Saturday 16 February 2019

Jangan Jadi Seniman Kalo Mau Kaya

Manual Painting karya Arief Hadinata
Hari ini, Bihun memposting sebuah foto di akun Facebooknya berupa sebuah tembok yang ditulisi "TAK KIRO AKU SENIMAN, JEBUL MUNG GEMBEL".
Dia pun menulis keterangan pada foto postingannya berupa "Ingat almamater, tapi lupa iman kesenirupaannya. Ingat berkarya tapi lupa jatidiri. (Rene ngopi bareng sekalian tak ajari cara protes sing elegan) Senyum aja dari jauh.z'
Sebelum Bihun mengunggah foto dan menuliskan demikian aku sudah berkomentar, "Lah emang kalo seniman nggak gembel ya?"
Oh iya, tulisan itu berada di belakang tembok kampus menggunakan cat hitam dan difoto pada siang hari. Konon sih pelakunya sudah diketahui dan dapat pengarahan dari pihak kampus.
Namun, kita nggak akan membahas soal si pelaku. Kita akan membahas soal seniman. Baiklah, mari duduk dan bicarakan dengan kepala dingin, sebenarnya seniman itu apa sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (ya maaf kurang kreatif definisinya. Tapi kan ini bukan karya ilmiah, gaes), seniman adalah se·ni·man n orang yg mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dsb)
Jadi, berdasarkan definisi tersebut, jelas ya, seniman ialah orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelar karya seni, baik sebagai pelukis, penyair, penyanyi, dan sebagainya.
Nah, di sini aku bisa donk ya pamer dan bangga bahwa suamiku yang unyu dan menggemaskan merupakan seniman karena ia memiliki bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelar karya seni. Ya kalau mau, kapan waktunya akan kuunggah portofolio berkaryanya deh ya. Wkwkwk...
Sebagai istri dan juga teman yang mengenalnya ketika masih menjadi mahasiswa, aku tahu kok Bihun mengalami fase gembel. Lawong aku aja jujur kalo dulu dipacarin sama dia, aku nggak bakalan mau karena dia gembel dan playboy.
Soal gembelnya, aku tahu gimana dia nggak jaim makan apapun pemberian orang selama makanan itu layak dikonsumsi. Dia juga cerita sampe nggak punya kos ketika masih kuliah demi bisa beli perlengkapan kuliah. Dia ngomong mau menerima pekerjaan order sepatu lukis yang bayarannya masih beberapa puluh ribu rupiah karena kliennya saat itu kebanyakan mahasiswa. Itu terjadi tahun 2008, ketika dia pertama kuliah.
Semua berproses. Selama di kampus, Bihun belajar, mengembangkan diri, mengenali diri sendiri, terus mencoba, terus berkarya. Apa segampang itu? Nggak. Ada effort yang harus dia bayar. Karena dia suka gambar, dia harus membeli perlengkapan gambar. Mulai dari pensil aneka macam, pensil warna, cat air, cat akrilik, buku sketsa, kuas, pentablet, laptop, dan lain sebagainya. Belum lagi untuk kebutuhan mata kuliah lain yang biayanya nggak sedikit macem ukir dan kriya. Meskipun bukan yang dia sukai, tapi Bihun harus memenuhi kewajiban itu karena bagian dari Satuan Kredit Semester (SKS) agar ia bisa lulus kuliah.
Jadi kere? Pastinya. Tapi pilihan dan panggilan jiwanya untuk menciptakan karya terbaik, memang harus mengorbankan dirinya. Mengorbankan uang saku, baik berupa jatah makan maupun gaya hidup. Demi apa? Demi karya yang sesuai dengan ekspektasinya. Ada kepuasan di situ meskipun biayanya besar dan akhirnya kadang karya itu cuma nanggrok di kos-kosan sampe spanram dimakan rayap. Belum lagi pacar ngambek karena nggak pernah diajak jalan-jalan ke mal karena duit habis buat beli kanvas dan cat *curhat. Punya baju ya seitu-itunya aja dan seringnya dapet dikasih atau tukeran sama temen yang nitip dilaundriin tapi nggak diambil.
Akhirnya sebagian jadi gembel karena jadi malnutrisi akibat memenuhi idealisme tugas. Lagian, jadi gembel nggak cuma ada di kehidupan mahasiswa seni rupa. Kayaknya hampir semua mahasiswa ngerasain hidup gembel deh. Mau itu anak kedokteran, arsitektur, teknik nuklir, akuntansi, semuanya ada kok mahasiswa gembelnya.
Pake baju nggak jauh dari modis, malah cenderung nggak matching. Belum lagi nggak punya motor, harus jalan kaki dari kos ke kampus. Milih kos pun harus sesuai dengan bajet dari orang tua atau dana dari beasiswa. Mereka yang datang dari kampung ke kota untuk kuliah dengan harapan bisa hidup lebih baik. Ada yang tinggal di asrama, ada juga yang jadi takmir mesjid, atau paling apes ya tidur di pusat kegiatan mahasiswa. Makan aja pilih bungkus di warteg supaya nasinya lebih banyak dan bisa dimakan dua kali, jadi beli makan sekali buat kenyang sehari. Indomie jadi makanan penahan lapar tengah malam pas lembur tugas, dimasak pake rice cooker di kosan. Air minum beli galon isi ulang yang harganya Rp 3.500 yang awetnya bisa 2 minggu. Peralatan mandi disimpen baik-baik dalam kamar takut disikat temen kos yang nggak bertanggung jawab. Kalo odol mau abis, disobek bungkusnya dan digoretin. Sampo dan sabun cair juga diisi air trus dikopyok buat dipake sampe tetes terakhir. Ngeprint di fotokopi yang bisa print laser karena print tinta mehonk! Jajan kalo diajakin temen, dan kalo nongkrong juga sebisa mungkin pesennya air putih. Sebelum nongkrong udah makan di kosan jadi di lokasi nggak pengen beli makan. Pilih lokasi nongkrong yang free wifi jadi bisa ngirit kuota. Selalu sedia mie dan telur kalau sewaktu-waktu kelaparan. Beli beras, masak nasi sendiri, lauknya beli Rp 5 ribu dapet dua macem plus kerupuk. Uhm... Apalagi ya pengalaman ngerasain jadi gembel? Banyak kan ya cerita jadi gembel di kalangan mahasiswa, sampe dibikin meme segala.
Lalu, bisakah berharap kaya dari berkesenian? Jawabannya, bisa. Namun kaya yang seperti apa, kan definisi kaya banyak. Kaya hati, kaya harta, atau kaya raya? Lagipula, banyak memang seniman yang karyanya ditawar jutaan hingga milyaran. Nah, pertanyaannya, kalo didata jumlah seluruh seniman di Indonesia, berapa banyak seniman yang karyanya ditawar pada nominal yang fantastis tersebut? Ada nggak sih seniman yang hidupnya ya standar aja? Atau ada yang coba meriset nggak, kenapa seseorang memiliki karya yang mahal harganya? Bisa disebutkan juga siapa saja seniman yang setiap kali berkarya pasti menghasilkan karya yang laris manis di pasaran dengan harga selangit.
Lalu, apakah Bihun yang seniman bisa kaya? Kalau tanya sekarang Bihun apakah kaya, yakni sukses dan mapan sehingga layak dianggap bukan lagi gembel, aku masih angkat bahu. Karena standar kebutuhan untuk didefinisikan mapan dan sukses setiap orang kan berbeda. Ada orang yang butuh punya tabungan jutaan, ada orang yang butuh bisa tetap makan, ada juga orang yang hanya butuh punya segala benda yang mahal harganya, atau ada yang hanya ingin berkarya tanpa memikirkan besok makan apa.
Buatku, aktivitas berkesenian Bihun bisa menghidupi kami, itu iya. Kami bersyukur karena kami masih diberkahi rejeki atas aktivitas yang Bihun lakoni. Namun ada cita-cita di luar capaian definitif finansial tentang seniman yang ingin dia dan capai. Contohnya dia ingin memiliki studio, dia ingin pameran lagi, dia ingin belajar menggeluti kecintaannya, dia ingin belajar lebih tentang keahliannya dan membagikan ilmunya. Pada tahap ini, dia merasa masih gembel karena belum merasa cukup dengan capaiannya saat ini. Kupikir itu hal yang bagus sih ya karena manusia harus selalu memiliki optimisme dalam hidup. Manusia bisa hidup karena memiliki mimpi dan cita-cita, berikut optimisme untuk meraih semuanya. Ya kan? modus istri minta tambahan jatah belanja
Tapi jujur aja sih ya, sebagai istri seniman, aku memang harus benar-benar sabar menghadapi dunianya. Dia memiliki dunia yang berbeda dengan orang lainnya. Dia harus bekerja mencari inspirasi dengan bekal suasana hati positif dan koneksi internet lancar. Belum lagi sajian kopi sembari menyedot asap. Apakah itu nggak memerlukan biaya? Ya memerlukan biaya. Lalu ia setiap hari harus berkreasi mencari ide. Belum lagi harus ketemu klien dengan pakaian rapi dan aroma wangi, sementara pulang kerja selalu dengan corang-coreng cat di baju dan kuku.
Kadang ketemu klien unik yang setelah briefing berkali-kali belum nemu yang mantep, minta ganti terus. Setelah kepentok deadline, ide pertama yang dipilih. Masih ada tahapan negosiasi harga yang sering kali alot karena banyak yang menganggap gambar itu hobi, bukan aktivitas dari sebuah pekerjaan. Apakah setelah menjadi seniman semua hal itu nggak akan dijumpai lagi?
Ya... kalau berharap kaya dari berkesenian, agaknya memang susah. Berharap bisa menjual karya yang diciptakan dengan bandrol berjuta-juta tentunya harus realistis akan memiliki banyak kompetitor. Kecuali kamu bejo (beruntung; mujur; bernasib baik) dan punya channel yang mumpuni untuk karyamu. Bisa juga karyamu memang layak dibandrol sekian. Itupun memang ada syarat jam terbang tinggi dan bisa mengikuti pasar. Tapi saranku, jangan jadi seniman kalau mau kaya. Kalau mau kaya ya... Punya orang tua kaya atau cari calon mertua kaya raya.

