Monday 22 June 2015

Sedang Bercerita part V

Manual painting karya Arief Hadinata




Selama Agustus 2010 hingga September 2011 saya bekerja di Pizza Hut dan mulai mengesampingkan kesehatan saya, apalagi kuliah saya. Walaupun tidak setiap hari bekerja. Pernah seminggu sebanyak lima hari saya bekerja terus menerus. Pernah pula dalam sebulan saya hanya berangkat bekerja dua hari karena store sepi dan penjualan tidak mencapai target. Pola makan saya kacau dan saya menderita maag hingga level akut yang membuat saya tidak dapat berdiri tegak karena merasa lambung seperti dilipat. Belum lagi terpaan angin malam ketika pulang kerja. Karena keterbatasan kendaraan, setiap bekerja saya diantar-jemput P. Ia pun tengah bekerja sebagai pelukis artisan yang mengerjakan lukisan untuk dipasarkan di Bali. Ia membutuhkan sepeda motor untuk bolak-balik kampus-kos-kantor. Saya mulai sering sakit-sakitan. Selama bekerja di Pizza Hut, sekitar tiga kali saya mengalami pendarahan. Kembali dihadapkan pada hal yang dilematis. Bila saya mendapat jadwal kerja yang cukup banyak, saya memiliki pemasukan yang cukup untuk makan, kos, dan menabung namun saya harus mengorbankan kuliah dan kesehatan saya. Sementara bila diberi jadwal yang sedikit, saya harus mengencangkan ikat pinggang dengan pendapatan yang hanya bisa untuk makan selama seminggu. Belum lagi pertengkaran dengan P karena saya selalu menangis ketika dia terlambat menjemput dan dapat membuat saya dalam masalah dengan Team Leader atau Manager Restaurant.
Idul Fitri 2011 saya lalui di tanah rantau. Kali ini saya habiskan dengan Mas R. Ketika saya menghubunginya untuk menanyakan keberadaannya saat malam Idul Fitri, ia mengatakan di Semarang. Saya mengajaknya menikmati malam Idul Fitri bersama supaya saya tidak merasa kesepian. Ia setuju. Kami berniat untuk jalan-jalan ketika malam Idul Fitri. Tapi ada kelucuan ketika kami sudah bersiap untuk menikmati malam Idul Fitri, justru muncul informasi di televisi bahwa Idul Fitri diundur lusa. Jadilah kami yang sudah duduk santai di pinggiran Jalan Pahlawan untuk pulang sambil tertawa geli karena baru kali ini Idul Fitri diundur. Keesokan malamnya saya dan Mas R benar-benar menikmati kemeriahan malam Idul Fitri di pusat kota Semarang yang ramai dengan kembang api dan petasan. Berkeliling kota menikmati kemacetan dan kuliner yang harganya sempat membuat kaget setengah mati. Idul Fitri kedua tanpa keluarga.
Saya benar-benar harus menyimpan uang untuk membeli Laptop. Uang registrasi sudah saya amankan dari uang beasiswa. Sementara untuk uang kos sudah saya sisihkan dari gaji tiap  bulannya. Uang kos saya ketika itu sangat murah karena saya tinggal di rumah kontrakan yang terkenal horor dan berhantu dan saya tinggal di bagian gudang. Sangat murah bila dibandingkan dengan harga kos saat ini. Saya sangat menginginkan Laptop. Untuk membantu saya mengerjakan tugas. Setelah perjuangan keras dan dibantu oleh Mama, saya dapat membeli Laptop. Tak lupa saya pun iseng-iseng mengikuti kompetisi dan berharap memperoleh hadiah utama berupa uang tunai. Saya mendapatkan hadiah dengan nominal yang cukup untuk menambah tabungan membeli Laptop.
