Wednesday 28 January 2015

Sedang Bercerita part I

Manual painting karya Arief Hadinata


Nama saya Amanda Rizqyana. Saya lahir di Pemalang, tanggal 10 Mei 1991 dari pasangan Andang Hayat Anantoru dan YA. Saya lahir premature di usia tujuh bulan, itu yang Mama sampaikan. Papa dulu merupakan guru SMA di tempat Mama menimba ilmu. Suatu kejadian mengharuskan Mama meninggalkan bangku sekolah untuk melaksanakan pernikahan dan selisih satu hari, lahirlah saya.
Setelah kelahiran saya, Mama mengalami tekanan dari pihak keluarga di mana banyak keluarga yang tidak mendukung pernikahannya dengan Papa. Papa dianggap telah melakukan perbuatan tidak terpuji. Di samping itu, Mama merasa minder karena saat rekan-rekannya bersuka-cita dengan sekolah mereka, Mama justru menghadapi kenyataan menjadi seorang ibu di usia sangat belia. Mama dan Papa sempat berpisah selama beberapa bulan. Saya diasuh oleh Mbah Ibu, ibu dari pihak Mama. Sejak menikah, Mama dan Papa tinggal di rumah Mbah Ibu. Segala kebutuhan finansial dan mengurus anak, diambil alih oleh Nenek. Mama belum matang secara emosional dan finansial untuk mengurus anak. Pekerjaan Papa sebagai guru yang belum PNS pun belum bisa diandalkan untuk mengurus saya yang lahir prematur dan membutuhkan asupan nutrisi yang lebih.
Tak hanya dari pihak Mama yang dikecewakan atas pernikahan Mama, pihak Papa pun melakukan hal yang sama. Mbah Uti, ibu dari pihak Papa merasa tidak terima dengan pernikahan Mama dan Papa. Mbah Uti menganggap bahwa anaknya yang merupakan sarjana harusnya menikah dengan wanita yang memiliki level pendidikan yang sama. Tak hanya ditentang, Mama pun merasa diperlakukan tidak menyenangkan. Ketika Mama dan Papa membawa saya untuk menemui Mbah Uti dan berharap Mbah Uti dapat terketuk hatinya melihat cucunya yang belum diberi nama, justru membanting pintu dan enggan menemui. Hanya Mbah Kung yang menemui dan memberi nasihat pada Mama dan Papa. Ketidaksetujuan Mbah Uti diikuti oleh sikap anak-anak atau paman dan bibi kami dari pihak Papa. Beberapa paman dan bibi tidak menyukai keberadaan Mama, menentang, bahkan secara terbuka mengabaikan keberadaan Mama atau yang paling ekstrim adalah secara terbuka menabuh gendering perang.
Tanggal 29 September 1992, lahirlah Bakhtiar Amrullah.
Tanggal 16 Juli 1994, lahirlah Insanul Muttaqin.
Karena saya memiliki dua orang adik dan ketika itu saya terlalu aktif sebagai seorang bocah, Papa dan Mama memutuskan untuk menyekolahkan saya di Taman Kanak-Kanak supaya saya dapat bersosialisasi dengan kawan-kawan seumuran. Mama dan Papa awalnya hanya berniat agar saya dapat bermain dan belajar dengan baik. Tapi kenyataannya, saya terlalu pintar dan pada saat usia saya baru belum empat tahun, saya lulus dari TK. Hanya setahun saya menempuh pendidikan di TK.
Pada tahun 1995, kami pindah dari Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang ke Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang. Mama membeli rumah di Griya Pelutan Indah, Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang dari uang pemberian Mbah Ibu dan Mbah Bapa. Kekurangan pembayaran pembelian rumah dilakukan dengan menyicil dari gaji Papa yang dipotong oleh pihak BTN. Papa sudah menjadi PNS jabatan awal.
Mbah Bapa dan Mbah Ibu bercerai. Mbah Ibu tetap tinggal di Randudongkal, di rumah Mbah Buyut, orang tua beliau. Mbah Bapa pindah ke Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang dan tinggal di rumah anak perempuan pertama dari pernikahan sebelumnya yang usianya hampir sebaya dengan usia Mbah Ibu.