Thursday 14 February 2019

Nggak Ada yang Salah Kalo Gue Belum Kawin, yang Salah Kenapa Loe Ribetin Gue Belum Kawin Sih?

Manual painting karya Arief Hadinata

Pertanyaan basa-basi di quarter life crisis ialah, "Kapan kawin?" atau "Kapan nikah?"
Sedarurat itu sebuah pernikahan sampai dipertanyakan nyaris setiap hari oleh sahabat, kawan, orang tua, keluarga, handai-taulan, sanak-famili, simbah kakung dan simbah putri, pakde-bude, om-tante, tetangga, sampai netijen.
Penting nggak sih nanyain kapan nikah? Ada yang baper dan mutung karena ngerasa pertanyaan itu nggak pantas diajukan.
Ya tiap orang beda-beda reaksinya. Kayak aku, dibilang nggak menarik ya reaksiku biasa aja, lahwong emang blas nggak ada menariknya. Nah kalo ada yang bilang aku keliatan cantik, baru aku bingung. Darimananya? Demikian juga bagi para jomblo, nggak semuanya reaktif ketika ditanya kapan nikah. Ada yang jawab kalem, ada yang baper. Macem-macem alasannya kenapa ada yang kalem pas ditanya, ada yang udah ngeluarin tameng dan palu Thor ketika ditanya. Pasalnya, pertanyaan itu akan salah diajukan kalau si empunya barusan denger kabar mantan yang dulu sangat ngajakin break karena LDR dan berjanji untuk kembali begitu mereka sukses, eh ternyata ngirim undangan nikahan. Atau bisa juga si empunya udah nemu orang yang disayang dan layak ke pelaminan, eh ternyata nggak direstui oleh keluarganya. Kan banyak ya alesan orang merasa hati yang sedang ringkih dan retak sana-sini, janganlah disiram garam dengan pertanyaan 'kapan kawin?'
Kalo memang ada pertanyaan basa-basi yang menarik, tanyakan hal lain. Cuaca misalnya. Atau mending ghibah aja sekalian. Paling ilang dosa dan nambah pahala, bonusnya menambah wawasan pergaulan. Daripada menyakiti orang lain dan dikenang seumur hidup sebagai penyakit temen yang sama sekali nggak asik.
Pertanyaan kapan nikah buat orang-orang yang berada di usia 25 tahunan memang jadi sesuatu yang bikin baper. Khawatir nggak laku, kesepian karena teman-teman sudah memiliki pasangan, merasa nggak menarik sampai belum ada yang melirik untuk mengajak ke pelaminan, iri sama teman-teman yang udah pamer lagi pacaran sama suami atau gendong anak, dan keasyikan mengharu-biru pasangan muda yang lagi semangat mengarungi bahtera rumah tangga. Jadi kekhawatiran belum menikah itu hanya perkara tampilan aja. Entah kenapa heboh belum nikah dan ajakan nikah sejalan dengan boomnya sosial media. Apakah karena milenial merupakan penduduk terbanyak di bumi saat ini atau memang udah janjian sejak ada di surga kalau besok setelah sampai di dunia harus membuat kegalauan massal?
Beberapa temen yang memasuki quarter life crisis merasa kadang dia jadi makhluk nelangsa yang masih melajang dan belum menemukan pasangan. Walaupun sebagai teman aku selalu mengingatkan, "Nikah itu bukan cuma nikmat, tapi juga cobaan. Kalo kamu liatnya hidupku enak, ya karena aku menikmati cobaannya. Mosok ya aku mau pamer sambat sama kamu?"
Aku selalu bilang, komitmen nikah itu apa? Sekadar ingin dinafkahi, ingin ada temen tidur, pengen gendong anak, pengen ibadah,  pengen enaena nggak dosa, pengen pamer foto di sosmed, pengen memiliki, atau pengen warisan dari mertua? Harus jelas tujuannya, jadi ketemu partner juga jelas. Apakah orang yang sama kamu sekarang atau orang yang akan kamu temui sesuai dengan tujuanmu.
Sesederhana itu? Ya enggak. Hidup ini bukan kayak toko roti di mana kamu bisa memilih rasa yang kamu inginkan. Pasti susah lah mencari orang yang sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Apalagi keinginan memiliki pasangan harus melibatkan sekian poin fit and proper test.
Ngaku, siapa yang ketika baru mau ndeketin orang memastikan apa agamanya? Masih banyak kan yang nggak mau terlibat hubungan stuck atau berakhir sakit hati hanya karena udah kadung nyaman sama orang yang berbeda keyakinan. Apalagi pada beberapa keluarga yang memegang teguh pasangan itu harus satu keyakinan. Putus sudah pasti keniscayaan. Daripada harus menangis semalam karena patah hati, mending lupakan pesonanya yang pernah membutakan.
Setelah urusan kepercayaan, masih ada yang membatasi soal suku atau ras. Belum lagi soal pekerjaan dan latar belakang pendidikan. Lalu soal kasta ekonomi bagi sebagian orang harus yang standar, entah dari kasta atas maupun menengah.
Ada pula yang memiliki kriteria soal fisik, misal harus berhidung mancung, lelaki harus lebih tinggi, nggak suka cowok gondrong, nggak suka yang pake rok mini, suka yang bertampang Korea, seneng cewek manja, suka pelihara ular, nggak suka perokok, suka begadang, dan lain sebagainya.
Ini baru soal latar belakang dan fisik ya. Setelah seabrek pencocokan latar belakang dan fisik (walaupun sebagian ada yang menoleransi beberapa poin selera sih ya), masih harus mencocokan idealisme dan berbagai sifat dan sikap. Bagaimana akan menjalankan rumah tangga, siapa yang akan bekerja dan mencari nafkah, bagaimana interaksi dengan keluarga setelah menikah, apa yang akan dihadapi setelah menikah, siapa yang akan mengasuh anak, akan punya berapa anak, di mana akan tinggal, daaaaaaannnn lain sebagainya.
Latar belakang udah, fisik udah, idealisme dan visi-misi udah. Lalu berhadapan dengan restu orang tua. Sebenarnya rada aneh sih kalau restu orang tua di belakang, padahal harusnya sebelum menjalani hubungan, restu orang tua diletakkan paling depan, agar prosesnya lebih enak dan tentunya nggak membuang waktu mubadzir. Pada bagian restu orang tua, apakah kamu yakin cocok dengan karakter orang tua dan keluarganya? Belum lagi soal keluarga besarnya? Siapkah berhadapan dengan banyak manusia yang baru dikenal lalu dia hadir sebagai keluargamu?
Jangan salah, pada beberapa orang, keluarga besar memiliki campur tangan besar dalam hidup seseorang, misalnya menantu. Apalagi bila itu keluarga besar yang sangat solid dan guyup. Kamu nggak bisa menolak ketika keluarganya sedikit memberikan interupsi atau masukan yang kesannya memaksa. Apalagi untuk orang yang sangat tidak nyaman dengan pelanggaran privasi. Bisa sangat depresi menghadapi kultur keluarga yang selalu mau tahu dan bebas berkomentar. Kamu orang baru di keluarga mereka, jadi kamu yang harus mengikuti aturan keluarga mereka, bukan sebaliknya. Apakah kamu siap?
Membaca sedemikian rumit tahapan menuju pernikahan, ada yang sudah merasa migrain dan semakin takut untuk menikah. Tapi sisanya merasa bahwa demikianlah tantangan dalam pernikahan. Jadi, pilihannya mau dihadapi atau tunggu sampai nanti.
Ya, tunggu aja sampai nanti menemukan orang yang tepat untuk diajak bergandengan tangan menyongsong pertanyaan dan tantangan segala rupa. Sampai kapan? Biarkan Tuhan yang menentukan.
"Nggak ada yang salah kalo gue belum kawin, yang salah kenapa loe ribetin gue yang belum kawin."
Demikian kalimat seorang kawan yang emosi karena dia dibilang mending kawin sama siapa aja yang mau, daripada jadi perawan tua. Padahal nggak ada istilah perawan tua kan? Ada orang yang selektif dan merasa dia belum menemukan orang yang cocok hingga usianya sudah di kepala 3. Dia sudah berusaha mencari, menemukan, dan beberapa kali mengalami kegagalan, namun ia masih berusaha. Ia tidak trauma untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dia masih berusaha loh ya tanpa perlu laporan ke kamu. Mbok ya jangan iseng ngatain perawan tua.
Kenapa sih mulutmu jahat banget sama orang? Dia berhak dan layak untuk memilih lelaki terbaik mendampingi hidupnya karena ia pun wanita terbaik di keluarganya yang di pundaknya ada orang tua dan adik-adiknya untuk dihidupi. Dia berhak mendapatkan lelaki terbaik karena ia merasa selama ini menjadi umat yang baik untuk Tuhannya dan menjadi masyarakat yang baik karena rajin membayar pajak dan selalu membawa surat-surat kendaraan plus memakai helm ketika bepergian dengan motor.
Balik lagi, kenapa sih orang ribet ngurusin hidup orang yang belum kawin? Karena perkawinannya nggak bahagia dan dia ingin orang lain juga merasakan ketidakbahagiaan dalam perkawinan. Bisa jadi yang memberi saran semacam agen multilevel makinpening yang sedang mencari downline tidak bahagia. Semakin banyak orang tidak bahagia, dia akan menjadi semakin bahagia, di atas ketidakbahagiaan orang lain.
Jadi, jangan mau nikah kalo cuma diajakin susah, apalagi sekadar milih yang penting ada yang mau ngajakin nikah. Nikah itu ya diajakin seneng, bahagia, tertawa buat selamanya. Bye aja kalo ada yang nikah buat diajakin susah. Mendingan jadi jomblo tapi bahagia daripada nikah isinya berkeluh-kesah.
Mamam tuh cinta!
Demikianlah episode #marikitaghibahtentanghariini edisi kali ini. Semoga kalian yang masih bahagia dan menerima kondisi hari ini tetap diberi pancaran kebahagiaan. Tebarkan kebahagiaan, dan jangan lupa selalu tertawa dan tersenyum ya.
Besok mau bahas apa lagi ya?

