Tuesday 12 February 2019

Jadi Guru Tuh Berat, Makanya Aku Nggak Mau Jadi Guru

Manual Painting karya Arief Hadinata

Beberapa orang sempat bertanya demikian ketika mereka berbasa-basi denganku. Nggak cuma orang asing, bahkan orang terdekat seperti orang tua dan sahabat aja sempet nanyain, kenapa aku yang kuliahnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia nggak memilih profesi guru?
"Jadi guru tuh berat, makanya aku nggak mau jadi guru."
Ya, cuma bisa jawab gitu aja sih. Mau dijelasin juga repot, harus sedia laptop, proyektor, dan Power Point untuk menjelaskan segambreng alasan yang mendasariku nggak bisa memilih guru sebagai mata pencaharian profesiku.
Ya, buatku sih, sesederhana bilang berat. Serealistis itu juga tanggung jawab sebagai guru.
Kalau mau dirunut ke belakang, sebenarnya pemikiran ini bermula ketika aku mulai kerja di restoran cepat saji dan punya temen yang kerja jadi guru. Kami ngobrol soal kerjaan dan dia nanya ke aku, berapa bayaran jadi pelayan restoran?
Kujawab, "Rp 45.777 per hari."
Dia kaget. Katanya, lumayan banget dapet bayaran segitu kalo bisa kerja sebulan. Dia sih membayangkan kerjaku full 30 hari dalam sebulan yak. Padahal aku aslinya cuma kerja rerata ya tiga hari dalam seminggu lah. Kadang sebulan cuma dapet Rp 300ribuan, pernah juga cuma dapet Rp 100 ribuan sebulan.
"Lumayan juga ya, lebih gede dari bayaranku," komennya.
Aku kepo donk, akhirnya kutanya, "emang gajimu berapa?"
"Rp 300 ribu, Nda."
Jleb! Waktu itu sih sekitar tahun 2011 atau 2012 an lah ya. Duit segitu sebenernya lumayan lah kalo liat warnanya.
Tapi, jadi nggak manusiawi banget bayaran segitu kerja jadi guru di kota besar. Sementara temenku ini masih ngekos. Ngekos kan butuh bayar sewa kos, butuh beli makan. Belum lagi pas kerja masih butuh bensin. Apa cukup sih?
"Emang cukup hidup pake duit segitu?" tanyaku.
"Nggak," jawabnya, lempeng aja tanpa ekspresi sedih atau senang.

