Saturday 2 February 2019

Pangkas Keuangan Bulanan Demi Kehidupan yang Lebih Baik

Setelah satu setengah tahun galau dan kemrungsung dan sedih dan baper dan nggak jelas maunya apa. Setelah melalui semacam pergumulan batin yang cukup pelik dan kisut, akhirnya aku menemukan kegundahgulanaan yang kualami. Ini tentang diriku sendiri, khususnya keuanganku. Aku putuskan mulai memenej keuangan.
Ini jadi sebuah pencapaian besar ketika aku menekatkan diri untuk mengontrol keuangan.
Bukan gimana-gimana. Selama ini, baik aku dan Bihun sudah dua tahun lebih secara ugal-ugalan, serampangan, ngawur, dan nggak jelas dalam mengelola keuangan rumah tangga kami.

Iya, aku punya gaji bulanan. Iya, Bihun punya pendapatan juga. Iya, kami nggak punya tanggungan hutang kecuali cicilan motor. Iya, kami menerima nasib pekerjaan dan penghasilan kami. Tapi iya juga kalo ternyata setelah menyusun struk belanja bulan ini, baru kami sadari kalau pengeluaran sebulan lebih besar dari pendapatanku bulan itu. Pengeluaran bisa sampe tiga kali lipat gaji.
Kalo mau bilang, nggak ada masalah, nggak ada yang dirugikan. Cuma kan... KAMI NGGAK PUNYA TABUNGAN BUAT BELI RUMAH, MOBIL, TABUNGAN PENDIDIKAN AKSARA, TABUNGAN PENSIUN, DANA PENGEMBANGAN DIRI, SAMPE DANA DARURAT!!!
Manusia macam apa yang secara sadar meneruskan terlena dalam kubangan penuh dosa dari hedonisme? Setelah tersadar, aku mencoba memperbaiki diri. Istilah kerennya sih berhijrah yak. Berhijrah dari gaya hidup hedonis ke gaya hidup minimalis. *ngirit *pelit


Mural karya Arief Hadinata di Toko Oleh-Oleh 52 Jalan Madukoro Nomor 52 Kota Semarang, arah Bandara Internasional Ahmad Yani Kota Semarang

