Manual painting karya Arief Hadinata |
Pertengahan 2008. Akhirnya, saya
menjadi mahasiswa dan tinggal di rumah kos. Hal yang sangat saya inginkan.
Lepas dari rumah dan orang tua. Selama 17 tahun saya tinggal dengan orang tua
dan kali ini saya memiliki kebebasan penuh untuk mengelola kehidupan saya. Saya
mengawali fase sebagai mahasiswa ditemani oleh Mas A yang juga kuliah di
Fakultas Ilmu Keolahragaan. Saya masih tidak bisa lepas darinya. Saya
membutuhkannya secara psikis sebagai teman dekat saya di rantau dan saya membutuhkannya
karena saya tidak memiliki alat transportasi. Mama dan Papa melarang saya
berpacaran sampai saya lulus dan bekerja.
Papa memindahkan barang-barangnya
dan meninggalkan rumah untuk tinggal di garasi rumah Mbah Uti. Papa marah pada
saya karena menganggap saya menyetujui perceraian Mama dan Papa. Saya tidak
menyetujui. Saya hanya merasa lelah menghadapi orang tua yang sama sekali tidak
peduli dengan anaknya dan terus-menerus mencekoki anaknya dengan pertengkaran.
Saya ingin merasa damai. Menurut saya, bila hidup sebagai suami-istri tidak
mendapatkan kenyamanan, ada baiknya mereka belajar menjadi sahabat untuk
bersama-sama memikirkan masa depan anak-anak mereka.
Frida kembali sakit. Penyakit
lamanya infeksi saluran kencing kembali kambuh. Hubungan Mama dan Papa masih
belum membaik sekalipun mereka melihat anak bungsu mereka tidak berdaya dalam
pelukan. Frida akhirnya dioperasi di Rumah Sakit Sultan Agung. Operasi berjalan
lancar. Frida sudah kembali seperti sedia kala dan setiap bulan harus check up ke Semarang.
Setelah Frida dibawa pulang ke
Pemalang, kehidupan kembali seperti semula. Papa masih tinggal di rumah Mbah
Uti dan adik-adik saya setiap hari mendapat jatah makan lauk yang Papa beli di
warung sehari dua kali. Itu juga kalau Papa ingat. Mama marah-marah karena Papa
tidak bersedia menanggung biaya listrik dan biaya lain-lain seperti deterjen
dan kebutuhan jajan untuk adik-adik saya. Hanya membelikan lauk untuk makan
adik-adik saya dirasa sudah cukup. Dengan sikap Papa semacam itu, semakin tinggi
hasrat Mama untuk bercerai dari Papa. Mama merasa tidak sanggup untuk
menghadapi arogansi Papa yang semakin menggila. Mama sudah ingin lepas dari
ikatan pernikahan dengan Papa.
Papa sudah mulai mendapat panggilan
dari kepolisian untuk menjadi saksi. Papa tidak pernah mengakui perbuatannya.
Papa selalu mengatakan bahwa apa yang menimpa Mama merupakan kesalahannya
sendiri akibat marah dan memukul-mukul wajahnya sendiri hingga berdarah supaya
disangka Papa melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Papa dianggap tidak
kooperatif dalam memberikan keterangan sehingga pada tanggal 1 Juni 2009 Papa
ditahan. Bakhtiar menjadi salah satu saksi dalam persidangan karena ia melihat
setelah Mama dipukul dan keluar dari kamar dan pergi dari rumah untuk meminta
bantuan tetangga. Bakhtiar melihat tetesan darah di kursi dan kamarnya yang
menjadi tempat kejadian perkara.
Pertengahan 2009 saya mengakhiri
hubungan dengan Mas A karena saya merasa sudah tidak ada lagi masa depan dalam
hubungan kami. Keluarganya yang tidak menyetujui keberadaan saya membuat saya
hanya membuang waktu untuk terus bersamanya. Keluarga saya pun tidak menyetujui
bila saya terus berhubungan dengan Mas A. Kedua orang tua saya lebih
mengkhawatirkan pergaulan remaja di perkotaan apalagi dengan keadaan saya sebagai
anak perempuan. Saya pun sudah memiliki kesibukan baru sebagai aktivis kampus.
