Mural Arief Hadinata di kosnya. |
Ada
banyak mobil di depan rumah. Ada banyak orang di ruang tamu dan taman. Ada
banyak makanan di dapur. Lampu warna-warni sepanjang mata memandang. Dan aku
sendirian di balkon, memandang orang-orang yang hilir-mudik, ketawa-ketiwi,
cekakak-cekikik sambil melirik orang di sebelahnya atau di seberang. Pakaian
mereka bermacam-macam. Mulai dari yang glamor nan elegan, hingga yang
berwarna-warni, heboh, norak, make-up
tebal, dan yang culun dan resmi—batik lengkap dengan peci.
Mama dan
Papa benar-benar mempersiapkan semua ini dengan sempurna. Menurut mereka, ini
tahap pertama. Nanti akan ada yang diadakan di rumah Eyang dan Kakek. Mereka
akan membuatnya sama seperti keduanya mengawali. Tapi aku mati-matian
menentang. Lebih baik uang yang mereka miliki ditabung agar dua tahun lagi aku
bisa menikmati kuliah di Prancis. Daripada terbuang sia-sia sebagai minuman dan
makanan yang hanya menjadi pipis dan tai?
“Sayang,
kamu dimana?” Mama berteriak-teriak.
“Di
sini.” Masih kunikmati sebatang rokok yang belum habis.
“Aduh,
Sayang, turun dong? Udah ditunggu loh? Cepat sikat gigi. Ada Pakde Lis, nanti
komentar macem-macem kalo kamu bau rokok lagi.” Mama mendorongku menuju kamar
mandi, memintaku sikat gigi dan menggunakan Listerine.
Dengan
enggan aku menuruti permintaan Mama. Kalau aku tak mengingat bagaimana
kesabaran dan pengabdian beliau untuk membesarkanku, sudah kuobrak-abrik
sanggul sialan ini. Aku terus menguap menahan pegal leherku.
“Mam,
tolong, ini terakhir kali ya? Aku nggak mau ada pesta lagi.”
Mama
tersenyum. Di depan meja rias kamarku, Mama memperbaiki dandananku
yang luntur.
“Ya.”
“Serius
dong, Ma?” aku merajuk.
“Iya,
Sayang,” Mama mengecup keningku dan membimbingku menuju ruang tengah. Saat
menuruni tangga, aku segera teringat dongeng-dongeng Walt Disney tentang putri atau ratu. Ya, semua orang memandangku
yang kali ini terlihat lucu dengan kebaya, sanggul, dan riasan di wajah.
Aaaaaargh! Tolong jangan ada kamera lalu mengunggahnya di dunia maya. Bisa mati
aku!
“Jingga
sayang,” semua orang menyalami dan memelukku. Rasanya aneh. Aku yang biasanya
tersisih dan terabaikan, kali ini mendapat perhatian semua mata di ruangan ini.
Papa dan
Mama memelukku dan mengapitku. Aku hanya bisa menghela nafas dengan kekonyolan
ini. Memandang mereka yang menatapku dengan ekspresi berbeda. Antara malu dan
ragu, tetapi sudah sejak beberapa bulan yang lalu Mama meyakinkanku bahwa aku
harus mendongak dan berjalan tegak. Aku harus mantap untuk menjalani hidup,
itulah petuah tambahan dari Papa.
“Terima
kasih untuk tamu yang berkenan hadir malam
ini. Saya, Hendra Wibisono, Mantan istri saya, Vera Azahara, dan putri
tunggal kami tersayang,”—sumpah, kayaknya nggak perlu senyum itu. Sinetron
banget! Jijik banget liat kumis Papa yang tebel kayak Pak Raden, melengkung sok
imut, ditambah lesung pipinya.—“Jingga Indriazvari. Kami di sini mengumumkan
secara resmi perceraian kami. Dan inilah sebuah pesta. Bukan pesta perceraian
atau perpisahan, tetapi malam ini adalah pesta sebagai langkah awal di mana
kami akan menempuh kehidupan yang baru dan membuka lembar baru. Dulu kami mengawali ini dengan pesta dan kami akhiri pula dengan sebuah
perhelatan yang bahagia, karena kami menginginkan, tak ada yang terluka atau
merasa tersakiti.”
Mama
tersenyum, “Semoga dengan diadakannya pesta ini,
dapat memberi pencerahan dan pengertian, bahwa perceraian bukan akhir dari
segalanya. Selain itu, baik saya maupun Mas Hendra, tetap sebagai orang tua
yang akan selalu mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada Jingga. Tak akan
ada yang berubah, sekalipun kami sudah tidak tinggal di atap yang sama.
“Bila
semua orang selalu bertanya-tanya, apa yang membuat kami memutuskan untuk
mengakhiri pernikahan. Itu karena kebersamaan kami justru membuat jurang
pemisah antara kami dan Jingga. Jingga semakin dewasa, ia semakin rentan dengan
kehidupan di luar dan semakin membutuhkan banyak
perhatian dan pengertian. Kami pun harus memilih, mana yang harus tetap
tinggal. Tentu Jingga di atas segalanya, karena dialah alasan kami bertahan. Yang
menjadi pertaruhan kami tentu karir dan kelangsungan hubungan kami, sebagai
suami-istri—ini berbeda dan tak ada hubungannya dengan peran kami dalam keluarga, sebagai
ayah dan bunda.
“Karir
dan pekerjaan merupakan sandaran hidup kami—jauh sebelum kami saling mengenal. Dengan
berbagai pertimbangan, kami putuskan untuk berpisah agar kami bisa fokus pada
target dan pencapaian kami. Kami mengorbankan relasi kami, demi kebaikan buah
hati kami. Kami ingin yang terbaik untuknya. Memberikan semua yang bisa kami
curahkan. Mewujudkan cita-citanya untuk menuntut ilmu di negeri jauh. Karena
muara dari usaha kami tentulah kebahagiaan Jingga. Semoga rekan-rekan dan handai-taulan
dapat menerima keputusan dan alasan kami.”
Mama,
Papa, dan aku tersenyum. Mati-matian aku menahan bayangan air mata di pelupuk. Sebuah alasan perpisahan yang tak klasik. Beberapa tamu
terlihat bermata sembab, khususnya yang wanita. Mereka berusaha menjaga mascara dan eyeliner tetap on, di
samping bersandiwara bahwa mereka sangat simpatik dan memiliki hati yang peka.
Kucium pipi Mama dan Papa. Aku tahu, mereka
sangat menyayangiku. Kuangkat segelas Heineken
dan bergabung dengan mereka yang mulai menikmati pesta.
Tengah pagi
buta saat perut mulas luar biasa
22 Maret
2012
1:32:34
wib
No comments:
Post a Comment