Wednesday 13 February 2019

Kenapa Sih Orang Nggak Bahagia Selalu Resekin Orang Bahagia?

Manual painting karya Arief Hadinata
Kenapa sih orang nggak bahagia selalu resekin hidup orang yang bahagia? Ini beneran jadi pertanyaan seumur hidup yang nggak bisa nemu jawabannya.
Pertama, aku nggak pernah merasa nggak bahagia. Hahaha... Bokis abis!
Kedua, aku dibahagiakan oleh orang yang kusayang.
Ketiga, aku punya kawan-kawan yang mendukungku untuk bahagia dengan selalu bersyukur.
Keempat, kawan-kawanku bukan orang yang nggak bahagia jadi aku nggak bisa juga nanya ini ke mereka.
Tapi, beberapa hari lalu jadi momen yang membuatku sadar kalau prinsip hidup, 'Aku nggak suka resek sama hidup orang, jadi kuharap orang nggak resek sama hidupku' langsung dimuntahkan oleh kejadian beberapa waktu lalu.
Jadi, ada seorang kawna yang mendadak marah-marah soal statusku dan apapun postingan di Facebookku. Dia kesel sampe ngamuk-ngamuk di kolom komentar status sahabatku yang cerita tentangku. Dia juga marah ketika temannya nggak mendukung pemikirannya bahwa statusku nggak mutu.
Aku sebenernya bingung, nih orang marah-marah nyerang aku, tapi masih temenan di Facebook.
"Emang aku peduli?" tanyaku padanya setelah dia ngamuk-ngamuk nggak keruan.
Dia masih marah-marah dan masih memaksaku harus mematuhi omongannya. Ya, sebenernya aku bisa aja jawab iya dan semua beres. Iyain aja dah dia ngomong apa. Tapi aku suka pertikaian sih, jadi aku gubris deh semua omelannya.
"Unfriend kan bisa?"
Masih sempet marah-marah dan kutanya lagi, unfriend kan bisa? Baru deh diunfriend.
Selesai sampai di situ? Nggak juga sih. Hahaha... Buatku sih rada lucu karena dia bukan saudara, bukan kakak, bukan juga sahabat. Cuma temen kuliah aja. Tapi dia merasa punya hak mengatur hidup orang lain dan parahnya lagi dia terganggu sama postinganku.
Aku membela diri kalau postinganku sama sekali nggak menyinggung siapapun. Kalaupun emang membahas masalahku, membicarakan tentang keluargaku, ya gimana donk. Ini kan melibatkanku dan aku mudeng. Jadi nyerocos macam apapun, nggak ada tolok ukurnya karena ini subyektif hidupku dan aku yang merasakan, trus dari sudut pandangku juga. Masak aku mau bahas Jokowi atau Prabowo? Ntar dikatain cebong atau kampret. Kan ogah.
Balik soal orang nggak bahagia lalu resek ke orang yang bahagia. Kalau mau aku bilang ya, orang yang resek sama aku tuh karena dia iri sama hidupku.
Sesederhana itu kenapa ada orang yang resek, ya karena IRI HATI atau DENGKI.
Aku menikah dengan Bihun, punya anak Arsa. Banyak yang bilang Bihun ganteng dan Arsa juga jadi anak yang lucu dan ganteng. Bihun suami yang mau bantuin kerjaan rumah dan tentunya rajin bekerja. Ya, suami yang bertanggung jawab lah. Bisa dibilang dia paket sempurna seorang suami. Aku juga punya mertua yang baik hati dan sabar menghadapi kelakuanku yang random. Aku punya pekerjaan yang baik dan menyenangkan.
Dan aku punya lingkungan, baik dunia nyata maupun dunia maya yang menyenangkan juga. Nggak perlu lah aku unggah kebiasaan nongkrong dan ghibah bareng temen. Yang pasti aku masih dikasih berkat baik dari Allah.
Urusan ekonomi, walaupun masih ngontrak, setidaknya kami nggak punya hutang. Ada sih cicilan motor yang masih mampu kalau kami penuhi untuk beberapa bulan ke depan.
Sebagai pelaku, selama ini aku menganggap hidupku asik.
Tapi nyatanya orang yang melihat nggak sependapat. Contohnya temenku itu. Dia mengalami momen hidup yang sekarang bisa dibilang nggak baik. Fakta yang aku tahu sih dia menikah nggak lama setelah aku menikah dan dia sudah melahirkan beberapa bulan sebelum aku melahirkan. Aku tahu suaminya tadinya beda agama, lalu kemudian pindah agama dan keduanya menikah.
Nah, suatu hari aku tahu dia mengumbar masalah rumah tangganya melalui Instagram Story. Aku nggak sedang kepo karena IG Story kan terus berjalan sampai kita keluar dari menu itu. Aku sempat menanyakan soal ini ke seorang kawan dan mereka mengiyakan ada masalah di rumah tangga temanku ini. Kawanku itu cerita bahwa ia sudah mencoba menasehati agar tidak mengumbar masalah rumah tangga melalui sosial media. Lebih baik bercerita pada teman.
Dia bercerita bahwa dia memiliki masalah rumah tangga. Suaminya kembali ke asalnya di Jakarta dan meninggalkan dia dan anak mereka di kampungnya. Suaminya lebih muda tujuh tahun. Dia juga sempat cerita bahwa suaminya sempat mendekati seseorang padahal statusnya masih menikah. Belum lagi dia cerita terdapat konflik dengan keluarga suaminya yang belum bisa menerima kehadirannya dan anaknya sebagai menantu dan cucu. Lalu keadaannya sekarang yang tidak bekerja sementara suaminya juga memilih pergi. Aku pernah tahu dia menuliskan cerita bahwa ia sampai pergi ke Jakarta untuk menemui suaminya. Dia sedang berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan anaknya.
Sebagai sesama perempuan, dan terlebih aku mengenalnya secara personal, tentu saja aku kasihan padanya. Apa yang harus dia hadapi tentu sangat tidak menyenangkan. Aku bercerita ini bukan dalam rangka membongkar rahasianya, namun ini fakta yang harus diketahui bahwa aku mencoba untuk berempati. Dengan menjelaskan masalah yang ia hadapi, aku jadi tahu mengapa dia menjadi destruktif. Tak hanya menghancurkan citranya, namun ia menjadi menghancurkan sekelilingnya. Menghancurkan hubungan pertemanan misalnya.