Saya memiliki teman-teman baru yang menyenangkan. Saya memiliki dunia yang
selama ini hilang. Selama menjalin hubungan dengan Mas A, kehidupan sosial saya
benar-benar ditekan. Ia memilih siapa yang boleh berteman dengan saya. Saya
dilarang menyimpan kontak laki-laki walaupun itu teman kuliah. Ia tak pernah
berhenti mengecek pesan masuk dan kontak saya. Saya merasa dipenjara oleh sikap
overprotectivenya.
Bukan berarti saya memutuskan
hubungan dengan Mas A karena saya merasa memiliki hal yang lebih baik dan lebih
menyenangkan darinya. Saya memutuskan hubungan dengan Mas A karena sikap dan
pemikirannya bertentangan dengan sikap dan pemikiran saya. Saya lelah bila
harus memberi penjelasan dan meminta dukungannya bila yang ia hadirkan hanya
perasaan memiliki sepenuhnya dan memiliki kendali penuh atas diri saya. Saya
ingin menikmati masa muda saya dengan berbagai pengalaman yang tak pernah saya
dapat. Pemikiran saya yang ingin bebas dan berkembang akan berbeda dengan
pemikirannya. Bahkan saya merasa ia menjadi seperti Papa yang sangat
konservatif.
Kehidupan di keluarga tidak lebih
baik karena kami justru kebingungan dengan biaya operasional bulanan yang harus
ditanggung. Ketiga adik saya masih bersekolah dan kami tentu membutuhkan makan
dan lain-lain. Papa masih memperoleh gaji. Gaji Papa baru akan berhenti setelah
Papa memperoleh keputusan hukum yang berkekuatan tetap atau setelah Papa
memperoleh keputusan kasasi, baru hak Papa sebagai Pegawai Negeri Sipil akan
dicabut dan Papa tidak lagi mendapatkan gaji. Tapi faktanya bagi kami berempat,
ada atau tidak ada Papa, kami tetap tidak mendapatkan hak kami untuk memperoleh
kebutuhan karena uang gaji Papa langsung dipegang oleh Mbah Uti. Mbah Uti tidak
bersedia membagi sepeserpun uang. Tekanan pun datang dari keluarga Papa.
Saudara-saudara Papa yang sempat mendengar
Mama mengadukan Papa ke kepolisian mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menganggap Mama hanya memberikan gertak sambal pada Papa. Lalu setelah Papa
terbukti ditahan, saudara-saudara Papa datang ke rumah dan meminta Mama menarik
kembali gugatannya agar Papa dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Mama mengatakan bahwa gugatan tidak dapat ditarik kembali. Papa telah diminta
secara baik-baik untuk mengakui perbuatannya dan menyerahkan hak asuh anak,
kepemilikan rumah, dan hak finansial anak-anaknya, tetapi Papa tidak bersedia
dan bersikukuh bahwa Papa tidak bersalah dan tidak pernah melakukan perbuatan
yang dituduhkan. Akhirnya sidang berjalan dan menghasilkan putusan bahwa Papa
ditahan, Mama tidak dapat berbuat banyak. Permohonan yang awalnya baik dan
santun berubah menjadi tekanan pada Mama dan kami sebagai anak-anak. Keluarga
Papa menghembuskan rumor yang membuat kami kurang nyaman. Mama dikatakan
memiliki pria idaman lain dan saya sebagai anak pertama yang sedang kuliah di
rantau dituduh terlibat prostitusi untuk dapat membiayai sekolah saya. Tetangga
dan kenalan yang tidak mengetahui permasalahan pun justru mencela kami yang
dianggap mendukung tindakan Mama untuk memenjarakan Papa. Berbagai tekanan
membuat kami kurang nyaman hingga akhirnya Mama mencari informasi tempat yang
dapat menampung kami. Mama memperoleh peluang untuk hijrah ke Bantul, DIY Yogyakarta.