Mama menganggap bahwa kehidupan kami di daerah kurang dapat berkembang. Perekonomian keluarga ketika itu sangat berantakan. Saya terpaksa tidak meneruskan sekolah ke tingkat SD karena orang tua tidak memiliki dana. Selanjutnya, saya menghabiskan waktu satu tahun untuk total bermain. Kami harus beradaptasi dengan kehidupan perkotaan yang mandiri. Pekerjaan Papa masih tetap di SMA di Randudongkal. Papa bekerja dengan dilaju menggunakan bus setiap pagi.
Tahun 1996, saya masuk sekolah dasar pada usia lima tahun. Orang tua saya hanya memiliki sebuah sepeda sebagai kendaraan operasional. Itu pun sepeda laki-laki merek Federal yang dimiliki Papa. Setiap ke sekolah, saya bersama teman-teman di lingkungan perumahan menumpang becak. Sebuah becak berisi enam atau tujuh penumpang anak kelas satu SD yang setiap pagi dan pulang sekolah mengantar jemput kami.
Mbah Ibu menikah dengan seorang duda beranak dua yang merupakan pensiunan Angkatan Laut. Konon mereka dulunya sudah berpacaran, namun kandas karena Mbah Buyut tidak setuju bila Mbah Ibu dengan Mbah Om dan Mbah Ibu juga sudah dijodohkan dengan Mbah Bapa. Mama dan adik lelaki Mama, Om A, kurang setuju dengan pernikahan Mbah Ibu dengan alasan yang tidak saya tahu. Mungkin Mama tidak dapat menerima perceraian Mbah Bapa dan Mbah Ibu. Suami Mbah Ibu kami panggil dengan sebutan Mbah Om. Beliau masih tinggal di Jakarta dan bolak-balik Randudongkal-Jakarta.
Tanggal 9 Mei 1997, lahirlah Frida Huda Kurnia.
Mbah Uti dan Mbah Kung pindah ke perumahan yang sama dengan kami dan hanya berjarak lima rumah dan dua jalan dari rumah kami. Lurus saja, mungkin sekitar 250 meter dari  rumah kami. Mbah Uti masih tidak bisa menerima kehadiran Mama dan kakak perempuan pertama Papa tidak bisa menerima kehadiran kami, anak-anak Mama dan Papa. Hal yang agak menggelikan ketika merayakan Idul Fitri di rumah Mbah Kung dan Mbah Uti, kami berempat harus menyelinap menghindari kakak pertama Papa. Bila sampai ketahuan kami ada di rumah tersebut, kami diminta segera pulang. Kami hanya menuruti perintah dan tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi atau mengambil hati apa permasalahannya dengan kehadiran kami.
Teman-teman saya di perumahan yang juga teman satu sekolah, bahkan satu kelas dengan saya menganggap bahwa saya tidak setara dengan mereka karena saya bersekolah satu tahun lebih cepat dari anak lainnya. Kejadian lain yang tidak bisa saya lupakan adalah mendapat pelecehan seksual dari kakak sahabat saya. Siang hari sepulang sekolah, seperti biasa saya bermain ke rumah kawan saya, R, yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Kami bermain boneka di kamarnya. Tak lama berselang, kakaknya yang berada di kelas dua, Mas A, dan kawan kakaknya yang berada di kelas empat, Mas B, masuk ke kamar dan bermain. Saya dan R tetap bermain di kamar. Lalu Mas A memberi gagasan untuk mengajak bermain bersama. Kami menerima. Pertama, ia meminta agar kami menutup pintu kamar dan menutup gordin kamar. Kami menuruti permintaan mereka. Lalu kami diminta untuk melepaskan celana dan merebahkan badan di kasur, kami pun menuruti tanpa curiga. Selepas bermain, Mas A dan Mas B mengancam agar saya tidak memberitahukan apa yang telah terjadi pada orang tua. Saya menurut dan ketika itu saya pikir tidak ada hal yang harus diceritakan pada orang tua saya. Tapi setiap kali saya buang air kecil, rasanya sakit dan perih. Saya tidak menceritakan kepada Mama atau Papa karena saya anggap hal biasa. Sama ketika saya buang air besar dan melihat darah, saya tidak merasa heran.