Kami meneruskan obrolan yang intinya emang bayarannya dia segitu nggak cukup buat ngekos dan makan. Duit bayarannya cuma bisa buat bayar bensin dan sangu berangkat kerja. Temenku ini masih lajang, jadi dia belum punya pikiran apakah duit segitu cukup untuk membayar listrik, membeli popok, membayar iuran warga, atau sekadar memberikan jatah bahagia untuk istrinya. Belum kudu ngontrak rumah atau ngekos bareng keluarga kan ya?. Jadi beneran masih mikirin diri sendiri dan dia emang ngaku masih ditransferi kedua orang tuanya untuk bisa bertahan hidup.
"Kamu nggak kepikiran pengen pindah kerja apa gitu. Kan banyak tuh ya lowongan jadi teller bank yang bayarannya lumayan banget per bulan," komenku. Jangan tanya mikir atau enggak. Itu udah komen paling bijak untuk anak umur 20 tahun.
Dia bilang dia pengen mengabdi karena orang tuanya di desa bangga ketika ditanya pekerjaan anaknya guru. Orang tuanya di desa bekerja sebagai petani. Meskipun bukan petani buruh, namun profesi guru itu identik sebagai keningratan dan dipandang orang.
Aku sih iya aja. Memang demikian adanya pemikiran masyarakat daerah tentang seseorang yang bekerja sebagai guru. Nggak perlu tahu berapa nominal pendapatan perbulan, menjadi guru merupakan pekerjaan mulia dan dihormatin banyak orang. Seriusan! Orang-orang beneran nggak tahu loh berapa gaji guru honorer perbulan. Sampe detik ini aku aja nggak tahu bedanya guru honorer, guru tidak tetap, sampe guru wiyata bhakti. Aku taunya ya cuma guru yang belum pegawai negeri sipil (PNS) sebagai guru ngabdi. Semua orang yang kerja di sekolah, jadi guru, yaudah, guru aja.
Setelah mendengarkan cerita kawanku ini, aku semakin berpikir mencari pekerjaan yang cukup realistis. Minimal bergaji upah minimum regional (UMR) lah. Masih bisa sedikit bernafas walaupun ya kalo pengen punya apa-apa tetep kudu prihatin.
Etapi, ada kok kawanku yang menjadi guru tapi gajinya nggak semengenaskan kawanku itu. Masih manusiawi, bahkan dia dapet kesempatan merasakan dinginnya salju di Turki (disuruh belajar di Turki sembilan bulan). Dia diterima di sebuah sekolah swasta yayasan yang bekerja sama dengan negara lain. Lalu kawan lainnya juga ketika jadi guru cukup lumayan kok, masih bisa merasakan ngemol dan pergi ke restoran.
Tapi, tetap saja tak menggugah minatku menjadi guru karena aku sadar diri aku nggak cukup bijaksana menjadi guru. Pertama, aku tempramental. Sampe sekarang aku masih sering meledak-ledak secara emosional. Kali terakhir aku marah dan ngambek ke Bihun karena dia salah beli tiket kereta dan itu disaksikan oleh adikku. Iya, cuma perkara salah beli tiket kereta aku sampe marah segitunya seolah Bihun melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Gimana coba ngadepin anak abege yang ngeselinnya masya Allah pengen ndamprat. Tau kan video-video viral anak-anak yang kurang ajar sama gurunya? Nggak kebayang aku jadi gurunya. Paling bisanya cuma nangis.
Selain itu, ketika aku melaksanakan mata kuliah praktik pengalaman lapangan (PPL) tiga bulan di sebuah sekolah swasta yang total siswanya tak sampai seratus orang, aku benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Ya, namanya aja sekolah swasta yang siswanya tak lebih dari 100 orang, jangan banyak berharap lah ya... Ya gitu lah... Pokoknya...
Tiga bulan belajar menjadi guru, mengerjakan perangkat belajar mulai dari mempelajari kurikulum dan silabus, membuat perencanaan berjenjang dari program tahunan, program semester, membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sampe membuat media pembelajaran. Lalu ada membuat materi dan bahan evaluasi, memberikan tugas dan mengevaluasi. Duh...
AKU NYERAAAHHHHHHHH!!!!
Serius deh, aku nggak nyaman banget dengan pekerjaan printil-printil demikian. Momen PPL itu emang aku banyak mikir dan belajar karena sekalian nyiapin konten skripsi, kalau menjadi guru itu sebuah tanggung jawab. Guru kan ya digugu lan ditiru. Apapun tingkahku akan diamati siswa dan aku menjadi role model mereka. Jaman segitu kelakuanku masih begajulan nggak keruan. Jadi minder sendiri kan, masak aku mau jadi guru sih? Ciyus nih? Yakin? Mending jangan deh, bahaya!
Selain dua hal itu, soal pendapatan dan sikap, aku juga memikirkan tuntutan jadi guru berat banget loh ya. Gimana coba? Anak nggak terlalu pintar tapi sekolah ingin mencetak anak yang pintar. Ada sekolah sampe mekso banget anak didiknya jadi pintar mendadak dan nilainya jadi bagus. Padahal mah kualitas anaknya embuh banget. Hanya demi nggak pengin akreditasi drop. Itu agak dilematis ya? Kasian anaknya untuk masa sekarang dan masa depan karena ternyata dia jadi produk gagal tapi dipaksakan untuk terjun di masyarakat. Kasian sekolah juga ketika punya siswa macem itu.
Belum lagi kasus kekerasan dan intimidasi pada guru. Ini yang beberapa tahun belakangan jadi sorotan. Ada guru yang dipenjara, dilaporkan ke polisi, dianiaya, diajak berantem di kelas, dipegang kerah lehernya, bahkan dipukul sampe meninggal. Nah, kalo kayak gini siapa yang salah? Guru kena, siswa kena. Apalagi kalo sampe kasusnya viral. Wirang sekabehane kan? Guru dibilang nggak bisa mendidik, siswanya susah didik. Padahal siswa juga punya orang tua dan keluarga di rumah. Emang orang tua nggak punya kewajiban mendidik karena anaknya udah disekolahin dan ngerasa udah mbayar jadi maunya terima beres? Atau karena merasa membayar sekolah, jadi sekarepe dewe?
Malah tambah pusing kan aku sekarang kalo inget-inget alasanku males jadi guru. Sebenarnya aku sendiri agak gamang karena aku beneran mengkhianati almamaterku dan apa yang kupelajari bertahun-tahun hanya untuk menyenangkanku yang butuh uang berpikiran visioner ini. Beneran deh, standar soal pendapatan nggak bisa kunego. Karena aku merasakan gaji buat beli Indomie sekerdus itu sesuatu banget tauk!
Akhir-akhir masa studiku, aku pasrah kerja apa aja. Jadi admin juga nggak masalah deh, asal sesuai dengan standar UMR. Titik!
Beneran loh, setelah punya ijazah aku melamar di banyak tempat dan cuek aja sama kerjaan yang kuambil. Mau itu jadi pelayan di kedai kopi atau apapun, yang penting bisa kerja, cukup lah buatku.
Ya beruntungnya aku sih, diterima kerja sebagai wartawan. Melakukan hal yang kusuka, menulis. Walaupun ternyata jadi wartawan nggak cuma soal nulis, masih banyak hal lain yang kupelajari. Sedikit-banyak ilmu yang kuambil di kuliahku dulu terpakai untuk liputan. Bahkan ilmu-ilmu lisan yang diajarkan oleh dosen lebih mengena untukku dibanding ilmu-ilmu teoritis dari presentasi layar. Serius deh. Sampe sekarang aku masih inget apa pesan-pesan dari dosen dan guruku tentang teknik menulis dibanding aku inget buku tentang menulis.
Oh iya, soal kawanku yang bergaji Rp 300 ribu ketika menjadi guru, kudengar sekarang ia menjadi PNS di kampung halamannya dan kini sudah menikah. Alhamdulillah, tidak sia-sia perjuangannya. 
Untuk teman-teman yang menjadi guru, semangat ya! Ujung tombak perjuangan bangsa ada di tangan kalian. Aku salut banget sama kalian yang bisa jadi guru, mendidik anak bangsa. Belum lagi ada yang sampe jadi guru SM3T. Kalian keren banget deh! Pengabdian sampe ke urat nadi.
Pokoknya, semangat ya buat kalian, semangatin aku juga, kawan... Jadi guru buat Aksara Abiyarsa.
^_^

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...