Awal 2010 Mama memperoleh tumpangan
di pondok pesantren yang berada di Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan,
Kabupaten Bantul. Di sana Mama memboyong barang-barang yang Mama miliki dari
Pemalang. Sebagian di jual sebagian sisanya dihibahkan ke pondok pesantren
sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan. Mama membawa serta
Insanul yang ketika itu kelas X SMA. Bakhtiar yang duduk di bangku kelas XII
dan Frida yang duduk di bangku kelasVI tidak dapat dibawa serta karena nama
mereka sudah tercantum sebagai peserta Ujian Akhir Nasional. Bila mereka pindah
sekolah antarprovinsi di pertengahan tahun, mereka harus kembali ke kelas
sebelumnya dan dapat melaksanakan Ujian Akhir Nasional di tahun depan. Bakhtiar
dan Frida dititipkan di rumah kemenakan perempuan yang bernama Mba I hingga
mereka berdua menyelesaikan studi dan dapat menyusul Mama dan Insanul ke
Pemalang.
Bakhtiar mendaftar Ujian Masuk UNY
dan memilih program studi Pendidikan Bahasa Jawa. Ia akhirnya diterima. Ketika
ia memberitahukan pada Papa kabar gembira tersebut, Papa mengatakan bahwa biaya
kuliah Bakhtiar akan ditanggung oleh adik bungsu Papa yang tengah melanjutkan
studi kedokteran di UGM. Tapi itu hanya wacana atau lebih tepatnya omong kosong
yang disampaikan Papa. Tak pernah ada realisasi dari Papa untuk mengusahakan
pendidikan lanjut bagi Bakhtiar. Dengan hati remuk, Bakhtiar memilih untuk
mengambil sekolah gratis yang ada di Kecamatan Gamping dalam bidang Agama
Islam.
Mama awalnya menumpang di salah
satu rumah kerabat yang dikenal sebagai anak salah satu sahabat Mbah Bapa. Mama
bekerja sebgaia buruh pabrik kosmetik skala rumah tangga. Bayaran yang Mama
terima hanya Rp400.000 tiap bulan. Mama tinggal dengan Frida di sebuah kos
dengan biaya Rp150.000 perbulan. Frida melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri
Bakhtiar tinggal masjid dekat tempatnya bersekolah dan Insanul tinggal di panti
asuhan dan melanjutkan sekolah di SMA swasta di daerah Galur.
Kehidupan mereka sama pedihnya
dengan apa yang saya rasakan. Tanpa uang kiriman dari orang tua, tanpa
kendaraan, dan tanpa perangkat belajar yang memadai saya harus survive di tanah rantauan. Saat itu saya
menjalin hubungan dengan P, kakak tingkat dari program studi Seni Rupa murni
angkatan 2007. Ia memiliki masalah finansial yang sama dengan yang sama alami.
Ayahnya merupakan petani penggarap dan ibunya pedagang cabai di pasar. Kami
sama-sama berjuang di tanah rantau untuk mewujudkan cita-cita.
Saya mulai bekerja menjadi tentor
privat untuk anak SD dengan bayaran Rp15.000 perpertemuan yang dalam seminggu
hanya tiga kali pertemuan, sementara jarak yang saya tempuh untuk melaksanakan
tugas saya mencapai 15 kilometer. Syaa meminjam motor milik P sebagai kendaraan
operasional. Lalu pindah ke sebuah factory
outlet dengan bayaran perhari sebesar Rp25.000 sejak pukul 9.00 pagi sampai
pukul 21.00 malam. Itu belum termasuk potong gaji bila terdapat produk yang
hilang atau salah hitung atau terselip. Pemilik factory outlet menghukum kami dengan potong gaji. Pendapat yang
saya dan teman-teman hanya 80 persen dari apa yang harusnya kami peroleh karena
potong gaji tersebut.
Terbesit pikiran untuk berhenti
berusaha dan mulai fokus bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Tanggungan
kos, membayar registrasi kuliah, dan kebutuhan sehari-hari membebani saya
sangat. Dengan pendapatan yang diperoleh sangat tidak mencukupi untuk hal-hal
yang saya butuhkan. Apalagi untuk bermimpi memiliki Laptop seperti kawan-kawan. Tugas-tugas yang diberikan mewajibkan
mahasiswa untuk mengumpulkan tugas dalam bentuk softfile dan hardfile.
Sementara saya tidak memiliki Laptop.
