Tuesday 5 February 2019

Kita Tak Berhak Menggugat Air Mata Al dan Dul

Digital painting karya Arief Hadinata untuk anak kami, Aksara Abiyarsa.

Beberapa hari lalu ramai dibicarakan orang tentang air mata Ahmad Al Ghazali dan Abdul Qodir Jaelani alias Al dan Dul, anak Ahmad Dhani Prasetya. Dilansir dari Tribun Wow, mereka tertangkap kamera warganet nampak menangis pada konser Tribute to Dewa 19 yang diadakan di Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (31/1/2019) lalu.
Rekaman video tersebut tersebar di sejumlah akun gosip dan menjadi perbincangan warganet. Para warganet berkomentar bahwa Al dan Dul tak perlu menangisi ayah mereka karena ayahnya perlu belajar mengendalikan mulut. Ada pula yang berkomentar bahwa mereka lebih bersimpati pada enam orang korban kecelakaan yang melibatkan Dul enam tahun lalu.
Dear teman-teman, pepatah mengatakan kasih anak sepanjang galah, kasih orang tua sepanjang jalan. Sekalipun hanya sepanjang galah, kasih sayang tetaplah kasih sayang. Air mata yang ditumpahkan Al dan Dul merupakan sebuah ekspresi cinta yang tak bisa kita gugat.
Aku bisa mengatakan demikian karena aku pernah mengalami hal tersebut.
Aku sangat benci Papaku, aku sangat membenci tingkahnya, kekeraskepalaannya, perbuatannya, pemikirannya, dan semua tentangnya. Ketika aku hendak masuk kuliah pada 2008, Mama memutuskan menggugat cerai Papa. Papa dengan segala arogan menantang Mama tanpa memperhitungkan ia sangat bersalah karena pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga tiga tahun sebelumnya.
Aku sempat menyampaikan pada Papa untuk menerima permintaan Mama bercerai dan fokus untuk membesarkan anak-anaknya. Papa yang keras kepala enggan mendengarkan, memilih untuk bertahan dengan pendiriannya. Pun ketika petugas kepolisian memanggilnya untuk dimintai keterangan atas kasus KDRT, Papa masih bisa membela diri dan mengelak tuduhan itu. 
Aku marah, jengkel, ribut dengan Papa. Sejak aku kuliah, kami bermusuhan. Papa melepaskan kewajibannya membiayaiku sekolah karena perlawananku. Bagiku, itu sudah bukan hal yang baru karena sejak SD aku sudah sering diperlakukan demikian bila aku tak menuruti perintah Papa. Bedanya, setelah kuliah aku bisa mencari uang sendiri.
Juni 2009, aku masih di Semarang, di dalam kamar kosku setelah makan malam. Mama mengirimi pesan singkat yang menyatakan Papa sudah ditahan dan harus menjalan tiga tahun hukumannya. Aku menangis sejadinya malam itu dan semalaman. Aku sendiri tak tahu kenapa aku menangis. Harusnya aku tak menangisi Papa karena itu perbuatan yang harus Papa bayar dan aku sedang bermusuhan dengan Papa. Namun aku menangis.
Saat Idul Fitri, Mama meminta aku dan ketiga adikku mengunjungi Papa di rutan. Kami datang. Pertama kali melihat Papa, aku menangis. Papa yang melihatku dan masih marah denganku, mengusirku dan membentakku. Aku berjalan keluar dan masih menangis. Hatiku lebih remuk melihat Papa dibanding mendengar bentakan Papa.
Tahun 2015, setelah enam tahun tak berjumpa, aku menemui Papa yang sudah bebas dan tinggal di rumah kami yang dulu. Ketika Papa membuka pintu, aku langsung menangis dan memeluk Papa. Aku menemui Papa untuk menyampaikan perihal aku yang telah merampungkan studi dan memintanya datang ke wisudaku. Namun Papa menolak datang bila Mama juga diundang. Meskipun menelan kecewa karena perseteruan Mama dan Papa yang tak kunjung usai, namun aku senang akhirnya bisa menemui Papa. Aku masih membencinya yang tak pernah mengakui perbuatannya yang buruk dan menyebalkan hingga membuat kami berempat harus terseok-seok melanjutkan hidup. Namun, aku baik-baik saja.
Tahun 2017 aku kembali menemui Papa untuk mengabarkan bahwa aku akan menikah dengan Bihun. Papa masih menawarkan keangkuhannya dan mengatakan tidak akan datang ke pernikahanku bila Mama datang. Aku kembali menangis dan galau. Aku sampaikan pada Bihun bahwa Papa tak akan datang dan aku sedih. Bihun menyampaikan ke Papa bahwa aku sangat mengharapkan kehadiran Papa.
Nyatanya, di hari akad nikah dan ngundhuh mantu nikahanku, Papa tetap tak datang.
Aku tetap menangis.
Aku tetap bersedih.
Aku tetap kecewa.
Meskipun aku membenci Papa yang pernah menyangsikan keberadaanku, selalu ringan tangan denganku, selalu bermusuhan denganku, namun aku merindukan Papa. Hingga detik ini aku menulis tulisan ini atau kalian membaca tulisanku, aku masih merindukan Papa. Berharap bisa membawa Bihun dan Arsa menemui Papa, memperkenalkan inilah cucunya. Aku masih berharap ada cerita antara kakek dan cucunya yang terjalin antara Papa dan Arsa.
Aku masih merindukannya. Aku masih berharap pada Papa.
Inilah cinta tak berlogika dan tak bisa dihitung secara matematika. Karena kesulitan teramat sangat ialah mencintai orang yang seharusnya kita benci.
Jadi, air mata Al dan Dul merupakan sebuah wujud cinta yang tak memiliki logika. Jangan samakan tangisan mereka dengan sebuah kematian, pilihan politik, capres idola, istri muda, karma, atau apapun. Tangis mereka merupakan sebuah bentuk nelangsa bahwa anak tak pernah dapat memilih siapa orang tuanya, namun orang tua dapat memilih tindakan yang dapat mempengaruhi mental dan masa depan anaknya.

1 comment:

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...