Thursday 14 February 2019

Nggak Ada yang Salah Kalo Gue Belum Kawin, yang Salah Kenapa Loe Ribetin Gue Belum Kawin Sih?

Manual painting karya Arief Hadinata

Pertanyaan basa-basi di quarter life crisis ialah, "Kapan kawin?" atau "Kapan nikah?"
Sedarurat itu sebuah pernikahan sampai dipertanyakan nyaris setiap hari oleh sahabat, kawan, orang tua, keluarga, handai-taulan, sanak-famili, simbah kakung dan simbah putri, pakde-bude, om-tante, tetangga, sampai netijen.
Penting nggak sih nanyain kapan nikah? Ada yang baper dan mutung karena ngerasa pertanyaan itu nggak pantas diajukan.
Ya tiap orang beda-beda reaksinya. Kayak aku, dibilang nggak menarik ya reaksiku biasa aja, lahwong emang blas nggak ada menariknya. Nah kalo ada yang bilang aku keliatan cantik, baru aku bingung. Darimananya? Demikian juga bagi para jomblo, nggak semuanya reaktif ketika ditanya kapan nikah. Ada yang jawab kalem, ada yang baper. Macem-macem alasannya kenapa ada yang kalem pas ditanya, ada yang udah ngeluarin tameng dan palu Thor ketika ditanya. Pasalnya, pertanyaan itu akan salah diajukan kalau si empunya barusan denger kabar mantan yang dulu sangat ngajakin break karena LDR dan berjanji untuk kembali begitu mereka sukses, eh ternyata ngirim undangan nikahan. Atau bisa juga si empunya udah nemu orang yang disayang dan layak ke pelaminan, eh ternyata nggak direstui oleh keluarganya. Kan banyak ya alesan orang merasa hati yang sedang ringkih dan retak sana-sini, janganlah disiram garam dengan pertanyaan 'kapan kawin?'
Kalo memang ada pertanyaan basa-basi yang menarik, tanyakan hal lain. Cuaca misalnya. Atau mending ghibah aja sekalian. Paling ilang dosa dan nambah pahala, bonusnya menambah wawasan pergaulan. Daripada menyakiti orang lain dan dikenang seumur hidup sebagai penyakit temen yang sama sekali nggak asik.
Pertanyaan kapan nikah buat orang-orang yang berada di usia 25 tahunan memang jadi sesuatu yang bikin baper. Khawatir nggak laku, kesepian karena teman-teman sudah memiliki pasangan, merasa nggak menarik sampai belum ada yang melirik untuk mengajak ke pelaminan, iri sama teman-teman yang udah pamer lagi pacaran sama suami atau gendong anak, dan keasyikan mengharu-biru pasangan muda yang lagi semangat mengarungi bahtera rumah tangga. Jadi kekhawatiran belum menikah itu hanya perkara tampilan aja. Entah kenapa heboh belum nikah dan ajakan nikah sejalan dengan boomnya sosial media. Apakah karena milenial merupakan penduduk terbanyak di bumi saat ini atau memang udah janjian sejak ada di surga kalau besok setelah sampai di dunia harus membuat kegalauan massal?
Beberapa temen yang memasuki quarter life crisis merasa kadang dia jadi makhluk nelangsa yang masih melajang dan belum menemukan pasangan. Walaupun sebagai teman aku selalu mengingatkan, "Nikah itu bukan cuma nikmat, tapi juga cobaan. Kalo kamu liatnya hidupku enak, ya karena aku menikmati cobaannya. Mosok ya aku mau pamer sambat sama kamu?"
Aku selalu bilang, komitmen nikah itu apa? Sekadar ingin dinafkahi, ingin ada temen tidur, pengen gendong anak, pengen ibadah,  pengen enaena nggak dosa, pengen pamer foto di sosmed, pengen memiliki, atau pengen warisan dari mertua? Harus jelas tujuannya, jadi ketemu partner juga jelas. Apakah orang yang sama kamu sekarang atau orang yang akan kamu temui sesuai dengan tujuanmu.
Sesederhana itu? Ya enggak. Hidup ini bukan kayak toko roti di mana kamu bisa memilih rasa yang kamu inginkan. Pasti susah lah mencari orang yang sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Apalagi keinginan memiliki pasangan harus melibatkan sekian poin fit and proper test.
Ngaku, siapa yang ketika baru mau ndeketin orang memastikan apa agamanya? Masih banyak kan yang nggak mau terlibat hubungan stuck atau berakhir sakit hati hanya karena udah kadung nyaman sama orang yang berbeda keyakinan. Apalagi pada beberapa keluarga yang memegang teguh pasangan itu harus satu keyakinan. Putus sudah pasti keniscayaan. Daripada harus menangis semalam karena patah hati, mending lupakan pesonanya yang pernah membutakan.
Setelah urusan kepercayaan, masih ada yang membatasi soal suku atau ras. Belum lagi soal pekerjaan dan latar belakang pendidikan. Lalu soal kasta ekonomi bagi sebagian orang harus yang standar, entah dari kasta atas maupun menengah.