Teman-teman dekat saya pun tidak memiliki Laptop
yang dapat saya pinjam. Kalaupun ada, mereka gunakan untuk sendiri. Sampai
suatu ketika saya meminjam Laptop
milik salah satu kawan yang sebenarnya ia pinjam dari kawannya. Saya menumpang
mengetik di tempat. Tapi kemudian ada complaint
bahwa Laptopnya mengalami keanehan
yaitu ada bagian yang lecet dan layarnya mengalami gangguan. Saya panik dan
merasa tidak enak hati. Saya hanya menumpang mengetik dan tidak mengubah apapun
di Laptop, apalagi sampai membuat
lecet dan layarnya terganggu. Sejak saat itu saya tak untuk meminjam barang
milik kawan. Dengan membayar ongkos lebih saya mengetik di pengetikan. Walaupun
biaya yang dikeluarkan menjadi sangat membengkak dan membebani saya.
Saya ingin keluar dan bekerja di
Indomaret. Saya ingat memiliki seorang kenalan yang bekerja di Indomaret. Saya
pun ingin bertanya-tanya mengenai syarat apa yang dibutuhkan untuk bekerja di
Indomaret dan apa yang saya peroleh ketika bekerja di Indomaret. Kawan saya
tersebut memberitahukan mengenai teknis bila bekerja di Indomaret dan prosedur
pelamaran kerja. Ia justru menyarankan saya menyelesaikan S1 saya karena sudah
setengah jalan di semester 4. Ia mengatakan bahwa peluang untuk bekerja sebagai
seorang sarjana lebih besar daripada hanya orang yang bermodalkan ijazah SMA.
Saya mengalami kemelut ketika mendengarnya mengatakan hal tersebut. Saat itu
kami berbicara bertiga. Ia adalah sahabat saya ketika SMA yang pernah satu
kelas ketika kelas X dan sama-sama mengikuti ekstrakurikuler pramuka, M. M si
gadis tomboy yang sekarang berkerudung juga kenal dengan kawan saya tersebut.
Ia menanyakan apa yang membuat saya ingin berhenti kuliah. Saya menjawab bahwa
saya tidak memiliki uang untuk registrasi semester. Ia menanyakan berapa
nominal yang dibutuhkan untuk membayar registrasi. Saya menjawab. Ia bersedia
meminjamkan tabungannya pada saya. Saya menolak karena saya sadar tidak tahu
kapan bisa membayar dan saya belum bekerja. M tidak keberatan dan merelakan
tabungannya untuk saya pinjam dan ia justru memaksa saya untuk membawa tabungannya
untuk membayar registrasi. Saya sempat memperingatkan dia bahwa saya bisa saja
kabur membawa uangnya. Namun jawaban yang saya peroleh merupakan keyakinan
bahwa saya tidak akan membalas kebaikan seseorang dengan perbuatan buruk. M lah
yang menjadi salah satu pendorong saya masih mau berjuang untuk pendidikan
saya. Saya tahu M bukan dari kalangan orang yang berlebihan. Saya pernah
mengunjungi rumahnya dan berkenalan dengan keluarganya. Ibunya seorang bidan
dan ayahnya PNS. Ia memiliki dua orang kakak yang salah satunya hanya selisih
setahun darinya dan dua orang adik yang saat kami SMA masih duduk di kelas IV
dan VI SD.
Seorang kakak tingkat bercerita
bahwa ia bekerja di Pizza Hut dengan
bayaran sebesar Rp45.000 perhari untuk 9 jam kerja. Jatah karyawan untuk
mendapatkan hak makan sekali sehari pun diperoleh dengan menu yang telah
ditentukan. Saya antusias untuk bekerja di Pizza
Hut dan mengirimkan lamaran ke Pizza
Hut Java Supermall. Di sana saya melalui fase seleksi. Fase training saya digantikan dengan bekerja
penuh dan saya memperoleh hak sebagai Part
Timer dengan fee sebesar Rp42.777
perhari reguler dan sekitar Rp78.000 untuk overtime
atau lembur saat tanggal merah. Saya bersemangat kerja dan membayangkan setiap
saya berangkat bekerja, saya menabung sebesar Rp42.777. Saya senang menghitung dan membayangkan uang yang akan saya
terima pada tanggal 10 nanti.
Agustus 2010 momen mendekati Idul
Fitri ketika saya diterima bekerja Pizza
Hut. Bayangan fee overtime yang
dijanjikan membuat saya dilema. Kalau saya pulang ke Bantul, saya tentu tidak
mendapatkan kesempatan overtime.
