Monday 22 June 2015

Sedang Bercerita part VI

Manual painting karya Arief Hadinata


Saya kembali melanjutkan aktivitas saya di kampus dan bekerja. Saya masih mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membeli sepeda motor. Saya pun masih mengirimkan beberapa proposal untuk saya kirimkan pada lembaga penelitian. Kuliah saya kembali terlantar karena saya masih mengejar obsesi saya memiliki sepeda motor. Saya putus dengan P dan saya menjalin hubungan dengan adik tingkat P di jurusan Seni Rupa bernama B. Hubungan yang hampir tiga tahun harus berakhir karena saya dan dia merasa buntu dengan keegoisan kami. Perpisahan yang membuat saya bertanya apakah Mama pun merasakan apa yang saya rasakan.
Permasalahan yang sama kembali saya hadapi. Saya yang tidak memiliki kendaraan kembali meminta tolong B untuk diantar-jemput bekerja atau ia menukar motornya dengan motor miliki kawannya agar bisa saya gunakan bekerja. Keterbatasan ini benar-benar membuat saya bingung. Setiap ada tawaran bekerja dari Event Organizer atau agency, saya selalu kerepotan karena saya tidak dapat mendatangi briefing yang mereka adakan dan membuat nama saya tercoret. Undangan briefing yang kerap mendadak membuat saya kesulitan mencari pinjaman kendaraan pada kawan.
Hubungan saya dengan B berakhir karena kami memiliki kehidupan yang berbeda. Saya yang tengah berusaha untuk masa depan saya dan B yang masih sibuk dengan dunia bermainnya. Dia menjadi kawan dan sahabat saya untuk berbagi cerita dan tertawa. Ia memperkenalkan pada saya dunia kreatif. Saya berpikir bahwa mungkin bila Mama dan Papa dapat mengomunikasikan perpisahan mereka dengan baik, tentu akan menjadi cerita yang indah bagi anak-anaknya.
Saya terus memburu rupiah hingga ke luar kota. Selama nominal yang ditawarkan cocok dengan usaha saya, saya bersedia. Bahkan ketika saya harus mengorbankan kuliah, saya tidak keberatan. Idul Fitri 2013 pun saya lewati seorang diri. Ada tawaran pekerjaan selama tiga hari setelah Idul Fitri di Gedongsongo. Saya dengan santainya mengiyakan walaupun saya menyadari bahwa saya tidak memiliki kendaraan untuk mencapai lokasi kerja. Saya kembali merepoti seorang kawan yang waktu berkumpulnya dengan keluarga harus dikorbankan untuk mengantar saya. Saya merasa tertekan dengan keadaan ini. Tabungan yang saya kumpulkan belum seberapa. Saya mencari-cari informasi harga sepeda motor. Saya mendapatkan harga sepeda motor yang cocok namun ketika seorang kawan yang paham mesin mengecek performa sepeda motor tersebut, dia menggelengkan kepala. Tawaran pekerjaan kembali datang dengan tempo yang panjang dan bayaran yang cocok. Selama saya bekerja, tidak terdapat masalah berarti. Hanya saya merasa tidak enak hati karena beberapa kali terlambat. Bayaran yang saya peroleh sudah mencukupi untuk melengkapi membeli sepeda motor. Saat berbincang dengan kawan mengenai rencana saya membeli sepeda motor, ia mengatakan lebih baik saya membeli sepeda motor baru dengan uang yang saya miliki. Ia menyarankan hal tersebut karena ia pernah membeli sepeda motor bekas dan ia ditipu oleh dealer sepeda motor.
Saya berunding dengan Bakhtiar mengenai rencana saya membeli sepeda motor. Ia mengatakan bahwa ia bisa membantu membayar cicilan bila saya memang memiliki cukup uang muka. Akhirnya saya membeli sepeda motor di Yogyakarta merek Honda Beat seharga Rp13.880.000 dengan uang muka sebesar Rp10.000. Kami mengambil kredit berjangka selama empat bulan dengan rincian tiga bulan pertama sebesar Rp1.000.000 dan bulan terakhir sebesar Rp880.000. Kami bagi berdua cicilan tersebut. Sepeda motor tersebut menggunakan nama Bakhtiar karena ia yang memungkinkan mengurus berkas pembelian. Bulan September saya membawa sepeda motor baru dari Yogyakarta yang masih berplat putih-merah. Saya bangga mengendarai kendaraan yang saya kumpulkan dari hasil jerih-payah saya.
Setelah mendapatkan sepeda motor bukan berarti saya dapat bersantai-santai. Saya tetap memikirkan nominal untuk mencicil sepeda motor tersebut. Saya harus tetap bekerja dan saya harus kembali berhadapan dengan dilematis bekerja atau kuliah. Waktu libur saya gunakan untuk bekerja ketika kawan-kawan seangkatan saya sedang berjuang dengn semester antara. Saya membutuhkan pemasukan untuk hidup saya dan membayar tanggungan cicilan motor.
