Saturday 9 December 2023

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa.

Hahaha… Ngomong nggak mau kawinin tapi jejer mantan orang-orang jurusan seni itu sebuah ironi.

Perjalanan panjang mencari jodoh akhirnya bermuara pada teman sendiri, yang biasa nongkrong bareng di jeda kuliah.

Agak geli di awal ketika kami pacaran dan menyadari dia jadi mantan pacar temenku dan aku juga mantan pacar temennya. 

Yah, tapi apapun itu perjalanan kami di masa belia, kini kami sudah berkeluarga, memiliki seorang anak bernama Aksara Abiyarsa.

Sejak menikah, aku tahu pilihan pekerjaannya, aku juga tahu risikonya menikah dengan pria yang nggak punya gaji bulanan.



Ditambah kami menikah benar-benar mulai dari nol, hanya memiliki sebuah sepeda motor, sebuah kulkas, dan sebuah kasur.

Bahkan waktu awal menikah, kami masih tinggal di kosannya di Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang.

Kami mulai ngontrak saat aku hamil dan memikirkan kalau anak kami lahir kan nggak mungkin diurus di dalam kamar ukuran 2,5 x 2,5 meter ya.

Ya sudah, akhirnya kami pindah kontrakan di daerah Kalisegoro, Gunungpati, Kota Semarang.

Saya waktu itu masih kerja sebagai wartawan perusahaan yang bergaji bulanan, dan Sayangku yang bernama Arief Hadinata ini masih dengan pekerjaannya sebagai illustrator, mural artist, community engagement expert dengan Badan Ekonomi Kreatif dan Astra.

Ya pokoknya rumah tangga kami harus tetap berjalan dengan apapun pilihan pekerjaan yang kami pilih.

Dalam hal keuangan, kami pun mengatur banyak strategi agar bisa tetap bertahan hidup dengan gaji bulanan yang cuma Upah Minimum Regional (UMR), dan gajinya yang kadang sehari bisa setengah UMR meskipun nggak tiap hari ada kerjaan kayak gitu.

Seperti umumnya pasangan suami-istri, kami memiliki cita-cita mulia, memiliki kendaraan dan hunian.

Kami pun mulai mencari informasi tentang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sekitar awal 2019.

Saat itu membayangkan angka rumah Rp 300 juta saja sudah sesak di dada ya.

Hahaha…

Boro-boro membeli rumah seharga demikian, saldo tabungan mencapai Rp 30 juta saja belum pernah.

Alasan kami memiliki hunian karena di rumah kontrakan pertama yang habis Februari 2019, kami pernah didatangi pemilik secara mendadak tanpa informasi, dan langsung masuk tanpa permisi. Macem digrebek ya!

Aduh, sakit hati banget Ya Allah.

Emang sih itu rumah dia, tapi kan kami punya hak privasi juga.

Kemudian ketika kontrak rumah hampir habis, harga dinaikkan sepihak hingga 25%.

Kami menolak kenaikan dan mencari kontrakan baru untuk hunian kami yang masih di perumahan yang sama, hanya beda RT dan blok.

Setelah pindah kontrakan, kami akui nyaman dan lingkungan pun menyenangkan.

Kami sadari, lingkungan tempat tinggal menjadi wadah paling penting untuk membesarkan putra kami yang mulai beranjak balita.

Banyak anak-anak seumuran, lingkungan tetangga akademisi, jalanan pun lengang tidak banyak hilir-mudik.

Pokoknya kami suka suasana perumahan memaklumi kerjaan suami sebagai seniman dan aku sebagai wartawan.

Kami sadar, profesi kami agak nyentrik karena suami kalo pagi nggak pernah kelihatan berangkat ke kantor, kadang malah pukul 9.00 sedang ngrokok di teras rumah dan bermain ponsel.

Atau aku yang berhalangan mengikuti kegiatan ibu-ibu Dasa Wisma (Dawis), RT, maupun PKK karena sedang liputan di luar kota.

Tetangga sudah maklum dan tidak kepo atau kurang ajar pada kami, kami bersyukur.

Cukuplah kami berhadapan dengan orang tua yang belum paham pekerjaan anaknya.

Tapi kami juga sempat survei beberapa perumahan di sekitar kami.

Jujur saja, meskipun jauh dari pusat kota, harus menempuh jarak belasan kilometer, kami memang nyaman tinggal di sini.