Saya lebih senang memendam apa yang saya rasakan. Itu lebih baik daripada saya membuka mulut. Saya takut dengan Mama dan Papa. Mereka kerap menghukum saya dengan pukulan. Beberapa kali saya berangkat sekolah dengan pipi memar karena dicubit oleh Papa atau saya tidak nyaman duduk di kelas karena pantat saya masih sakit setelah dipukul dengan gagang sapu. Dalam sebulan, beberapa kali saya mendapatkan hukuman semacam ini. Tapi saya lupa apa kesalahan yang mengakibatkan saya mendapat hukuman ini.
Ketika kelas 2 SD, sebelah rumah saya ada tetangga yang baru pindah rumah. Saya diundang untuk bermain ke rumahnya. Saya dan kawan saya, A, mengunjungi rumah tersebut. Tetangga saya merupakan sepasang suami-istri dan dua anak lelaki yang sudah SMP dan SMA. Saya bermain ke rumah mereka dan berlari. Ada beberapa anak yang datang dan bermain-main di rumah yang belum terdapat perabotan. Anak lelaki tetangga saya yang bernama Mas H mengajak saya dan A untuk bermain petak umpet. Kami setuju. Bergantian kami bersembunyi dan mencari. A kali ini yang mencari, saya dan Mas H bersembunyi. Mas H mengajak saya bersembunyi di kamar yang ada di belakang. Saya mengikuti. Setelah sampai di kamar, Mas H menutup pintu dan mengunci pintu pelan-pelan lalu mengarahkan telunjuknya di mulut. Saya duduk di ranjang yang masih belum rapi karena kasur masih tergulung. Mas H duduk di samping saya dan memegang saya. Mas H memeluk saya dan seperti hendak mencium saya. Saya takut dan segera berlari menuju pintu untuk membuka pintu menghambur pulang ke rumah.
Mbah Kung meninggal dunia karena sakit. Pertama kalinya saya kehilangan sosok kakek yang menyenangkan dan sayang pada cucunya. Tapi saya tidak menangis. Saya justru tertawa senang karena ketika kakek meninggal, seluruh sepupu saya datang dan kami berkumpul lalu kami bercerita-cerita. Saya tak tahu kesedihan yang dirasakan oleh Papa dan saudara-saudaranya. Saya hanya ingat sehari setelah Mbah Kung meninggal saya seperti melihat baying-bayang Mbah Kung berdiri di pintu kamar saya dan menatap saya. Ketika itu saya sedang senang-senangnya belajar membaca dan membaca apapun tulisan yang saya berkesempatan untuk membacanya. Saat hari pemakaman Mbah Kung, saya melihat sebuah nisan milik seseorang yang mengeluarkan fatamorgana. Sampai saat dewasa nanti, pengalaman tersebut menjadi misteri bagi saya mengenai fenomena tersebut.
Saya bukan anak yang luar biasa jenius. Saya hanya anak biasa yang belajar bila perlu. Saya hanya suka membaca dan kerap mengobrak-abrik tumpukan berkas di lemari pekerjaan Papa untuk mencari buku yang bisa dibaca. Buku apapun. Sejak SD memang tidak mendapat peringkat kelas yang bisa dibanggakan, tapi saya tetap mendapat angka untuk kolom peringkat ke. SD kelas 2 saya masuk 10 besar dan didaftarkan sebagai dokter kecil. SD kelas 3 saya juga mendapat peringkat kelas dan masuk 10 besar lalu saya mendapat penawaran masuk kelas unggulan di kelas 4. Kelas unggulan merupakan kelas yang dibuat oleh sekolah saya untuk menampung sepuluh besar peringkat teratas dari dua sekolah. Mama dan Papa dengan senang hati memasukkan saya di kelas unggulan.
