Tuesday 23 June 2015

TAKUT



Aku takut kecoa. Ketakutanku pada kecoa muncul dengan sendiri tanpa aku tahu kapan itu dimulai. Melihat makhluk bertulang belakang dari kerajaan Animalia, fillum Arthropoda, kelas Insecta, upakelas Pterygota, infrakelas Neoptera, superordo Dictyoptera, ordo Blattodea—adalah hal tersial dalam hidupku. Serangga yang tidak dapat mati kecuali dibakar, ketika dikejar hendak dibunuh lalu tiba-tiba terbang dan menyerang yang bersangkutan, dan seribu karakter lainnya yang menakutkan. Selain kecoa, ada satu hal yang paling kutakutkan dalam hidupku. Namamu. Ada perasaan horor, panik, dan gugup pada namamu. Menerorku dengan telepon, SMS, Blackberry Messager, Whatsapp, WeChat, KakaoTalk, Line, Path, bahkan Instagram. Ketika kubuka komputer lipat, namamu ada pada e-mail, Facebook, Twitter, bahkan Google+. Kerap kali kudapati Skype meraung-raung dengan mencetak namamu di layar.
Kamu bukan wanita pertama di hidupku. Kau bukan pula wanita terindah yang pernah disaksikan sepasang bola mataku. Kau bukan wanitaku, kekasihku, tunanganku, apalagi istriku. Tapi kau lah wanita yang dengan sangat lancang menggagahi hidupku. Dengan keperkasaanmu kau atur hidupku. Kau kendalikan waktu kerja dan waktu liburku. Kau kendalikan relasi sosialku, keuanganku, jadwal hidupku, bahkan kau kendalikan menu sarapan, makan siang, dan makan malamku.
Kau membelengguku dengan sikapmu dan arogansimu. Kau memutarku dengan sikap butuh-tak butuhmu, peduli-tak pedulimu. Kau masukkan aku ke dalam permainan layang-layang di mana kau bebas mengendalikanku dengan kekuasaanmu. Aku harus patuh dengan semua sikap dan caramu memperlakukanku.
Aku memang hanya layang-layang yang kau gunakan untuk mengikis benang pemain lain agar layang-layang mereka putus, kau gunakan aku untuk menghalau burung atau menarik burung lain mendekat, dan kau gunakan aku untuk menantang matahari. Yang belum pernah kau lakukan hanya mempraktikkan percobaan Farandy yang menggunakan layang-layang untuk mendapatkan listrik dari petir.
 
Manual painting karya Arief Hadinata
Aku selalu menghadapi sikap datang dan pergimu yang tak pernah pasti. Sekali waktu kau datang dengan wajah girang menceritakan siapa saja lelaki yang kau kenal dari petualanganmu dan bagaimana mereka berhasil memikatmu lalu kau menjerat mereka dengan permainan rodeo yang kau ceritakan dengan gamblang. Kerap kau menceritakan tentang lelaki yang membuatmu terluka hingga kau sering datang dengan wajah merah, berjalan sempoyongan, dan meracau tentang semua kesakitanmu sambil menangis sesenggukan. Aku hanya heran, kenapa kau tak lelah dengan siklus relasi berjumpa-berkenalan-bermesraan-sakit hati-dan mabuk? Selalu begitu. Aku pun heran kenapa aku tetap bersedia menampungmu yang tak pernah lupa menumpahkan muntah di setiap sudut rumahku. Padahal ketika kau sibuk dengan pria-pria itu, kau mengabaikanku. Tak pernah kau angkat teleponku apalagi membalas pesanku.
Aku mengenalmu dari sebuah warung kopi. Gayamu yang sederhana dan angkuh membuatku penasaran. Bagiku setiap pukul 20.15 merupakan momen terindah ketika kau datang dengan rambut panjang bergelombang yang kau biarkan tergerai berantakan. Aku tak berani menyapamu apalagi bernyali untuk berkenalan denganmu. Kerap kali kau tangkap aku tengah memperhatikanmu yang tengah berbincang dengan kawan-kawanmu. Hingga akhirnya kau menyapaku, mengajakku berbincang, meminta kontakku, dan kedekatan kita berlanjut hingga kau menumpahkan segala ceritamu dan kesedihanmu. Kau jadikanku sebagai tempat sampah di mana kau membuang segala kepenatan dan himpitan hidupmu yang berat. Hidupmu yang bebas dan merdeka membuatku iri. Kau bisa berada di tiga kota dari tiga provinsi yang berbeda tak lebih dari 24 jam. Memamerkan foto-fotomu yang tengah berada di landmark kota-kota besar di dalam dan luar negeri. Menceritakan kisah-kisah konyolmu berkejaran dengan kereta, bus, angkutan, pesawat, bahkan ketika kau dengan iseng menghentikan Alphard hanya dengan modal jempol teracung. Aku yang hidup dalam  kedisiplinan didikan militer, merasa ingin memiliki hidup dengan sejuta pengalaman dan cerita sepertimu. Sayangnya, Tuhan hanya menakdirkanku sebagai pendengar yang baik dan menjadi sahabatmu selama lebih dari lima tahun. Tak pernah aku bisa menjelaskan kau sebagai apa dan siapa dalam hidupku ini. Namun aku tahu kau selalu memperkenalkanku sebagai kakak di depan kawan-kawanmu.
Kini kau tepat di depan pintu kamarku, menghardikku yang sedang tak ingin mengindahkanmu. Kau merangsek masuk dan memukuliku. Duduk, menangis, dan menarik tisu menghapus air matamu. Kutunggu isakanmu mereda.
“Aku hamil. Tapi aku tak tahu siapa bapaknya.”
Semarang, 11 Juni 2014
Mendulang kenangan yang usang

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...