Wednesday 13 February 2019

Kenapa Sih Orang Nggak Bahagia Selalu Resekin Orang Bahagia?

Manual painting karya Arief Hadinata
Kenapa sih orang nggak bahagia selalu resekin hidup orang yang bahagia? Ini beneran jadi pertanyaan seumur hidup yang nggak bisa nemu jawabannya.
Pertama, aku nggak pernah merasa nggak bahagia. Hahaha... Bokis abis!
Kedua, aku dibahagiakan oleh orang yang kusayang.
Ketiga, aku punya kawan-kawan yang mendukungku untuk bahagia dengan selalu bersyukur.
Keempat, kawan-kawanku bukan orang yang nggak bahagia jadi aku nggak bisa juga nanya ini ke mereka.
Tapi, beberapa hari lalu jadi momen yang membuatku sadar kalau prinsip hidup, 'Aku nggak suka resek sama hidup orang, jadi kuharap orang nggak resek sama hidupku' langsung dimuntahkan oleh kejadian beberapa waktu lalu.
Jadi, ada seorang kawna yang mendadak marah-marah soal statusku dan apapun postingan di Facebookku. Dia kesel sampe ngamuk-ngamuk di kolom komentar status sahabatku yang cerita tentangku. Dia juga marah ketika temannya nggak mendukung pemikirannya bahwa statusku nggak mutu.
Aku sebenernya bingung, nih orang marah-marah nyerang aku, tapi masih temenan di Facebook.
"Emang aku peduli?" tanyaku padanya setelah dia ngamuk-ngamuk nggak keruan.
Dia masih marah-marah dan masih memaksaku harus mematuhi omongannya. Ya, sebenernya aku bisa aja jawab iya dan semua beres. Iyain aja dah dia ngomong apa. Tapi aku suka pertikaian sih, jadi aku gubris deh semua omelannya.
"Unfriend kan bisa?"
Masih sempet marah-marah dan kutanya lagi, unfriend kan bisa? Baru deh diunfriend.
Selesai sampai di situ? Nggak juga sih. Hahaha... Buatku sih rada lucu karena dia bukan saudara, bukan kakak, bukan juga sahabat. Cuma temen kuliah aja. Tapi dia merasa punya hak mengatur hidup orang lain dan parahnya lagi dia terganggu sama postinganku.
Aku membela diri kalau postinganku sama sekali nggak menyinggung siapapun. Kalaupun emang membahas masalahku, membicarakan tentang keluargaku, ya gimana donk. Ini kan melibatkanku dan aku mudeng. Jadi nyerocos macam apapun, nggak ada tolok ukurnya karena ini subyektif hidupku dan aku yang merasakan, trus dari sudut pandangku juga. Masak aku mau bahas Jokowi atau Prabowo? Ntar dikatain cebong atau kampret. Kan ogah.
Balik soal orang nggak bahagia lalu resek ke orang yang bahagia. Kalau mau aku bilang ya, orang yang resek sama aku tuh karena dia iri sama hidupku.
Sesederhana itu kenapa ada orang yang resek, ya karena IRI HATI atau DENGKI.
Aku menikah dengan Bihun, punya anak Arsa. Banyak yang bilang Bihun ganteng dan Arsa juga jadi anak yang lucu dan ganteng. Bihun suami yang mau bantuin kerjaan rumah dan tentunya rajin bekerja. Ya, suami yang bertanggung jawab lah. Bisa dibilang dia paket sempurna seorang suami. Aku juga punya mertua yang baik hati dan sabar menghadapi kelakuanku yang random. Aku punya pekerjaan yang baik dan menyenangkan.
Dan aku punya lingkungan, baik dunia nyata maupun dunia maya yang menyenangkan juga. Nggak perlu lah aku unggah kebiasaan nongkrong dan ghibah bareng temen. Yang pasti aku masih dikasih berkat baik dari Allah.
Urusan ekonomi, walaupun masih ngontrak, setidaknya kami nggak punya hutang. Ada sih cicilan motor yang masih mampu kalau kami penuhi untuk beberapa bulan ke depan.
Sebagai pelaku, selama ini aku menganggap hidupku asik.
Tapi nyatanya orang yang melihat nggak sependapat. Contohnya temenku itu. Dia mengalami momen hidup yang sekarang bisa dibilang nggak baik. Fakta yang aku tahu sih dia menikah nggak lama setelah aku menikah dan dia sudah melahirkan beberapa bulan sebelum aku melahirkan. Aku tahu suaminya tadinya beda agama, lalu kemudian pindah agama dan keduanya menikah.
Nah, suatu hari aku tahu dia mengumbar masalah rumah tangganya melalui Instagram Story. Aku nggak sedang kepo karena IG Story kan terus berjalan sampai kita keluar dari menu itu. Aku sempat menanyakan soal ini ke seorang kawan dan mereka mengiyakan ada masalah di rumah tangga temanku ini. Kawanku itu cerita bahwa ia sudah mencoba menasehati agar tidak mengumbar masalah rumah tangga melalui sosial media. Lebih baik bercerita pada teman.
Dia bercerita bahwa dia memiliki masalah rumah tangga. Suaminya kembali ke asalnya di Jakarta dan meninggalkan dia dan anak mereka di kampungnya. Suaminya lebih muda tujuh tahun. Dia juga sempat cerita bahwa suaminya sempat mendekati seseorang padahal statusnya masih menikah. Belum lagi dia cerita terdapat konflik dengan keluarga suaminya yang belum bisa menerima kehadirannya dan anaknya sebagai menantu dan cucu. Lalu keadaannya sekarang yang tidak bekerja sementara suaminya juga memilih pergi. Aku pernah tahu dia menuliskan cerita bahwa ia sampai pergi ke Jakarta untuk menemui suaminya. Dia sedang berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan anaknya.
Sebagai sesama perempuan, dan terlebih aku mengenalnya secara personal, tentu saja aku kasihan padanya. Apa yang harus dia hadapi tentu sangat tidak menyenangkan. Aku bercerita ini bukan dalam rangka membongkar rahasianya, namun ini fakta yang harus diketahui bahwa aku mencoba untuk berempati. Dengan menjelaskan masalah yang ia hadapi, aku jadi tahu mengapa dia menjadi destruktif. Tak hanya menghancurkan citranya, namun ia menjadi menghancurkan sekelilingnya. Menghancurkan hubungan pertemanan misalnya.

