Manual painting karya Arief Hadinata |
Saya kembali melanjutkan aktivitas
saya di kampus dan bekerja. Saya masih mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk
membeli sepeda motor. Saya pun masih mengirimkan beberapa proposal untuk saya
kirimkan pada lembaga penelitian. Kuliah saya kembali terlantar karena saya
masih mengejar obsesi saya memiliki sepeda motor. Saya putus dengan P dan saya
menjalin hubungan dengan adik tingkat P di jurusan Seni Rupa bernama B.
Hubungan yang hampir tiga tahun harus berakhir karena saya dan dia merasa buntu
dengan keegoisan kami. Perpisahan yang membuat saya bertanya apakah Mama pun
merasakan apa yang saya rasakan.
Permasalahan yang sama kembali saya
hadapi. Saya yang tidak memiliki kendaraan kembali meminta tolong B untuk
diantar-jemput bekerja atau ia menukar motornya dengan motor miliki kawannya
agar bisa saya gunakan bekerja. Keterbatasan ini benar-benar membuat saya
bingung. Setiap ada tawaran bekerja dari Event
Organizer atau agency, saya
selalu kerepotan karena saya tidak dapat mendatangi briefing yang mereka adakan dan membuat nama saya tercoret.
Undangan briefing yang kerap mendadak
membuat saya kesulitan mencari pinjaman kendaraan pada kawan.
Hubungan saya dengan B berakhir
karena kami memiliki kehidupan yang berbeda. Saya yang tengah berusaha untuk
masa depan saya dan B yang masih sibuk dengan dunia bermainnya. Dia menjadi
kawan dan sahabat saya untuk berbagi cerita dan tertawa. Ia memperkenalkan pada
saya dunia kreatif. Saya berpikir bahwa mungkin bila Mama dan Papa dapat mengomunikasikan
perpisahan mereka dengan baik, tentu akan menjadi cerita yang indah bagi
anak-anaknya.
Saya terus memburu rupiah hingga ke
luar kota. Selama nominal yang ditawarkan cocok dengan usaha saya, saya
bersedia. Bahkan ketika saya harus mengorbankan kuliah, saya tidak keberatan.
Idul Fitri 2013 pun saya lewati seorang diri. Ada tawaran pekerjaan selama tiga
hari setelah Idul Fitri di Gedongsongo. Saya dengan santainya mengiyakan
walaupun saya menyadari bahwa saya tidak memiliki kendaraan untuk mencapai
lokasi kerja. Saya kembali merepoti seorang kawan yang waktu berkumpulnya
dengan keluarga harus dikorbankan untuk mengantar saya. Saya merasa tertekan
dengan keadaan ini. Tabungan yang saya kumpulkan belum seberapa. Saya
mencari-cari informasi harga sepeda motor. Saya mendapatkan harga sepeda motor
yang cocok namun ketika seorang kawan yang paham mesin mengecek performa sepeda
motor tersebut, dia menggelengkan kepala. Tawaran pekerjaan kembali datang
dengan tempo yang panjang dan bayaran yang cocok. Selama saya bekerja, tidak
terdapat masalah berarti. Hanya saya merasa tidak enak hati karena beberapa
kali terlambat. Bayaran yang saya peroleh sudah mencukupi untuk melengkapi
membeli sepeda motor. Saat berbincang dengan kawan mengenai rencana saya
membeli sepeda motor, ia mengatakan lebih baik saya membeli sepeda motor baru
dengan uang yang saya miliki. Ia menyarankan hal tersebut karena ia pernah
membeli sepeda motor bekas dan ia ditipu oleh dealer sepeda motor.
Saya berunding dengan Bakhtiar
mengenai rencana saya membeli sepeda motor. Ia mengatakan bahwa ia bisa
membantu membayar cicilan bila saya memang memiliki cukup uang muka. Akhirnya
saya membeli sepeda motor di Yogyakarta merek Honda Beat seharga Rp13.880.000
dengan uang muka sebesar Rp10.000. Kami mengambil kredit berjangka selama empat
bulan dengan rincian tiga bulan pertama sebesar Rp1.000.000 dan bulan terakhir
sebesar Rp880.000. Kami bagi berdua cicilan tersebut. Sepeda motor tersebut
menggunakan nama Bakhtiar karena ia yang memungkinkan mengurus berkas
pembelian. Bulan September saya membawa sepeda motor baru dari Yogyakarta yang
masih berplat putih-merah. Saya bangga mengendarai kendaraan yang saya
kumpulkan dari hasil jerih-payah saya.
Setelah mendapatkan sepeda motor
bukan berarti saya dapat bersantai-santai. Saya tetap memikirkan nominal untuk
mencicil sepeda motor tersebut. Saya harus tetap bekerja dan saya harus kembali
berhadapan dengan dilematis bekerja atau kuliah. Waktu libur saya gunakan untuk
bekerja ketika kawan-kawan seangkatan saya sedang berjuang dengn semester
antara. Saya membutuhkan pemasukan untuk hidup saya dan membayar tanggungan
cicilan motor.
