Monday 11 February 2019

Mungkin Kita Hanya Perlu Mendengar, Bukan Memberi Saran

Digital painting karya Arief Hadinata

Seorang wanita muda, berbibir merah menyala, menyedot asap dari puntung rokoknya. Aku duduk berhadapan dengannya. Menikmati kentang goreng, es teh manis, burger, ayam, nasi, dan saus cabai yang ia persembahkan. Usianya lebih muda tiga tahun dariku namun ia memiliki anak yang tahun ini berusia lima tahun dan tiga tahun.
"Suami gue gila ya. Abis berantem ngajak ketemu di Jakarta, trus kita ngewe, trus dia pulang ke rumah orang tuanya di Purwokerto, gue balik ke rumah gue di Jakarta. Nyampe rumah, dia telpon, 'eh anjing, di mane lo?' Gila nggak tuh orang? Gue dikatain anjing, babi, setan. Dipukul pake tangan, kaki, dicekik, hampir dibunuh sama dia. Anak-anak gue juga ditonjok dadanya dan dibanting sama dia. Itu anak dia juga loh! Gila emang tuh orang."
Aku masih mendengarkan ceritanya.
"Jadi, Bebh, semalem gue baru selese bikin surat pernyataan kalo gue nggak akan menuntut hak finansial apapun ke suami gue. Gue memutuskan untuk batalkan tuntutan cerai. Gue pengen mempertahankan rumah tangga gue, Bebh."
Sore itu, di hari yang kelabu, secara terburu-buru aku membawa bayiku menemui seorang kawan. Tak kuhiraukan lalu lintas pulang kerja yang biasanya membuatku banyak sambat. Aku hanya butuh melihatnya baik-baik saja, meskipun ini kali pertama aku berjumpa dengannya. Ia berasal dari luar kota dan kami berkenalan hingga berkawan dari sosial media.
"Gue bikin surat pernyataan sepuluh lembar yang merinci kalo gue mengikhlaskan hak-hak gue sebagai istri dan kalo kami berpisah. Padahal kalo sekarang gue cerai, bisa banget loh gue dapet 70% gajinya dan gue bisa kawin sama atasannya yang naksir gue. Tapi gue pengen mempertahankan rumah tangga gue."
Masih kusimak ceritanya, namun ia menginterupsi curahan hatinya atas panggilan telepon dan pesan.
"Sorry ya, Bebh, ditinggal di hotel jadi resek. Ngeselin! Dia lagi sakit, abis jatuh dari kamar mandi. Gue dari Jakarta ke Semarang buat ngurus dia. Dia yang minta gue ke Semarang, pake duit gue. Loe tau, gue disuruh tidur di lantai. Pas malem dia nyuruh naik ke kasur buat dia naekin. Sekarang lagi marah-marah nggak jelas deh."

Dia cerita kalau seprei hotel meninggalkan bercak darah dan setahunya, itu bukan darahnya. Namun suaminya tak peduli. Suaminya kesal dan melampiaskan padanya dengan cara terus menghubungi istrinya.
"Dia selalu ngatain gue nggak punya apa-apa, goblok, dan yang punya semua yang gue punya itu orang tua. Iya sih, semua yang gue punya sekarang emang dari orang tua. Gue dapet semua fasilitas ini, mobil dan semuanya dari orang tua. Bokap udah nyuruh pisah aja kalo emang gue selalu disia-sia dan dipukulin. Sekarang aja semua kebutuhan hidup gue sama anak-anak dikasih sama bokap gue. Bokap nawarin gue sekolah lagi, kerja, rumah, dan ortu juga mau ngurus anak-anak. Tapi gue masih pengen sama suami gue, Bebh.
Hubungan gue sama mertua juga sama sekali nggak baik. Hubungan gue sama mertua udah kaya anjing sama kucing. Sampe sekarang mertua gue nggak suka sama gue. Malah mertua perempuan gueyang selalu nyuruh buat cerain gue. Mertua sama ortu gue hubungannya juga nggak bagus. Padahal gue sama suami gue sepupu." 
Ini sudah batang rokok keempat yang ia habiskan. Kali ini giliranku bicara.
"Bebh, denger ceritamu, kayak membaca ulang sebuah cerita kehidupan yang sangat kukenal. Nama tokohnya jelas berbeda, namun alurnya sama. Mungkinkah memiliki akhir yang sama?"
Ini kisah nyata dari wanita muda yang kehilangan jati diri dan kewarasannya karena cinta.
Bila Jeanne Hebuterne bunuh diri setelah kematian Amedeo Modigliani demi membuktikan cintanya, maka wanita muda ini rela tak mempersembahkan dirinya demi membuktikan cintanya.
Cinta yang buta?
Cinta tanpa logika?
Cinta yang gila?
Atau apa?