Biaya SPP di kelas unggulan empat kali lipat dari biaya SPP di kelas regular. Durasi belajar di kelas unggulan ialah pukul 7.00 hingga pukul 15.30. Beberapa pelajaran ditambahkan, seperti bahasa Inggris dan seni musik. Dalam satu kelas, hanya terdapat enam belas orang. Kami juga mendapatkan pelajaran komputer walaupun kami harus membayar Rp200.000 peranak untuk membeli unit komputer tersebut.
Papa mencari pekerjaan tambahan sebagai guru les bimbingan belajar yang dilaju dari Randudongkal ke Pemalang, Tegal, dan Pekalongan. Setiap hari Papa pulang malam hari atau bahkan Papa pulang saat kami terlelap. Setiap hari Mama selalu meminta kami sudah mandi sore dan rapi, sekali pun kami hanya menikmati sore hari dengan duduk manis di depan televisi menonton kartun.
Saya merasa sangat minder di kelas unggulan. Saya hanya mendapat rangking bontot. Anak-anak di kelas unggulan semuanya merupakan anak yang memiliki keluarga dengan latar belakang finansial yang baik. Ketika jam istirahat siang, sekitar pukul 12.30, mereka yang membayar Rp20.000 perminggu mendapat fasilitas makan yang telah disiapkan sekolah. Sedangkan saya setiap hari membawa bekal yang lauknya sudah disiapkan sejak pagi oleh Mama. Entah kenapa dan ini merupakan misteri bagi saya, seorang anak bisa dengan sangat terbuka menghina rekannya yang memiliki kemampuan lebih rendah darinya. Padahal ketika itu kami masih berusia sekitar sepuluh tahun. Apapun yang saya bawa, beberapa anak mencemooh dan mengomentari dengan nada sinis. Saya sangat minder.
Saya berangkat ke sekolah menggunaan sepeda bekas merek Phoenix yang dicat oleh Papa dengan cat kayu warna hijau muda. Setiap ke sekolah, saya membawa tiga tas. Tas pertama berisi buku catatan yang saya letakkan punggung, tas kedua berisi buku paket yang saya taruh di keranjang, dan tas ketiga berisi bekal makan yang saya kalungkan di setang sepeda saya. Teman-teman saya yang lain cukup memiliki sebuah tas dorong yang dapat menampung buku catatan dan buku paket, dan tentunya mudah dibawa karena cukup ditarik dan tas tersebut memiliki roda. Mama dan Papa merasa kasihan ketika saya harus berangkat pagi dan pulang sore hari, akhirnya membiarkan saya bangun agak siang. Namun mereka justru membuat saya terlambat berangkat sekolah setiap hari, dikunci dari depan gerbang sekolah, dan mendapat hukuman dari guru.
Kesempurnaan yang saya alami semakin klimaks ketika pelajaran seni musik. Kami diwajibkan membawa pianika atau rekorder untuk memainkan lagu-lagu. Ketika itu orang tua saya membelikan saya rekorder karena mereka tidak mampu membelikan pianika yang berharga sangat mahal. Saya membawa rekorder yang saya miliki. Ternyata hanya dua orang yang membawa rekorder. Dan entah kenapa rekorder saya menghasilkan bunyi yang aneh. Guru seni musik sudah membantu untuk menyetel rekorder saya, tapi suara yang dihasilkan tetap tidak nyaman untuk didengar. Teman-teman menertawakan rekorder saya dan meminta saya untuk tidak memainkan rekorder tersebut. Saya diam. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sadar kapasitas saya. Saya tidak mungkin menuntut orang tua saya untuk membelikan barang yang sama dengan yang mereka miliki.
Ketika saya tidur, Papa baru pulang bekerja, membangunkan saya dan meminta saya menuju ruang tamu. Suasana ruang tamu gelap. Saya diminta duduk. Papa menunjukkan sebuah pianika merek Yamaha dengan bungkus biru muda yang ada di samping Papa. Saya senang sekali dan apapun yang saya rasakan, saya diam. Saya hanya tersenyum sambil mendengarkan petuah Papa. Papa meminta agar pianika tersebut tidak dicorat-coret atau diberi keterangan nada. Saya mengangguk. Papa memainkan sebuah lagu dengan pianika dan saya mendengarkan. Papa mencium kening dan pipi saya. Saya senang. Besok pelajaran seni musik dan saya membawa pianika baru. Saya diminta kembali tidur.
