Saturday 31 January 2015

Sedang Bercerita part II

Manual painting karya Arief Hadinata


Pertengahan tahun 2002 merupakan waktunya lulus SD dan waktunya memilih SMP. Setelah menempuh SD di salah satu SD favorit di Kabupaten Pemalang, saatnya memilih SMP yang juga menjadi favorit di Kabupaten Pemalang. Lulus SD dan memilih SMP dari sekolah favorit menuju sekolah favorit rasanya seperti bedol desa. Semua anak di SD ingin masuk ke sekolah favorit. Hanya segelintir anak yang memilih sekolah lain karena alasan jarak yang lebih dekat. Ketika mendaftar SMP, saya mendaftar sendiri. Hanya meminta sejumlah uang pada Mama untuk biaya pendaftaran. Oh iya, saat itu pendaftaran SMP merupakan sistem gugur di mana anak yang mendaftar di SMP harus mengikuti ujian tertulis yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Peserta yang tidak lolos ujian tertulis, diberi kesempatan untuk mendaftar di sekolah swasta karena pelaksanaan ujian tertulis SMP dilaksanakan secara serempak.
Pagi hari sebelum ujian tertulis SMP, Papa mengajak saya mengobrol sambil sarapan. Tepat hari itu juga, Papa menanyakan kesanggupan saya untuk masuk ke SMP favorit. Papa memberikan wacana di depan SMP favorit merupakan SMP tempat Papa pernah menimba ilmu. Saya diminta Papa untuk mempertimbangkan kembali keputusan yang telah saya ambil karena bila saya sampai gagal masuk ke sekolah favorit, konsekuensi saya ialah masuk ke sekolah swasta. Saya tetap keukeuh memilih sekolah pilihan saya. Papa pun mengalah dan membiarkan saya tetap berjuang dengan pilihan saya. Dan saya diterima di sekolah favorit saya.
Frida, adik bungsu saya sakit. Ia mengatakan bahwa ketika buang air kecil rasanya sakit. Mama menampung air seni Frida dan melihat bahwa air seninya menghasilkan semacam endapan tepung. Frida dirawat di dua rumah sakit berbeda di Kabupaten Pemalang. Dua dokter berbeda dari dua rumah sakit berbeda memberikan diagnosa Frida menderita typus dan demam berdarah. Mama merasa kurang puas dan memutuskan memindahkan Frida ke rumah sakit di Kota Tegal. Frida didiagnosa menderita infeksi saluran kencing dan harus segera dioperasi. Mama mencari informasi mengenai rumah sakit dan dokter yang mumpuni untuk melaksanakan operasi bagi Frida. Dengan berbagai pertimbangan, Mama memilih Rumah Sakit Angkatan Darah Jendral Gatot Soebroto Jakarta sebagai lokasi Frida melaksanakan operasi. Butuh waktu hampir setahun bagi Frida sejak awal diagnosa hingga selesai operasi.
Mama mengajarkan saya menggunakan kerudung. Saya berkerudung setiap ke sekolah. Mama menjahitkan baju panjang untuk saya, termasuk seragam. Padahal sebelumnya saya memiliki baju pendek. Perubahan pada penampilan saya membuat teman-teman heran. Mereka tidak menyangka saya akan berkerudung. Ketika itu berkerudung bukan merupakan hal yang mainstream. Dalam satu kelas, hanya terdapat dua atau tiga orang anak yang berkerudung. Saya tidak keberatan berkerudung karena saya menganggap tidak terlalu mengganggu. Mama meminta saya meningkatkan kualitas ibadah saya. Saya masih rajin beribadah ke mesjid ketika magrib dan sisanya saya laksanakan di rumah. Sayangnya, berkerudung justru menjadi penghalang bagi aktivitas remaja seperti saya. Seperti ketika saya belajar bermain bola basket, banyak anak-anak yang menertawakan saya dan mengatakan bahwa saya salah tempat. Saya harusnya ada di pengajian, bukan datang ke lapangan basket. Jam tambahan olahraga berupa renang harus saya pupuskan karena saat itu anak-anak yang berkerudung tidak melaksankan jam tambahan renang dan hanya duduk-duduk di kolam renang menjaga tas milik rekannya. Saat mengikuti kegiatan drum band di sekolah pun, saya tersisih. Ketika pemilihan seragam, saya bingung karena seragam yang diberikan berlengan pendek. Akhirnya saya mengalah dan melepaskan jabatan pemain pianika pada rekan saya. Banyak ekstrakurikuler yang membuat saya merasa bahwa berkerudung ketika itu membatasi aktivitas saya, seperti tari, drama, dan sebagainya. Saya sempat bingung dan depresi, tetapi akhirnya saya hanya bisa diam dan tak berbuat apapun.
