Monday 22 June 2015

Sedang Bercerita part IV

Manual painting karya Arief Hadinata


Pertengahan 2008. Akhirnya, saya menjadi mahasiswa dan tinggal di rumah kos. Hal yang sangat saya inginkan. Lepas dari rumah dan orang tua. Selama 17 tahun saya tinggal dengan orang tua dan kali ini saya memiliki kebebasan penuh untuk mengelola kehidupan saya. Saya mengawali fase sebagai mahasiswa ditemani oleh Mas A yang juga kuliah di Fakultas Ilmu Keolahragaan. Saya masih tidak bisa lepas darinya. Saya membutuhkannya secara psikis sebagai teman dekat saya di rantau dan saya membutuhkannya karena saya tidak memiliki alat transportasi. Mama dan Papa melarang saya berpacaran sampai saya lulus dan bekerja.
Papa memindahkan barang-barangnya dan meninggalkan rumah untuk tinggal di garasi rumah Mbah Uti. Papa marah pada saya karena menganggap saya menyetujui perceraian Mama dan Papa. Saya tidak menyetujui. Saya hanya merasa lelah menghadapi orang tua yang sama sekali tidak peduli dengan anaknya dan terus-menerus mencekoki anaknya dengan pertengkaran. Saya ingin merasa damai. Menurut saya, bila hidup sebagai suami-istri tidak mendapatkan kenyamanan, ada baiknya mereka belajar menjadi sahabat untuk bersama-sama memikirkan masa depan anak-anak mereka.
Frida kembali sakit. Penyakit lamanya infeksi saluran kencing kembali kambuh. Hubungan Mama dan Papa masih belum membaik sekalipun mereka melihat anak bungsu mereka tidak berdaya dalam pelukan. Frida akhirnya dioperasi di Rumah Sakit Sultan Agung. Operasi berjalan lancar. Frida sudah kembali seperti sedia kala dan setiap bulan harus check up ke Semarang.
Setelah Frida dibawa pulang ke Pemalang, kehidupan kembali seperti semula. Papa masih tinggal di rumah Mbah Uti dan adik-adik saya setiap hari mendapat jatah makan lauk yang Papa beli di warung sehari dua kali. Itu juga kalau Papa ingat. Mama marah-marah karena Papa tidak bersedia menanggung biaya listrik dan biaya lain-lain seperti deterjen dan kebutuhan jajan untuk adik-adik saya. Hanya membelikan lauk untuk makan adik-adik saya dirasa sudah cukup. Dengan sikap Papa semacam itu, semakin tinggi hasrat Mama untuk bercerai dari Papa. Mama merasa tidak sanggup untuk menghadapi arogansi Papa yang semakin menggila. Mama sudah ingin lepas dari ikatan pernikahan dengan Papa.
Papa sudah mulai mendapat panggilan dari kepolisian untuk menjadi saksi. Papa tidak pernah mengakui perbuatannya. Papa selalu mengatakan bahwa apa yang menimpa Mama merupakan kesalahannya sendiri akibat marah dan memukul-mukul wajahnya sendiri hingga berdarah supaya disangka Papa melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Papa dianggap tidak kooperatif dalam memberikan keterangan sehingga pada tanggal 1 Juni 2009 Papa ditahan. Bakhtiar menjadi salah satu saksi dalam persidangan karena ia melihat setelah Mama dipukul dan keluar dari kamar dan pergi dari rumah untuk meminta bantuan tetangga. Bakhtiar melihat tetesan darah di kursi dan kamarnya yang menjadi tempat kejadian perkara.
Pertengahan 2009 saya mengakhiri hubungan dengan Mas A karena saya merasa sudah tidak ada lagi masa depan dalam hubungan kami. Keluarganya yang tidak menyetujui keberadaan saya membuat saya hanya membuang waktu untuk terus bersamanya. Keluarga saya pun tidak menyetujui bila saya terus berhubungan dengan Mas A. Kedua orang tua saya lebih mengkhawatirkan pergaulan remaja di perkotaan apalagi dengan keadaan saya sebagai anak perempuan. Saya pun sudah memiliki kesibukan baru sebagai aktivis kampus. Saya memiliki teman-teman baru yang menyenangkan. Saya memiliki dunia yang selama ini hilang. Selama menjalin hubungan dengan Mas A, kehidupan sosial saya benar-benar ditekan. Ia memilih siapa yang boleh berteman dengan saya. Saya dilarang menyimpan kontak laki-laki walaupun itu teman kuliah. Ia tak pernah berhenti mengecek pesan masuk dan kontak saya. Saya merasa dipenjara oleh sikap overprotectivenya.