Selain lingkungan, air pun lancar, tidak pernah banjir atau longsor, ditambah jaringan internet mudah.



Pekerjaan suami memaksanya harus selalu terhubung dengan dunia luar.

Kliennya biasanya menghubunginya lewat Whatsapp atau email, atau sekadar bertelepon.

Kerjanya memang bisa dari mana saja, tapi dia nyaris kerja 24 jam sehari.

Terlebih kalau klien dari mancanegara, ketika jam kita istirahat, eh dia sedang jam produktif.

Pokoknya lingkungan di sini sudah paket komplit untuk tinggal dan tetap bekerja.

Ada momen diskusi dengan suami perihal rumah ketika si pemilik menawarkan akan menjual rumahnya di angka Rp 375 juta.

Kami melihat dan membaca tabel KPR, butuh uang muka berapa, cicilan bulanan yang harus dibayarkan untuk membeli rumah ini.

Duh, rasanya kok masih jauh cita-cita membeli rumah.

Ya akhirnya kami terima nasib saja sewa rumah dulu.

Singkat cerita rumah yang kami tempati saat itu sudah 3 tahun, dan si pemilik hendak menaikkan sewa (terjadi hal yang membuat kami down).

Si pemilik menawarkan kami rumahnya itu untuk bisa dibeli dengan sistem mencicil langsung, tanpa bunga, tapi harus lunas dalam setahun.

Rumahnya dibanderol Rp 400 juta, dia pun tak menanggung biaya notaris dan pajak.
Duh, kayaknya pendapatan kami setahun dipaksa untuk membeli rumah, sampe nggak makan pun, rasanya nggak mungkin deh.

Selain itu saaat itu tabungan kami juga hanya beberapa juta saja.

Akhirnya kami pindah ke rumah lain awal 2022 dan kebetulan rumah lebih besar, dengan jalan yang datar, memiliki ruang teras yang lebih luas, dan berhadapan dengan rumah sewaan kami sebelumnya.

Ditambah, si pemilik rumah menawarkan akan menjual rumahnya Rp 400 juta untuk rumah seluas 150 m2, masih mau patungan biaya notaris dan pajak pula.

Harga yang sama dengan rumah sewaan kami sebelumnya yang seluas 105 m2.

Saat itu kami masih menjalani usaha warung di Kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan aktivitas suami di bidang seni-senian juga masih jalan.

Di momen yang sama, kami sudah baru menyelesaikan tanggungan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 25 juta sejak September 2020-Februari 2022.

Pinjaman itu untuk merenovasi warung Kedai Hokage yang baru kami mulai paham, usaha kami itu berkategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Selama sekolah dan kuliah, nggak mudeng tuh kalo baca-baca berita atau artikel soal UMKM.

Ternyata kami rasakan sendiri dan yang kami lakukan ini termasuk bagian dari UMKM.

Dan dari pengalaman KUR, kalau dipikir-pikir ternyata berhutang untuk usaha membantu kami.

Soalnya, berhutang untuk usaha itu dananya bisa digunakan untuk mengembangkan usaha dan sebagai penghutang memiliki motivasi untuk melunasi.

Di sisi lain sebagai manusia yang memiliki kebutuhan, kami masih memiliki dana cadangan untuk kebutuhan besar dan mendesak seperti uang sekolah anak atau kebutuhan lainnya.

Kemudian kami pikir-pikir, oke deh kita coba ajukan pinjaman kembali ke KUR BRI sebesar Rp 50 juta untuk membayar sewa rumah sebagai lokasi usaha studio desain Hokgstudio, dan sebagai modal tambahan membuka warung.

Ternyata pengajuan kami disetujui untuk tempo 18 bulan.

Duh, makin sayang deh sama BRI si Pahlawan UMKM.

Kami pindah rumah karena berharap bisa ‘ngecupi’ rumah yang harganya lebih murah ini.

Strategi kami sih sewa beberapa tahun, kemudian dibeli secara tunai.

Meskipun obsesi beli secara tunai masih kami pikirkan juga duit dari mana nih.

Wkwkwk…
Ngomong-ngomong, kami ini dari keluarga sederhana yang nggak mungkin dapat warisan maupun bantuan beli rumah.

Semua harus diusahakan sendiri untuk mewujudkan mimpi kami.

Boro-boro minta warisan, udah disekolahkan pun Alhamdulillah.