Awalnya, baik aku dan Bihun selalu santai dengan prinsip keuangan kami. Seada-adanya duit ya yang di rekening dan dipake buat konsumsi bulanan. Pengen apa, tinggal gesek. Gampang, nggak usah dibikin pusing. Nah, mendadak kepikiran, kalo sampe tahun depan dan sepuluh tahun lagi kami masih kayak gini, pesimis deh bisa punya aset atau bisa menaikkan kualitas kami.
Dilema juga. Siapa sih istri yang nggak suka dimanja suami? Mau apa, pengen apa, belanja apa, nggak usah mikir. "Nyoh, buat belanja, nyoh!" Apalagi prinsip Bihun yang soswit, yakni, "Aku kerjo go nyenengke bojo. Lah nek aku kerjo tapi bojoku kesikso ora kelakon pengen tuku opo, nggo opo?"
Awalnya ya happy banget punya suami yang semintaku, sepanjang dia mampu, pasti diturutin. Tapi kan hidup nggak cuma buat hari ini ya? Masih ada besok, bulan depan, tahun depan, dan ada Aksara yang masa depannya sudah harus kami persiapkan.
Akhirnya, setelah belajar dan browsing sana-sini soal keuangan, aku nemu formula yang pas. Dulu, aku belajar tentang keuangan rumah tangga dari Mama. Saklek banget menghitung uangnya. Pembagian keuangan pake sistem amplop yang udah dijatah sebulannya berapa. Misalnyauang buat deterjen dan sabun Rp 50 ribu, buat makan harian Rp 20 ribu, buat bensin Rp 40 ribu. Padahal setelah berumah tangga, makan nggak cuma soal beli ayam, bayam, atau tempe-tahu, ternyata ada juga beli salam-laos, bawang merah-bawang putih, gula jawa, merica, saos tiram. Nah item-item printil-printil gitu yang suka bikin pusing aku sebagai ibu rumah tangga.
"Ini masuk ke pos mana nih? Duh, kalo gini malah jadi mines, lalu nambalnya pake apa, gimana?"
Setelah aku pikir-pikir dan belajar dari beberapa parenting blogger, mending kan membagi keuangan berdasarkan pos global. Nggak mesti bulan ini beli beras 10 kilo. Bisa aja bulan depan cukup beli beras 5 kilo karena sisa bulan lalu masih ada 3 kilo karena konsumsi sebulan cuma 8 kilo. Jadi pos kelebihan ini bisa buat nambal pos lain yang butuh.
Jadi, di skena keuanganku, kubagi jadi empat pos besar di amplop cokelat yang rincian peruntukannya jelas. Kubagi dalam Konsumsi Bulanan, Kebutuhan Bulanan, Kebutuhan Tahunan, dan Tabungan. Keterangan rincian dijelaskan keperluannya untuk apa, dan nominalnya berapa. Misal butuh beli garam, ambil di uang amplop Konsumsi Bulanan, sementara bayar arisan ambil di amplop Kebutuhan Bulanan. Setelah ambil uang, diinget-inget ambil uang berapa dan nanti dicatat. Beberapa kesempatan, sempet luput menghitung pengeluaran dan sering agak males saking banyaknya, jadi suka nggak kecatet, lupa, dan embuh. Hahaha.... Belum konsisten.
Baru berjalan bulan November, Desember, Januari, dan itu pun sedikit tersendat-sendat. Sekarang, bulan ini, mau agak kejam dan frontal. Kuputuskan harus berhemat dan tegas pada diri sendiri. Bahkan aku beneran nggak punya anggaran buat diriku sendiri demi menghitung buat menghitung seberapa kuat kami bertahan dengan keadaan ini. Bismillah lah ya, harus konsisten buat mencatat. Toh sekarang ada Bihun yang mau diajak partneran. Dia juga kena imbas dari sistem baru di keuangan keluarga. Harus mulai ngirit ngrokok karena sebulan cuma kujatah sepuluh bungkus. Dia juga nggak pegang uang sama sekali. Wkwkwk... (Tapi dia lagi modus buat cari 'duit lanang')
Sebenernya menghemat keuangan bulan ini nggak terlalu berat juga karena isi kulkas masih cukup sampe minggu depan, trus popok dan deterjen juga bisa bertahan bulan ini, bahkan sampe bulan depan. Beras juga masih cukup lah buat seminggu ke depan.
Agak nyesel kenapa menyadari soal manajemen keuangan baru sekarang. Tapi ya sudah lah, better late than never kan ya? Mumpung Aksara masih delapan bulan, aku harus mempersiapkannya secara maksimal. Malah sebenarnya aku harus mulai engejar ketertinggalanku setahun lalu. Karena aku merasa bersalah kurang persiapan 1,5 tahun lalu, inilah dasar aku udah ambil keputusan harus tega dengan diriku sendiri demi masa depan Aksara yang lebih baik.
Tau nggak, aku pengen banget Arsa bisa sekolah di sekolah yang lebih baik dari sekolahku. Dia bisa memiliki pilihan yang masa depan yang lebih beragam dan tentunya lebih baik dariku. Ya, harapan semua orang tua memang anaknya lebih baik. Mosok mau sama kayak aku dan ayahnya? Nah buat lebih baik itu biayanya nggak murah.
Jadi, alasanku berhemat dan menabung karena kaget liat uang pangkal masuk PAUD sampe Rp 20 juta dan bulanannya Rp 2 juta. Biaya sarjanaku aja nggak sampe segitu. Kan sedih ya? Tapi kalo liat biaya di kampus negeri sekarang yang ugal-ugalan, aduh, mau nggak mau aku harus menyiapkan dana untuk sekolah berkali-kali lipat dari mengilanya biaya sekolah jaman sekarang.

Yah, baru beberapa hari udah galau nggak bisa lagi gesak-gesek kalo belanja, kartu ATM harus disembunyikan, siap merem ketika ada promo diskonan, terpaksa menolak tawaran teman yang lagi jualan, belajar nggak melakukan hal yang akan berpotensi mendongkrak pengeluaran seperti ngemol dan ngerumpik. Pokoknya, gitu lah ya.

Selanjutnya, mau cerita soal carut-marutnya dan hedonisnya kami. Sebagai pengalaman buat yang pernah dan masih, supaya menyadari mumpung belum terlambat. Sebagai pengingat bagi kami, nggak lagi-lagi ugal-ugalan kayak gini. Pengingat juga kalo dulu udah pernah, jadi biasa aja lah ya...

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...