Akhir 2013 cicilan sepeda motor sudah lunas. Namun saya dihadapkan pada masalah rumah kontrakan. Rekan saya yang mengontrak bersama sudah menyelesaikan studi mereka. Mereka pun sudah bersiap angkat kaki. Di samping itu, harga sewa rumah kontarakan yang terus merangkak naik setiap tahun membuat kami bingung. Saya mencari rumah kos dengan sewa murah, sudah tidak ada. Harga sewa rumah kos sudah jauh dari yang bisa saya jangkau. Saya kebingungan. Sampai akhirnya saya memperoleh informasi bahwa proposal penelitian saya diterima dan saya memperoleh dana yang dapat saya gunakan untuk menutup biaya sewa rumah kos. Setelah lebih dari setahun saya tidak dapat mengajukan beasiswa, perjuangan saya harus kian maksimal untuk berusaha menyelesaikan studi dengan tekanan finansial.
Tak hanya tekanan finansial, namun juga tekanan psikis sebagai mahasiswa tua. Dosen wali saya, Ibu N bertanya pada saya mengenai kelanjutan studi saya. Apakah saya masih mau berjuang atau berhenti. Sejauh mana SKS yang telah saya tempuh dan seberapa siap saya menyelesaikan Skripsi. Saya mengajukan transkip nilai yang saya miliki dan saya menunjukkan topik skripsi yang sudah saya ajukan. Bu N juga menanyakan mengenai mata kuliah praktik yang belum saya tempuh. Apalagi di semester 12 saya harus menyelesaikan pramata kuliah praktik sebelum memasuki mata kuliah praktik. Saya diminta untuk fokus dengan studi saya bila tidak ingin berhenti di tengah jalan dan menggugurkan nilai saya.
Saya hanya tersenyum. Saya menerima nasihat dan masukan dari Bu N. Saya memikirkan itu dengan sangat. Saya harus berjuang untuk detik-detik menjelang semester akhir. Saya sudah tertinggal tiga tahun dengan kawan seangkatan saya. Saya mempersiapkan biaya untuk kuliah praktik di mana saya hanya fokus dengan mata kuliah tersebut tanpa bisa menengok kanan-kiri untuk bekerja atau mencari uang.
Semester 12 saya lalui dengan baik dan saya menyongsong semester 13 dengan mata kuliah praktik yang membuat saya harus fokus dalam kegiatan praktik. Selama lima bulan saya harus menyelesaikan mata kuliah praktik. Rencana saya untuk menyelesaikan skripsi pun kandas karena mata kuliah praktik ini benar-benar membuat saya tidak dapat bergerak. Berkumpul dengan manusia dari beragam latar belakang dan beragam pemikiran membuat saya memiliki ilmu baru mengenai bersosialisasi. Hal ini berbeda ketika saya bekerja. Segala rintangan dan kesakitan tetap saya terima karena saya membayangkan nominal rupiah yang akan saya terima. Mata kuliah praktik membutuhkan profesionalisme yang sama dengan bekerja namun kali ini saya hanya berharap pada nilai. Belum lagi saya dihadapkan dengan kehampaan finansial di mana tidak ada pemasukan namun pengeluaran terus mengalir untuk berbagai keperluan bersama. Saat kekurangan biaya, saya harus menanyakan kepada setiap orang yang saya kenal untuk memberi pinjaman. Terkadang mereka memberi bantuan walau tidak sebesar yang saya butuhkan, setidaknya membatu saya mengatasi masalah saya.
Memasuki semester 14, saya kembali diingatkan oleh Bu N bahwa masa studi saya sudah diujung tanduk. Beliau benar-benar mengingatkan saya untuk fokus. Beliau menyarankan saya untuk berhenti bekerja sejenak dan saya dapat kembali melanjutkan bekerja bila saya sudah lulus. Ketika saya sudah memiliki ijazah dan nilai yang baik, tentu saya bisa mengajukan lamaran pada tempat kerja yang lebih dan memperbaiki kehidupan saya.
Ketika saya menghubungi Mama mengenai apa yang saya alami, Mama justru menyalahkan Papa yang dianggap tidak bertanggung jawab dan menelantarkan anaknya. Papa yang mendengar kabarku dari Insanul atau Bakhtiar juga berbalik menyalahkan Mama karena menganggap Mama yang telah mengakibatkan Papa di tahan di sel dan harus kehilangan pekerjaannya. Mereka saling menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab. Saya sudah lelah mendengarkan segala ucapan saling menjelekkan dan menuduh dari kedua orang tua. Apa yang saya harapkan dapat berubah dalam tujuh tahun ini hanya sebagai angan.