Saya mulai memfokuskan kuliah. Saya ingin menyelesaikan studi saya. Saat kawan-kawan seangkatan sedang berjuang dengan mata kuliah praktik, saya sedang berjuang menyelesaikan mata kuliah teori yang tertinggal beberapa beberapa semester dan kuliah dengan adik tingkat. Saya masih canggung berada di kampus. Rasanya sangat aneh menampakkan diri. Merasa asing dan tidak mengenal siapapun. Belum lagi pertanyaan dari sejumlah dosen yang merasa saya menghilang dari peredaran. Saya belum bisa menerima kecanggungan ini. Belum lagi dengan kesehatan saya yang sama sekali belum membaik. Saya harus berjuang ekstra untuk bisa menaiki tangga lantai tiga. Secara fisik dan mental, saya masih harus beradaptasi dengan keadaan yang sangat baru.
Sesaat awal saya masih bersemangat menempuh pendidikan. Namun akhirnya saya harus dihadapkan pada usaha untuk berjuang mendapatkan pemasukan. Seorang kawan mengajak saya bekerja sebagai Sales Promotion Girl untuk event yang diadakan pada hari Minggu. Ketika saya mendengar tawaran fee sebesar Rp100.000, itu merupakan nominal besar yang belum pernah saya dengar untuk bekerja dalam satu hari. Saya menerima. Dari situlah awal saya berjuang sebagai Sales Promotion Girl dan mempromosikan diri saya melalui Curriculum Vitae yang saya kirimkan pada sejumlah Event Organizer atau Agency. Fee yang diterima dapat saya kumpulkan untuk membeli kebutuhan bulanan dan kebutuhan makan saya. Kuliah saya kembali terbengkalai karena beberapa kali waktu kerja Sales Promotion Girl di waktu kuliah. Atau paling sial kalau dosen yang sangat sibuk mengganti jadwal pada hari kerja saya. Saya hanya bisa tepok jidat.
Keseimbangan antara kuliah dan bekerja kembali belum mendapatkan pencerahan. Saya masih sibuk mencari rupiah. Kali ini saya sangat terobsesi membeli sepeda motor. Saya sudah bosan berdebat dengan P saat saya butuh kendaraan untuk bekerja dan dia butuh kendaraan untuk kebutuhan mobilitasnya. Saya merasa buntu. Walaupun beberapa kali meminta bantuan kawan untuk dipinjamkan sepeda motor, tetap saja saya merasa ada perasaan tidak enak. Apalagi ketika awalnya ia mengatakan iya lalu sesaat sebelum waktu keberangkatan, ia tidak bersedia meminjamkan. Saya hanya bisa pasrah. Rumah kontrakan saya yang lumayan jauh dari kampus membuat saya harus kerepotan karena saya belum bisa mengakomodasi perpindahan diri. Sudah saya usahakan berjalan kaki dari rumah kontrakan, tapi setelah sampai kampus saya justru tidak bisa berkonsentrasi dengan penjelasan dosen. Atau yang paling sial adalah saya harus menelan ludah karena usaha yang sudah saya lakukan menjadi sia-sia akibat dosen tidak masuk. Saya mulai mencari informasi mengenai harga sepeda motor. Tapi nominal yang harus saya kumpulkan memang tidak sedikit.
Saya mulai belajar membuat karya ilmiah. Saya merasa bekerja sebagai pembuat karya ilmiah jauh lebih menyenangkan dibanding bekerja sebagai Sales Promotion Girl karena nominal yang diperoleh jelas lebih besar dan saya pun mendapat prestasi untuk buah pikiran saya. Saya belajar mengirimkan beberapa proposal penelitian dan proposal pengabdian kepada masyarakat. Memang tidak selalu beruntung. Tetapi paling tidak saya memperoleh kesenangan ketika membuat karya ilmiah. Saya belajar membuat tulisan yang terstruktur dan sistematis dan belajar mengenai kaidah keilmiahan.