Aku pun bukan orang sempurna. Aku pernah mengalami fase-fase terberat dalam hidupku. Aku tak perlu membandingkan caraku bertahan diri dengan caranya. Tapi, apakah perlu iri dengan kehidupan orang lain sampai menyerang kebahagiaan orang tersebut?
Seorang kawan mengatakan, "Dia bukan iri atas apa yang kamu miliki, bisa jadi dia hanya merasa jangan hanya dia yang susah. Dia merasa seharusnya dia lebih baik darimu karena dia merasa kamu tak lebih baik darinya."
Secara sederhana, "Manda yang anaknya begitu kok bisa hidupnya gitu? Aku yang anaknya begini kenapa nasibnya gini?"
Di titik itu aku tahu, penerimaan seseorang atas yang harus dia jalani dalam hidup memang berbeda. Aku mungkin juga pernah mengalami masa sulit kok yang bawaannya pengen orang se Indonesia tahu kesulitan dan masalahku. Tapi aku juga tahu kalau menyalahkan orang lain nggak akan ada faedahnya. Ya gimana, kali aja yang disalahin mudeng. Yang jadi penyebab kemalangan nasibku aja sering cuek bebek, trus aku mau nuntut sama siapa? Beberapa kali belajar, aku tahu sebuah masalah kuncinya ada padaku. Lebih baik aku bangkit dan berusaha lebih kencang mengubah nasibku. Sesederhana itu? Iya, tulisannya. Faktanya ya coba aja deh ya. Wkwkwk...
Jadi, sebenarnya orang nggak bahagia itu karena iri dengan kebahagiaan orang lain, iri dengan capaian hidup orang lain, atau ingin agar orang lain nggak bahagia seperti yang ia alami, atau ingin agar orang lain nggak bahagia juga sementara dia bisa bahagia dengan ketidakbahagiaan orang lain? Seribet itukah? Nulis aja sampe belepotan.
Namun sebagai orang yang mengaku bahagia menjalani hidup, saranku sih, abaikan saja orang yang resek dengan kebahagiaan hidup kita. Hempaskan, Bebh~ Serius deh, waktu, tenaga, dan pikiran kita akan lebih positif ketika melakukan hal yang positif. Marah dan iri itu pekerjaan yang menyedot banyak hal positif dan menguras energi kita, lalu menghasilkan energi negatif dan kelelahan teramat-sangat.
Kalau kita bahagia banyak yang iri, nah kalo kita yang susah banyak yang ngetawain. Mau? Aku sih ogah! Hahaha...
Saranku sih, untuk orang-orang yang gampang terpancing emosi atas pendapat orang lain, mending ambil wolesnya aja. Anggep aja setan lagi cari mangsa.
Kalo emang dia temen yang baik, tentu dia tahu bagaimana harus bersikap dan tetap memancarkan aura positif. Memberi masukan secara sportif beda dengan orang yang ngajakin adu urat loh ya.
Nggak usah diladeni, nggak usah digubris. Cuekin aja, Shay. Beneran deh, cuekin. Anggep dia nggak ada, nggak nampak. Mau musuhin kayak apa atau ngajakin bolokurowo macem apapun, gak usah digubris. Orang macem itu nggak akan selesai. Semakin kita gubris, dia semakin niat untuk menjatuhkan kita. Lagian, orang macem ini akan ada setiap harinya. Digubris satu-satu, emang kita nggak nyuci baju, nggak makan, nggak berenang, nggak kerja, nggak cari uang? Buat jam terbang aja, semakin banyak orang yang resek sama kebahagiaan kita, berarti kebahagiaan kita udah paripurna. Hahahaha....
Ingat, haters is another lovers. Wkwkwk...
Duh, tulisanku jadi ngelantur ke mana-mana kan ya?
Yaudah, intinya gini dulu aja ya, Shay... Besok kita ghibah lagi.
Nantikan episode selanjutnya #nantikitaakanghibahtentanghariini di kesempatan yang berbeda ya? Muach! See yaaa.....
Hahaha...

Tuesday 12 February 2019

Jadi Guru Tuh Berat, Makanya Aku Nggak Mau Jadi Guru

Manual Painting karya Arief Hadinata

Beberapa orang sempat bertanya demikian ketika mereka berbasa-basi denganku. Nggak cuma orang asing, bahkan orang terdekat seperti orang tua dan sahabat aja sempet nanyain, kenapa aku yang kuliahnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia nggak memilih profesi guru?
"Jadi guru tuh berat, makanya aku nggak mau jadi guru."
Ya, cuma bisa jawab gitu aja sih. Mau dijelasin juga repot, harus sedia laptop, proyektor, dan Power Point untuk menjelaskan segambreng alasan yang mendasariku nggak bisa memilih guru sebagai mata pencaharian profesiku.
Ya, buatku sih, sesederhana bilang berat. Serealistis itu juga tanggung jawab sebagai guru.
Kalau mau dirunut ke belakang, sebenarnya pemikiran ini bermula ketika aku mulai kerja di restoran cepat saji dan punya temen yang kerja jadi guru. Kami ngobrol soal kerjaan dan dia nanya ke aku, berapa bayaran jadi pelayan restoran?
Kujawab, "Rp 45.777 per hari."
Dia kaget. Katanya, lumayan banget dapet bayaran segitu kalo bisa kerja sebulan. Dia sih membayangkan kerjaku full 30 hari dalam sebulan yak. Padahal aku aslinya cuma kerja rerata ya tiga hari dalam seminggu lah. Kadang sebulan cuma dapet Rp 300ribuan, pernah juga cuma dapet Rp 100 ribuan sebulan.
"Lumayan juga ya, lebih gede dari bayaranku," komennya.
Aku kepo donk, akhirnya kutanya, "emang gajimu berapa?"
"Rp 300 ribu, Nda."
Jleb! Waktu itu sih sekitar tahun 2011 atau 2012 an lah ya. Duit segitu sebenernya lumayan lah kalo liat warnanya.
Tapi, jadi nggak manusiawi banget bayaran segitu kerja jadi guru di kota besar. Sementara temenku ini masih ngekos. Ngekos kan butuh bayar sewa kos, butuh beli makan. Belum lagi pas kerja masih butuh bensin. Apa cukup sih?
"Emang cukup hidup pake duit segitu?" tanyaku.
"Nggak," jawabnya, lempeng aja tanpa ekspresi sedih atau senang.