Keesokan harinya, hari hujan. Saya ke sekolah dengan menggunakan becak. Kali ini saya lebih repot dari biasanya karena selain tiga tas yang biasa saya bawa, saya juga membawa pianika yang lumayan besar. Ketika saya membawa pianika baru, teman-teman menyoraki. Saya duduk dengan teman saya, G. Dia antusias melihat pianika baru saya. Dengan senang hati saya memperlihatkan pianika saya yang masih mulus. Dia mengatakan kenapa pianika saya tidak diberi keterangan nada. Saya bilang Papa tidak boleh. Lalu ia mengambil spidol permanen warna merah yang ia miliki dan menuliskan nada di pianika saya. Saya diam saja.
Setelah pulang, Mama dan Papa terkejut dengan penampilan baru pianika saya. Bahkan dengan warna merah. Mama dan Papa menginterogasi saya. Saya menjawab sesuai yang saya tahu. Keesokan harinya, Mama menemui salah satu guru dan menceritakan insiden pianika berspidol merah tersebut. Selang seminggu, saya dan G dipertemukan untuk dimintai keterangan oleh wali kelas kami. G mengatakan bahwa saya yang menyuruhnya menulisi pianika saya. Apa yang disampaikan G sangat berbeda dengan kenyataan dan saya tidak mengerti. Saya tidak tahu harus mengatakan apa. Saya juga takut karena orang tua G sangat terkenal sebagai aparat negara yang konon tidak segan-segan menembakkan senjatanya pada penjahat. Saya pernah melihat bapak G yang badannya besar, kumis lebat, berambut gondrong. Akhirnya, saya pulang dan membawa pianika tanpa berkata apa-apa. Saya mendapat hukuman pukulan dan tamparan dari Mama Papa. Mama dan Papa mendiamkan saya dalam jangka waktu lama. Itu merupakan hukuman terbaru selain fisik. Saat di rumah, saya berada di antara ada dan tiada. Ketika waktu sarapan, Mama tetap membuatkan susu dan menyiapkan bekal untuk saya, tapi mereka tidak mengajak saya berbicara. Mereka menganggap saya telah membuat wirang atau membuat kehebohan yang mempermalukan mereka.
Tak hanya selesai di pianika. Suatu hari, teman sekelas saya, S, kehilangan jam yang berbentuk kalung yang ia miliki. Guru kami mendengar. Setiap tas digeledah dan setiap anak ditanyai, siapa yang terakhir kali meminjam atau melihat jam milik S. Bahkan hingga halaman depan dan selokan di depan kelas pun ikut disisir, barangkali jam milik S terjatuh atau terlempar. Dan entah bagaimana, saya mendapat tuduhan bahwa saya yang terakhir kali memegang dan dicurigai mengambil. Saya bingung karena saya hanya melihat jam milik S ketika ia memamerkan jamnya tersebut di depan anak-anak lain. Saya menjadi tertuduh. Saya tidak menceritakan apa yang saya alami pada Mama dan Papa karena mereka pun masih mendiamkan saya. Saya mencari-cari di tas dan di rak buku saya, barangkali jam tersebut terselip, tapi tidak saya temukan. Selisih satu minggu, seorang anak laki-laki mengatakan bahwa ia menemukan jam milik S di pot bunga depan kelas.