Tabungan kami mulai menunjukkan hilalnya, terlebih setelah suami Juara 1 Dare To Be The Next Superstar 2022, mendapatkan hadiah Rp 105 juta.

Terharu dan lega, keyakinan kami bisa membeli rumah semakin besar.

Tapi ternyata Agustus 2022 kami secara mendadak membeli sebuah mobil baru seharga Rp 165 dengan skema DP 50% dari cicilan.

Tabungan kami tersedot untuk membeli mobil dan mulai mengencangkan ikat pinggang kembali.

Kami memang ingin membeli mobil karena setelah kontrak dengan Djarum, kerjaan suami semakin banyak dan harus ke luar kota.

Waktu itu harus mengantar dia ke bandara, ke stasiun, sembari mengantar-jemput anak yang sudah masuk TK.

Kami menabung kembali, mengumpulkan uang untuk membeli rumah.

Juli 2023, warung yang kami sewa harus diperpanjang. Celengan kami bobol kembali Rp 25 juta.

Agustus 2023, ketika kami menyampaikan niatan memperpanjang sewa rumah yang sebelumnya sudah kami perpanjang 6 bulan.

Pemilik rumah ternyata menolak dan mengatakan ia sedang butuh dana.

Bila kami tidak ada segera membeli, ia akan menjual rumah pada pihak lain.

Pusing deh karena uang tabungan kami mulai merosot drastis.

Saat itu kami dilanda kegalauan, karena kembali harus angkat kaki dari rumah ini.

Jujurly ya, yang bikin pegel kalo harus pindah-pindah rumah itu ya harus membongkar barang-barang, mengangkut, dan menata ulang.

Itu beneran capek hati, capek pikiran, capek tenaga ya.

Capeknya bisa sebulan sendiri nggak habis-habis lho!



Udah merasakan pindah dari kos ke kontrakan A, dari kontrakan A ke kontrakan B, dari kontrakan B ke kontrakan C, dan sekarang kontrakan C memberi pilihan dibeli atau angkat kaki.

Kebetulan KUR kedua kami akan lunas Agustus 2023 ini, dan kami pikir kalo harus angkat kaki, jangan sewa di perumahan, langsung sewa ruko aja untuk kami bisa hidup dan punya usaha.
Soalnya sewa warung yang sekarang sangat tidak worth it untuk kami.

Harus membayar sewa rumah, sewa warung juga.

Kami pikir akan mengajukan pinjaman ke BRI lagi untuk membiayai sewa ruko sekitar Rp 150 juta dengan tenor 5 tahun dengan jaminan sertipikat tanah orang tua di Batang, Jawa Tengah.

Kami pun berkomunikasi dengan Mas Riyan, Mantri BRI, dan dia langsung respon hari itu juga.

Nggak pake fafifu wasweswos, kami konsultasikan permasalahan kami dan ingin mencari bantuan untuk ini.

Walapun ya nggak sampe curhat kalo diusir sama pemilik rumah ya, kan malu.

Singkat cerita obrolan suami dan Mas Riyan mengalir, dan dia bilang, “Kalo lokasi agunan di Kabupaten Batang, pengajuan di Kabupaten Batang, meskipun usahanya di Semarang. Tapi juga kalo nanti akan agak susah sih ya.”

Kami mantuk-mantuk mahfum aja kalo emang gagal, memang rada tricky juga ini masalah pinjam-meminjam duit gede.

Kemudian kami disarankan sama Mas Riyan untuk menggunakan rumah ini sebagai agunan.

Kami senyum malu-malu dan salah tingkah karena ini bukan rumah kami, nggak mungkin donk kami jaminkan.

“Kalo gitu dibeli aja rumahnya, nanti BRI akan bantu pembiayaan maksimal 65% dari harga aset,” kata Mas Riyan.

Deng! Rasanya kaget, bingung, terharu, tapi juga lega.

Soalnya kepala kami berdua rasanya kayak mau pecah membayangkan soal rumah.

Tapi di sisi lain, kami baru tahu kalau KUR BRI bisa digunakan untuk membeli aset.

Setahu kami cuma untuk menambah modal usaha.

Memang kalo jadi usaha perlu banyak belajar deh kayaknya.

Kami juga baru tahu ternyata kerjaan Bihun bisa dijadikan rekomendasi hutang di bank ya.