Sebagai anak pertama dan cucu pertama dari keluarga Mama, saya menjadi kebanggaan bagi Mbah Ibu. Mbah Ibu menceritakan kesuksesan saya masuk di sekolah favorit dan Mbah Ibu bahkan yang dengan sangat antusias mengambilkan rapot pertama saya di SMP. Mbah Ibu sangat bangga menceritakan bahwa saya memperoleh peringkat 14 di kelas dan kelas saya merupakan kelas yang meraih penghargaan sebagai kelas dengan nilai tertinggi secara paralel.
Mbah Ibu baru selesai menjalankan pengobatan dan kemoterapi kanker rahim yang beliau derita. Hampir dua tahun beliau bolak-balik Randudongkal-Jakarta untuk melaksanakan pengobatan dan kemoterapi. Setelah kondisi membaik, Mbah Ibu selama beberapa waktu tinggal di rumah kami. Kami sangat senang dengan kehadiran Mbah Ibu karena Mbah Ibu selalu memanjakan cucu-cucunya dengan membuatkan makanan yang enak dan menata perlengkapan sekolah kami. Kami sangat senang dengan Mbah Ibu yang sangat perhatian.
Suatu hari beberapa kawan berkunjung ke rumah saya untuk mengajak bersepeda. Mereka memanggil nama saya dari depan rumah dan ketika itu disambut oleh Mbah Ibu. Mbah Ibu mengatakan bahwa saya masih tidur. Mereka melihat Mama tengah menyuapi Frida di teras rumah. Keesokan harinya di sekolah, teman-teman memberi tahu saya perihal kunjungan mereka ke rumah dan mengatakan bahwa mereka diberitahu oleh ibu saya bahwa saya sedang tertidur dan melihat keponakan saya yang lucu sedang disuapi oleh kakak perempuan saya. Ketika saya memberi tahu pada mereka bahwa itu adalah Mbah Ibu, Mama, dan adik bungsu saya, mereka tidak percaya. Mereka berkomentar bahwa Mama saya masih sangat muda dan tidak percaya dengan wajah saya bahwa saya merupakan anak pertama. Mereka selalu mengira saya merupakan anak bungsu. Entah dari mana mereka mendapat hipotesis semacam itu.
Tahun 2003 adalah momen ketika ponsel menjadi salah satu perangkat yang dimiliki oleh teman-teman saya miliki. Saya belajar cara menggunakan ponsel karena tidak ingin disebut gaptek dan saya juga belajar memperbaharui informasi mengenai ponsel keluaran terbaru supaya tidak dibilang cupu. Tak hanya mengenai gaya hidup, mengenai buku, informasi umum, musik, dan kegemaran anak seusia saya, kembali dengan alasan supaya tidak dibilang ketinggalan informasi. Saya dapat menggunakan ponsel sebelum saya memiliki. Saya juga sudah dapat mengendarai sepeda motor bebek sebelum saya memiliki SIM C apalagi memiliki sepeda motor.