Bukan berarti saya memutuskan hubungan dengan Mas A karena saya merasa memiliki hal yang lebih baik dan lebih menyenangkan darinya. Saya memutuskan hubungan dengan Mas A karena sikap dan pemikirannya bertentangan dengan sikap dan pemikiran saya. Saya lelah bila harus memberi penjelasan dan meminta dukungannya bila yang ia hadirkan hanya perasaan memiliki sepenuhnya dan memiliki kendali penuh atas diri saya. Saya ingin menikmati masa muda saya dengan berbagai pengalaman yang tak pernah saya dapat. Pemikiran saya yang ingin bebas dan berkembang akan berbeda dengan pemikirannya. Bahkan saya merasa ia menjadi seperti Papa yang sangat konservatif.
Kehidupan di keluarga tidak lebih baik karena kami justru kebingungan dengan biaya operasional bulanan yang harus ditanggung. Ketiga adik saya masih bersekolah dan kami tentu membutuhkan makan dan lain-lain. Papa masih memperoleh gaji. Gaji Papa baru akan berhenti setelah Papa memperoleh keputusan hukum yang berkekuatan tetap atau setelah Papa memperoleh keputusan kasasi, baru hak Papa sebagai Pegawai Negeri Sipil akan dicabut dan Papa tidak lagi mendapatkan gaji. Tapi faktanya bagi kami berempat, ada atau tidak ada Papa, kami tetap tidak mendapatkan hak kami untuk memperoleh kebutuhan karena uang gaji Papa langsung dipegang oleh Mbah Uti. Mbah Uti tidak bersedia membagi sepeserpun uang. Tekanan pun datang dari keluarga Papa. Saudara-saudara Papa yang sempat mendengar  Mama mengadukan Papa ke kepolisian mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga menganggap Mama hanya memberikan gertak sambal pada Papa. Lalu setelah Papa terbukti ditahan, saudara-saudara Papa datang ke rumah dan meminta Mama menarik kembali gugatannya agar Papa dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala. Mama mengatakan bahwa gugatan tidak dapat ditarik kembali. Papa telah diminta secara baik-baik untuk mengakui perbuatannya dan menyerahkan hak asuh anak, kepemilikan rumah, dan hak finansial anak-anaknya, tetapi Papa tidak bersedia dan bersikukuh bahwa Papa tidak bersalah dan tidak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan. Akhirnya sidang berjalan dan menghasilkan putusan bahwa Papa ditahan, Mama tidak dapat berbuat banyak. Permohonan yang awalnya baik dan santun berubah menjadi tekanan pada Mama dan kami sebagai anak-anak. Keluarga Papa menghembuskan rumor yang membuat kami kurang nyaman. Mama dikatakan memiliki pria idaman lain dan saya sebagai anak pertama yang sedang kuliah di rantau dituduh terlibat prostitusi untuk dapat membiayai sekolah saya. Tetangga dan kenalan yang tidak mengetahui permasalahan pun justru mencela kami yang dianggap mendukung tindakan Mama untuk memenjarakan Papa. Berbagai tekanan membuat kami kurang nyaman hingga akhirnya Mama mencari informasi tempat yang dapat menampung kami. Mama memperoleh peluang untuk hijrah ke Bantul, DIY Yogyakarta.