Wanita muda ini memandangku dengan tatapan ingin tahu yang membuatku ingin menangis. Matanya masih terlampau lugu untuk menanggung beban di usia belia. Harusnya ia masih bisa bercengkrama seperti kawanku di sana, yang sedang menggendong anak lelakiku karena kawanku meminta izin merokok.
"Mamaku mengalami nasib yang hampir sama sepertimu. Bedanya, ia tak memiliki apapun, baik keluarga yang mendukung keputusannya untuk berpisah dan melanjutkan hidup, maupun bekal untuk melanjutkan hidup. Ia hanya memiliki satu pilihan, menjalani."
Aku melihat ia gugup mendengar kalimatku barusan. Ia mencari gelas minumnya dan meminum sekenanya. Ia pun kembali menyalakan batang rokok baru.
"Aku tak mengatakan pilihanmu salah atau benar. Kamu yang tahu masalahmu, tahu cara untuk menyelesaikannya. Aku hanya memberi gambaran bahwa pada akhirnya orang tuaku pun berpisah setelah 18 tahun mereka bersama. Mereka tak bisa mengalahkan ego mereka. Kami, empat anaknya yang menjadi korban. Aku memetik banyak pelajaran tentang kelabilan mereka yang imbasnya pada kami. Kadang, ada hal yang memang tidak bisa dipaksakan untuk bersama. Entah sekarang, entah nanti pasti akan berpisah.
Buatmu, suamimu adalah cinta pertamamu. Ia yang memberikan segala hal yang pertama kamu rasakan, mulai dari jatuh cinta, patah hati, bahagia, sedih, tawa, air mata, bahkan bisa jadi ia yang pertama mencium atau menyentuhmu. Kamu mencintainya dan berharap ia akan berubah menjadi lelaki terbaik. Kalian masih membawa cinta remaja. Soal kalian memiliki anak, itu hal lain yang timbul dari cinta kalian."
Aku melihatnya mengangguk. Aku tersenyum melihatnya memancarkan tatapan lugu penuh optimisme.
"Jalani apa yang kamu yakini. Kerahkan semua yang kamu miliki. Biarkan Tuhan membantu perjuanganmu. Kalaupun cerita kamu masih sama seperti tiga atau empat tahun lalu ketika kamu cerita soal keinginanmu untuk pisah, aku masih akan selalu bersedia mendengarkanmu apapun darimu."
Ia tersenyum dan setelah melanjutkan pembicaraan tentang aktivitasku kini, ia pamit. Menenteng makanan yang katanya ia belikan untuk sang suami.
Aku mulai belajar untuk tak memaksakan pandanganku pada orang lain, terlebih bila aku tak memiliki andil dalam kehidupan orang itu. Sekadar mendengarkan mereka dan menyemangati pilihan mereka, itu menjadi kekuatan. Bukannya memblok pilihan mereka dan menyatakan pilihan tersebut salah. Hal itu akan membuat orang enggan bercerita dan tak nyaman mendapat reaksi penolakan. Ia pasti memiliki alasan atas pilihannya, hanya ia tak tahu bagaimana cara bercerita, atau mungkin enggan untuk menyampaikan. Lagipula, dengan ia bercerita padaku, artinya ia mempercayaiku. Setelah dewasa, kepercayaan sangat mahal harganya.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...