Aku pun bukan orang sempurna. Aku pernah mengalami fase-fase terberat dalam hidupku. Aku tak perlu membandingkan caraku bertahan diri dengan caranya. Tapi, apakah perlu iri dengan kehidupan orang lain sampai menyerang kebahagiaan orang tersebut?
Seorang kawan mengatakan, "Dia bukan iri atas apa yang kamu miliki, bisa jadi dia hanya merasa jangan hanya dia yang susah. Dia merasa seharusnya dia lebih baik darimu karena dia merasa kamu tak lebih baik darinya."
Secara sederhana, "Manda yang anaknya begitu kok bisa hidupnya gitu? Aku yang anaknya begini kenapa nasibnya gini?"
Di titik itu aku tahu, penerimaan seseorang atas yang harus dia jalani dalam hidup memang berbeda. Aku mungkin juga pernah mengalami masa sulit kok yang bawaannya pengen orang se Indonesia tahu kesulitan dan masalahku. Tapi aku juga tahu kalau menyalahkan orang lain nggak akan ada faedahnya. Ya gimana, kali aja yang disalahin mudeng. Yang jadi penyebab kemalangan nasibku aja sering cuek bebek, trus aku mau nuntut sama siapa? Beberapa kali belajar, aku tahu sebuah masalah kuncinya ada padaku. Lebih baik aku bangkit dan berusaha lebih kencang mengubah nasibku. Sesederhana itu? Iya, tulisannya. Faktanya ya coba aja deh ya. Wkwkwk...
Jadi, sebenarnya orang nggak bahagia itu karena iri dengan kebahagiaan orang lain, iri dengan capaian hidup orang lain, atau ingin agar orang lain nggak bahagia seperti yang ia alami, atau ingin agar orang lain nggak bahagia juga sementara dia bisa bahagia dengan ketidakbahagiaan orang lain? Seribet itukah? Nulis aja sampe belepotan.
Namun sebagai orang yang mengaku bahagia menjalani hidup, saranku sih, abaikan saja orang yang resek dengan kebahagiaan hidup kita. Hempaskan, Bebh~ Serius deh, waktu, tenaga, dan pikiran kita akan lebih positif ketika melakukan hal yang positif. Marah dan iri itu pekerjaan yang menyedot banyak hal positif dan menguras energi kita, lalu menghasilkan energi negatif dan kelelahan teramat-sangat.
Kalau kita bahagia banyak yang iri, nah kalo kita yang susah banyak yang ngetawain. Mau? Aku sih ogah! Hahaha...
Saranku sih, untuk orang-orang yang gampang terpancing emosi atas pendapat orang lain, mending ambil wolesnya aja. Anggep aja setan lagi cari mangsa.
Kalo emang dia temen yang baik, tentu dia tahu bagaimana harus bersikap dan tetap memancarkan aura positif. Memberi masukan secara sportif beda dengan orang yang ngajakin adu urat loh ya.
Nggak usah diladeni, nggak usah digubris. Cuekin aja, Shay. Beneran deh, cuekin. Anggep dia nggak ada, nggak nampak. Mau musuhin kayak apa atau ngajakin bolokurowo macem apapun, gak usah digubris. Orang macem itu nggak akan selesai. Semakin kita gubris, dia semakin niat untuk menjatuhkan kita. Lagian, orang macem ini akan ada setiap harinya. Digubris satu-satu, emang kita nggak nyuci baju, nggak makan, nggak berenang, nggak kerja, nggak cari uang? Buat jam terbang aja, semakin banyak orang yang resek sama kebahagiaan kita, berarti kebahagiaan kita udah paripurna. Hahahaha....
Ingat, haters is another lovers. Wkwkwk...
Duh, tulisanku jadi ngelantur ke mana-mana kan ya?
Yaudah, intinya gini dulu aja ya, Shay... Besok kita ghibah lagi.
Nantikan episode selanjutnya #nantikitaakanghibahtentanghariini di kesempatan yang berbeda ya? Muach! See yaaa.....
Hahaha...

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...