Masa yang sungguh berat harus saya lalui. Setelah bertahun-tahun saya menyimpan rahasia atau lebih tepatnya aib saya, aib tersebut terbongkar. Mas A dan Mas B menceritakan pada anak-anak yang ada di perumahan kami bahwa saya sudah tidak perawan karena saya pernah “ditul-tul” oleh mereka. Semua anak di perumahan kami mengetahui hal tersebut. Tak hanya anak lelaki, anak perempuan pun mengetahui hal tersebut. Setiap saya pergi keluar rumah, mereka tertawa dan mengatakan lelucon itu. Saya bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Perasaan malu, minder, marah, dan perasaan bersalah menghantui saya. Entah bagaimana saya bisa merasa bersalah ketika keperawanan hilang. Saya tidak tahu siapa yang memberi tahu atau mengajari saya bahwa seorang wanita akan berharga bila masih perawan. Sementara saya sudah tidak.
Memasuki kelas 5, saya masuk ke kelas regular B. Guru kelas 5B merasa kebingungan karena saya tiba-tiba berada di kelasnya dan saya tidak berada di presensi mereka. Sekolah pun tidak mendapat laporan saya pindah kelas. Saya memang masuk sendiri ke kelas regular B karena merasa tidak sanggup secara psikis untuk meneruskan pendidikan di kelas unggulan yang penuh intrik. Kedua orang tua saya dipanggil untuk mengurus kepindahan saya ke kelas reguler. Sepulang sekolah, Mama dan Papa menanyai saya kenapa tiba-tiba saya ada di kelas reguler. Saya menjawab bahwa saya kasihan dengan Mama dan Papa yang mengeluhkan biaya kelas unggulan yang mahal dan saya piker itu memberatkan mereka. Mama dan Papa justru tertawa dan mengatakan bahwa itu merupakan motivasi agar saya dapat lebih giat belajar di kelas unggulan karena orang tua berusaha lebih agar saya bisa berada di kelas tersebut. Tapi saya tetap tidak ingin di kelas unggulan. Saya merasa tidak sanggup. Saya enggan mengatakan alasan-alasan lainnya. Saya hanya mengatakan saya tidak ingin di kelas unggulan lagi. Mama dan Papa menerima keputusan saya dan akhirnya membiarkan saya di kelas reguler hingga lulus SD.
Menurut saya setiap anak perempuan selalu bermimpi untuk dewasa. Cantik, seksi, dengan rambut panjang. Saya suka berlama-lama di kamar mandi untuk mengguyur rambut saya lalu saya mendongak dan merasakan rambut saya mencapai punggung, walaupun faktanya rambut saya hanya sebatas bahu. Saya juga senang memadatkan daerah dada dan mendapati kuncup payudara yang rasanya mendebarkan. Muncul bulu-bulu halus di sekitar vagina dan membuat saya penasaran, apakah ini dan apa fungsinya. Saya mulai merasa malu. Saya yang tumbuh dengan dua adik lelaki terbiasa melakukan segala sesuatu secara terbuka. Setelah mandi, mengambil handuk di jemuran dengan tubuh masih basah, dan mengelap tubuh di depan televisi, sudah saya hilangkan. Saya mulai malu. Saya hilangkan kebiasaan itu. Sebelum mandi saya sudah menyiapkan handuk dan setelah mandi saya segera ke kamar untuk berganti baju. Saya senang memandang dada saya dan membayangkan akan ada gundukan tinggi yang memenuhi dada saya seperti mbak-mbak di layar televisi. Rasa mendebarkan mengenai perubahan yang datang pada diri saya tak hanya dari fisik. Saya juga mulai mengagumi seorang anak lelaki yang sering bersepeda di depan rumah. Saya menyukai sensesi malu-malu ketika berada di depannya atau bahkan hanya melihat sepedanya.
Setiap sepuluh hari sekali, keluarga kami mendapat jatah menarik tabungan dasa wisma. Sejak SD saya diajarkan Mama prosedur menarik tabungan dasa wisma. Saya berkeliling di rumah yang berada satu garis dengan rumah kami. Uang yang diberikan dari tiap rumah dicatat dan disetorkan pada keluarga yang mendapat kepercayaan mencatat rekapan. Saya terbiasa menarik tabungan dasa wisma ketika sore, setelah mandi dan membantu Mama. Saya mengetuk pintu setiap rumah dan mengatakan bahwa saya menarik tabungan. Sore itu, di rumah salah satu tetangga, saya mengetuk pintu rumahnya ketika hari menjelang petang. Pintu dibukakan oleh tuan rumah, Pak B. Ketika memberikan uang dan saya mencatat uang dengan buku batik besar, Pak B menyentuh dengan telunjuk daerah dada saya. Ia mengatakan kaos saya memiliki bordiran yang bagus. Tapi apa yang saya rasakan berbeda dengan apa yang ia katakan. Saya mohon diri untuk melanjutkan tugas saya.