Dulu kami pikir kerjaan seniman yaudah aja gitu, gambar dan berkarya.

Nggak ada orang-orang di lingkungan kami yang bercerita kalau mereka bisa mengajukan KUR atau KPR dari pekerjaan mereka.

Soal wawasan keuangan dan perbankan seperti orang yang tersesat, tapi kini kami tersesat di jalan yang tepat.

Kami bisa berkenalan dengan dengan bank yang memang terkenal dekat dengan rakyat.

Bank BRI untuk Indonesia menuju lebih hebat, karena kerjaan suami yang kayak orang punya pesugihan ini diminati untuk dibiayai.

Padahal selama berbincang, dari Mas Riyan nggak nanya berapa nominal setiap proyek yang kami lakoni.

Kami hanya menunjukkan kerja sama dengan Djarum, Marimas, Accenture, Livin’ by Mandiri, hingga Dippolar yang dua tahun terakhir kami jalani.

Setelah berbincang selama sekitar 20 menit, kami berdiskusi, melihat saldo tabungan kami, dan bernegosiasi dengan pemilik rumah.

Rumah seharga Rp 400 juta ini kalau dibagi 35% menjadi tanggungan kami, sekitar Rp 140 juta, kemudian Rp 260 juta akan dibayarkan BRI.

Kami mengintip tabel cicilan BRI untuk hutang Rp 250 juta tenor 5 tahun, hampir Rp 5 juta. Mungkin Rp 260 juta sekitar Rp 5 juta lebih.

Kami berpikir, bisa nggak membayar cicilan rumah dan mobil dengan pekerjaan dan pendapatan kami?
Akhirnya kami diskusi dengan orang tua karena setelah berhitung, membeli rumah nggak hanya butuh uang muka, ada biaya notaris, pajak, dan biaya lain-lain yang totalnya bisa buat beli 2 motor metik 150 cc.

Orang tua meminjamkan Rp 20 juta, kami sudah membobol seluruh tabungan yang kami punya.

Ternyata mengurus rumah lumayan juga effortnya, nggak cuma harus menyiapkan uang, menyiapkan kepala dan hati untuk tetap tenang.

Ini belum ditambah drama pemilik rumah berganti-ganti kebijakan dan banyak permintaan ya.

Sementara kami sendiri waktu itu masih mengurus pekerjaan masing-masing dan urus anak sekolah.

Rasanya pengen nangis dan cakar-cakar tembok deh.

Aku diminta menyetorkan uang muka Rp 140 juta ke rekening suami sebagai debitur.

Dalam sehari, kami bisa bertransaksi ratusan juta dengan ponsel kami.

Uang tersebut pun masuk tanpa kendala atau keterlambatan.

Nggak perlu harus ambil uang, antre di bank, isi berkas, dihitung.

Semua bisa dilakukan melalui ponsel.

Digitalisasi BRI emang mempermudah, bahkan yang sudah berumur seperti orang tua kami, bisa kirim uang sambil tiduran di rumah.

Selain itu, kami juga tak lagi repot kirim-kirim data untuk pembelian rumah secara fisik.
Data fisik tetap diperlukan untuk diverifikasi, tapi data kami pun bisa dikirimkan melalui foto, nanti akan diunduh dan dicetak oleh BRI.

Jadi prosesnya nggak pake lama, satset, dan hemat waktu dan hemat biaya.

Akhirnya, waktu yang kami nantikan tiba, Jumat, 15 September 2023.

Di hadapan notaris Sugeng Budiman, S.H., Sp.N., M.H., kami bisa mewujudkan cita-cita memiliki hunian.



Senang dan terharu, meskipun saat itu saldo tabungan sudah habis bersih tak bersisa.

Berproses bersama BRI 3 tahun terakhir, membuat kami menyadari kadang sebagai manusia memang memerlukan pihak lain.

Nggak bisa jumawa apa-apa sendiri, dipikirkan sendiri, pusing sendiri.

Kadang nggak ada salahnya cerita dan curhat dengan orang yang tepat dan bisa memberi solusi.

Kabar bahagia bahwa seniman bisa mengajukan pinjaman ke pihak bank harus kami sampaikan pada rekan-rekan seprofesi.

Mereka bisa menaikkan taraf hidup lebih baik dengan modal keterampilan dan manajemen usaha yang baik.

Panjang umur perjuangan!

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...