Kami meneruskan obrolan yang intinya emang bayarannya dia segitu nggak cukup buat ngekos dan makan. Duit bayarannya cuma bisa buat bayar bensin dan sangu berangkat kerja. Temenku ini masih lajang, jadi dia belum punya pikiran apakah duit segitu cukup untuk membayar listrik, membeli popok, membayar iuran warga, atau sekadar memberikan jatah bahagia untuk istrinya. Belum kudu ngontrak rumah atau ngekos bareng keluarga kan ya?. Jadi beneran masih mikirin diri sendiri dan dia emang ngaku masih ditransferi kedua orang tuanya untuk bisa bertahan hidup.
"Kamu nggak kepikiran pengen pindah kerja apa gitu. Kan banyak tuh ya lowongan jadi teller bank yang bayarannya lumayan banget per bulan," komenku. Jangan tanya mikir atau enggak. Itu udah komen paling bijak untuk anak umur 20 tahun.
Dia bilang dia pengen mengabdi karena orang tuanya di desa bangga ketika ditanya pekerjaan anaknya guru. Orang tuanya di desa bekerja sebagai petani. Meskipun bukan petani buruh, namun profesi guru itu identik sebagai keningratan dan dipandang orang.
Aku sih iya aja. Memang demikian adanya pemikiran masyarakat daerah tentang seseorang yang bekerja sebagai guru. Nggak perlu tahu berapa nominal pendapatan perbulan, menjadi guru merupakan pekerjaan mulia dan dihormatin banyak orang. Seriusan! Orang-orang beneran nggak tahu loh berapa gaji guru honorer perbulan. Sampe detik ini aku aja nggak tahu bedanya guru honorer, guru tidak tetap, sampe guru wiyata bhakti. Aku taunya ya cuma guru yang belum pegawai negeri sipil (PNS) sebagai guru ngabdi. Semua orang yang kerja di sekolah, jadi guru, yaudah, guru aja.
Setelah mendengarkan cerita kawanku ini, aku semakin berpikir mencari pekerjaan yang cukup realistis. Minimal bergaji upah minimum regional (UMR) lah. Masih bisa sedikit bernafas walaupun ya kalo pengen punya apa-apa tetep kudu prihatin.
Etapi, ada kok kawanku yang menjadi guru tapi gajinya nggak semengenaskan kawanku itu. Masih manusiawi, bahkan dia dapet kesempatan merasakan dinginnya salju di Turki (disuruh belajar di Turki sembilan bulan). Dia diterima di sebuah sekolah swasta yayasan yang bekerja sama dengan negara lain. Lalu kawan lainnya juga ketika jadi guru cukup lumayan kok, masih bisa merasakan ngemol dan pergi ke restoran.
Tapi, tetap saja tak menggugah minatku menjadi guru karena aku sadar diri aku nggak cukup bijaksana menjadi guru. Pertama, aku tempramental. Sampe sekarang aku masih sering meledak-ledak secara emosional. Kali terakhir aku marah dan ngambek ke Bihun karena dia salah beli tiket kereta dan itu disaksikan oleh adikku. Iya, cuma perkara salah beli tiket kereta aku sampe marah segitunya seolah Bihun melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Gimana coba ngadepin anak abege yang ngeselinnya masya Allah pengen ndamprat. Tau kan video-video viral anak-anak yang kurang ajar sama gurunya? Nggak kebayang aku jadi gurunya. Paling bisanya cuma nangis.
Selain itu, ketika aku melaksanakan mata kuliah praktik pengalaman lapangan (PPL) tiga bulan di sebuah sekolah swasta yang total siswanya tak sampai seratus orang, aku benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Ya, namanya aja sekolah swasta yang siswanya tak lebih dari 100 orang, jangan banyak berharap lah ya... Ya gitu lah... Pokoknya...
Tiga bulan belajar menjadi guru, mengerjakan perangkat belajar mulai dari mempelajari kurikulum dan silabus, membuat perencanaan berjenjang dari program tahunan, program semester, membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sampe membuat media pembelajaran. Lalu ada membuat materi dan bahan evaluasi, memberikan tugas dan mengevaluasi. Duh...
AKU NYERAAAHHHHHHHH!!!!
Serius deh, aku nggak nyaman banget dengan pekerjaan printil-printil demikian. Momen PPL itu emang aku banyak mikir dan belajar karena sekalian nyiapin konten skripsi, kalau menjadi guru itu sebuah tanggung jawab. Guru kan ya digugu lan ditiru. Apapun tingkahku akan diamati siswa dan aku menjadi role model mereka. Jaman segitu kelakuanku masih begajulan nggak keruan. Jadi minder sendiri kan, masak aku mau jadi guru sih? Ciyus nih? Yakin? Mending jangan deh, bahaya!
Selain dua hal itu, soal pendapatan dan sikap, aku juga memikirkan tuntutan jadi guru berat banget loh ya. Gimana coba? Anak nggak terlalu pintar tapi sekolah ingin mencetak anak yang pintar. Ada sekolah sampe mekso banget anak didiknya jadi pintar mendadak dan nilainya jadi bagus. Padahal mah kualitas anaknya embuh banget. Hanya demi nggak pengin akreditasi drop. Itu agak dilematis ya? Kasian anaknya untuk masa sekarang dan masa depan karena ternyata dia jadi produk gagal tapi dipaksakan untuk terjun di masyarakat. Kasian sekolah juga ketika punya siswa macem itu.
Belum lagi kasus kekerasan dan intimidasi pada guru. Ini yang beberapa tahun belakangan jadi sorotan. Ada guru yang dipenjara, dilaporkan ke polisi, dianiaya, diajak berantem di kelas, dipegang kerah lehernya, bahkan dipukul sampe meninggal. Nah, kalo kayak gini siapa yang salah? Guru kena, siswa kena. Apalagi kalo sampe kasusnya viral. Wirang sekabehane kan? Guru dibilang nggak bisa mendidik, siswanya susah didik. Padahal siswa juga punya orang tua dan keluarga di rumah. Emang orang tua nggak punya kewajiban mendidik karena anaknya udah disekolahin dan ngerasa udah mbayar jadi maunya terima beres? Atau karena merasa membayar sekolah, jadi sekarepe dewe?
Malah tambah pusing kan aku sekarang kalo inget-inget alasanku males jadi guru. Sebenarnya aku sendiri agak gamang karena aku beneran mengkhianati almamaterku dan apa yang kupelajari bertahun-tahun hanya untuk menyenangkanku yang butuh uang berpikiran visioner ini. Beneran deh, standar soal pendapatan nggak bisa kunego. Karena aku merasakan gaji buat beli Indomie sekerdus itu sesuatu banget tauk!
Akhir-akhir masa studiku, aku pasrah kerja apa aja. Jadi admin juga nggak masalah deh, asal sesuai dengan standar UMR. Titik!
Beneran loh, setelah punya ijazah aku melamar di banyak tempat dan cuek aja sama kerjaan yang kuambil. Mau itu jadi pelayan di kedai kopi atau apapun, yang penting bisa kerja, cukup lah buatku.
Ya beruntungnya aku sih, diterima kerja sebagai wartawan. Melakukan hal yang kusuka, menulis. Walaupun ternyata jadi wartawan nggak cuma soal nulis, masih banyak hal lain yang kupelajari. Sedikit-banyak ilmu yang kuambil di kuliahku dulu terpakai untuk liputan. Bahkan ilmu-ilmu lisan yang diajarkan oleh dosen lebih mengena untukku dibanding ilmu-ilmu teoritis dari presentasi layar. Serius deh. Sampe sekarang aku masih inget apa pesan-pesan dari dosen dan guruku tentang teknik menulis dibanding aku inget buku tentang menulis.
Oh iya, soal kawanku yang bergaji Rp 300 ribu ketika menjadi guru, kudengar sekarang ia menjadi PNS di kampung halamannya dan kini sudah menikah. Alhamdulillah, tidak sia-sia perjuangannya. 
Untuk teman-teman yang menjadi guru, semangat ya! Ujung tombak perjuangan bangsa ada di tangan kalian. Aku salut banget sama kalian yang bisa jadi guru, mendidik anak bangsa. Belum lagi ada yang sampe jadi guru SM3T. Kalian keren banget deh! Pengabdian sampe ke urat nadi.
Pokoknya, semangat ya buat kalian, semangatin aku juga, kawan... Jadi guru buat Aksara Abiyarsa.
^_^