Awal 2010 Mama memperoleh tumpangan di pondok pesantren yang berada di Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Di sana Mama memboyong barang-barang yang Mama miliki dari Pemalang. Sebagian di jual sebagian sisanya dihibahkan ke pondok pesantren sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan. Mama membawa serta Insanul yang ketika itu kelas X SMA. Bakhtiar yang duduk di bangku kelas XII dan Frida yang duduk di bangku kelasVI tidak dapat dibawa serta karena nama mereka sudah tercantum sebagai peserta Ujian Akhir Nasional. Bila mereka pindah sekolah antarprovinsi di pertengahan tahun, mereka harus kembali ke kelas sebelumnya dan dapat melaksanakan Ujian Akhir Nasional di tahun depan. Bakhtiar dan Frida dititipkan di rumah kemenakan perempuan yang bernama Mba I hingga mereka berdua menyelesaikan studi dan dapat menyusul Mama dan Insanul ke Pemalang.
Bakhtiar mendaftar Ujian Masuk UNY dan memilih program studi Pendidikan Bahasa Jawa. Ia akhirnya diterima. Ketika ia memberitahukan pada Papa kabar gembira tersebut, Papa mengatakan bahwa biaya kuliah Bakhtiar akan ditanggung oleh adik bungsu Papa yang tengah melanjutkan studi kedokteran di UGM. Tapi itu hanya wacana atau lebih tepatnya omong kosong yang disampaikan Papa. Tak pernah ada realisasi dari Papa untuk mengusahakan pendidikan lanjut bagi Bakhtiar. Dengan hati remuk, Bakhtiar memilih untuk mengambil sekolah gratis yang ada di Kecamatan Gamping dalam bidang Agama Islam.
Mama awalnya menumpang di salah satu rumah kerabat yang dikenal sebagai anak salah satu sahabat Mbah Bapa. Mama bekerja sebgaia buruh pabrik kosmetik skala rumah tangga. Bayaran yang Mama terima hanya Rp400.000 tiap bulan. Mama tinggal dengan Frida di sebuah kos dengan biaya Rp150.000 perbulan. Frida melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri Bakhtiar tinggal masjid dekat tempatnya bersekolah dan Insanul tinggal di panti asuhan dan melanjutkan sekolah di SMA swasta di daerah Galur.
Kehidupan mereka sama pedihnya dengan apa yang saya rasakan. Tanpa uang kiriman dari orang tua, tanpa kendaraan, dan tanpa perangkat belajar yang memadai saya harus survive di tanah rantauan. Saat itu saya menjalin hubungan dengan P, kakak tingkat dari program studi Seni Rupa murni angkatan 2007. Ia memiliki masalah finansial yang sama dengan yang sama alami. Ayahnya merupakan petani penggarap dan ibunya pedagang cabai di pasar. Kami sama-sama berjuang di tanah rantau untuk mewujudkan cita-cita.
Saya mulai bekerja menjadi tentor privat untuk anak SD dengan bayaran Rp15.000 perpertemuan yang dalam seminggu hanya tiga kali pertemuan, sementara jarak yang saya tempuh untuk melaksanakan tugas saya mencapai 15 kilometer. Syaa meminjam motor milik P sebagai kendaraan operasional. Lalu pindah ke sebuah factory outlet dengan bayaran perhari sebesar Rp25.000 sejak pukul 9.00 pagi sampai pukul 21.00 malam. Itu belum termasuk potong gaji bila terdapat produk yang hilang atau salah hitung atau terselip. Pemilik factory outlet menghukum kami dengan potong gaji. Pendapat yang saya dan teman-teman hanya 80 persen dari apa yang harusnya kami peroleh karena potong gaji tersebut.
Terbesit pikiran untuk berhenti berusaha dan mulai fokus bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Tanggungan kos, membayar registrasi kuliah, dan kebutuhan sehari-hari membebani saya sangat. Dengan pendapatan yang diperoleh sangat tidak mencukupi untuk hal-hal yang saya butuhkan. Apalagi untuk bermimpi memiliki Laptop seperti kawan-kawan. Tugas-tugas yang diberikan mewajibkan mahasiswa untuk mengumpulkan tugas dalam bentuk softfile dan hardfile. Sementara saya tidak memiliki Laptop. Teman-teman dekat saya pun tidak memiliki Laptop yang dapat saya pinjam. Kalaupun ada, mereka gunakan untuk sendiri. Sampai suatu ketika saya meminjam Laptop milik salah satu kawan yang sebenarnya ia pinjam dari kawannya. Saya menumpang mengetik di tempat. Tapi kemudian ada complaint bahwa Laptopnya mengalami keanehan yaitu ada bagian yang lecet dan layarnya mengalami gangguan. Saya panik dan merasa tidak enak hati. Saya hanya menumpang mengetik dan tidak mengubah apapun di Laptop, apalagi sampai membuat lecet dan layarnya terganggu. Sejak saat itu saya tak untuk meminjam barang milik kawan. Dengan membayar ongkos lebih saya mengetik di pengetikan. Walaupun biaya yang dikeluarkan menjadi sangat membengkak dan membebani saya.