Papa membeli ponsel karena kebutuhan. Di rumah kami, kami tidak memiliki telepon rumah. Perangkat komunikasi yang kami miliki hanya mulut. Papa membeli ponsel Nokia 3315 dan sebuah perdana Matrix dengan total Rp1.500.000. Papa mengatakan bahwa ponsel tersebut dapat digunakan untuk seluruh anggota keluarga. Ponsel tersebut akan ditinggal di rumah untuk digunakan menghubungi atau SMS yang ada di dalam rumah bila memiliki keperluan yang mendesak.
Awalnya memang digunakan untuk penghuni rumah, namun akhirnya Papa menggunakan untuk kepentingannya dan melarang anaknya untuk meminjam ponsel. Papa berargumen bahwa pulsa mahal dan saya hanya membuang-buang pulsa untuk SMS yang tidak penting dengan kawan-kawan saya.
Suatu hari, saya penasaran, entah apa yang membuat saya akhirnya membuka ponsel Papa. Saya melihat gambar bibir bertuliskan “I Love You”. Terlalu ganjil untuk saya. Lalu saya membuka kontak dan menemukan nama kontak “A My Lady”. Tak ada apapun dalam pikiran dan benak saya, tapi saya segera mencatat nomor ponsel dengan nama kontak tersebut.
Sejak Frida dioperasi dan harus bolak-balik Pemalang-Jakarta untuk kontrol, saya dan ketiga adik saya terbiasa berada di rumah bertiga. Kami diajarkan bagaimana membuat nasi dengan rice cooker, bagaimana mengoperasikan mesin cuci, bagaimana membuat susu untuk sarapan, dan apa saja yang harus dilakukan. Dalam sebulan, selama dua minggu kami bertiga hidup sendiri. Papa memberikan uang saku dan uang untuk kami makan. Terkadang, tetangga yang tinggal di samping dan di depan rumah kami mengirimkan makanan untuk kami makan. Kami hanya merasa heran kenapa Mbah Uti tidak sekejap pun mengunjungi kami. Saya diajarkan semua pekerjaan rumah, tetapi ada satu yang tidak Mama ajarkan pada saya, yaitu cara memakai pembalut. Suatu pagi ketika bangun tidur, saya merasakan basah dan lengket dan saya tidak merasa mengompol. Setelah ke kamar mandi dan mendapati darah, saya memberi tahu Papa untuk meminta uang membeli roti. Saya mengatakan roti karena malu bila mengatakan pembalut. Papa hanya bingung dengan tingkah saya dan mengatakan bahwa beliau sedang tidak memiliki uang. Saya mengunjungi salah satu tetangga yang memiliki anak perempuan dan mengatakan bahwa saya membutuhkan roti. Beliau memberikan pada saya sebungkus pembalut yang telah berkurang. Saya segera pulang karena harus bersiap ke sekolah. Tapi saya sadar, saya tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Saya kembali ke rumah tetangga saya dan mengatakan bahwa saya tidak tahu cara menggunakan pembalut. Beliau tertawa dan mengajarkan pada saya bagaimana cara menggunakan pembalut.
Datang bulan merupakan periode paling mengharu-biru bagi remaja seperti saya. Remaja perempuan selalu dihantui oleh mitos bahwa bila tidak mengalami datang bulan, akan berkeringat dan darah akan keluar melalui pori-pori kulit. Tentu kami, khususnya saya tidak menginginkan hal tersebut. Sebisa mungkin saya berdoa agar saya dapat mengalami datang bulan. Terwujudlah permintaan saya pada Tuhan. Tapi entah kenapa saya selalu gagal menggunakan pembalut dengan baik dan benar. Selalu bocor, tidak hanya tembus, tetapi bocor yang membasahi rok biru saya sampai saya harus menutupnya dengan tas atau jaket dan saya harus mencuci rok saya setiap pulang sekolah dan harus bersiap menggunakannya untuk dua hari lagi.