Kebiasan Mama dan Papa menghukum saya secara fisik terus berlanjut. Bahkan untuk hal-hal sepele seperti lupa mematikan kompor atau belum mandi ketika sore. Ketika Mama dan Papa menghukum saya, saya kerap berteriak keras memohon ampun. Sampai suatu ketika, tetangga di depan rumah mengetuk pintu rumah kami karena tangis saya rasanya sudah terlalu berlebihan. Mama mengatakan bahwa saya melakukan kenakalan. Saat itu kedua tangan saya diikat di belakang dan diletakkan di dalam ember berisi air bekas mencuci baju. Mulut saya disumpal dengan lap makan supaya saya tidak menangis dan berteriak. Badan saya sakit dan nyeri dan beberapa luka menghasilkan sensasi perih ketika terkena air sabun. Saya dihukum sampai tengah malam. Setelah itu saya dilepaskan dan disuruh mandi. Sayangnya, didikan keras mereka meninggalkan rasa untuk membalas dendam. Saya melakukan hal yang sama pada ketiga adik saya. Entah perasaan tidak terima karena mereka tidak mengalami apa yang saya alami ataukah dorongan tanpa sadar dalam diri saya yang membuat saya menduplikasi apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tua saya.

7 comments:

  1. Saya cukup terharu dan sekaligus bangga dengan cerita anda. Terharu dengan apa yang anda alami, dan bangga Anda punya potensi untuk menjadi penulis cerita (cerpen atau novel). Tapi mohon maaf, apakah ibu anda bernama Yuli Afanti, yang anda singkat dengan inisial YA?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat pagi Bapak Falah. Terima kasih telah berkenan untuk membaca tulisan saya.
      Hanya sekadar menuangkan kegelisahan yang dirasakan.
      Ya, beliau adalah ibu saya. Apakah Bapak mengenal ibu saya?

      Delete
    2. Selamat pagi juga (mbak, dik, atau nak ya?) Amanda. Saya tidak kenal secara pribadi dgn ibumu, itupun saya masih duduk di bangku SMP ketika ibumu masih balita, dan kulihat ibumu ketika itu suka main prosotan di depan rumah kontrakan kakek dan nenekmu. Sesudah itu kakek dan nanekmu tinggal di sebuah rumah besar di pinggir jalan raya Randudongkal. Kalau tidak salah kakekmu bernama Bpk Dimyati, dan nenekmu, orang2 menyebutnya Ibu Ipuk. (saya tdk tahu nama persis nenekmu). Oya, salah satu baju pengantin istriku yang menjahitkan juga nenekmu. Sampai suatu ketika, saya mendengar berita seperti yang anda ceritakan di awal cerita. Saya kaget dan prihatin, serta salut pada semangat juang anda. Meski kata Bung Chairil Anwar "Hidup hanya menunda kekalahan", tapi kata Bung Rendra, "Hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh, hidup adalah untuk mengolah hidup, membanting tulang, membalik tanah dan rahasia2". Selanjutnya, saya kagum pada gaya penuturan cerita anda, yang pada akhirnya saya memahami mengapa anda bisa menulis seperti itu, karena ternyata anda adalah seorang mahasiswa dari sebuah fakultas yang dipimpin oleh Bpk Agus Nuryatin. Sekadar info, Pak Agus juga orang Pemalang lho. Dia berasal dari desa Majalangu, Watukumpul, Belik. Hehe, maaf, jadi berkepanjangan ya.