Monday 11 February 2019

Mungkin Kita Hanya Perlu Mendengar, Bukan Memberi Saran

Digital painting karya Arief Hadinata

Seorang wanita muda, berbibir merah menyala, menyedot asap dari puntung rokoknya. Aku duduk berhadapan dengannya. Menikmati kentang goreng, es teh manis, burger, ayam, nasi, dan saus cabai yang ia persembahkan. Usianya lebih muda tiga tahun dariku namun ia memiliki anak yang tahun ini berusia lima tahun dan tiga tahun.
"Suami gue gila ya. Abis berantem ngajak ketemu di Jakarta, trus kita ngewe, trus dia pulang ke rumah orang tuanya di Purwokerto, gue balik ke rumah gue di Jakarta. Nyampe rumah, dia telpon, 'eh anjing, di mane lo?' Gila nggak tuh orang? Gue dikatain anjing, babi, setan. Dipukul pake tangan, kaki, dicekik, hampir dibunuh sama dia. Anak-anak gue juga ditonjok dadanya dan dibanting sama dia. Itu anak dia juga loh! Gila emang tuh orang."
Aku masih mendengarkan ceritanya.
"Jadi, Bebh, semalem gue baru selese bikin surat pernyataan kalo gue nggak akan menuntut hak finansial apapun ke suami gue. Gue memutuskan untuk batalkan tuntutan cerai. Gue pengen mempertahankan rumah tangga gue, Bebh."
Sore itu, di hari yang kelabu, secara terburu-buru aku membawa bayiku menemui seorang kawan. Tak kuhiraukan lalu lintas pulang kerja yang biasanya membuatku banyak sambat. Aku hanya butuh melihatnya baik-baik saja, meskipun ini kali pertama aku berjumpa dengannya. Ia berasal dari luar kota dan kami berkenalan hingga berkawan dari sosial media.
"Gue bikin surat pernyataan sepuluh lembar yang merinci kalo gue mengikhlaskan hak-hak gue sebagai istri dan kalo kami berpisah. Padahal kalo sekarang gue cerai, bisa banget loh gue dapet 70% gajinya dan gue bisa kawin sama atasannya yang naksir gue. Tapi gue pengen mempertahankan rumah tangga gue."
Masih kusimak ceritanya, namun ia menginterupsi curahan hatinya atas panggilan telepon dan pesan.
"Sorry ya, Bebh, ditinggal di hotel jadi resek. Ngeselin! Dia lagi sakit, abis jatuh dari kamar mandi. Gue dari Jakarta ke Semarang buat ngurus dia. Dia yang minta gue ke Semarang, pake duit gue. Loe tau, gue disuruh tidur di lantai. Pas malem dia nyuruh naik ke kasur buat dia naekin. Sekarang lagi marah-marah nggak jelas deh."

Dia cerita kalau seprei hotel meninggalkan bercak darah dan setahunya, itu bukan darahnya. Namun suaminya tak peduli. Suaminya kesal dan melampiaskan padanya dengan cara terus menghubungi istrinya.
"Dia selalu ngatain gue nggak punya apa-apa, goblok, dan yang punya semua yang gue punya itu orang tua. Iya sih, semua yang gue punya sekarang emang dari orang tua. Gue dapet semua fasilitas ini, mobil dan semuanya dari orang tua. Bokap udah nyuruh pisah aja kalo emang gue selalu disia-sia dan dipukulin. Sekarang aja semua kebutuhan hidup gue sama anak-anak dikasih sama bokap gue. Bokap nawarin gue sekolah lagi, kerja, rumah, dan ortu juga mau ngurus anak-anak. Tapi gue masih pengen sama suami gue, Bebh.
Hubungan gue sama mertua juga sama sekali nggak baik. Hubungan gue sama mertua udah kaya anjing sama kucing. Sampe sekarang mertua gue nggak suka sama gue. Malah mertua perempuan gueyang selalu nyuruh buat cerain gue. Mertua sama ortu gue hubungannya juga nggak bagus. Padahal gue sama suami gue sepupu." 
Ini sudah batang rokok keempat yang ia habiskan. Kali ini giliranku bicara.
"Bebh, denger ceritamu, kayak membaca ulang sebuah cerita kehidupan yang sangat kukenal. Nama tokohnya jelas berbeda, namun alurnya sama. Mungkinkah memiliki akhir yang sama?"
Ini kisah nyata dari wanita muda yang kehilangan jati diri dan kewarasannya karena cinta.
Bila Jeanne Hebuterne bunuh diri setelah kematian Amedeo Modigliani demi membuktikan cintanya, maka wanita muda ini rela tak mempersembahkan dirinya demi membuktikan cintanya.
Cinta yang buta?
Cinta tanpa logika?
Cinta yang gila?
Atau apa?



Wanita muda ini memandangku dengan tatapan ingin tahu yang membuatku ingin menangis. Matanya masih terlampau lugu untuk menanggung beban di usia belia. Harusnya ia masih bisa bercengkrama seperti kawanku di sana, yang sedang menggendong anak lelakiku karena kawanku meminta izin merokok.
"Mamaku mengalami nasib yang hampir sama sepertimu. Bedanya, ia tak memiliki apapun, baik keluarga yang mendukung keputusannya untuk berpisah dan melanjutkan hidup, maupun bekal untuk melanjutkan hidup. Ia hanya memiliki satu pilihan, menjalani."
Aku melihat ia gugup mendengar kalimatku barusan. Ia mencari gelas minumnya dan meminum sekenanya. Ia pun kembali menyalakan batang rokok baru.
"Aku tak mengatakan pilihanmu salah atau benar. Kamu yang tahu masalahmu, tahu cara untuk menyelesaikannya. Aku hanya memberi gambaran bahwa pada akhirnya orang tuaku pun berpisah setelah 18 tahun mereka bersama. Mereka tak bisa mengalahkan ego mereka. Kami, empat anaknya yang menjadi korban. Aku memetik banyak pelajaran tentang kelabilan mereka yang imbasnya pada kami. Kadang, ada hal yang memang tidak bisa dipaksakan untuk bersama. Entah sekarang, entah nanti pasti akan berpisah.
Buatmu, suamimu adalah cinta pertamamu. Ia yang memberikan segala hal yang pertama kamu rasakan, mulai dari jatuh cinta, patah hati, bahagia, sedih, tawa, air mata, bahkan bisa jadi ia yang pertama mencium atau menyentuhmu. Kamu mencintainya dan berharap ia akan berubah menjadi lelaki terbaik. Kalian masih membawa cinta remaja. Soal kalian memiliki anak, itu hal lain yang timbul dari cinta kalian."
Aku melihatnya mengangguk. Aku tersenyum melihatnya memancarkan tatapan lugu penuh optimisme.
"Jalani apa yang kamu yakini. Kerahkan semua yang kamu miliki. Biarkan Tuhan membantu perjuanganmu. Kalaupun cerita kamu masih sama seperti tiga atau empat tahun lalu ketika kamu cerita soal keinginanmu untuk pisah, aku masih akan selalu bersedia mendengarkanmu apapun darimu."
Ia tersenyum dan setelah melanjutkan pembicaraan tentang aktivitasku kini, ia pamit. Menenteng makanan yang katanya ia belikan untuk sang suami.
Aku mulai belajar untuk tak memaksakan pandanganku pada orang lain, terlebih bila aku tak memiliki andil dalam kehidupan orang itu. Sekadar mendengarkan mereka dan menyemangati pilihan mereka, itu menjadi kekuatan. Bukannya memblok pilihan mereka dan menyatakan pilihan tersebut salah. Hal itu akan membuat orang enggan bercerita dan tak nyaman mendapat reaksi penolakan. Ia pasti memiliki alasan atas pilihannya, hanya ia tak tahu bagaimana cara bercerita, atau mungkin enggan untuk menyampaikan. Lagipula, dengan ia bercerita padaku, artinya ia mempercayaiku. Setelah dewasa, kepercayaan sangat mahal harganya.

Tuesday 5 February 2019

Kita Tak Berhak Menggugat Air Mata Al dan Dul

Digital painting karya Arief Hadinata untuk anak kami, Aksara Abiyarsa.

