Monday 2 December 2019

Menulis Lagi Untuk Terapi



Menulis apapun itu.
Sulit rasanya untuk tetap bisa konsisten menulis ketika masih membuat pemakluman untuk diri sendiri.
Sebenarnya aku selalu suka aktivitas menulis.
Entah menulis cerita fiksi, menulis puisi, atau sekadar menulis catatan harian.
Aku belajar mencintai bercerita dan merangkai kata sejak aku mulai suka membaca. Perlahan aku mengenal buku berikut penciptanya. Aku mulai mengidolakan para penulis yang menurutku karyanya membuatku bisa tersenyum atau menangis.
Aku juga mulai senang dengan aktivitas menulis ketika remaja, tepatnya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kupamerkan karyaku pada kawan-kawanku. Namun aku selalu tak mendapat respon yang kuinginkan karena mereka hanya menjawab, "Bagus."
Kemudian menjadi bercita-cita menjadi penulis. Bahkan saat Sekolah Menengah Atas (SMA), aku memilih Program Studi (Prodi) Bahasa. Papaku sempat mencemooh, katanya penulis bukanlah pekerjaan, itu sambilan saja.
Aku sempat down.
Berjalannya waktu, sambil kuliah aku menjajal beragam pekerjaan dan mulai realistis bahwa aku bekerja untuk bertahan hidup, bukan untuk mendapatkan pengakuan atau bahkan sekadar kebanggaan.
Namun takdir mengarahkanku menjadi jurnalis.
Pekerjaan yang mengharuskanku menulis sebagai presensi di kantor dan sebagai eksistensi di hadapan khalayak.
Kadang menulis menjadi caraku bercerita tentang apa yang kualami. Menjadi catatan yang akan dikenang selamanya di laman beritaku.
Namun aku kadang merasa tersiksa ketika menulis sesuatu yang aku sendiri tak mengerti. Kadang aku menjadi sangat bebal karena tak pernah ingin tahu atau mencari tahu. Aku juga kadang menyebalkan karena masih tak bisa menempatkan diri sebagai pribadi atau sebagai profesi.
Ternyata aku butuh berbagai alternatif penyaluran.
Ketika kepalaku bisa membagi diri antara kepentingan ruang redaksi dan kepuasan diri, aku tentu bisa belajar mengelola emosi. Kapan bisa menjadi seseorang yang idealis, kapan bisa menjadi manusia yang praktis.
Aku pun sedang belajar untuk menerapi diri sendiri.
Dulu aku suka menulis di buku harian.
Sekarang pun masih sama.
Menulis menggunakan bolpoin di kertas memang menyenangkan karena setiap kata yang terukir bisa meninggalkan goresan yang menggambarkan kondisi emosi saat itu.
Namun aku tak boleh hanya mengandalkan sebuah media.
Karena kadang aku juga tak hanya ingin bercerita, namun aku juga butuh untuk didengarkan. Aku butuh mendapatkan respon dan apresiasi.
Tak melulu itu pujian, bisa juga cacian.
Sebagai proses menerapi diriku sendiri bahwa aku tak hidup dalam duniaku saja yang serba sekehendakku.

No comments:

Post a Comment

Cerita Amanda

Suka Duka Nikahin Seniman, Tak Punya Gaji Bulanan dan Diragukan Kalau Mengajukan Cicilan

Nggak pernah kepikiran bakalan menikah sama seniman, meskipun sejak jaman sekolah banyak macarin anak Seni Rupa. Hahaha… Ngomong nggak mau k...