Ada pula yang memiliki kriteria soal fisik, misal harus berhidung mancung, lelaki harus lebih tinggi, nggak suka cowok gondrong, nggak suka yang pake rok mini, suka yang bertampang Korea, seneng cewek manja, suka pelihara ular, nggak suka perokok, suka begadang, dan lain sebagainya.
Ini baru soal latar belakang dan fisik ya. Setelah seabrek pencocokan latar belakang dan fisik (walaupun sebagian ada yang menoleransi beberapa poin selera sih ya), masih harus mencocokan idealisme dan berbagai sifat dan sikap. Bagaimana akan menjalankan rumah tangga, siapa yang akan bekerja dan mencari nafkah, bagaimana interaksi dengan keluarga setelah menikah, apa yang akan dihadapi setelah menikah, siapa yang akan mengasuh anak, akan punya berapa anak, di mana akan tinggal, daaaaaaannnn lain sebagainya.
Latar belakang udah, fisik udah, idealisme dan visi-misi udah. Lalu berhadapan dengan restu orang tua. Sebenarnya rada aneh sih kalau restu orang tua di belakang, padahal harusnya sebelum menjalani hubungan, restu orang tua diletakkan paling depan, agar prosesnya lebih enak dan tentunya nggak membuang waktu mubadzir. Pada bagian restu orang tua, apakah kamu yakin cocok dengan karakter orang tua dan keluarganya? Belum lagi soal keluarga besarnya? Siapkah berhadapan dengan banyak manusia yang baru dikenal lalu dia hadir sebagai keluargamu?
Jangan salah, pada beberapa orang, keluarga besar memiliki campur tangan besar dalam hidup seseorang, misalnya menantu. Apalagi bila itu keluarga besar yang sangat solid dan guyup. Kamu nggak bisa menolak ketika keluarganya sedikit memberikan interupsi atau masukan yang kesannya memaksa. Apalagi untuk orang yang sangat tidak nyaman dengan pelanggaran privasi. Bisa sangat depresi menghadapi kultur keluarga yang selalu mau tahu dan bebas berkomentar. Kamu orang baru di keluarga mereka, jadi kamu yang harus mengikuti aturan keluarga mereka, bukan sebaliknya. Apakah kamu siap?
Membaca sedemikian rumit tahapan menuju pernikahan, ada yang sudah merasa migrain dan semakin takut untuk menikah. Tapi sisanya merasa bahwa demikianlah tantangan dalam pernikahan. Jadi, pilihannya mau dihadapi atau tunggu sampai nanti.
Ya, tunggu aja sampai nanti menemukan orang yang tepat untuk diajak bergandengan tangan menyongsong pertanyaan dan tantangan segala rupa. Sampai kapan? Biarkan Tuhan yang menentukan.
"Nggak ada yang salah kalo gue belum kawin, yang salah kenapa loe ribetin gue yang belum kawin."
Demikian kalimat seorang kawan yang emosi karena dia dibilang mending kawin sama siapa aja yang mau, daripada jadi perawan tua. Padahal nggak ada istilah perawan tua kan? Ada orang yang selektif dan merasa dia belum menemukan orang yang cocok hingga usianya sudah di kepala 3. Dia sudah berusaha mencari, menemukan, dan beberapa kali mengalami kegagalan, namun ia masih berusaha. Ia tidak trauma untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dia masih berusaha loh ya tanpa perlu laporan ke kamu. Mbok ya jangan iseng ngatain perawan tua.
Kenapa sih mulutmu jahat banget sama orang? Dia berhak dan layak untuk memilih lelaki terbaik mendampingi hidupnya karena ia pun wanita terbaik di keluarganya yang di pundaknya ada orang tua dan adik-adiknya untuk dihidupi. Dia berhak mendapatkan lelaki terbaik karena ia merasa selama ini menjadi umat yang baik untuk Tuhannya dan menjadi masyarakat yang baik karena rajin membayar pajak dan selalu membawa surat-surat kendaraan plus memakai helm ketika bepergian dengan motor.
Balik lagi, kenapa sih orang ribet ngurusin hidup orang yang belum kawin? Karena perkawinannya nggak bahagia dan dia ingin orang lain juga merasakan ketidakbahagiaan dalam perkawinan. Bisa jadi yang memberi saran semacam agen multilevel makinpening yang sedang mencari downline tidak bahagia. Semakin banyak orang tidak bahagia, dia akan menjadi semakin bahagia, di atas ketidakbahagiaan orang lain.
Jadi, jangan mau nikah kalo cuma diajakin susah, apalagi sekadar milih yang penting ada yang mau ngajakin nikah. Nikah itu ya diajakin seneng, bahagia, tertawa buat selamanya. Bye aja kalo ada yang nikah buat diajakin susah. Mendingan jadi jomblo tapi bahagia daripada nikah isinya berkeluh-kesah.
Mamam tuh cinta!
Demikianlah episode #marikitaghibahtentanghariini edisi kali ini. Semoga kalian yang masih bahagia dan menerima kondisi hari ini tetap diberi pancaran kebahagiaan. Tebarkan kebahagiaan, dan jangan lupa selalu tertawa dan tersenyum ya.
Besok mau bahas apa lagi ya?

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...