Tuesday 16 September 2014

P E S T A M A L A M I N I

Mural Arief Hadinata di kosnya.


Ada banyak mobil di depan rumah. Ada banyak orang di ruang tamu dan taman. Ada banyak makanan di dapur. Lampu warna-warni sepanjang mata memandang. Dan aku sendirian di balkon, memandang orang-orang yang hilir-mudik, ketawa-ketiwi, cekakak-cekikik sambil melirik orang di sebelahnya atau di seberang. Pakaian mereka bermacam-macam. Mulai dari yang glamor nan elegan, hingga yang berwarna-warni, heboh, norak, make-up tebal, dan yang culun dan resmi—batik lengkap dengan peci.
Mama dan Papa benar-benar mempersiapkan semua ini dengan sempurna. Menurut mereka, ini tahap pertama. Nanti akan ada yang diadakan di rumah Eyang dan Kakek. Mereka akan membuatnya sama seperti keduanya mengawali. Tapi aku mati-matian menentang. Lebih baik uang yang mereka miliki ditabung agar dua tahun lagi aku bisa menikmati kuliah di Prancis. Daripada terbuang sia-sia sebagai minuman dan makanan yang hanya menjadi pipis dan tai?
“Sayang, kamu dimana?” Mama berteriak-teriak.
“Di sini.” Masih kunikmati sebatang rokok yang belum habis.
“Aduh, Sayang, turun dong? Udah ditunggu loh? Cepat sikat gigi. Ada Pakde Lis, nanti komentar macem-macem kalo kamu bau rokok lagi.” Mama mendorongku menuju kamar mandi, memintaku sikat gigi dan menggunakan Listerine.
Dengan enggan aku menuruti permintaan Mama. Kalau aku tak mengingat bagaimana kesabaran dan pengabdian beliau untuk membesarkanku, sudah kuobrak-abrik sanggul sialan ini. Aku terus menguap menahan pegal leherku.
“Mam, tolong, ini terakhir kali ya? Aku nggak mau ada pesta lagi.”
Mama tersenyum. Di depan meja rias kamarku, Mama memperbaiki dandananku yang luntur.
“Ya.”
“Serius dong, Ma?” aku merajuk.
“Iya, Sayang,” Mama mengecup keningku dan membimbingku menuju ruang tengah. Saat menuruni tangga, aku segera teringat dongeng-dongeng Walt Disney tentang putri atau ratu. Ya, semua orang memandangku yang kali ini terlihat lucu dengan kebaya, sanggul, dan riasan di wajah. Aaaaaargh! Tolong jangan ada kamera lalu mengunggahnya di dunia maya. Bisa mati aku!
“Jingga sayang,” semua orang menyalami dan memelukku. Rasanya aneh. Aku yang biasanya tersisih dan terabaikan, kali ini mendapat perhatian semua mata di ruangan ini.
Papa dan Mama memelukku dan mengapitku. Aku hanya bisa menghela nafas dengan kekonyolan ini. Memandang mereka yang menatapku dengan ekspresi berbeda. Antara malu dan ragu, tetapi sudah sejak beberapa bulan yang lalu Mama meyakinkanku bahwa aku harus mendongak dan berjalan tegak. Aku harus mantap untuk menjalani hidup, itulah petuah tambahan dari Papa.
“Terima kasih untuk tamu yang berkenan hadir malam  ini. Saya, Hendra Wibisono, Mantan istri saya, Vera Azahara, dan putri tunggal kami tersayang,”—sumpah, kayaknya nggak perlu senyum itu. Sinetron banget! Jijik banget liat kumis Papa yang tebel kayak Pak Raden, melengkung sok imut, ditambah lesung pipinya.—“Jingga Indriazvari. Kami di sini mengumumkan secara resmi perceraian kami. Dan inilah sebuah pesta. Bukan pesta perceraian atau perpisahan, tetapi malam ini adalah pesta sebagai langkah awal di mana kami akan menempuh kehidupan yang baru dan membuka lembar baru. Dulu kami mengawali ini dengan pesta dan kami akhiri pula dengan sebuah perhelatan yang bahagia, karena kami menginginkan, tak ada yang terluka atau merasa tersakiti.
Mama tersenyum, “Semoga dengan diadakannya pesta ini, dapat memberi pencerahan dan pengertian, bahwa perceraian bukan akhir dari segalanya. Selain itu, baik saya maupun Mas Hendra, tetap sebagai orang tua yang akan selalu mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada Jingga. Tak akan ada yang berubah, sekalipun kami sudah tidak tinggal di atap yang sama.
“Bila semua orang selalu bertanya-tanya, apa yang membuat kami memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Itu karena kebersamaan kami justru membuat jurang pemisah antara kami dan Jingga. Jingga semakin dewasa, ia semakin rentan dengan kehidupan di luar dan semakin membutuhkan banyak perhatian dan pengertian. Kami pun harus memilih, mana yang harus tetap tinggal. Tentu Jingga di atas segalanya, karena dialah alasan kami bertahan. Yang menjadi pertaruhan kami tentu karir dan kelangsungan hubungan kami, sebagai suami-istri—ini berbeda dan tak ada hubungannya dengan peran kami dalam keluarga, sebagai ayah dan bunda.
“Karir dan pekerjaan merupakan sandaran hidup kami—jauh sebelum kami saling mengenal. Dengan berbagai pertimbangan, kami putuskan untuk berpisah agar kami bisa fokus pada target dan pencapaian kami. Kami mengorbankan relasi kami, demi kebaikan buah hati kami. Kami ingin yang terbaik untuknya. Memberikan semua yang bisa kami curahkan. Mewujudkan cita-citanya untuk menuntut ilmu di negeri jauh. Karena muara dari usaha kami tentulah kebahagiaan Jingga. Semoga rekan-rekan dan handai-taulan dapat menerima keputusan dan alasan kami.”
Mama, Papa, dan aku tersenyum. Mati-matian aku menahan bayangan air mata di pelupuk. Sebuah alasan perpisahan yang tak klasik. Beberapa tamu terlihat bermata sembab, khususnya yang wanita. Mereka berusaha menjaga mascara dan eyeliner tetap on, di samping bersandiwara bahwa mereka sangat simpatik dan memiliki hati yang peka.
 Kucium pipi Mama dan Papa. Aku tahu, mereka sangat menyayangiku. Kuangkat segelas Heineken dan bergabung dengan mereka yang mulai menikmati pesta.

Tengah pagi buta saat perut mulas luar biasa
22 Maret 2012
1:32:34 wib

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...