Tetapi kalaupun saya mengusahakan pulang, saya sama sekali tidak memiliki uang.
Naik bus pun akan mengeluarkan banyak uang dan akan sangat melelahkan untuk
saya. Saya menghubungi Mama dan mengatakan bahwa Idul Fitri kali ini saya tidak
bisa pulang karena saya hanya diberi libur saat hari Idul Fitri. Sehari sebelum
dan sesehari sesudah Idul Fitri saya diberi jadwal kerja oleh Manager. Mama
mengatakan tidak apa-apa saya tidak pulang. Toh Mama dan adik-adik tidak
merayakan Idul Fitri di Bantul tetapi di tempat kerabat Mama di Yogyakarta.
Bekerja di Pizza Hut secara teori memang dapat fleksibel dengan waktu kuliah
saya karena saya bisa meminta waktu kerja yang tidak berbenturan dengan waktu
kuliah saya. Saya hanya tidak memperhitungkan waktu persiapan berangkat
bekerja, perjalanan berangkat bekerja, perjalanan pulang kerja, dan berapa
waktu yang saya butuhkan untuk membuat mata ini tetap terjaga dan fisik ini
tetap kuat berdiri. Akhirnya studi saya harus mulai kalah dengan waktu kerja
saya. Teknisnya saya masuk kerja middle
pukul 13.00 dan saya pulang pukul 22.00. Sejak bangun tidur pukul 11.00, saya
mandi dan bersiap. Pukul 12.00 saya meluncur menuju tempat kerja saya. Pukul
12.45 saya sampai tempat kerja dan bersiap bekerja sebagai order taker yang mengangkat telepon delivery, memotong sayur dan buah untuk salad bar, menimbang dan menghitung stok buah dan sayur dalam chiller agar malam ini dapat pesan ke
padagang sayur dan besok diantar oleh pedagang sayur ke outlet, menghitung uang delivery,
membersihkan sisa menu, dan membersihkan bagian dapur. Akhirnya saya ikut
pulang dengan anak closing pukul
23.00 baru bisa keluar dari outlet
setelah memindai sidik jari untuk pulang. Pukul 24.00 saya baru sampai kos dan
baru bisa tidur sekitar pukul 2.00. Itu juga hanya mandi tanpa bisa mengerjakan
tugas. Keesokan harinya saya tidak bisa bangun pagi walaupun itu pukul 9.00
pagi karena badan saya sangat letih seharian bekerja. Hal tersebut terus
berulang. Belum termasuk bila store
ramai oleh pengunjung dan membutuhkan bantuan tambahan. Beberapa kali saya
dihubungi oleh pihak store untuk
perbantuan dengan iming-iming gaji utuh namun waktu kerja yang tidak full
sembilan jam.
Saya sedang bekerja di Pizza Hut secara cuma-cuma saya
mendapatkan makanan yang enak dan kadang saya membawa pulang item yang harusnya
dibuang seperti pinggiran Submarine Bun.
Setiap hari saya membawa bekal dari kos entah itu hanya nasi atau nasi dengan
lauk yang beli di warteg. Jatah makan saya dari outlet yang bisa memilih berupa pizza
atau spageti dengan topping yang telah ditentukan oleh outlet sebagai hak karyawan, saya simpan
menjelang saya pulang. Sesaat sebelum pulang, saya meminta tolong teman bagian pasta atau topping untuk meracikkan jatah makan saya. Jatah makan saya tidak
dimasukkan ke dalam kardus seperti biasanya ketika memesan pizza, tetapi saya masukkan ke kotak makan yang sudah saya siapkan
dari kos untuk tempat jatah makan. Jatah makan saya tersebut akan dibawa oleh P
untuk ia gunakan sebagai camilan sambil lembur membuat lukisan. Saya mengenal
seseorang yang bekerja di McDonald
bernama Mas R yang merupakan kakak lelaki dari mbak kos saya di kos awal saya
kuliah. Dia dan saya mulai rutin mengobrol dan bercerita. Lalu saya berceletuk
untuk bertukar menu makan ketika saya dan dia kebetulan bekerja di hari dan
waktu yang sama. Dia setuju. Dia membawakan saya ayam dari McDonald dengan dua bungkus nasi dan saya membawakan dia spageti atau pizza.
No comments:
Post a Comment