Saya ingin keluar dan bekerja di Indomaret. Saya ingat memiliki seorang kenalan yang bekerja di Indomaret. Saya pun ingin bertanya-tanya mengenai syarat apa yang dibutuhkan untuk bekerja di Indomaret dan apa yang saya peroleh ketika bekerja di Indomaret. Kawan saya tersebut memberitahukan mengenai teknis bila bekerja di Indomaret dan prosedur pelamaran kerja. Ia justru menyarankan saya menyelesaikan S1 saya karena sudah setengah jalan di semester 4. Ia mengatakan bahwa peluang untuk bekerja sebagai seorang sarjana lebih besar daripada hanya orang yang bermodalkan ijazah SMA. Saya mengalami kemelut ketika mendengarnya mengatakan hal tersebut. Saat itu kami berbicara bertiga. Ia adalah sahabat saya ketika SMA yang pernah satu kelas ketika kelas X dan sama-sama mengikuti ekstrakurikuler pramuka, M. M si gadis tomboy yang sekarang berkerudung juga kenal dengan kawan saya tersebut. Ia menanyakan apa yang membuat saya ingin berhenti kuliah. Saya menjawab bahwa saya tidak memiliki uang untuk registrasi semester. Ia menanyakan berapa nominal yang dibutuhkan untuk membayar registrasi. Saya menjawab. Ia bersedia meminjamkan tabungannya pada saya. Saya menolak karena saya sadar tidak tahu kapan bisa membayar dan saya belum bekerja. M tidak keberatan dan merelakan tabungannya untuk saya pinjam dan ia justru memaksa saya untuk membawa tabungannya untuk membayar registrasi. Saya sempat memperingatkan dia bahwa saya bisa saja kabur membawa uangnya. Namun jawaban yang saya peroleh merupakan keyakinan bahwa saya tidak akan membalas kebaikan seseorang dengan perbuatan buruk. M lah yang menjadi salah satu pendorong saya masih mau berjuang untuk pendidikan saya. Saya tahu M bukan dari kalangan orang yang berlebihan. Saya pernah mengunjungi rumahnya dan berkenalan dengan keluarganya. Ibunya seorang bidan dan ayahnya PNS. Ia memiliki dua orang kakak yang salah satunya hanya selisih setahun darinya dan dua orang adik yang saat kami SMA masih duduk di kelas IV dan VI SD.
Seorang kakak tingkat bercerita bahwa ia bekerja di Pizza Hut dengan bayaran sebesar Rp45.000 perhari untuk 9 jam kerja. Jatah karyawan untuk mendapatkan hak makan sekali sehari pun diperoleh dengan menu yang telah ditentukan. Saya antusias untuk bekerja di Pizza Hut dan mengirimkan lamaran ke Pizza Hut Java Supermall. Di sana saya melalui fase seleksi. Fase training saya digantikan dengan bekerja penuh dan saya memperoleh hak sebagai Part Timer dengan fee sebesar Rp42.777 perhari reguler dan sekitar Rp78.000 untuk overtime atau lembur saat tanggal merah. Saya bersemangat kerja dan membayangkan setiap saya berangkat bekerja, saya menabung sebesar Rp42.777. Saya senang menghitung dan membayangkan uang yang akan saya terima pada tanggal 10 nanti.