Setelah Idul Fitri 2003, Mama mengajak saya pergi ke warung telepon kala hari hujan dan kami menggunakan payung. Mama menghubungi rekan kerja Papa yang juga merupakan guru Mama ketika bersekolah. Beliau menangis dan menceritakan apa yang tengah membuat hatinya gundah. Saya diam dan mengikuti Mama hingga pulang ke rumah. Setelahnya, saya memberikan nomor ponsel dari kontak yang saya dapat pada Mama. Seketika itu pula Mama menangis dan segera ke warung telepon untuk menghubungi nomor tersebut. Saya diajak serta. Saya mendengar obrolan Mama. Wanita yang ada di seberang pesawat telepon mengatakan bahwa ia merupakan mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Semarang.
Itulah awal konflik di keluarga kami. Saya dengan datar menceritakan pada Mama apa yang terjadi ketika Mama kerap pergi ke Jakarta untuk mengontrol kesehatan Frida pascaoperasi. Saya pernah mendapati Papa pulang ke rumah dengan lengan jaket yang dikalungkan di leher, persis dengan penampilan remaja yang baru pulang dari kencan. Sebagai remaja saya pun dengan sangat aneh merasakan apa yang terjadi pada Papa bukan hal yang lazim, apalagi ketika itu keluarga kami belum stabil setelah operasi Frida.
Rumah kami yang dulu selalu mengalami kebocoran dan mengalami kerusakan di sana-sini, diperbaiki dan dibuat menjadi nyaman bagi kami. Saya senang akhirnya memiliki televisi besar dengan remot untuk mengganti channel televisi. Televisi kami yang sebelumnya merupakan televisi berlebar 14 inci dengan tombol yang sudah rusak. Untuk mengganti channel atau mengeraskan suara, harus kami pencet dengan batang bambu atau kayu. Saya atau adik-adik saya bila sedang kurang beruntung akan meringis karena tersengat listrik kecil yang dihasilkan dari tombol buatan kami.
Kegiatan meninggalkan saya, Bakhtiar, dan Insanul pun berlanjut. Kali ini bukan karena Frida sakit, tetapi karena Mama mengumpulkan informasi mengenai aktivitas Papa di sekolah. Papa kerap pulang malam dan mengatakan ada lembur pekerjaan dengan rekan kerja, padahal rekan kerja Papa sedang di rumah dengan keluarga. Pertengkaran Mama dan Papa menjadi hal yang biasa bagi kami. Beberapa kali saya mendapati Mama enggan makan dengan mata yang bangkak, lebam, atau tubuh yang membiru. Saya pernah mendapati pisau ada di kamar Mama-Papa. Entah terlalu lugu atau terlalu bodoh, saya malah mencekoki Mama dengan bukti-bukti baru hasil saya berburu buku bacaan di lemari kerja Papa. Saya mendapati sebuah block note yang di dalamnya berisi tulisan mengenai chatting SMS Papa dengan wanitanya. Wanita tersebut merupakan murid perempuan Papa yang usianya selisih empat tahun lebih tua dari saya.
Pertengkaran dan keributan Mama dan Papa sudah menjadi bumbu keseharian kami. Mereka kerap berteriak dan saling memaki di depan anak-anaknya. Saya sering mencuri uang dari tas kerja Papa dan sebanyak dua kali saya mendapat coklat besar. Dengan santainya saya ambil dan saya bagi dengan adik-adik. Keesokan hari Papa menanyakan siapa yang mengambil coklat di tas Papa, Insanul mengatakan bahwa ia mendapat potongan coklat dari saya. Papa langsung memukul saya. Pernah suatu ketika saya sedang makan mie rebus sambil menonton televisi di ruang tengah. Saya dan adik-adik bercanda lalu saya melontarkan candaan mengenai wanita Papa. Seketika itu Papa melemparkan sepatu yang tengah dipakai dan mengenai mangkuk mie rebus dan mata saya. Mangkuk mie rebus terbelah menjadi dua dan mata saya berdarah. Mama menarik saya ke dokter untuk diperiksa. Dokter yang menangani saya menanyai Mama mengenai penyebab mata saya berdarah dan Mama hanya bisa mengatakan bahwa saya bertengkar dengan adik saya. Malam itu juga Papa meminta maaf pada saya dan memberikan saya uang sebagai kompensasi yang akan saya gunakan untuk uang saku mengunjungi saudara di Jakarta.
