka
usaha restoran Jepang, Ayah, Ibu, kakak perempuan, dan Papah tak satupun
menganggukkan kepala. Padahal aku sangat bangga dengan inovasiku. Aku sedang
menyosialisasikan roll sushi
kombinasi dengan bahan-bahan khas Indonesia. Misal roll sushi dengan menggunakan tempe, tahu, sambel trasi, sambel
kacang, dan sayuran seperti: sawi putih, caesim, taoge, bayam, wortel, tomat,
dan kuhiasi dengan garnish daun
kemangi, kol, dan timun. Hanya kakak lelaki yang mendukungku dengan komentar,
“Kok kayak pecel digulung?”
Aku suka uban. Sejak kecil aku terbiasa dengan
uban. Saat awal sekolah dasar, Ibu mengajariku menggunakan pinset. Benda kecil
dari logam inilah yang menurutku menjadi benda yang membuatku mengenal dunia
lebih luas dibanding usiaku. Setiap hari Senin setelah pulang sekolah, aku
selalu diminta Ibu mencabut ubannya. Ayah yang mengetahui, tak mau kalah.
Beliau pun memintaku mencabuti ubannya tiap hari Selasa sepulang sekolah. Aku
pun mendapat upah untuk ketelitianku mencari uban. Kadang berupa uang yang dimasukkan
Ayah dan Ibu ke dalam celengan ayam jago. Beberapa kali Ibu dan Ayah
menghadiahiku baju atau peralatan sekolah yang lucu. Aku selalu memamerkannya
pada kawan-kawanku.
Pamorku sebagai pencabut inilah yang membuatku
semakin mengenal dunia. Pakde, Bude, Bulik, Tante, Om, bahkan kedua kakakku
suka sekali memintaku mencabuti uban mereka. Inilah kenapa kusebut aku bisa
semakin mengenal dunia. Ketika aku mencabuti uban-uban mereka ketika hanya
berdua, kami bercerita panjang lebar. Mengenai mereka ketika seusiaku, mengenai
kehidupan mereka saat ini, mengenai lingkungan mereka, mengenai pengalaman
mereka. Dari satu orang saja, dalam waktu satu hingga dua jam, aku bisa
mendengar kisah yang mereka lalui selama satu, dua, sepuluh, lima belas, hingga
tiga puluh tahun. Belum lagi ketika kumpul keluarga saat hari raya. Kebahagiaanku
tak hanya karena aku mendapat angpao Lebaran, tetapi juga uang tambahan jajan
karena seluruh orang berkumpul dan memintaku untuk mencabut uban mereka
bergiliran.
Seharian aku mencabuti uban dan mendengar
cerita mereka. Bermacam orang, beragam mulut, dan belasan cerita meluncur. Ada
cerita menyedihkan, ada cerita menyenangkan, ada cerita membahagiakan, semuanya
aku mendengar. Aku semakin suka kegiatan mencabut uban. Aku suka sekali. Mereka
bercerita tentang hal yang tak kutahu, menangis, tertawa, dan melakukan
kekonyolan tanpa menyadari ada aku yang diam-diam tersenyum, tertawa, terharu,
atau mencuri-curi lihat atas apa yang mereka lakukan. Mungkin aku orang yang
pertama kali mengerti mengapa Bude Wahyu mengamuk ketika acara sungkeman. Aku
pun tahu siapa sebenarnya Tante Tasya yang selalu pamer belahan dadanya padahal
susunya kecil. Mungkin aku tahu lebih banyak dibanding sepupu-sepupuku (atau
tante-budeku).
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017. |
Kini, aku, Aya Purwandari, siswa kelas XI SMA 1
Milkyway mendeklarasikan bahwa aku
ingin menjadi pencabut uban profesional. Aku akan mencari lembaga pendidikan
yang dapat melegalkan keahlianku dalam mencabut uban. Aku ingin ada kompetisi
atau pertandingan mencabut uban terbanyak, tercepat, dan terteliti di tingkat
daerah, provinsi, nasional, maupun internasional. Aku yakin di dunia ini tak
ada yang bisa selihai aku dalam mencari uban di antara ribuan helai rambut
kepala. Sehalus tarikanku dalam mencabut uban sehingga orang tersebut tak merasa
kesakitan atau kaget. Aku bahkan sedang belajar untuk tidak mengacak-acak
rambut orang yang kucabut ubannya, justru membuat penampilannya berbeda dan
lebih segar dibandingkan sebelum ubannya kucabut. Aku harus bisa menjadi
pencabut uban yang lebih berbakat dari Hair
Stylish dan akan membuat Oprah Winfrey berpikir untuk mencabutkan ubannya
padaku dan memberiku kepercayaan untuk mengubah tatanan rambutnya yang monoton
dan terkesan tua. Aku akan belajar menjadi penata rambut sejak dini dan lulus
menjadi profesional dan mengambil pendidikan di luar negeri. Itulah janjiku dan
komitmenku pada masa depanku.