Akhir 2013 cicilan sepeda motor
sudah lunas. Namun saya dihadapkan pada masalah rumah kontrakan. Rekan saya
yang mengontrak bersama sudah menyelesaikan studi mereka. Mereka pun sudah
bersiap angkat kaki. Di samping itu, harga sewa rumah kontarakan yang terus
merangkak naik setiap tahun membuat kami bingung. Saya mencari rumah kos dengan
sewa murah, sudah tidak ada. Harga sewa rumah kos sudah jauh dari yang bisa
saya jangkau. Saya kebingungan. Sampai akhirnya saya memperoleh informasi bahwa
proposal penelitian saya diterima dan saya memperoleh dana yang dapat saya
gunakan untuk menutup biaya sewa rumah kos. Setelah lebih dari setahun saya tidak
dapat mengajukan beasiswa, perjuangan saya harus kian maksimal untuk berusaha
menyelesaikan studi dengan tekanan finansial.
Tak hanya tekanan finansial, namun
juga tekanan psikis sebagai mahasiswa tua. Dosen wali saya, Ibu N bertanya pada
saya mengenai kelanjutan studi saya. Apakah saya masih mau berjuang atau
berhenti. Sejauh mana SKS yang telah saya tempuh dan seberapa siap saya
menyelesaikan Skripsi. Saya mengajukan transkip nilai yang saya miliki dan saya
menunjukkan topik skripsi yang sudah saya ajukan. Bu N juga menanyakan mengenai
mata kuliah praktik yang belum saya tempuh. Apalagi di semester 12 saya harus
menyelesaikan pramata kuliah praktik sebelum memasuki mata kuliah praktik. Saya
diminta untuk fokus dengan studi saya bila tidak ingin berhenti di tengah jalan
dan menggugurkan nilai saya.
Saya hanya tersenyum. Saya menerima
nasihat dan masukan dari Bu N. Saya memikirkan itu dengan sangat. Saya harus
berjuang untuk detik-detik menjelang semester akhir. Saya sudah tertinggal tiga
tahun dengan kawan seangkatan saya. Saya mempersiapkan biaya untuk kuliah
praktik di mana saya hanya fokus dengan mata kuliah tersebut tanpa bisa
menengok kanan-kiri untuk bekerja atau mencari uang.
Semester 12 saya lalui dengan baik
dan saya menyongsong semester 13 dengan mata kuliah praktik yang membuat saya
harus fokus dalam kegiatan praktik. Selama lima bulan saya harus menyelesaikan
mata kuliah praktik. Rencana saya untuk menyelesaikan skripsi pun kandas karena
mata kuliah praktik ini benar-benar membuat saya tidak dapat bergerak.
Berkumpul dengan manusia dari beragam latar belakang dan beragam pemikiran
membuat saya memiliki ilmu baru mengenai bersosialisasi. Hal ini berbeda ketika
saya bekerja. Segala rintangan dan kesakitan tetap saya terima karena saya
membayangkan nominal rupiah yang akan saya terima. Mata kuliah praktik
membutuhkan profesionalisme yang sama dengan bekerja namun kali ini saya hanya
berharap pada nilai. Belum lagi saya dihadapkan dengan kehampaan finansial di
mana tidak ada pemasukan namun pengeluaran terus mengalir untuk berbagai
keperluan bersama. Saat kekurangan biaya, saya harus menanyakan kepada setiap
orang yang saya kenal untuk memberi pinjaman. Terkadang mereka memberi bantuan
walau tidak sebesar yang saya butuhkan, setidaknya membatu saya mengatasi
masalah saya.
Memasuki semester 14, saya kembali
diingatkan oleh Bu N bahwa masa studi saya sudah diujung tanduk. Beliau
benar-benar mengingatkan saya untuk fokus. Beliau menyarankan saya untuk
berhenti bekerja sejenak dan saya dapat kembali melanjutkan bekerja bila saya
sudah lulus. Ketika saya sudah memiliki ijazah dan nilai yang baik, tentu saya
bisa mengajukan lamaran pada tempat kerja yang lebih dan memperbaiki kehidupan
saya.
Ketika saya menghubungi Mama
mengenai apa yang saya alami, Mama justru menyalahkan Papa yang dianggap tidak
bertanggung jawab dan menelantarkan anaknya. Papa yang mendengar kabarku dari
Insanul atau Bakhtiar juga berbalik menyalahkan Mama karena menganggap Mama
yang telah mengakibatkan Papa di tahan di sel dan harus kehilangan
pekerjaannya. Mereka saling menunjuk siapa yang harus bertanggung jawab. Saya
sudah lelah mendengarkan segala ucapan saling menjelekkan dan menuduh dari
kedua orang tua. Apa yang saya harapkan dapat berubah dalam tujuh tahun ini
hanya sebagai angan.
Juga ketika saya mengatakan pada
Mama bahwa saya menderita sakit. Terdapat tumor di kandungan saya. Sudah sejak
tahun 2011 saya sering mengalami pendarahan dan siklus menstruasi yang kacau.
