Tuesday 3 November 2015

A K U

Hai, namaku Aya. Nama lengkapku Aya Purwandaru. Aku duduk di kelas X SMA 1 Milkyway. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku memiliki dua orang kakak, perempuan dan lelaki. Kakak perempuanku bernama Alanda yang sudah bekerja di kantor pemerintah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun tetapi ia belum menikah. Ia tak pernah membawa pacarnya ke rumah tetapi ia sering menghilang ketika sedang ada cuti bersama. Aku mulai mengamati kebiasaannya ketika aku menginjak kelas 4 SD. Kakak lelakiku bernama Deno yang tengah menempuh pendidikan di kota Bimasakti. Ia sangat cerdas dan pendiam. Ia lulus cum laude dan kali ini tengah melanjutkan S2. Tapi ia menyebalkan karena tidak pernah membelikanku pisang bolen Kartikasari sebagai oleh-olehnya pulang kampung. Ia mau membelikan kalau Ibu atau Ayah berpesan padanya dan mengirimkan tambahan uang jajan. Aku masih tinggal dengan Ibuku yang bernama Sutini dan Ayah yang bernama Soemarno dan keduanya sudah pensiun dari Pegawai Negeri Sipil ketika aku SMP kelas VII.
Rambutku kriting dengan poni yang tak pernah rata sejak kelas 2 SD karena kebiasaanku memotong poni sendiri di depan cermin. Aku menikmati ketika membentuk pola di atas keningku, lalu memilin rambutku, dan memotongnya lurus. Aku belajar melakukannya dari membaca majalah remaja lama milik kakak perempuanku yang terkumpul di gudang. Aku suka memotong poni dengan gunting baru yang masih tajam. Kadang aku suka membuatnya terlihat dramatis dengan memberikan kesan sasak menggunakan pisau pencukur jenggot milik Ayah. Ibu senang mengomel-ngomel dan menyuruhku untuk minta diantar ke salon kalau ingin memotong rambut. “Jangan suka memotong rambut sendiri. Pamali!” Begitu pesan ibu setiap kali aku senyam-senyum dengan poni baruku.
Aku sudah tahu kalian pasti akan bertanya mengenai maksud namaku Aya Purwandaru sementara aku sendiri anak bungsu. Sejak kelas IV SD, aku kerap mendapat pertanyaan dari guru dan kawan-kawanku hingga orang tua kawan-kawanku. “Namanya Aya Purwandaru kok anak bungsu? Purwa kan artinya pertama.” Kurang lebih begitulah komentar mereka. Jawabanku hanya cengar-cengir aja. Nama kakak perempuanku Adi Alanda Dewi Sitoresmi. Sedangkan kakak lelakiku Yuli Handeno Subakti. Orang tuaku sangat nyentrik dalam memberi nama, itulah pendapatku.