Idul Fitri 2012 akan saya lalui seorang diri di kos karena saya memang tidak memungkinkan untuk pulang. Rupiah yang saya miliki masih saya simpan untuk membeli sepeda motor. Di samping itu, saya tidak kuat menghadapi keramaian perjalanan mudik. Saya selalu pusing dengan keramaian dan hiruk-pikuk. Suatu hari saya diundang untuk berbuka bersalam denga salah satu kerabat Mama yang tinggal di Semarang dan bekerja sebagai dokter. Dalam obrolan berbuka puasa kami, beliau menawarkan diri pada saya untuk tinggal di kediamannya dan berkumpul untuk merayakan Idul Fitri. Kebetulan Idul Fitri tahun ini kediaman Pakde M menjadi tempat berkumpul keluarga besar Bude R, istri Pakde M. Saya menyetujui dan dengan senang hati karena akhirnya saya tidak lagi merayakan Idul Fitri seorang diri. Bayang-bayang menikmati lontong-opor ayam di depan mata. Saya datang ke kediaman beliau yang hanya berjarak sekitar empat kilometer dari kos saya. Mama tak jemu-jemunya mengatakan pada saya untuk dapat menjaga sikap dan harus bersedia bekerja membantu keluarga Pakde M. Saya mengiyakan nasihat Mama dan saya bersedia untuk melakukan nasihat Mama.
Saat sore sehari sebelum Idul Fitri, saya mendatangi kediaman Pakde M. Untuk menuju ke rumah Pakde M, saya diantar teman. Ia segera bergegas meninggalkan saya dan karena ia memiliki keperluan sebelum lalu lintas akan padat menjelang waktu berbuka. P sudah terlebih dahulu pulang kampung. Saya datang dan mengobrol dengan L, putri Pakde M. L merupakan anak tunggal sangat sayang pada A. L sendiri bukanlah anak kandung Pakde M. Saya mendengar kalau L itu anak angkat. Tapi saya masih bingung apa perbedaan antara anak angkat dengan anak adopsi. Saya diperkenalkan A, sepupu L yang merupakan seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun. A anak yang lucu yang wajahnya hampir sama dengan L, memiliki pipi yang chubby dan berambut keriting. Ada sebagian rambutnya yang gimbal. Mitos orang Jawa mengatakan bahwa seorang anak yang berambut gimbal memiliki keberuntungannya sendiri. Setelah mengobrol sebentar, saya bingung dengan A. A mengatakan bahwa ia kemari dengan Papa. Tapi saya tidak menemukan sosok lelaki yang dimaksud. Sampai akhirnya Tante H, adik perempuan Bude R, keluar dari kamar dalam kondisi bangun tidur dengan penampilan yang memang kebapakan. Kesimpulan saya cukup jelas. Saya hanya menjadi penasaran dengan siapa sosok yang dipanggil A dengan sebutan mama.
Saya membantu seperlunya di rumah yang sangat besar ini. Saya bermain dan mengawasi A. Sudah ada asisten rumah tangga yang memasak dan mengurus kebutuhan rumah. Saya menyapu dan menata yang dirasa berantakan. Kemudian saya menuju kamar tamu yang digunakan untuk saya tidur yang berada di lantai dua. Saya mengeset alarm subuh untuk mempersiapkan diri saya sebelum berangkat shalat Idul Fitri. Saya bangun paling pagi. Saya sudah mandi, berdandan, dan saya sudah menyapu dan menata ruang tengah. Setelah pekerjaan saya selesai, saya kembali ke kamar untuk berganti baju dan menyiapkan mukena untuk shalat Idul Fitri. Ketika saya menaiki tangga, Bude R yang baru keluar dari kamar mandi berteriak pada saya kenapa saya belum bersiap. Saya menjawab bahwa saya sudah siap. Hanya perlu berganti pakaian dan mengambil mukena. Bude R masuk ke kamarnya. Hati kecil saya merasa posisi saya saat ini berada di tempat yang salah. Tapi saya abaikan karena saya sekarang saya berada di rumah ini dan mengikuti aturan pemilik rumah.