Mbah Bapa yang sebelumnya tinggal di rumah anak perempuan pertamanya, Bude E, merasa seperti didepak semenjak Bude E meninggal. Mbah Bapa beberapa kali mengunjungi rumah kami dan menginap. Penampilan beliau menjadi seperti gembel dengan pakaian yang dekil dan kumis-jenggot yang tumbuh berantakan. Rambut Mbah Bapa pun tidak lagi disisir rapi dan sudah nampak panjang. Rupanya kehadiran Mbah Bapa tidak dikehendaki oleh Papa. Papa tidak menyukai Mbah Bapa. Papa marah pada Mama akan kehadiran Mbah Bapa dan selalu menjadikan kehadiran Mbah Bapa sebagai alasan Papa untuk tidak betah berada di rumah. Mama mengalami kebuntuan untuk mengomunikasikan pada Mbah Bapa atas apa yang Mama rasakan pada keluarganya. Mama mencoba untuk membawa Mbah Bapa ke panti jompo tetapi Mbah Bapa justru kabur dari panti jompo dan kembali mendatangi rumah kami. Selama sekian bulan Mbah Bapa tetap mengunjungi rumah kami. Papa tidak berkenan membuka pintu rumah pada Mbah Bapa dan akhirnya membuat Mbah Bapa memilih tidur di teras rumah kami seperti gelandangan. Hal tersebut menimbulkan gunjingan pada tetangga. Saya dan ketiga adik saya turut serta dalam pusaran kebingungan atas apa yang terjadi dalam keluarga kami. Hingga akhirnya selama sekian bulan, Mbah Bapa tidak lagi menampakkan diri di rumah kami. Setelah itu, kami memperoleh kabar bahwa Mbah Bapa telah meninggal dunia tapi kami tidak mengetahui di mana Mbah Bapa meninggal dunia dan di mana Mbah Bapa dimakamkan. Hingga saat ini kami tidak mengetahui keberadaan Mbah Bapa.
Perasaan minder dan malu selalu menghantui saya. Sejak Mama Papa bertengkar dan saya beberapa kali menjadi sasaran kemarahan dan depresi mereka, saya kerap membolos sekolah. Saya malu kalau harus berangkat ke sekolah dengan mata menghitam atau badan kesakitan karena bekas pukulan yang belum hilang nyerinya. Kalaupun saya berangkat dari rumah, saya biasanya enggan langsung pulang ke rumah. Saya suka berkunjung ke rumah rekan saya, Ni, anak seorang dokter. Di rumahnya saya merasa aman dan nyaman. Saya tidak mendengar pertengkaran orang tua. Saya bisa makan enak dan diajak jalan-jalan dengan menggunakan sepeda motor yang dimiliki Ni. Saya baru pulang saat petang atau magrib.
Saya juga beberapa kali kabur dari sekolah untuk sekadar bermain di warung internet bersama Ni dan kawan-kawan. Bisa dikatakan Ni dan kawan-kawan merupakan anak popular di angkatan kami. Mereka memiliki segalanya. Saya berkenalan dengan Ni dan kawan-kawan karena mereka merupakan rekan saya saat SD dan Ni merupakan sahabat No, sahabat sekaligus tetangga di perumahan saya. No menjadi tempat saya bercerita apa yang saya alami. Walaupun tidak seutuhnya saya ceritakan padanya, tapi saya memiliki tempat untuk berbagi cerita. Saya tidak merasa sendiri. Setiap malam No mengunjungi saya ke rumah atau saya berkunjung ke rumah No untuk mengobrol ngalor-ngidul. Atau bila kami sedang bosan mengobrol, kami bersepeda keliling kota untuk menghilangkan penat.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...