Ketika aku kelas VIII, guru Bahasa Inggris memintaku bercerita tentang diriku sendiri dan mengenai arti namaku. Aku sangat suka tugas dari Bu Inggrid. Aku bertanya pada Ibu ketika sedang menyiram tanaman di teras, Ibu justru menangis. Aku bertanya pada Ayah yang sedang mengobrol dengan salah satu koleksi perkututnya, Ayah malah marah dan menghukumku dengan pemukul kasur. Kedua orang tuaku tak ada yang memberikan jawaban atas pertanyaanku dan itu berarti aku belum bisa mengerjakan tugas bahasa Inggris dari Bu Inggrid. Aku putus asa dan sedih. Aku tak mau terlihat pemalas dan tidak mengerjakan tugas. Aku suka ketika guru memujiku rajin dan pintar. Aku suka ketika guru meminta tunjuk tangan dan aku selalu paling semangat mengangkat tanganku. Entah itu untuk membaca tugas di depan kelas, menjawab pertanyaan, memberi pertanyaan, atau untuk memberi tahu aku ingin ke toilet.
Aku menceritakan kegundahanku pada Mas Deno yang kebetulan tengah libur kuliah dan ada di rumah. Ia mengatakan lebih baik bertanya pada Mba Alanda. Awalnya aku takut karena aku selalu merasa tidak disayang oleh Mba Alanda. Ia sangat galak, ketus, dan imajinasiku tentang kakak perempuan yang memanjakan dan menyayangi adik perempuan, sama sekali tak ada pada dirinya. Ketika kuutarakan masalahku padanya, ia justru mengajakku jalan-jalan di Mall dan kami makan es krim di McD. Kami duduk dan bercerita panjang-lebar. Setelah menjadi adiknya selama 13 tahun, baru kali ini aku mengenal Mba Alanda. Ia tertarik dengan ceritaku dan kawan-kawanku. Aku juga senang karena ketika di Mall aku dibelikan ikat rambut, tas selempang warna merah, lalu sebuah topi warna putih.
Tiba-tiba datang laki-laki mendekati meja kami. Aku kaget setengah mati ia nampak besar dan tiba-tiba sudah berdiri di samping meja dengan suara sapaan yang berat. Mba Alanda menyuruhku menyalami lelaki berkacamata yang wajahnya tak asing untukku. “Panggil dia Papah, Sayang.”
Mural Arief Hadinata di Mr. K Cafe Kedungmundu Kota Semarang yang rampung sekitar April 2018
Sejak kecil cita-citaku menjadi pemilik restoran. Aku suka makan, aku suka memasak, aku suka berbelanja, dan aku suka uang. Ketika SD, aku memiliki semua permainan masak-masakan dari plastik. Menginjak SMP, aku minta dibelikan kompor gas portable untuk memasak pisang goreng dan tempe goreng ketika kawan-kawan berkunjung ke rumah. Aku dipercaya Ibu untuk membantu Mbak Mi memasak makan malam. Aku selalu membuat roll sushi ketika waktu makan, sekalipun menu malam itu kadang sup ayam atau soto babat.
Awal SMA dan menyerahkan proposal untuk membuka usaha restoran Jepang, Ayah, Ibu, kakak perempuan, dan Papah tak satupun menganggukkan kepala. Padahal aku sangat bangga dengan inovasiku. Aku sedang menyosialisasikan roll sushi kombinasi dengan bahan-bahan khas Indonesia. Misal roll sushi dengan menggunakan tempe, tahu, sambel trasi, sambel kacang, dan sayuran seperti: sawi putih, caesim, taoge, bayam, wortel, tomat, dan kuhiasi dengan garnish daun kemangi, kol, dan timun. Hanya kakak lelaki yang mendukungku dengan komentar, “Kok kayak pecel digulung?”
Aku suka uban. Sejak kecil aku terbiasa dengan uban. Saat awal sekolah dasar, Ibu mengajariku menggunakan pinset. Benda kecil dari logam inilah yang menurutku menjadi benda yang membuatku mengenal dunia lebih luas dibanding usiaku. Setiap hari Senin setelah pulang sekolah, aku selalu diminta Ibu mencabut ubannya. Ayah yang mengetahui, tak mau kalah. Beliau pun memintaku mencabuti ubannya tiap hari Selasa sepulang sekolah. Aku pun mendapat upah untuk ketelitianku mencari uban. Kadang berupa uang yang dimasukkan Ayah dan Ibu ke dalam celengan ayam jago. Beberapa kali Ibu dan Ayah menghadiahiku baju atau peralatan sekolah yang lucu. Aku selalu memamerkannya pada kawan-kawanku.
Pamorku sebagai pencabut inilah yang membuatku semakin mengenal dunia. Pakde, Bude, Bulik, Tante, Om, bahkan kedua kakakku suka sekali memintaku mencabuti uban mereka. Inilah kenapa kusebut aku bisa semakin mengenal dunia. Ketika aku mencabuti uban-uban mereka ketika hanya berdua, kami bercerita panjang lebar. Mengenai mereka ketika seusiaku, mengenai kehidupan mereka saat ini, mengenai lingkungan mereka, mengenai pengalaman mereka. Dari satu orang saja, dalam waktu satu hingga dua jam, aku bisa mendengar kisah yang mereka lalui selama satu, dua, sepuluh, lima belas, hingga tiga puluh tahun. Belum lagi ketika kumpul keluarga saat hari raya. Kebahagiaanku tak hanya karena aku mendapat angpao Lebaran, tetapi juga uang tambahan jajan karena seluruh orang berkumpul dan memintaku untuk mencabut uban mereka bergiliran.
Seharian aku mencabuti uban dan mendengar cerita mereka. Bermacam orang, beragam mulut, dan belasan cerita meluncur. Ada cerita menyedihkan, ada cerita menyenangkan, ada cerita membahagiakan, semuanya aku mendengar. Aku semakin suka kegiatan mencabut uban. Aku suka sekali. Mereka bercerita tentang hal yang tak kutahu, menangis, tertawa, dan melakukan kekonyolan tanpa menyadari ada aku yang diam-diam tersenyum, tertawa, terharu, atau mencuri-curi lihat atas apa yang mereka lakukan. Mungkin aku orang yang pertama kali mengerti mengapa Bude Wahyu mengamuk ketika acara sungkeman. Aku pun tahu siapa sebenarnya Tante Tasya yang selalu pamer belahan dadanya padahal susunya kecil. Mungkin aku tahu lebih banyak dibanding sepupu-sepupuku (atau tante-budeku).
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung sekitar Juli 2017.


Kini, aku, Aya Purwandari, siswa kelas XI SMA 1 Milkyway mendeklarasikan bahwa aku ingin menjadi pencabut uban profesional. Aku akan mencari lembaga pendidikan yang dapat melegalkan keahlianku dalam mencabut uban. Aku ingin ada kompetisi atau pertandingan mencabut uban terbanyak, tercepat, dan terteliti di tingkat daerah, provinsi, nasional, maupun internasional. Aku yakin di dunia ini tak ada yang bisa selihai aku dalam mencari uban di antara ribuan helai rambut kepala. Sehalus tarikanku dalam mencabut uban sehingga orang tersebut tak merasa kesakitan atau kaget. Aku bahkan sedang belajar untuk tidak mengacak-acak rambut orang yang kucabut ubannya, justru membuat penampilannya berbeda dan lebih segar dibandingkan sebelum ubannya kucabut. Aku harus bisa menjadi pencabut uban yang lebih berbakat dari Hair Stylish dan akan membuat Oprah Winfrey berpikir untuk mencabutkan ubannya padaku dan memberiku kepercayaan untuk mengubah tatanan rambutnya yang monoton dan terkesan tua. Aku akan belajar menjadi penata rambut sejak dini dan lulus menjadi profesional dan mengambil pendidikan di luar negeri. Itulah janjiku dan komitmenku pada masa depanku.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...