Agustus 2010 momen mendekati Idul Fitri ketika saya diterima bekerja Pizza Hut. Bayangan fee overtime yang dijanjikan membuat saya dilema. Kalau saya pulang ke Bantul, saya tentu tidak mendapatkan kesempatan overtime. Tetapi kalaupun saya mengusahakan pulang, saya sama sekali tidak memiliki uang. Naik bus pun akan mengeluarkan banyak uang dan akan sangat melelahkan untuk saya. Saya menghubungi Mama dan mengatakan bahwa Idul Fitri kali ini saya tidak bisa pulang karena saya hanya diberi libur saat hari Idul Fitri. Sehari sebelum dan sesehari sesudah Idul Fitri saya diberi jadwal kerja oleh Manager. Mama mengatakan tidak apa-apa saya tidak pulang. Toh Mama dan adik-adik tidak merayakan Idul Fitri di Bantul tetapi di tempat kerabat Mama di Yogyakarta.
Bekerja di Pizza Hut secara teori memang dapat fleksibel dengan waktu kuliah saya karena saya bisa meminta waktu kerja yang tidak berbenturan dengan waktu kuliah saya. Saya hanya tidak memperhitungkan waktu persiapan berangkat bekerja, perjalanan berangkat bekerja, perjalanan pulang kerja, dan berapa waktu yang saya butuhkan untuk membuat mata ini tetap terjaga dan fisik ini tetap kuat berdiri. Akhirnya studi saya harus mulai kalah dengan waktu kerja saya. Teknisnya saya masuk kerja middle pukul 13.00 dan saya pulang pukul 22.00. Sejak bangun tidur pukul 11.00, saya mandi dan bersiap. Pukul 12.00 saya meluncur menuju tempat kerja saya. Pukul 12.45 saya sampai tempat kerja dan bersiap bekerja sebagai order taker yang mengangkat telepon delivery, memotong sayur dan buah untuk salad bar, menimbang dan menghitung stok buah dan sayur dalam chiller agar malam ini dapat pesan ke padagang sayur dan besok diantar oleh pedagang sayur ke outlet, menghitung uang delivery, membersihkan sisa menu, dan membersihkan bagian dapur. Akhirnya saya ikut pulang dengan anak closing pukul 23.00 baru bisa keluar dari outlet setelah memindai sidik jari untuk pulang. Pukul 24.00 saya baru sampai kos dan baru bisa tidur sekitar pukul 2.00. Itu juga hanya mandi tanpa bisa mengerjakan tugas. Keesokan harinya saya tidak bisa bangun pagi walaupun itu pukul 9.00 pagi karena badan saya sangat letih seharian bekerja. Hal tersebut terus berulang. Belum termasuk bila store ramai oleh pengunjung dan membutuhkan bantuan tambahan. Beberapa kali saya dihubungi oleh pihak store untuk perbantuan dengan iming-iming gaji utuh namun waktu kerja yang tidak full sembilan jam.
Saya sedang bekerja di Pizza Hut secara cuma-cuma saya mendapatkan makanan yang enak dan kadang saya membawa pulang item yang harusnya dibuang seperti pinggiran Submarine Bun. Setiap hari saya membawa bekal dari kos entah itu hanya nasi atau nasi dengan lauk yang beli di warteg. Jatah makan saya dari outlet yang bisa memilih berupa pizza atau spageti dengan topping yang telah ditentukan oleh outlet sebagai hak karyawan, saya simpan menjelang saya pulang. Sesaat sebelum pulang, saya meminta tolong teman bagian pasta atau topping untuk meracikkan jatah makan saya. Jatah makan saya tidak dimasukkan ke dalam kardus seperti biasanya ketika memesan pizza, tetapi saya masukkan ke kotak makan yang sudah saya siapkan dari kos untuk tempat jatah makan. Jatah makan saya tersebut akan dibawa oleh P untuk ia gunakan sebagai camilan sambil lembur membuat lukisan. Saya mengenal seseorang yang bekerja di McDonald bernama Mas R yang merupakan kakak lelaki dari mbak kos saya di kos awal saya kuliah. Dia dan saya mulai rutin mengobrol dan bercerita. Lalu saya berceletuk untuk bertukar menu makan ketika saya dan dia kebetulan bekerja di hari dan waktu yang sama. Dia setuju. Dia membawakan saya ayam dari McDonald dengan dua bungkus nasi dan saya membawakan dia spageti atau pizza.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...