Beberapa hari lalu ramai dibicarakan orang tentang air mata Ahmad Al Ghazali dan Abdul Qodir Jaelani alias Al dan Dul, anak Ahmad Dhani Prasetya. Dilansir dari Tribun Wow, mereka tertangkap kamera warganet nampak menangis pada konser Tribute to Dewa 19 yang diadakan di Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (31/1/2019) lalu.
Rekaman video tersebut tersebar di sejumlah akun gosip dan menjadi perbincangan warganet. Para warganet berkomentar bahwa Al dan Dul tak perlu menangisi ayah mereka karena ayahnya perlu belajar mengendalikan mulut. Ada pula yang berkomentar bahwa mereka lebih bersimpati pada enam orang korban kecelakaan yang melibatkan Dul enam tahun lalu.
Dear teman-teman, pepatah mengatakan kasih anak sepanjang galah, kasih orang tua sepanjang jalan. Sekalipun hanya sepanjang galah, kasih sayang tetaplah kasih sayang. Air mata yang ditumpahkan Al dan Dul merupakan sebuah ekspresi cinta yang tak bisa kita gugat.
Aku bisa mengatakan demikian karena aku pernah mengalami hal tersebut.
Aku sangat benci Papaku, aku sangat membenci tingkahnya, kekeraskepalaannya, perbuatannya, pemikirannya, dan semua tentangnya. Ketika aku hendak masuk kuliah pada 2008, Mama memutuskan menggugat cerai Papa. Papa dengan segala arogan menantang Mama tanpa memperhitungkan ia sangat bersalah karena pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga tiga tahun sebelumnya.
Aku sempat menyampaikan pada Papa untuk menerima permintaan Mama bercerai dan fokus untuk membesarkan anak-anaknya. Papa yang keras kepala enggan mendengarkan, memilih untuk bertahan dengan pendiriannya. Pun ketika petugas kepolisian memanggilnya untuk dimintai keterangan atas kasus KDRT, Papa masih bisa membela diri dan mengelak tuduhan itu. 
Aku marah, jengkel, ribut dengan Papa. Sejak aku kuliah, kami bermusuhan. Papa melepaskan kewajibannya membiayaiku sekolah karena perlawananku. Bagiku, itu sudah bukan hal yang baru karena sejak SD aku sudah sering diperlakukan demikian bila aku tak menuruti perintah Papa. Bedanya, setelah kuliah aku bisa mencari uang sendiri.
Juni 2009, aku masih di Semarang, di dalam kamar kosku setelah makan malam. Mama mengirimi pesan singkat yang menyatakan Papa sudah ditahan dan harus menjalan tiga tahun hukumannya. Aku menangis sejadinya malam itu dan semalaman. Aku sendiri tak tahu kenapa aku menangis. Harusnya aku tak menangisi Papa karena itu perbuatan yang harus Papa bayar dan aku sedang bermusuhan dengan Papa. Namun aku menangis.
Saat Idul Fitri, Mama meminta aku dan ketiga adikku mengunjungi Papa di rutan. Kami datang. Pertama kali melihat Papa, aku menangis. Papa yang melihatku dan masih marah denganku, mengusirku dan membentakku. Aku berjalan keluar dan masih menangis. Hatiku lebih remuk melihat Papa dibanding mendengar bentakan Papa.
Tahun 2015, setelah enam tahun tak berjumpa, aku menemui Papa yang sudah bebas dan tinggal di rumah kami yang dulu. Ketika Papa membuka pintu, aku langsung menangis dan memeluk Papa. Aku menemui Papa untuk menyampaikan perihal aku yang telah merampungkan studi dan memintanya datang ke wisudaku. Namun Papa menolak datang bila Mama juga diundang. Meskipun menelan kecewa karena perseteruan Mama dan Papa yang tak kunjung usai, namun aku senang akhirnya bisa menemui Papa. Aku masih membencinya yang tak pernah mengakui perbuatannya yang buruk dan menyebalkan hingga membuat kami berempat harus terseok-seok melanjutkan hidup. Namun, aku baik-baik saja.
Tahun 2017 aku kembali menemui Papa untuk mengabarkan bahwa aku akan menikah dengan Bihun. Papa masih menawarkan keangkuhannya dan mengatakan tidak akan datang ke pernikahanku bila Mama datang. Aku kembali menangis dan galau. Aku sampaikan pada Bihun bahwa Papa tak akan datang dan aku sedih. Bihun menyampaikan ke Papa bahwa aku sangat mengharapkan kehadiran Papa.
Nyatanya, di hari akad nikah dan ngundhuh mantu nikahanku, Papa tetap tak datang.
Aku tetap menangis.
Aku tetap bersedih.
Aku tetap kecewa.
Meskipun aku membenci Papa yang pernah menyangsikan keberadaanku, selalu ringan tangan denganku, selalu bermusuhan denganku, namun aku merindukan Papa. Hingga detik ini aku menulis tulisan ini atau kalian membaca tulisanku, aku masih merindukan Papa. Berharap bisa membawa Bihun dan Arsa menemui Papa, memperkenalkan inilah cucunya. Aku masih berharap ada cerita antara kakek dan cucunya yang terjalin antara Papa dan Arsa.
Aku masih merindukannya. Aku masih berharap pada Papa.
Inilah cinta tak berlogika dan tak bisa dihitung secara matematika. Karena kesulitan teramat sangat ialah mencintai orang yang seharusnya kita benci.
Jadi, air mata Al dan Dul merupakan sebuah wujud cinta yang tak memiliki logika. Jangan samakan tangisan mereka dengan sebuah kematian, pilihan politik, capres idola, istri muda, karma, atau apapun. Tangis mereka merupakan sebuah bentuk nelangsa bahwa anak tak pernah dapat memilih siapa orang tuanya, namun orang tua dapat memilih tindakan yang dapat mempengaruhi mental dan masa depan anaknya.

Saturday 2 February 2019

Pangkas Keuangan Bulanan Demi Kehidupan yang Lebih Baik

Setelah satu setengah tahun galau dan kemrungsung dan sedih dan baper dan nggak jelas maunya apa. Setelah melalui semacam pergumulan batin yang cukup pelik dan kisut, akhirnya aku menemukan kegundahgulanaan yang kualami. Ini tentang diriku sendiri, khususnya keuanganku. Aku putuskan mulai memenej keuangan.
Ini jadi sebuah pencapaian besar ketika aku menekatkan diri untuk mengontrol keuangan.
Bukan gimana-gimana. Selama ini, baik aku dan Bihun sudah dua tahun lebih secara ugal-ugalan, serampangan, ngawur, dan nggak jelas dalam mengelola keuangan rumah tangga kami.

Iya, aku punya gaji bulanan. Iya, Bihun punya pendapatan juga. Iya, kami nggak punya tanggungan hutang kecuali cicilan motor. Iya, kami menerima nasib pekerjaan dan penghasilan kami. Tapi iya juga kalo ternyata setelah menyusun struk belanja bulan ini, baru kami sadari kalau pengeluaran sebulan lebih besar dari pendapatanku bulan itu. Pengeluaran bisa sampe tiga kali lipat gaji.
Kalo mau bilang, nggak ada masalah, nggak ada yang dirugikan. Cuma kan... KAMI NGGAK PUNYA TABUNGAN BUAT BELI RUMAH, MOBIL, TABUNGAN PENDIDIKAN AKSARA, TABUNGAN PENSIUN, DANA PENGEMBANGAN DIRI, SAMPE DANA DARURAT!!!
Manusia macam apa yang secara sadar meneruskan terlena dalam kubangan penuh dosa dari hedonisme? Setelah tersadar, aku mencoba memperbaiki diri. Istilah kerennya sih berhijrah yak. Berhijrah dari gaya hidup hedonis ke gaya hidup minimalis. *ngirit *pelit


Mural karya Arief Hadinata di Toko Oleh-Oleh 52 Jalan Madukoro Nomor 52 Kota Semarang, arah Bandara Internasional Ahmad Yani Kota Semarang

