Friday 9 October 2015

W A N I T A 1 0 0 1 M A L A M

Ialah wanitaku yang selalu menjemputku dengan senyuman ketika aku menginjakkan kaki di kediamannya. Ia selalu menyiapkan masakan yang sebelumnya telah ia tanyakan masakan jenis apa yang sedang kuinginkan. Aku selalu menjawab, sediakan saja sambal terasi, pete, dan kerupuk. Kadang ia menambahkan sayur lodeh atau sayur asam dan tempe, tahu, dan ikan asin sebagai kawan menu favoritku. Menu ini tak pernah usang, sekalipun hari menjelang berganti, tetap terasa nikmat.
Sebelum aku mengatakan bahwa aku akan datang, ia sudah memasak sepanci besar air panas untukku mandi. Ia juga sudah menyiapkan handuk dan pakaian dalamku di kamar mandi. Bersih dan wangi. Ia selalu menawarkan untuk menggosok punggungku saat mandi dan memberi pijaan saat aku mengeluh letih dan penat.
Menjelang tidur, ia menawarkan kecupan dan keluguan yang ia persembahkan untukku. Sepadat apapun aktivitasku ketika siang hari, ia selalu berhasil membuatku berjuang hingga fajar menjelang. Ia memberikan tanda lunas pada rasa capek dan kantukku yang luar biasa.
Setelah berpeluh dan melenguh, kami terbaring bersama di ranjang. Ia suka menempelkan kepalanya di dadaku, memainkan jemarinya di perutku sambil bercerita mengenai kesehariannya. Ia juga mendeskripsikan dengan gamblang pemikirannya, pendapatnya, dan berbagai hal yang ia ketahui ataupun yang ingin ia ketahui. Aku menyimak dan sesekali merespon ketika ia bertanya padaku walaupun pada beberapa kesempatan aku tertidur.
Sempat aku khawatir ia akan marah namun ia berbisik, “Aku adalah sutradara, penulis skenario, aktris, sekaligus pemeran utama. Kau adalah aktor dan tokoh protagonis pada cerita ini. Kita akan berakting untuk cerita 1001 malam. Selama 1001 malam, aku akan terus bercerita untukmu. Ini malam kita yang ke-47, masih ada 954 malam lagi. Hingga waktu itu tiba, aku akan terus membuaimu dengan tragedi dan komedi. Akan kuceritakan tentang skandal para penghuni kahyangan, kesalahan dewa-dewi, dosa orang-orang beriman, hingga rahasia para utusan Tuhan. Kita nikmati saja dulu perjalanan 1001 malam kita, sambil kusiapkan akhir cerita yang cocok untuk kita.”

Mural Arief Hadinata di Lot 28 Cafe, Jalan Singosari Nomor 28 Kota Semarang yang rampung Juli 2017 dan jadi modal nikah.


Saat matahari sudah seperempat muncul, ia sudah menyiapkan sarapan. Segelas teh hangat, segelas air putih, dan sepiring pisang goreng. Ia menggodaku dengan memamerkan aroma tubuhnya yang berbalut kenanga dan memintaku untuk memberi kecupan di tengkuknya. Kali ini aku menolak. Aku mengatakan harus segera berangkat menuju sekolah anakku untuk mengambil rapor.

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...