Ketika saya USG pada tahun 2013, ditemukan tumor berdiameter 3,3 cm. Saya
pendam apa yang saya sakit selama tidak mengganggu. Saya hanya mengeluhkan
pusing dan mual bila terlalu lelah dan kadang berakibat pada pendarahan hebat.
Mereka kembali marah-marah dan saling menyalahkan. Saya hanya diam. Saya tidak
tahu apakah saya yang salah mengatakan pada mereka atau mereka yang salah
menerima. Akhirnya semua permasalahan hanya menjadi pemicu konflik. Saya lalu
mengambil kesimpulan bahwa ada baiknya apa yang saya alami saya selesaikan
sendiri. Bukan hanya ketika saya yang mendapat kesulitan atau permasalah,
tetapi juga ketika adik-adik saya mendapat kesulitan dan permasalahan, Papa dan
Mama memberikan respon yang sama. Kami pun belajar untuk hidup lebih mandiri
dalam menghadapi permasalahan yang kami hadapi.
Saya hanya berharap perjuangan saya
berakhir indah. Saya sangat ingin membantu adik-adik saya. Mereka yang tinggal
berpencar dan tanpa pengawasan orang tua. Saya tidak ingin adik saya mengalami
apa yang saya alami. Saya hanya memiliki sebuah cita-cita, menyediakan masa
depan untuk adik saya. Saya tidak ingin membuat mereka kecewa dan merasa harus
berjuang seorang diri.
Untuk itu, saya sangat memohon
bantuan agar dapat melancarkan cita-cita saya. Tak hanya menyelamatkan masa
depan seorang anak, namun juga menyelamatkan masa depan tiga anak lainnya. Masa
lalu tidak dapat diubah. Kami yang terlahir di dunia, entah karena kesalahan
atau kehendak, entak diharapkan atau tidak, kami telah tercipta dan bernafas di
dunia. Kami memiliki hak untuk memiliki masa depan. Kami masih memiliki sejumput
asa yang layak kami perjuangkan. Kami masih ingin merangkai cerita indah
kehidupan kami walaupun hanya perih dan sakit yang kami rasakan.
Tak ada satu orang pun anak di
dunia yang menginginkan mengalami apa yang saya alami. Saya tidak dapat memilih
apa yang akan saya hadapi. Saya hanya memiliki pilihan untuk menjalani atau
berlari. Namun saya sadar, ketika saya memilih berlari, tidak akan mengubah
apapun dan saya tetap akan menemui hal yang harus saya alami dengan kemasan
yang berbeda. Pepatah mengatakan bahwa selama manusia hidup dan bernafas,
mereka memiliki masalah. Manusia yang tidak memiliki masalah ialah manusia yang
berada di dalam tanah.
Saya tidak dapat membenci dan
menyalahkan kedua orang tua saya sekali pun saya sadar bahwa apa yang saya alami
merupakan akibat perbuatan kedua orang tua saya. Saya hanya berpikir bila saya
berhenti pada tahap menyalahkan dan membenci, saya tidak dapat maju dan
berkembang. Apa yang saya butuhkan saat ini adalah sebuah pengorbanan dan
perjuangan untuk melaksanakan apa yang telah ditentukan. Saya belajar untuk
menerima kenyataan bahwa inilah yang harus saya hadapi. Sayalah yang ditunjuk
untuk menjalankan lakon ini. Bila orang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan pada umatnya melebihi kemampuan umatnya. Mungkin tepat. Bila
saya tidak dihadapkan pada kondisi sekarang, saya tentu tidak mengetahui
bagaimana harga sebuah rupiah, bagaimana panas dan pedihnya mencari rupiah,
bagaimana rasanya berjuang untuk masa depan.
Bila ada fase saya membenci kedua
orang tua saya, saya selalu teringat segala kebaikan dan keindahan mereka
ketika mereka membesarkan saya. Saya hanya berpikir bila saya menolak apa yang
terjadi di masa lalu berarti saya tidak mensyukuri apa yang saya peroleh hari
ini dan saya tidak berusaha meraih keindahan hari esok. Tentu saya tidak dapat
mengenal orang-orang yang berada di lingkaran kehidupan saya, menjadi sahabat
dan keluarga yang mendukung perjuangan saya. Saya berusaha membesarkan hati
saya pemandangan di kanan-kiri saya bahwa masih ada orang-orang baik yang Tuhan
titipkan untuk saya. Mungkin orang tua saya kurang menjalankan perannya dengan
baik. Mungkin Tuhan menitipkan sosok malaikat dalam diri orang lain yang
sekiranya dapat menjadi pelipur hati saya. Saya ingin memperjuangkan apa yang
masih bisa diperjuangkan. Saya ingin berusaha sampai Tuhan meminta saya untuk
berhenti.
Semoga ada kebaikan yang dapat
membuka kebaikan lainnya.
Semarang,
27 Januari 2015
Amanda
Rizqyana
No comments:
Post a Comment