Juga ketika saya mengatakan pada Mama bahwa saya menderita sakit. Terdapat tumor di kandungan saya. Sudah sejak tahun 2011 saya sering mengalami pendarahan dan siklus menstruasi yang kacau. Ketika saya USG pada tahun 2013, ditemukan tumor berdiameter 3,3 cm. Saya pendam apa yang saya sakit selama tidak mengganggu. Saya hanya mengeluhkan pusing dan mual bila terlalu lelah dan kadang berakibat pada pendarahan hebat. Mereka kembali marah-marah dan saling menyalahkan. Saya hanya diam. Saya tidak tahu apakah saya yang salah mengatakan pada mereka atau mereka yang salah menerima. Akhirnya semua permasalahan hanya menjadi pemicu konflik. Saya lalu mengambil kesimpulan bahwa ada baiknya apa yang saya alami saya selesaikan sendiri. Bukan hanya ketika saya yang mendapat kesulitan atau permasalah, tetapi juga ketika adik-adik saya mendapat kesulitan dan permasalahan, Papa dan Mama memberikan respon yang sama. Kami pun belajar untuk hidup lebih mandiri dalam menghadapi permasalahan yang kami hadapi.
Saya hanya berharap perjuangan saya berakhir indah. Saya sangat ingin membantu adik-adik saya. Mereka yang tinggal berpencar dan tanpa pengawasan orang tua. Saya tidak ingin adik saya mengalami apa yang saya alami. Saya hanya memiliki sebuah cita-cita, menyediakan masa depan untuk adik saya. Saya tidak ingin membuat mereka kecewa dan merasa harus berjuang seorang diri.
Untuk itu, saya sangat memohon bantuan agar dapat melancarkan cita-cita saya. Tak hanya menyelamatkan masa depan seorang anak, namun juga menyelamatkan masa depan tiga anak lainnya. Masa lalu tidak dapat diubah. Kami yang terlahir di dunia, entah karena kesalahan atau kehendak, entak diharapkan atau tidak, kami telah tercipta dan bernafas di dunia. Kami memiliki hak untuk memiliki masa depan. Kami masih memiliki sejumput asa yang layak kami perjuangkan. Kami masih ingin merangkai cerita indah kehidupan kami walaupun hanya perih dan sakit yang kami rasakan.
Tak ada satu orang pun anak di dunia yang menginginkan mengalami apa yang saya alami. Saya tidak dapat memilih apa yang akan saya hadapi. Saya hanya memiliki pilihan untuk menjalani atau berlari. Namun saya sadar, ketika saya memilih berlari, tidak akan mengubah apapun dan saya tetap akan menemui hal yang harus saya alami dengan kemasan yang berbeda. Pepatah mengatakan bahwa selama manusia hidup dan bernafas, mereka memiliki masalah. Manusia yang tidak memiliki masalah ialah manusia yang berada di dalam tanah.
Saya tidak dapat membenci dan menyalahkan kedua orang tua saya sekali pun saya sadar bahwa apa yang saya alami merupakan akibat perbuatan kedua orang tua saya. Saya hanya berpikir bila saya berhenti pada tahap menyalahkan dan membenci, saya tidak dapat maju dan berkembang. Apa yang saya butuhkan saat ini adalah sebuah pengorbanan dan perjuangan untuk melaksanakan apa yang telah ditentukan. Saya belajar untuk menerima kenyataan bahwa inilah yang harus saya hadapi. Sayalah yang ditunjuk untuk menjalankan lakon ini. Bila orang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada umatnya melebihi kemampuan umatnya. Mungkin tepat. Bila saya tidak dihadapkan pada kondisi sekarang, saya tentu tidak mengetahui bagaimana harga sebuah rupiah, bagaimana panas dan pedihnya mencari rupiah, bagaimana rasanya berjuang untuk masa depan.
Bila ada fase saya membenci kedua orang tua saya, saya selalu teringat segala kebaikan dan keindahan mereka ketika mereka membesarkan saya. Saya hanya berpikir bila saya menolak apa yang terjadi di masa lalu berarti saya tidak mensyukuri apa yang saya peroleh hari ini dan saya tidak berusaha meraih keindahan hari esok. Tentu saya tidak dapat mengenal orang-orang yang berada di lingkaran kehidupan saya, menjadi sahabat dan keluarga yang mendukung perjuangan saya. Saya berusaha membesarkan hati saya pemandangan di kanan-kiri saya bahwa masih ada orang-orang baik yang Tuhan titipkan untuk saya. Mungkin orang tua saya kurang menjalankan perannya dengan baik. Mungkin Tuhan menitipkan sosok malaikat dalam diri orang lain yang sekiranya dapat menjadi pelipur hati saya. Saya ingin memperjuangkan apa yang masih bisa diperjuangkan. Saya ingin berusaha sampai Tuhan meminta saya untuk berhenti.
Semoga ada kebaikan yang dapat membuka kebaikan lainnya.

Semarang, 27 Januari 2015
Amanda Rizqyana

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...