Ialah wanitaku yang selalu menjemputku dengan
senyuman ketika aku menginjakkan kaki di kediamannya. Ia selalu menyiapkan
masakan yang sebelumnya telah ia tanyakan masakan jenis apa yang sedang
kuinginkan. Aku selalu menjawab, sediakan saja sambal terasi, pete, dan kerupuk.
Kadang ia menambahkan sayur lodeh atau sayur asam dan tempe, tahu, dan ikan
asin sebagai kawan menu favoritku. Menu ini tak pernah usang, sekalipun hari
menjelang berganti, tetap terasa nikmat.
Sebelum aku mengatakan bahwa aku akan datang,
ia sudah memasak sepanci besar air panas untukku mandi. Ia juga sudah
menyiapkan handuk dan pakaian dalamku di kamar mandi. Bersih dan wangi. Ia
selalu menawarkan untuk menggosok punggungku saat mandi dan memberi pijaan saat
aku mengeluh letih dan penat.
Menjelang tidur, ia menawarkan kecupan dan
keluguan yang ia persembahkan untukku. Sepadat apapun aktivitasku ketika siang
hari, ia selalu berhasil membuatku berjuang hingga fajar menjelang. Ia
memberikan tanda lunas pada rasa capek dan kantukku yang luar biasa.
Setelah berpeluh dan melenguh, kami terbaring
bersama di ranjang. Ia suka menempelkan kepalanya di dadaku, memainkan
jemarinya di perutku sambil bercerita mengenai kesehariannya. Ia juga
mendeskripsikan dengan gamblang pemikirannya, pendapatnya, dan berbagai hal
yang ia ketahui ataupun yang ingin ia ketahui. Aku menyimak dan sesekali
merespon ketika ia bertanya padaku walaupun pada beberapa kesempatan aku
tertidur.
Sempat aku khawatir ia akan marah namun ia
berbisik, “Aku adalah sutradara, penulis skenario, aktris, sekaligus pemeran
utama. Kau adalah aktor dan tokoh protagonis pada cerita ini. Kita akan
berakting untuk cerita 1001 malam. Selama 1001 malam, aku akan terus bercerita
untukmu. Ini malam kita yang ke-47, masih ada 954 malam lagi. Hingga waktu itu
tiba, aku akan terus membuaimu dengan tragedi dan komedi. Akan kuceritakan
tentang skandal para penghuni kahyangan, kesalahan dewa-dewi, dosa orang-orang
beriman, hingga rahasia para utusan Tuhan. Kita nikmati saja dulu perjalanan
1001 malam kita, sambil kusiapkan akhir cerita yang cocok untuk kita.”
Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung Juli 2017 dan jadi modal nikah. |
Saat matahari sudah seperempat muncul, ia sudah
menyiapkan sarapan. Segelas teh hangat, segelas air putih, dan sepiring pisang
goreng. Ia menggodaku dengan memamerkan aroma tubuhnya yang berbalut kenanga
dan memintaku untuk memberi kecupan di tengkuknya. Kali ini aku menolak. Aku
mengatakan harus segera berangkat menuju sekolah anakku untuk mengambil rapor.