      Delete
    3. Wah...
      *salim*
      Di antara sekian miliar pengguna internet di dunia, dipertemukan dengan Bapak, yang mengenal Mama, Kakek, dan Nenek saya, rasanya seperti sebuah keajaiban. Hehehe... Apakah mungkin Bapak pernah bertemu dengan saya ketika kecil?
      Alhamdulillah, saya diberi kesempatan menempuh studi di jurusan yang diketuai Bapak Agus Nuryatin sebelum mengemban amanah yang l
      sebagai dekan, dan alhamdulillah saya lulus.
      Maaf, siapa nama lengkap Bapak? Apakah saya perlu menyampaikan salam dan sapa Bapak pada Mama saya?
      Pamit *sungkem*

      Delete
    4. Hehe, di antara sekian miliar manusia, kayak "Perahu Kertas"-nya Maudy Ayunda yang suka diputar putriku. Ya, kata orang dunia ini cuma sedaun kelor. Jadi banyak sekali keajaiban yang tak terduga.
      Saya sama sekali tidak pernah bertemu dengan Amanda, baik waktu kecil maupun waktu sdh besar, kecuali melalui internet ini. Ibumu pun saya tidak pernah melihat, kecuali saat ibumu balita itu.
      Oya, nama lengkapku Nurul Falah Atif, nama kecilku Falachi. Rumah ibuku di belakang PT Pegadaian Randudongkal. Kalau Amanda mau, kita bisa berteman di FB. Nama akunku: Nurul Falachi.

      Boleh juga sampaikan salam sapa dari saya untuk kedua orang tuamu, meskipun mereka pasti bingung karena tidak mengenal saya. Oya, saya juga punya adik yang mengajar di SMAN Randudongkal. Trus apakah Amanda sekarang mulai mengajar?

      Delete
  2. Sudah saya add akun Bapak. Terima kasih, Pak.
    Nanti saya sampaikan ke Mama. Saya tidak berkomunikasi dengan Papa sejak 2009. Pernah ke rumah dan berbincang dengan Papa tahun 2015.
    Alhamdulillah, saya diterima di perusahaan start up di Kota Yogyakarta, berkumpul dengan Mama dan adik-adik. Hehehe....
    Kok Bapak bisa menemukan blog ini, Pak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, ternyata Amanda—saya lebih suka memanggilmu bgt saja ya, sbb engkau sepantaran dgn putri pertamaku yang kelahiran '96—telah berkenan utk bersilaturahmi dgnku via FB. Tksh banget. Thx juga utk penyampaian salam sapaku utk beliau, mamamu. Saya berempati thd beliau, sbg seorang ibu tangguh yg tentu sangat berat memikul tanggung jawab seorang ibu secara sendirian. Oya, sebelum lupa, apakah dulu nenek/mamamu pernah tinggal di sebelah timur Sekolah Dasar V Randudongkal? Klo iya, mungkin dulu saya pernah melihat nenek/mamamu di situ.
      Tentang papamu, apakah beliau ada keturunan dari Sumatera Utara (dari namanya: Anantoru).Membaca ceritamu, mamamu sepertinya divorced dgn papamu. Trus apakah mamamu sdh married lagi? Hehe, maaf, jd kayak orang KPK. Memang tdk mudah, sbb memberi maaf itu tingkatannya lebih tinggi dibanding meminta maaf.

      Saya ikut senang Amanda tlh bekerja. Owh, kerja di perusahaan jasa layanan informasi digital ya? Dan yang lebih utama, senang tentunya, kumpul bersama mama dan adik-adik lagi di Jogya. Ingat Jogya, dulu aku suka nongkrong bersama teman2 dari Randudongkal yang skull di sana. Nongkrongnya di Pakualaman, minum teh poci sama pisang penyet, sampai subuh hari. Juga di Wirobrajan.

      Saya menemukan blog ini secara kebetulan, keajaiban barangkali. Saya googling, pertama dgn keyword Randudongkal, kemudian keyword cerita, eh muncul blog Amanda. Di situ muncul fragmen Sedang Bercerita part 1. Penasaran, saya lalu membacanya. Begitu ceritanya.

      Delete

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...