Menurut saya, ini adalah Idul Fitri paling berdarah. Saya yang terbiasa menikmati Idul Fitri seorang diri merasa jauh lebih bahagia dibanding berada di rumah besar dan mewah namun membuat saya merasa di neraka. Saat shalat Idul Fitri di pelataran Rumah Sakit Karyadi, saya mengenakan blus, celana jins, pasminah, dan sandal jepit. Berbeda dengan anggota keluarga lain yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Bude R meminjam pasminah saya. Saya memberikan pasminah tersebut. Tapi pasminah tersebut justru digunakan sebagai alas duduk A. Saya merasa ada tonjokan besar menghantam dada yang menghasilkan lubang besar. Apa yang saya kenakan di kepala dijadikan alas duduk. Saya akhirnya hanya bisa menyadari posisi saya sebagai penumpang di acara mereka. Saya tidak berdaya.
Selesai shalat Idul Fitri, keluarga Bude R berkumpul. Mereka bersiap untuk berfoto bersama. Saya dipanggil oleh L untuk bergabung dalam pasukan untuk berfoto. Saya sudah berada di barisan di tangga untuk berpose agar diabadikan oleh Pakde M. Kali ini Bude R kembali berteriak meminta saya yang mengambil gambar. Saya hendak turun menggantikan Pakde M tetapi Pakde M meminta saya diam dulu untuk diambil gambarnya. Saya bertahan. Bude R kembali berteriak. Saya bingung tapi Pakde M justru menghitung mundur untuk mengambil gambar. Setelah mengambil gambar, Pakde M dan saya bertukar posisi. Saya mengambil gambar untuk beberapa kali.
Acara selanjutnya adalah sungkem-sungkeman. Saya hanya duduk di pojokan. Saya menyalami satu persatu orang yang ada di ruangan tersebut. Saya hanya orang asing. Mungkin ada baiknya saya bergabung dengan asisten rumah tangga Bude R. Waktunya ramah-tamah untuk menikmati sajian yang telah disiapkan. Saya menyadari kehadiran saya tidak diharapkan di kediaman ini. Saya memilih duduk di kolam ikan yang berada tidak jauh dari ruang makan. Di situ saya memandang ikan sambil melamun. Saya masih tidak percaya apa yang saya alami. Saya merindukan kamar kos saya yang jelek. Di sana saya nyaman dengan menonton film atau saya bisa bermain di dekanat untuk berselancar di dunia maya. Saya tidak akan makan sampai ada yang menawari saya untuk makan. Ibu dari W, sepupu L yang sudah diangkat anak oleh Pakde M, menawari saya untuk makan, malah beliau menyiapkan piring berisi lontong untuk saya. Beliau datang dari Kudus dan membawa serta suami, anak perempuan dan anak lelakinya. Saya baru bersedia makan.
Selesai sungkem-sungkeman dan sarapan, kami bercengkrama di ruang tengah. Sepupu L dari Bandung datang. Mereka berenam yang terdiri atas supir, bapak, ibu, satu anak perempuan, dan dua anak lelaki. Saya mendapatkan empat angpao Idul Fitri dari Kakek L, L, Bude dari Bandung, dan Tante H. Makanan tumpah-ruah. Saya duduk di dekat Pakde M yang tengah mengobrol dengan L. Saya bermain kamera yang tadi digunakan untuk mengambil gambar. Saat saya bermain kamera, Pakde M meminta saya mengambilkan gambarnya dengan L. Saya mengiyakan. Lalu Pakde M meminta L bergantian mengambil gambar saya dengan Pakde M. Saya sempat kikuk karena sebelumnya L duduk di lengan sofa. Awalnya saya berdiri mematung tapi Pakde M meminta saya duduk di lengan saya dan merangkul saya. Saya tersenyum canggung.