Awalnya, baik aku dan Bihun selalu santai dengan prinsip keuangan kami. Seada-adanya duit ya yang di rekening dan dipake buat konsumsi bulanan. Pengen apa, tinggal gesek. Gampang, nggak usah dibikin pusing. Nah, mendadak kepikiran, kalo sampe tahun depan dan sepuluh tahun lagi kami masih kayak gini, pesimis deh bisa punya aset atau bisa menaikkan kualitas kami.
Dilema juga. Siapa sih istri yang nggak suka dimanja suami? Mau apa, pengen apa, belanja apa, nggak usah mikir. "Nyoh, buat belanja, nyoh!" Apalagi prinsip Bihun yang soswit, yakni, "Aku kerjo go nyenengke bojo. Lah nek aku kerjo tapi bojoku kesikso ora kelakon pengen tuku opo, nggo opo?"
Awalnya ya happy banget punya suami yang semintaku, sepanjang dia mampu, pasti diturutin. Tapi kan hidup nggak cuma buat hari ini ya? Masih ada besok, bulan depan, tahun depan, dan ada Aksara yang masa depannya sudah harus kami persiapkan.
Akhirnya, setelah belajar dan browsing sana-sini soal keuangan, aku nemu formula yang pas. Dulu, aku belajar tentang keuangan rumah tangga dari Mama. Saklek banget menghitung uangnya. Pembagian keuangan pake sistem amplop yang udah dijatah sebulannya berapa. Misalnyauang buat deterjen dan sabun Rp 50 ribu, buat makan harian Rp 20 ribu, buat bensin Rp 40 ribu. Padahal setelah berumah tangga, makan nggak cuma soal beli ayam, bayam, atau tempe-tahu, ternyata ada juga beli salam-laos, bawang merah-bawang putih, gula jawa, merica, saos tiram. Nah item-item printil-printil gitu yang suka bikin pusing aku sebagai ibu rumah tangga.
"Ini masuk ke pos mana nih? Duh, kalo gini malah jadi mines, lalu nambalnya pake apa, gimana?"
Setelah aku pikir-pikir dan belajar dari beberapa parenting blogger, mending kan membagi keuangan berdasarkan pos global. Nggak mesti bulan ini beli beras 10 kilo. Bisa aja bulan depan cukup beli beras 5 kilo karena sisa bulan lalu masih ada 3 kilo karena konsumsi sebulan cuma 8 kilo. Jadi pos kelebihan ini bisa buat nambal pos lain yang butuh.
Jadi, di skena keuanganku, kubagi jadi empat pos besar di amplop cokelat yang rincian peruntukannya jelas. Kubagi dalam Konsumsi Bulanan, Kebutuhan Bulanan, Kebutuhan Tahunan, dan Tabungan. Keterangan rincian dijelaskan keperluannya untuk apa, dan nominalnya berapa. Misal butuh beli garam, ambil di uang amplop Konsumsi Bulanan, sementara bayar arisan ambil di amplop Kebutuhan Bulanan. Setelah ambil uang, diinget-inget ambil uang berapa dan nanti dicatat. Beberapa kesempatan, sempet luput menghitung pengeluaran dan sering agak males saking banyaknya, jadi suka nggak kecatet, lupa, dan embuh. Hahaha.... Belum konsisten.
Baru berjalan bulan November, Desember, Januari, dan itu pun sedikit tersendat-sendat. Sekarang, bulan ini, mau agak kejam dan frontal. Kuputuskan harus berhemat dan tegas pada diri sendiri. Bahkan aku beneran nggak punya anggaran buat diriku sendiri demi menghitung buat menghitung seberapa kuat kami bertahan dengan keadaan ini. Bismillah lah ya, harus konsisten buat mencatat. Toh sekarang ada Bihun yang mau diajak partneran. Dia juga kena imbas dari sistem baru di keuangan keluarga. Harus mulai ngirit ngrokok karena sebulan cuma kujatah sepuluh bungkus. Dia juga nggak pegang uang sama sekali. Wkwkwk... (Tapi dia lagi modus buat cari 'duit lanang')
Sebenernya menghemat keuangan bulan ini nggak terlalu berat juga karena isi kulkas masih cukup sampe minggu depan, trus popok dan deterjen juga bisa bertahan bulan ini, bahkan sampe bulan depan. Beras juga masih cukup lah buat seminggu ke depan.
Agak nyesel kenapa menyadari soal manajemen keuangan baru sekarang. Tapi ya sudah lah, better late than never kan ya? Mumpung Aksara masih delapan bulan, aku harus mempersiapkannya secara maksimal. Malah sebenarnya aku harus mulai engejar ketertinggalanku setahun lalu. Karena aku merasa bersalah kurang persiapan 1,5 tahun lalu, inilah dasar aku udah ambil keputusan harus tega dengan diriku sendiri demi masa depan Aksara yang lebih baik.
Tau nggak, aku pengen banget Arsa bisa sekolah di sekolah yang lebih baik dari sekolahku. Dia bisa memiliki pilihan yang masa depan yang lebih beragam dan tentunya lebih baik dariku. Ya, harapan semua orang tua memang anaknya lebih baik. Mosok mau sama kayak aku dan ayahnya? Nah buat lebih baik itu biayanya nggak murah.
Jadi, alasanku berhemat dan menabung karena kaget liat uang pangkal masuk PAUD sampe Rp 20 juta dan bulanannya Rp 2 juta. Biaya sarjanaku aja nggak sampe segitu. Kan sedih ya? Tapi kalo liat biaya di kampus negeri sekarang yang ugal-ugalan, aduh, mau nggak mau aku harus menyiapkan dana untuk sekolah berkali-kali lipat dari mengilanya biaya sekolah jaman sekarang.

Yah, baru beberapa hari udah galau nggak bisa lagi gesak-gesek kalo belanja, kartu ATM harus disembunyikan, siap merem ketika ada promo diskonan, terpaksa menolak tawaran teman yang lagi jualan, belajar nggak melakukan hal yang akan berpotensi mendongkrak pengeluaran seperti ngemol dan ngerumpik. Pokoknya, gitu lah ya.

Selanjutnya, mau cerita soal carut-marutnya dan hedonisnya kami. Sebagai pengalaman buat yang pernah dan masih, supaya menyadari mumpung belum terlambat. Sebagai pengingat bagi kami, nggak lagi-lagi ugal-ugalan kayak gini. Pengingat juga kalo dulu udah pernah, jadi biasa aja lah ya...

Setelah Hiatus Panjang, Aku Kembali Dataaaaang!! *peluuk

Setelah hiatus yang cukup panjang, hampir tiga tahun lamanya sejak terakhir kali aku mengunggah tulisan di blog ini, akhirnya aku bisa kembali menulis, bisa kembali bercerita. Hahaha...
Sepertinya memang hanya tiga tahun ya, namun tiga tahun itu telah memberikan banyak cerita.
Yang jelas, sejak terakhir kali postingan di sini, aku akhirnya merasakan menggunakan toga. Yiha... Wisuda! Perjuangan selama tujuh tahun lamanya akhirnya terbayar. Akhirnya aku mendapatkan ijazah dan transkrip nilai.
Selepas mendapatkan ijazah, tak ingin kusia-siakan fungsinya. Kufotokopi dan kukirimkan pada sejumlah instansi. Berharap mereka mempekerjakanku.
Ternyata ekspektasi tak semanis realita. Harus cukup sabar dan berterima kasih karena sepanjang proses tersebut aku cukup pada tahap wawancara.
Hingga sebuah perusahaan besar nan bergensi nan diimpikan banyak anak negeri (wagelaseeeh) meminangku dan memberiku identitas.
Nanti akan kuceritakan detailnya.
Bersamaan dengan itu, aku juga menggandeng sesosok anak manusia. Nggak spesial amat awalnya karena dia teman biasa dan pacar temanku yang belakangan aku tahu mereka putus. Kami dekat, kemudian pacaran, dan akhirnya menikah. Sekarang kami memiliki seorang anak berusia tujuh bulan.
Nanti juga akan kuceritakan beragam dramanya.
Lukisan di depan Nima Art Space ketika pameran Bihun yang berjudul Line Mark tanggal 27 Januari 2018.

Dan sekarang aku sudah menimang bayi lelaki menggemaskan yang rupawan. Nanti juga akan kuceritakan pada postingan selanjutnya.
Setidaknya, aku memastikan bahwa blog ini masih hidup dan masih bisa menerimaku untuk bercerita. Masih bisa menahanku untuk berlama-lama di depan laptop.
Tiga tahun memang waktu yang singkat, namun segalanya telah berubah, segalanya tak lagi sama. Aku kehilangan, namun ada yang menggantikan. Ada rasa rindu, namun yang baru pun tak kalah seru.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya!
Jangan lupa bahagia, ya?

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...