Aku takut kecoa. Ketakutanku pada kecoa muncul
dengan sendiri tanpa aku tahu kapan itu dimulai. Melihat makhluk bertulang
belakang dari kerajaan Animalia,
fillum Arthropoda, kelas Insecta, upakelas Pterygota, infrakelas Neoptera,
superordo Dictyoptera, ordo Blattodea—adalah hal tersial dalam
hidupku. Serangga yang tidak dapat mati kecuali dibakar, ketika dikejar hendak
dibunuh lalu tiba-tiba terbang dan menyerang yang bersangkutan, dan seribu
karakter lainnya yang menakutkan. Selain kecoa, ada satu hal yang paling
kutakutkan dalam hidupku. Namamu. Ada perasaan horor, panik, dan gugup pada
namamu. Menerorku dengan telepon, SMS, Blackberry
Messager, Whatsapp, WeChat, KakaoTalk, Line, Path, bahkan Instagram. Ketika kubuka komputer lipat, namamu ada pada e-mail, Facebook, Twitter, bahkan
Google+. Kerap kali kudapati Skype meraung-raung dengan mencetak
namamu di layar.
Kamu bukan wanita pertama di hidupku. Kau bukan
pula wanita terindah yang pernah disaksikan sepasang bola mataku. Kau bukan
wanitaku, kekasihku, tunanganku, apalagi istriku. Tapi kau lah wanita yang
dengan sangat lancang menggagahi hidupku. Dengan keperkasaanmu kau atur
hidupku. Kau kendalikan waktu kerja dan waktu liburku. Kau kendalikan relasi
sosialku, keuanganku, jadwal hidupku, bahkan kau kendalikan menu sarapan, makan
siang, dan makan malamku.
Kau membelengguku dengan sikapmu dan
arogansimu. Kau memutarku dengan sikap butuh-tak butuhmu, peduli-tak pedulimu.
Kau masukkan aku ke dalam permainan layang-layang di mana kau bebas
mengendalikanku dengan kekuasaanmu. Aku harus patuh dengan semua sikap dan
caramu memperlakukanku.
Aku memang hanya layang-layang yang kau gunakan
untuk mengikis benang pemain lain agar layang-layang mereka putus, kau gunakan
aku untuk menghalau burung atau menarik burung lain mendekat, dan kau gunakan
aku untuk menantang matahari. Yang belum pernah kau lakukan hanya mempraktikkan
percobaan Farandy yang menggunakan layang-layang untuk mendapatkan listrik dari
petir.
Manual painting karya Arief Hadinata |
Aku selalu menghadapi sikap datang dan pergimu
yang tak pernah pasti. Sekali waktu kau datang dengan wajah girang menceritakan
siapa saja lelaki yang kau kenal dari petualanganmu dan bagaimana mereka
berhasil memikatmu lalu kau menjerat mereka dengan permainan rodeo yang kau
ceritakan dengan gamblang. Kerap kau menceritakan tentang lelaki yang membuatmu
terluka hingga kau sering datang dengan wajah merah, berjalan sempoyongan, dan
meracau tentang semua kesakitanmu sambil menangis sesenggukan. Aku hanya heran,
kenapa kau tak lelah dengan siklus relasi berjumpa-berkenalan-bermesraan-sakit
hati-dan mabuk? Selalu begitu. Aku pun heran kenapa aku tetap bersedia
menampungmu yang tak pernah lupa menumpahkan muntah di setiap sudut rumahku.
Padahal ketika kau sibuk dengan pria-pria itu, kau mengabaikanku. Tak pernah
kau angkat teleponku apalagi membalas pesanku.
Aku mengenalmu dari sebuah warung kopi. Gayamu
yang sederhana dan angkuh membuatku penasaran. Bagiku setiap pukul 20.15
merupakan momen terindah ketika kau datang dengan rambut panjang bergelombang
yang kau biarkan tergerai berantakan. Aku tak berani menyapamu apalagi bernyali
untuk berkenalan denganmu. Kerap kali kau tangkap aku tengah memperhatikanmu
yang tengah berbincang dengan kawan-kawanmu. Hingga akhirnya kau menyapaku,
mengajakku berbincang, meminta kontakku, dan kedekatan kita berlanjut hingga kau
menumpahkan segala ceritamu dan kesedihanmu. Kau jadikanku sebagai tempat
sampah di mana kau membuang segala kepenatan dan himpitan hidupmu yang berat.
Hidupmu yang bebas dan merdeka membuatku iri. Kau bisa berada di tiga kota dari
tiga provinsi yang berbeda tak lebih dari 24 jam. Memamerkan foto-fotomu yang
tengah berada di landmark kota-kota
besar di dalam dan luar negeri. Menceritakan kisah-kisah konyolmu berkejaran
dengan kereta, bus, angkutan, pesawat, bahkan ketika kau dengan iseng
menghentikan Alphard hanya dengan
modal jempol teracung. Aku yang hidup dalam kedisiplinan didikan militer, merasa ingin
memiliki hidup dengan sejuta pengalaman dan cerita sepertimu. Sayangnya, Tuhan
hanya menakdirkanku sebagai pendengar yang baik dan menjadi sahabatmu selama
lebih dari lima tahun. Tak pernah aku bisa menjelaskan kau sebagai apa dan
siapa dalam hidupku ini. Namun aku tahu kau selalu memperkenalkanku sebagai
kakak di depan kawan-kawanmu.
Kini kau tepat di depan pintu kamarku,
menghardikku yang sedang tak ingin mengindahkanmu. Kau merangsek masuk dan memukuliku.
Duduk, menangis, dan menarik tisu menghapus air matamu. Kutunggu isakanmu
mereda.
“Aku hamil. Tapi aku tak tahu siapa bapaknya.”
Semarang, 11 Juni 2014
Mendulang kenangan yang
usang
No comments:
Post a Comment