A merengek-rengek meminta es krim. Tante H meminta ijin pada Bude R untuk meminjam mobil untuk digunakan berjalan-jalan. Saya diajak serta. Ada L, tiga orang sepupu L dari Bandung, A, W, dan dua adik W. Ternyata Pakde dan Bude dari Bandung ingin turut serta. Juga Kakek L. Kami pergi dengan dua mobil. Kedua orang tua W, Pakde M, dan Bude R yang ditinggal di rumah. Bude R merasa tidak enak badan dan enggan untuk keluar rumah.
Awalnya kami ingin mampir ke J.Co untuk menikmati J.Cool. Namun J.Co belum siap untuk beroperasi. Hari yang belum genap pukul 10.00 saat Idul Fitri memang bukan waktu yang tepat untuk mencari lokasi jajanan yang sudah buka. Akhirnya pencarian kami berakhir di Black Canyon Café. Di sana setiap orang memesan satu minuman. Minuman dengan harga mencekik. Harga yang menurut saya tidak rasional untuk segelas minuman. Kami bercanda dan mengobrol. Saya bergabung dengan pasukan anak-anak kecil dan tidak bergabung dengan L dan tiga sepupunya dari Bandung. Saya merasa minder untuk bergabung dan mengobrol dengan mereka.
Tak lama berselang, Pakde M dan Bude R datang. Mereka bergabung dengan obrolan meja panjang. Setelah pesanan habis, kami bersiap kembali menuju kediaman Pakde M yang tidak jauh. Sepanjang jalan mereka mengobrol dan saya hanya diam saja karena tidak paham obrolan mereka. Mereka membicarakan mengenai keluarga mereka. Saya hanya merasa saya bukan bagian dari keluarga mereka. Setelah sampai rumah, menu makan siang telah siap berupa aneka macem seafood yang dipesan dari rumah makan yang terkenal dengan kelezatan seafoodnya. Saya bergabung dengan anak-anak lainnya dan bermain di depan televisi, mengobrol. Saya menikmati jajanan yang disajikan di meja. Bude R datang dan memanggil satu persatu anak untuk segera makan. Semua disebutkan namanya kecuali saya. Saya diam saja. Saya kembali memutuskan tidak makan sampai ada yang meminta atau menyuruh saya makan. Kalaupun saya tidak makan berat, masih ada jajanan di meja yang bisa saya habiskan.
Waktu bergulir. Menjelang sore, L mengantar Bude R menuju rumah sakit karena jadwal piket Bude R di salah satu rumah sakit swasta di pusat kota. Saya melihat Bude R dari kejauhan. Saya merasakan ada keganjilan yang menyakitkan hati. Menjelang petang, kakak perempuan Pakde M, Bude Y datang bersama suami, anak perempuan, menantu, dan dua anak lelakinya. Saya melihat mereka mengobrol panjang-lebar di ruang makan. Ruang makan dan ruang tengah hanya dibatasi pintu kaca. Sesaat setelah berbicara dengan Pakde M, Bude Y memanggil saya. Beliau mengajak saya berbicara empat mata. Beliau menanyakan kapan saya akan pulang. Saya menjawab besok. Bude Y mengatakan bahwa Bude R memiliki beban ketika saya ada di kediamannya karena ketika saya diantar dengan kawan lelaki saya dan kawan yang mengantarkan saya tidak diminta mampir. Saya hanya bingung karena saat saya datang, Pakde M dan Bude R sedang pergi keluar. Lagipula Bude R tidak mengatakan secara langsung pada saya. Saya hanya merasa alasan yang dibuat oleh Bude R hanya alasan semu. Alasan yang sebenarnya beliau tidak menghendaki kehadiran saya hanya karena merasa cemburu. Pakde M yang memberikan perhatian pada saya membuat Bude R takut. Hanya itu yang ada di pikiran saya. Sebenarnya tidak usah ditanyakan kapan saya akan pulang, saya sudah berkeinginan pergi saat itu juga. Bude Y mengakhiri obrolannya dengan saya. Setelah semua orang pulang dan bersiap istirahat, saya menata dan membersihkan ruang tengah lalu menaiki tangga untuk istirahat. Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya ingin menangis namun tidak ada airmata yang menetes. Ingin rasanya saya menyelinap untuk pulang. Saya tidak takut berjalan kaki sendiri menuju kos saya yang jaraknya jauh dan melewati perbukitan dan jurang yang gelap. Saya justru lebih tersiksa berada di sini berlama-lama.
Keesokan harinya, saya sudah mengemasi barang saya. Saya bangun pagi dan membersihkan dan membereskan ruangan. Saya juga mencuci dan membersihkan peralatan makan yang tercecer. Asisten rumah tangga justru memarahi saya dan meminta saya untuk duduk saja. Saya sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk kembali ke kos. Bude R dan Pakde M belum bangun. Saat saya bingung hendak melakukan apa, saya kembali ke kamar dan bermain dengan Laptop saya. Menjelang siang, ketika saya pikir Pakde M dan Bude R sudah bangun, saya justru diberi tahu kalau beliau berdua akan keluar dengan L dan W berkeliling lingkungan sekitar rumah. Saya diajak serta. Namun saya memilih untuk diam di rumah dan menunggu kepulangan mereka. Saat saya hendak meminta ijin untuk pulang, mereka berdua kedatangan tamu secara silih berganti. Saya kehilangan waktu untuk menyampaikan niatan saya. Hingga malam menjelang pukul 22.00 ketika Pakde M dan Bude R bersiap menemui salah seorang kerabat bersama dengan orang tua W, saya memberanikan diri menyampaikan niatan saya untuk pamit. Mereka memberikan ijin untuk saya kembali ke kos dengan alasan bekerja dan saya meminta tolong W untuk untuk mengantarkan saya pulang. Saya mengatakan bahwa saya bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek yang berada tidak jauh dari kediaman Pakde M. Di tempat W selesai mengantarkan saya, saya sudah dijemput oleh P yang menunggu saya sejak sore. Ia marah-marah karena harus menunggu saya selama enam jam.
Idul Fitri 2012 ini memberikan luka yang sangat dalam bagi saya. Saya semakin merasa sendiri dan tidak memiliki sosok di mana saya bisa menganggapnya sebagai orang tua, memberi nasihat, dan memberi dorongan bagi saya. Saya kembali merasa sebagai makhluk yang tidak diharapkan, dibuang, dan tidak layak. Saya terluka dan terlunta. Saat itu saya membenci hari raya. Saat itu saya membenci agama yang menyediakan hari raya. Hari raya hanya untuk mereka yang memiliki keluarga. Sementara untuk saya yang sebatang kara tak lebih dari siksaan kehampaan.
Selepas Idul Fitri 2012, Papa bebas dari rumah tahanan. Papa menghirup udara luar. Hanya yang saya dengar, Papa mengalami tekanan psikis. Papa tidak memiliki pekerjaan dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Saya hanya khawatir Papa menjadi tidak kuat menghadapi permasalahan hidupnya. Yang ada di kepala saya, bagaimana Papa nanti di masa depan. Sebagai anak pertama, saya berangan-angan untuk memiliki pasangan dan keluarga. Apa yang akan saya tunjukkan pada pasangan dan keluarga pasangan saya mengenai keluarga saya. Dan seketika itu saya disadarkan bahwa saya hanya ditakdirkan berjuang, bukan memikirkan mimpi mengenai berkeluarga. Saya hanya ditakdirkan memperbaiki keluarga yang saat ini saya miliki, bukan membangun keluarga. Banyak hal yang akhirnya saya sadari dan mengubah tujuan hidup saya.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...